Home / Rumah Tangga / Luka di Balik Senyum Istriku / 1. Membawa Calon Madu Untuk Najma

Share

Luka di Balik Senyum Istriku
Luka di Balik Senyum Istriku
Author: Sheila FR

1. Membawa Calon Madu Untuk Najma

Author: Sheila FR
last update Huling Na-update: 2023-06-02 23:45:59

"Waalaikumsalam, Abah." 

Najma, istriku, membukakan pintu untukku sambil menjawab salamku. Namun, senyumnya berubah sesaat menjadi kebingungan kala melihat sosok wanita di belakangku. Itu hanya terjadi sepersekian detik. 

Karena setelahnya, Najma kembali tersenyum sambil menggeser tubuhnya agar kami bisa masuk. "Silakan masuk, Mbak…?"

"Saya Salwa, Mbak." Wanita di belakangku kini memperkenalkan dirinya pada istriku.

Jujur, aku sedikit ketakutan membawa Salwa ke rumah ini, tapi karena permintaan Najma kala itu, aku pun coba beranikan diri.

Namun, senyum di wajah Najma tidak berubah. Dengan lembut, ia bahkan berkata, "Baik, Mbak Salwa, silahkan masuk."

Hatiku sedikit tenang. 

Aku pun melangkah menuju kamarku untuk meletakkan tas dan jas, sebelum aku menjelaskan semua kepada Najma.

Tapi, istriku itu sungguh luar biasa memahamiku. 

Diambilnya barang-barangku dan tersenyum. "Sini, biar umma yang bawakan tas dan jasnya, Abah."

"Terima kasih, Umma."

Istriku mengangguk menanggapi perkataanku. Kemudian, dia melangkah menuju kamar kami. 

Aku pun mengikuti langkahnya menuju kamar.

Namun, baru saja aku masuk, Najma telah keluar. Sepertinya, ia lakukan untuk menemani Salwa.

"Umma," panggilku sambil memegang tangannya. 

"Ya, Abah?" 

"Maafkan, Abah." 

Segera kutarik Najma ke dalam pelukanku. Sungguh, bukan niatanku untuk melukai hatinya seperti ini. 

Istriku mengangguk. "Tak apa, Abah. Tak ada yang perlu dimaafkan, ini takdir."

Lagi–senyuman yang indah terukir di bibirnya–membuat diri ini seakan merasa begitu bersalah. 

"Umma mau buatkan minuman dulu untuk tamu kita,” ucapnya lagi, “Abah, mandilah. Umma sudah siapkan air hangat untuk Abah."

"Baiklah, Umma."

Aku pun segera membersihkan tubuhku.

Tidak butuh waktu lama untuk selesai, aku pun mengenakan pakaian lengkap, lalu melangkah menuju ruang tamu, tempat istri dan calon istriku berada. 

Aku tak mendengar perbincangan mereka sama sekali. 

Keduanya tampak diam–tak ada yang memulai pembicaraan. 

Segera kulangkahkan kaki ini dan duduk di samping Najma, sambil menggenggam tangannya. 

Namun, dengan lembut, dia berusaha melepaskan tangannya dariku.

Alisku terangkat, tapi Najma hanya mengangguk.

"Ya, sudah. Berhubung Mas Hamdan sudah selesai mandinya, jadi silakan bila ada yang ingin kalian sampaikan." Istriku itu pun membuka suaranya. Dia terlihat begitu tenang tanpa beban membuat hatiku sedikit perih.

"Umma, perkenalkan dia Salwa,” ucapku menahan grogi, “wanita yang ayah ceritakan beberapa hari yang lalu."

Jujur, aku tak tahu apa yang harus kusampaikan kepada istriku ini. Kulirik Salwa dari ujung mata yang hanya menunduk memilih ujung jilbabnya saja. 

"Abah beneran siap untuk berpoligami? Apakah abah masih ingat tentang hukum-hukum poligami?"

Lagi, istriku bertanya membuatku seketika mengangguk.

