LOGINPagi itu, Rey kembali mencoba berjalan ke arah yang sama seperti hari sebelumnya—melewati jembatan kayu kecil di belakang rumah, lalu menembus jalan setapak di antara pohon-pohon pinus tinggi. Tapi setiap langkah yang ia ambil, dunia di sekitarnya terasa semakin melengkung, seolah waktu dan ruang saling menjebak dirinya dalam lingkaran yang tak berujung.
Langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu yang aneh. Di bawah sebatang pohon besar, ada sebuah koper tua, terbuka. Di dalamnya, tersusun rapi pakaian-pakaian yang dikenalnya—jaket favoritnya, sepatu olahraga, dan... sebuah album foto. Dengan tangan gemetar, Rey mengambil album itu. Di halaman pertama, ada foto dirinya bersama seorang perempuan muda. Wajahnya cantik dan cerah, tapi Rey tak bisa mengingat siapa dia. Di balik foto itu, tertulis: “Untuk Rey—dari Rani. Pulanglah.” “Rani...?” gumam Rey. Suara nama itu terasa familiar, namun tetap asing. Seolah ingatan tentangnya telah disayat dan disembunyikan di sudut tergelap pikirannya. Langkah Rey goyah. Ia duduk di akar pohon sambil memandangi foto itu. Suara hutan mendadak sunyi, seakan semua burung dan dedaunan berhenti bernapas. Lalu... sebuah bisikan terdengar. "Jangan percaya mereka, Rey..." Ia menoleh cepat. Tak ada siapa pun. "Siapa?!" teriak Rey, berdiri. “Siapa yang bicara?!” Tak ada jawaban. Hanya angin yang mendesir lembut, seolah mengejek keputusasaannya. Rey kembali mengambil koper itu dan berniat membawanya pulang. Tapi saat ia berbalik, jalan setapak yang tadi dilewatinya sudah tak ada. Digantikan oleh semak belukar dan pohon-pohon yang merapat seperti pagar hidup. Jalan telah menghilang. Ia mencoba mundur, tapi langkahnya berat. Seakan tanah menolaknya. Rey mencoba berlari, namun semakin ia bergerak, semakin banyak suara-suara terdengar—tangisan, tawa anak-anak, suara langkah kaki cepat di belakangnya. Tapi ketika ia menoleh, tak ada siapa pun. Tubuhnya gemetar. Nafasnya memburu. Dunia di sekelilingnya mulai berputar, dan suara itu kembali terdengar. "Kau sudah terlalu lama di sini... Rey... Kau akan lupa semuanya..." Dengan sisa keberanian yang ia miliki, Rey berteriak, “Aku tidak akan lupa! Aku... aku tahu aku bukan bagian dari tempat ini!” Tiba-tiba, suara bel rumah berbunyi di kejauhan. Bunyinya keras dan panjang, tak masuk akal karena ia masih jauh dari rumah. Tapi entah kenapa, suara itu memberinya sedikit pegangan—pengingat bahwa masih ada sesuatu yang nyata. Rey memejamkan mata, menggenggam album foto itu erat-erat, dan mulai melangkah lagi. Ia tak tahu ke mana arah yang benar, tapi satu hal yang pasti: ia harus mencari jawaban sebelum semuanya terlambat. Sebelum ia benar-benar lupa cara pulang. Rey tersandung batu dan jatuh berlutut. Album foto terlepas dari tangannya, terbuka pada halaman terakhir. Di sana, ada secarik kertas kecil tersembunyi di sela plastik beningnya. Rey mengambilnya perlahan. Tulisan tangan itu begitu dikenalnya. "Jika suatu hari kamu lupa jalan pulang, ikuti suara hatimu. Aku menunggumu di sana." —Rani. Rey menahan napas. Dadanya sesak oleh sesuatu yang sulit dijelaskan—kerinduan yang belum pernah ia sadari, dan kesedihan yang tak tahu dari mana datangnya. Kini ia tahu: seseorang