Di rumahku kini sedang sibuk menyiapkan acara pernikahanku dengan Salwa yang akan diselenggarakan esok siang. Aku sangat merasa grogi, rasanya tak siap harus mengikrarkan janji suci untuk kedua kalinya dengan wanita yang berbeda.
Acaranya akan diadakan di rumah Salwa.
Di sini kami sibuk menyiapkan seserahan yang akan di bawa untuk Salwa.
Ah, bukan kami. Lebih tepatnya, Najmalah yang paling sibuk menyiapkan semua seserahan yang akan kami bawa ke rumah calon madunya. Abi serta Ummi turut hadir di sini untuk menyaksikan menantunya ini menikah dengan wanita lain. Menyaksikan sang menantu yang akan memberikan madu untuk sang anak.Tadi pagi, saat Abi serta Ummi baru sampai, aku tak berani menatap wajah kedua mertuaku ini karena mereka terlihat begitu marah kepadaku.
Aku tahu, dan sangat pantas jika Abi dan Ummi marah kepadaku karena aku telah menduakan putri mereka, putri yang begitu mereka sayangi, putri satu-satunya dari empat saudara yang ketiganya laki-laki semua. Najma merupakan putri bungsu Abi dan Ummi, dan tentu mereka sekeluarga sangat menyayangi Najam bahkan memanjakan wanita Sholehah yang menjadi istriku tersebut."Apakah ada kesalahan yang putri Abi perbuat sehingga kamu mau menikah lagi?" Tanya Abi pagi tadi.
"Tidak ada, Abi. Tidak ada sama sekali, tak sekalipun Najma berbuat kesalahan kepada Hamdan, Bi."
"Lalu, apakah ada kekurangan pada putriku?" Ada raut kecewa, sedih dan terluka yang ku lihat dari sepasang manik hitam legam milik lelaki yang kepadanya istriku bernasab.
"Tidak ada, Abi," jawabku sambil menundukkan kepala dengan tajam.
"Apakah alasan kamu berpoligami, mantuku?"
Walau takut dan ragu, aku menceritakan semuanya dari awal hingga sampai di titik ini kepada Abi dan Ummi tanpa ada yang aku sembunyikan. Aku siap menerima segala kemarahan Abi, karena aku yakin pasti mereka sangat kecewa kepadaku.
"Jadi begitu ceritanya. Beginilah akibatnya kalau seorang mukmin tak bisa menjaga pandangannya. Akan ada wanita idaman lain yang terlihat paripurna melebihi wanita yang sudah halal baginya."
"Iya, Abi. Abi, Ummi, maafkan Hamdan telah melukai putri Abi dan Ummi, maafkan Hamdan tak bisa mengendalikan hati Hamdan, maafkan Hamdan yang tak bisa menjaga pandangan, maafkan Hamdan telah mengecewakan kalian,"
Aku bersimpuh sambil menyalami tangan Abi dan Ummi, air mataku menetes merasa begitu berdosa kepada istriku serta kedua orang tuanya. Sungguh, aku tak ingin ada dalam posisi ini, karena ini pun sangat terasa amat sulit bagiku.
"Jika Abi membawa pulang Najma hari ini juga, apakah kamu mengizinkan?" Tanya Abi menatap tajam ke arahku, sedangkan Ummi sejak tiba tadi, beliau seolah tak Sudi menatap diriku walau hanya sekian detik.
"Jangan! Jangan, Abi, jangan bawa Najma pergi, maafkan Hamdan, Bi. Tolong, jangan bawa Najma pergi dari sisi Hamdan. Jika memang Abi dan Ummi nggak ridho, Hamdan akan batalkan pernikahan ini,"
"Abah, jangan berkata seperti itu. Bangunlah, Abah!" Najma menghampiriku dan membantuku berdiri dan duduk di sofa.
Aku sungguh takut, aku takut kehilangan istri sesholehah Najma.
"Abi, Ummi, Najma ikhlas jika mas Hamdan menikah lagi, ini juga permintaan Najma. Najma tahu bagaiman perjuangan suami Najma untuk melupakan wanita itu, tapi takdir Allah berkata lain, Abi. Bahkan Najma sendiri yang meminta mas Hamdan untuk menikahi wanita yang selama ini mengganggu fikirannya, Najma tak mau mas Hamdan sampai zina fikiran karena memikirkan wanita yang bukan mahramnya."
"Kamu beneran ridho, Nak, suamimu menikah lagi?" Pandangan umi kepada Najma terlihat begitu terluka. Rasanya ummi begitu menyayangkan nasib putrinya yang harus di madu.
"InsyaaAllah, Ridho, Ummi."
"Berpoligami itu memang diizinkan, tapi harus dengan alasan yang memang di terima sebagai syarat berpoligami,"
"Abi, Ummi, Najma tahu persis gimana awalnya, sehingga pada akhirnya Najma meminta Mas Hamdan untuk meminang perempuan itu. Tolong ridhoi pernikahan kedua pada suami Najma."