"InsyaAllah abah siap, Umma. Abah masih mengingatnya dan InsyaAllah Abah akan mengamalkannya."

"Baiklah Abah, jika memang Abah sudah yakin," putusnya cepat lalu seketika menatap Salwa.

"Mbak, apakah mbak sudah siap menjadi istri kedua suami saya dan menjadi adik madu untuk saya?"

"InsyaAllah, Mbak," ucap Salwa.

Aku tak bisa mengalihkan pandangan dari istriku. 

Air mukanya sungguh tenang, seperti tak ada emosi di sana, pun amarah, serta rasa benci di wajah cantiknya. 

Hanya senyuman yang menghiasi wajah bidadariku ini. 

Sungguh, bukan aku tak lagi mencintainya, sehingga aku memilih untuk menduakannya. Namun, hati ini tak bisa aku kendalikan saat aku mengenal Salwa. 

Kala itu, saat aku memantau proyek pembangunan hotel di kawasan Jakarta Utara, sementara Salwa merupakan pemilik kedai kopi yang ada tepat di depan proyek milikku. 

Aku yang sering membeli kopi miliknya membuat aku memiliki perasaan yang aneh terhadapnya. 

Dia wanita sholehah. 

Tak pernah sekalipun kulihat, ia melepas jilbab yang ia kenakan. Padahal, seringkali matahari begitu terik di sana. Warungnya pun ramai pelanggan karena ia tak hanya menjual kopi, melainkan juga menjual gorengan, serta nasi dengan lauk sederhana. 

Sosoknya membuatku mengingat istriku–Najma. 

Istri Sholehahku yang tak pernah membuka auratnya di hadapan lelaki yang bukan muhrimnya. 

Meski awalnya aku mengira ini kekaguman semata karena Salwa mirip dengan Najma, tapi lama-kelamaan, dia selalu menghantui pikiranku. Bahkan, ketika aku sedang bersama Najma. 

Aku pun berusaha menepis pikiran itu, berusaha menghilangkan Salwa dari pikiranku. 

Tapi, semakin aku berusaha keras melupakannya, justru dia semakin menghantui tidurku. 

Jadi, aku sampai tak pernah lagi membeli kopi di sana demi menghalau semakin besarnya perasaan ini. Juga, demi menjaga kesetiaanku kepada istriku. 

Aku selalu melaksanakan sujud malam untuk meminta kepada Allah agar menjaga perasaanku hanya untuk istriku. Namun, wanita pemilik kedai kopi itu semakin menguasai pikiranku. 

Aku semakin gelisah dibuatnya. 

Aku butuh nasihat. 

Aku butuh wejangan kata-kata indah yang bisa menyejukkan hati dari istriku, tapi aku tak berani mengatakannya kepadanya. 

Bagaimana jika istriku terluka karena perasaanku yang mulai bercabang? 

Hingga suatu malam, aku tak tahu bahwa istriku mendengar segala curhatanku kepada sang pemilik hati, kepada sang maha pembolak-balik hati. 

Hingga saat aku selesai berdoa dan memohon, aku membalikkan badanku dan aku melihat istriku tengah terduduk di belakangku sambil memandangku lagi dengan senyuman yang tak pernah luntur di wajahnya. 

"Abah tak mau cerita kepada Umma?" tanyanya malam itu membuat aku ketakutan sekaligus merasa begitu bersalah. 

"Umma, se-sejak kapan Bunda ada di sini?"

Istri yang tak pernah menentang perintahku tersebut, tersenyum lembut. "Sejak Abah berdoa."

"Ma-maafkan Abah, Umma," gugupku.

"Minta maaf untuk apa, Abah?"

"Maaf, karena tak bisa mengendalikan perasaan Abah. Maaf sudah membagi perasaan ini, maafkan Abah, Umma."

Dia pun mengangguk. "Lantas, apa yang akan Abah lakukan selanjutnya?"

"Abh akan berusaha menghapus rasa ini, Umma. Abah janji, Abah tak akan menduakan Umma."

"Benarkah Abah?"

"Benar, Umma. Abah tak mau menyakiti Umma, aku akan berusaha menjadikan Umma satu-satunya bidadari Abah."

"Jika perasaan itu tetap ada bagaimana?"

Aku terdiam sebelum akhirnya kembali berbicara, "Bantu Abah untuk menghilangkan perasaan ini."

"InsyaaAllah, Abah."

Kala itu, ia tersenyum sembari mengangguk dan kami berpelukan lama sekali.

Sejak itu, aku kembali berusaha menghapus perasaan ini dengan cara meluangkan lebih banyak waktu bersama istriku. 

Kuajak dirinya jalan-jalan, bahkan keluar negeri untuk berbulan madu kembali mengenang masa-masa awal pernikahan dulu. 

Namun, setahun berlalu, aku masih gagal. 

Najma yang menyadari itu pun, akhirnya memintaku untuk membawa Salwa ke rumah. Bahkan, ia telah meminta ibuku untuk melamar Salwa untukku. 

Kutolak keras permintaannya itu, tapi Najma memaksa karena ia tak mau diriku terus berzina fikiran karena terus memikirkan wanita yang bukan mahramnya.

"Jadi kapan pernikahannya akan diselenggarakan?" 

Pertanyaan Najma membuyarkan lamunanku. 

Dengan cepat, aku pun menjawab, "Belum dipikirkan, Umma."

"Lebih cepatm lebih baik, Abah. Gimana kalau lima belas hari lagi?"

Deg!

Usulan Najma membuat aku dan Salwa kompak menatap wanita bak malaikat ini.

"Umma, jangan terlalu cepat."

"Tak apa, Abah. Agar Umma segera ada temannya di rumah ini," senyumnya lagi.

"Umma!" sentakku tanpa sadar, tetapi ia seolah mengabaikan penolakanku.

Ditatapnya Salwa dengan kehangatan. "Adikku, apakah kamu siap jika menikah dua pekan lagi?"

"Saya terserah, Mas Hamdan, Mbak," jawab Salwa dengan rona merah muda pipinya. 

Melihat itu, gegas Najma memalingkan wajahnya lalu menatap diriku. 

"Bagaimana dengan Abah?"

Aku pun menghela napas panjang. "Terserah Umma sajalah."

"Oh, iya Abah, nikahin Salwa secara negara juga, ya. Jangan lupa daftarkan pernikahan kalian di KUA, agar kelak kalau kalian punya anak ada status yang jelas bagi anak kalian."

Aku mematung.

Membahas soal anak, memang cukup sensitif untuk kami.

Selama enam tahun menikah, kami memang masih belum memiliki anak. Namun, bukan itu alasan aku mencintai wanita lain. Sungguh, perasaan ini datang begitu saja tanpa bisa aku mengendalikannya.

‘Ya Allah, apakah ini jalan yang harus hamba tempuh?’

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (7)
goodnovel comment avatar
ASTHAFAYA
gedek anjir, meskipun izin dan masih bersikap baik sama istrinya. Tapi tetep aja bajingan. Hamdan dislike. aku kurang suka karakter cowo menye-menye. Laki-laki sejati itu yang mencintai satu perempuan dan menjaga cinta itu benar-benar
goodnovel comment avatar
Selly Meliyani
Sakit hati kalau baca
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
mengatasnamakan cinta tp tega berhianat dengan membawa madu untuk sang istri pertama. sakit tp tk berd4r4h
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Luka di Balik Senyum Istriku   23. RASA YANG SAMA. END

    Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu

  • Luka di Balik Senyum Istriku   22. Playing Victim

    "Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki

  • Luka di Balik Senyum Istriku   21. Berakhirnya Kehidupan Salwa

    "Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa

  • Luka di Balik Senyum Istriku   20. Baku hantam

    Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran

  • Luka di Balik Senyum Istriku   19. Tempat Kerja Baru

    "Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa

  • Luka di Balik Senyum Istriku   18. Mengenang masa Lalu

    "Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status