menunggunya. Dan ia harus menemukan jalan pulang. Apa pun risikonya. Langkah Rey mulai mantap. Malam tak lagi sekadar bayangan menakutkan, tapi menjadi pengingat bahwa ada harapan menunggu di balik gelap. Suara bisikan yang dulu menghantuinya kini terasa seperti petunjuk. Ia tak tahu di mana “rumah” sebenarnya, tapi kini ia yakin—ia belum benar-benar sendiri.Rey terpaku. Sosok itu berdiri hanya beberapa langkah darinya—wajah sama, sorot mata sama, bahkan bekas luka kecil di dagu pun sama persis. Hanya satu yang berbeda: tatapan mata sosok itu jauh lebih gelap, seperti menyimpan sesuatu yang tak pernah Rey akui.“Aku tahu apa yang kau cari,” katanya, suaranya datar namun menusuk. “Ibumu. Jawaban. Kebenaran tentang dirimu.”Rey menelan ludah. “Kalau kau memang… aku. Kenapa kau di sini? Apa kau bagian dari tempat ini?”Sosok itu tersenyum tipis. “Aku adalah kemungkinan yang seharusnya terjadi. Kemungkinan yang tidak pernah kau ingat.” Ia melangkah mendekat, dan Rey merasakan hawa dingin seperti disapu kabut hitam. “Aku adalah dirimu… yang gagal melarikan diri malam itu.”Rey mengerutkan dahi. “Malam itu?”“Ya,” jawabnya sambil menatap lurus ke mata Rey. “Malam ketika ibumu membuka Gerbang. Aku—versi dirimu—tidak sempat keluar. Aku tertangkap. Gerbang menelanku bersama ibumu.”Rey merasa darahnya berhenti mengalir. Dunia seperti memadat di se
Cahaya dari Gerbang Pertama perlahan memudar di belakangnya. Rey berdiri di tengah padang berkabut, dikelilingi reruntuhan bangunan yang seolah pernah menjadi desa. Dinding-dinding bata berlumut, pintu-pintu kayu tergantung setengah patah, dan di udara tercium aroma lembab bercampur logam—bau darah yang telah lama mengering.Langit di atasnya berwarna abu keunguan, tanpa bintang, tanpa bulan.Suara bisikan samar-samar terdengar di antara reruntuhan, seperti orang-orang yang berbicara pelan dari balik kabut.Rey menggenggam erat peta yang kini berubah lagi: lingkaran pertama di ujung atas sudah menyala, sementara enam lainnya bergetar samar, seperti menunggu giliran.“Gerbang berikutnya…” gumamnya. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sesuatu.Di tengah reruntuhan itu, ada rumah kecil dengan atap miring.Dan di depan rumah itu—terdapat sosok wanita, berdiri membelakanginya. Rambutnya panjang, hitam, berayun pelan tertiup angin. Tubuhnya tampak rapuh, tapi Rey merasakan sesuatu yang an
Kabut itu menelan segalanya.Suara Naya perlahan menghilang, berganti dengan desir angin yang dinginnya seperti datang dari dunia lain. Rey berusaha melangkah, tapi tanah di bawah kakinya terasa berat—seolah menolak setiap gerakan.“Lihatlah, Pewaris,” suara pria berjubah hitam menggema di sekelilingnya. “Inilah awal jalanmu.”Di depan Rey, celah di udara yang tadi terbuka mulai meluas. Cahaya biru pucat keluar dari dalamnya, membentuk lingkaran raksasa dengan simbol-simbol yang berputar perlahan. Rey menatap dalam diam, merasakan tubuhnya bergetar tanpa kendali.“Masuklah,” ucap pria itu datar. “Gerbang pertama menunggumu.”Rey menelan ludah. Ia menatap celah itu—di baliknya, tampak bayangan pepohonan hitam, kabut tebal, dan suara gemerisik yang tak bisa dijelaskan. Napasnya berat. Tapi tekadnya sudah bulat.“Aku siap.”Begitu langkah pertamanya menembus celah itu, dunia di sekelilingnya langsung berubah.Udara di dalam terasa lebih dingin, menusuk hingga ke tulang. Langitnya berwarn
Udara di pemakaman itu semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rey berdiri kaku di hadapan pria berjubah hitam, napasnya tak beraturan. Suara jangkrik malam seolah lenyap, digantikan keheningan yang menekan.“Pewaris?” Rey akhirnya bersuara, meski suaranya nyaris tak terdengar.Pria itu melangkah maju, tongkat kayu di tangannya memancarkan cahaya samar dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. “Ya. Kau, anak yang memegang peta itu. Tidak ada yang kebetulan. Darahmu sudah ditentukan sejak lama.”Rey meremas erat peta di genggamannya. “Apa maksudmu? Siapa kau?”Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tak membawa kehangatan apa pun. “Namaku tidak penting. Yang penting adalah peranmu. Kau akan membuka Gerbang itu. Dan hanya kau yang bisa.”Kata-kata itu membuat Rey merinding. “Gerbang…? Kau tahu di mana Mama-ku?”Tatapan pria itu berubah dingin. “Ibumu? Ya, aku tahu dia. Dialah yang mencoba menentang takdir. Ia melarikan diri dari tugasnya, berharap bisa hidup tenang bersama anakny
Udara malam menusuk kulit Rey ketika ia akhirnya berhasil keluar dari gudang tua itu. Nafasnya terengah, masih bisa merasakan detak jantung yang menghantam dadanya. Di tangannya, peta kuno yang tadi diselamatkannya dari sergapan makhluk-makhluk itu terasa berat—bukan karena bobot kertasnya, melainkan karena beban rahasia yang tersimpan di dalamnya.Rey menoleh sekali lagi ke arah gudang. Lampu neon yang sempat berkelip kini padam sepenuhnya, meninggalkan bangunan itu dalam kegelapan pekat. Sejenak ia ragu, apakah makhluk-makhluk menyeramkan itu masih mengintainya dari dalam, menunggu saat yang tepat untuk kembali muncul?Tanpa menunggu jawaban, Rey melangkah cepat menuju jalan kecil yang jarang dilalui orang. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa arti simbol-simbol ini? Apa hubungannya dengan Mama? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepalanya berdenyut, tapi ia tahu tak ada waktu untuk berdiam diri.Begitu tiba di sebuah halte tua, ia duduk dan membuka kembali peta itu. Kertasnya kasar,
Langkah-langkah itu terus mengitari gudang, lambat tapi tak henti, seperti predator yang tahu mangsanya tak bisa lari. Rey duduk di lantai tanah, memandangi Bibi yang menatap pintu dengan tatapan kosong namun tegang.“Apa maksudmu tadi… ibu masih hidup?” Rey akhirnya bertanya, suaranya nyaris berbisik.Bibi menghela napas panjang, lalu menunduk. “Rey… atau Aldi, nama yang seharusnya kau ingat… ibumu bukan hanya sekadar manusia biasa. Dia… seorang penjaga gerbang.”Rey mengernyit. “Penjaga… gerbang?”Bibi menatap matanya, serius. “Gerbang antara dunia kita dan dunia mereka. Sejak dulu, keluargamu punya tugas menjaga agar makhluk-makhluk itu tidak bisa bebas masuk ke dunia manusia. Tapi ada malam ketika segalanya berubah…”Rey mencoba mengingat, tapi yang muncul hanya potongan gambar kabur—suara jeritan, cahaya merah, dan tangan dingin yang menariknya.“Waktu kau masih kecil, mereka berhasil menembus gerbang itu. Ibumu berhasil menahan mereka, tapi sebagai gantinya… dia terperangkap di