Aku merasa begitu malu kepada istriku. Aku yang akan menikah lagi, tapi istrikulah yang berjuang meminta restu untuk pernikahan keduaku ini. Lagi, Najma berjuang mencari ridho dan restu dari kedua orang tuanya setelah sebelumnya kepada Ibuku.
"Nak, kenapa kamu begitu ikhlas dipoligami?"
"Karena ini takdir, Ummi. Kita sebagai hamba Allah tak bisa menolak takdir," jawab Najma takzim.
"Apakah kamu siap untuk berlaku adil kepada istri-istrimu?"
"InsyaaAllah, Hamdan siap, Abi."
Abi menghela nafas kasar seraya mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya,
"Ya sudahlah, kalau seperti itu. Abi dan Ummi hanya bisa mendoakan semoga Allah meridhoi kalian, dan semoga kalian selalu bahagia.""Aamiin," ucapku dan Najma berbarengan.
"Ingat Hamdan, jika sekali saja kamu buat putri Abi terluka karena perlakuanmu yang tidak adil, jangan salahkan Abi jika Abi membawa pulang putri Abi!"
"InsyaaAllah Hamdan akan akan menjaga hati Najma, Bi."
Setelahnya Abi dan Ummi pergi dari hadapan kami. Aku melihat, sekilas Ummi mengusap sudut matanya. Aku tahu, Abi dan Ummi marah padaku. Orang tua mana yang tidak marah jika anaknya disakiti?
Orang tua mana yang tak marah jika mengetahui sang putri telah dikhianati?Allah, ampuni aku yang sudah melukai hati istriku serta kedua mertuaku yang sudah begitu baik kepadaku.
****
"Sayang, ini sudah malam, kenapa belum istirahat?" Tanyaku pada istriku yang kini sedang berada di ruang setrika. Aku menghampirinya, lalu memeluk tubuhnya dari belakang. Ku hirup aromanya yang selalu membuat hatiku tenang.
"Umma lagi nyetrika baju Abah buat acara besok, Bah," jawabnya sambil mengukir senyum di wajahnya. Tangannya sibuk memaju-mundurkan setrika yang dipegangnya.
Aku lihat kedua netranya tampak memerah, apakah dia sedang menangis? atau dia sudah sangat mengantuk tapi ditahannya demi menyelesaikan menyetrika bajuku?
"Umma, jangan lakukan itu. Mari kita istirahat."
Aku menuntun istriku menuju kamar kami, dan meletakkan baju yang barusan dipegang Najma ke atas papan setrika.
Setibanya di kamar, aku mendudukkan Najma di pinggiran kasur, kemudian aku pun ikut duduk dengan menghadap kearahnya.
"Umma...."
"Iya, Abah?"
Wanita ayu di depanku ini tidak menatap ke arahku, dia hanya menunduk memainkan jari-jarinya.
"Lihat Abah!" Pintaku padanya.
Perlahan ia mengangkat kepalanya menghadap kearahku. Lagi dan lagi, senyuman yang begitu indah yang dia suguhkan untukku. Begitu pandai ia menyembunyikan perasaannya dariku.
"Kenapa, Abah?"
"Umma, Abah tahu Umma terluka, Abah tahu bunda sakit hati. Tolong jangan di pendam sendirian Umma, berbagilah kepada Abah. Menangislah jika memang Umma ingin menangis. Jangan terlalu memendam sendirian, Ummma,"
"Tidak Abah, Umma tidak apa-apa, jangan pikirkan Umma. Persiapkan saja diri Abah untuk hari esok!"
"Bagaimana aku tak memikirkanmu, engkau istriku, tanggung jawabku. Tak mungkin untuk aku tak memikirkan dirimu, kamu begitu berharga untuk tak di pikirkan."
Aku memeluknya begitu erat. Aku merasa bahwa diriku adalah lelaki paling bodoh di dunia yang sudah tega menyakiti istri speak bidadari seperti Najma.
"Tidurlah, Abah!" Pintanya melepaskan diri dari pelukanku.
"Umma," ucapku lagi.
"Aku tak apa, Abah. Percayalah pada istrimu ini, bahwa aku baik-baik saja, tidurlah suamiku!"
Aku membaringkan tubuhku juga tubuhnya, aku memeluknya begitu erat sekali. Aku tahu dia terluka, tapi dia terlalu pandai menyimpan lukanya, menyembunyikan sakitnya dariku. Aku sadar dan sangat menyadari bahwa aku adalah suami yang teramat sangat jahat kepada istri bidadari, seperti Najma.
"Izinkan Abah meminta hak Abah, Umma," pintaku yang ingin meredam kegelisahan dan kegundahan yang sejak tadi menyerang dengan cara seperti ini.
"Silahkan, Abah!"
Namun, Najma tidak menatapku seperti biasanya.
Terasa sesak di dada. Aku perlahan merasakan luka yang ia sembunyikan."Maafkan, Abah," batinku.Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun