Malam merambat pelan, menelan cahaya satu per satu. Di sebuah kamar sederhana dengan dinding yang mulai mengelupas catnya, Rey duduk termenung di pinggir ranjang. Di tangannya, sebuah foto kusam tergenggam erat—foto yang ditemukan di dalam kotak kecil yang tersembunyi di balik rak buku tua di rumah kontrakan tempat ia tinggal sementara.
Wajah-wajah dalam foto itu tampak kabur, namun satu hal yang pasti: anak laki-laki dalam foto itu adalah dirinya. Dan dua sosok lain, seorang wanita dan pria dewasa, tampak tersenyum bahagia di sampingnya. Ada kehangatan yang terasa aneh saat ia menatap foto itu—seolah ada potongan kenangan yang mengintip, meminta dikenali. “Siapa kalian?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Rey memejamkan mata. Dalam gelap, bayangan itu datang kembali—sebuah taman bermain, suara tawa, dan suara lembut yang memanggil namanya. Tapi semuanya cepat menghilang, seperti kabut yang tersapu angin. Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk pelan. “Rey, kamu belum tidur?” suara Ibu Kos terdengar dari luar. Rey menegakkan badan. “Belum, Bu.” “Jangan terlalu larut ya, besok kamu kerja kan?” “Iya, Bu. Makasih.” Langkah kaki menjauh, dan suasana kembali hening. Rey menatap foto itu sekali lagi, lalu bangkit. Ia membuka laptop tuanya dan mulai mencari sesuatu—apa pun yang mungkin mengarah pada identitas keluarganya. Ia bahkan mencoba mengenali pakaian yang dikenakan dalam foto, latar belakangnya, apa saja. Ia menelusuri forum-forum orang hilang, mengunggah potongan gambar, dan mengetik kalimat pendek: > “Saya mencari keluarga saya. Ini foto saya kecil. Ada yang mengenali?” Ia tahu kemungkinannya kecil. Tapi untuk pertama kalinya, ada keberanian yang mendorongnya untuk mencoba. Malam itu, Rey tidak tidur. Ia sibuk menjelajahi dunia maya, menelusuri nama-nama, membaca artikel, dan membandingkan gambar-gambar lama. Pagi datang dengan lelah yang menggantung di pelupuk mata. Tapi ada satu pesan masuk di kotaknya. Isinya singkat: > “Saya pernah melihat anak di foto itu. Namanya bukan Rey. Tapi Aldi.” Jantung Rey berhenti sejenak. Aldi? Tangannya gemetar saat membalas pesan itu, berharap lebih banyak informasi. Tak lama, si pengirim membalas dengan satu tautan ke berita lama berjudul "Keluarga Aldi Rahmawan Hilang Setelah Kecelakaan Misterius Tahun 2010.” Rey membaca setiap baris dengan napas tertahan. Aldi, bocah tujuh tahun, dinyatakan hilang setelah mobil yang ditumpangi keluarganya ditemukan terguling di jurang. Dua jasad ditemukan—ayah dan ibunya. Tapi jasad sang anak tak pernah ditemukan. Foto bocah itu... mirip dengannya. “Apakah aku... Aldi?” Hatinya bergemuruh. Selama ini, ia hidup dengan identitas Rey—nama yang diberikan oleh panti asuhan saat ia ditemukan di pinggir sungai, tak sadarkan diri, tanpa satu pun identitas. Kini, ada pintu yang terbuka. Tapi di balik pintu itu, Rey tahu mungkin ada lebih dari sekadar jawaban—ada luka lama, ada misteri, bahkan mungkin bahaya. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa lebih dari sekadar nama kosong. Ia merasa... nyata. Aku menarik napas panjang, menatap langit yang mulai berubah warna. Awan-awan tipis menggantung seolah menunggu malam datang. Bayangan tentang rumah kembali menghantui pikiranku. Aroma masakan ibu, suara televisi yang tak pernah dimatikan, dan suara pintu yang selalu dibuka dengan keras oleh ayah. Semua itu mendadak terasa asing, seperti mimpi yang kabur. "Re," suara Naya memecah lamunanku. "Kalau suatu saat kamu pulang... dan mereka tidak menerimamu lagi, kamu akan bagaimana?" Aku menoleh. Matanya sendu, penuh kecemasan yang tak mampu ia ucapkan. "Aku tetap akan berdiri di depan pintu itu. Meski tak dibukakan, aku akan tunggu sampai mereka ingat... bahwa aku adalah bagian dari rumah itu." Naya menggenggam tanganku lebih erat. Aku tahu, sesulit apapun jalanku, selama masih ada orang yang percaya, aku tidak benar-benar sendirian. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan benar-benar menemukan jalan pulang.Udara di pemakaman itu semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rey berdiri kaku di hadapan pria berjubah hitam, napasnya tak beraturan. Suara jangkrik malam seolah lenyap, digantikan keheningan yang menekan.“Pewaris?” Rey akhirnya bersuara, meski suaranya nyaris tak terdengar.Pria itu melangkah maju, tongkat kayu di tangannya memancarkan cahaya samar dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. “Ya. Kau, anak yang memegang peta itu. Tidak ada yang kebetulan. Darahmu sudah ditentukan sejak lama.”Rey meremas erat peta di genggamannya. “Apa maksudmu? Siapa kau?”Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tak membawa kehangatan apa pun. “Namaku tidak penting. Yang penting adalah peranmu. Kau akan membuka Gerbang itu. Dan hanya kau yang bisa.”Kata-kata itu membuat Rey merinding. “Gerbang…? Kau tahu di mana Mama-ku?”Tatapan pria itu berubah dingin. “Ibumu? Ya, aku tahu dia. Dialah yang mencoba menentang takdir. Ia melarikan diri dari tugasnya, berharap bisa hidup tenang bersama anakny
Udara malam menusuk kulit Rey ketika ia akhirnya berhasil keluar dari gudang tua itu. Nafasnya terengah, masih bisa merasakan detak jantung yang menghantam dadanya. Di tangannya, peta kuno yang tadi diselamatkannya dari sergapan makhluk-makhluk itu terasa berat—bukan karena bobot kertasnya, melainkan karena beban rahasia yang tersimpan di dalamnya.Rey menoleh sekali lagi ke arah gudang. Lampu neon yang sempat berkelip kini padam sepenuhnya, meninggalkan bangunan itu dalam kegelapan pekat. Sejenak ia ragu, apakah makhluk-makhluk menyeramkan itu masih mengintainya dari dalam, menunggu saat yang tepat untuk kembali muncul?Tanpa menunggu jawaban, Rey melangkah cepat menuju jalan kecil yang jarang dilalui orang. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa arti simbol-simbol ini? Apa hubungannya dengan Mama? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepalanya berdenyut, tapi ia tahu tak ada waktu untuk berdiam diri.Begitu tiba di sebuah halte tua, ia duduk dan membuka kembali peta itu. Kertasnya kasar,
Langkah-langkah itu terus mengitari gudang, lambat tapi tak henti, seperti predator yang tahu mangsanya tak bisa lari. Rey duduk di lantai tanah, memandangi Bibi yang menatap pintu dengan tatapan kosong namun tegang.“Apa maksudmu tadi… ibu masih hidup?” Rey akhirnya bertanya, suaranya nyaris berbisik.Bibi menghela napas panjang, lalu menunduk. “Rey… atau Aldi, nama yang seharusnya kau ingat… ibumu bukan hanya sekadar manusia biasa. Dia… seorang penjaga gerbang.”Rey mengernyit. “Penjaga… gerbang?”Bibi menatap matanya, serius. “Gerbang antara dunia kita dan dunia mereka. Sejak dulu, keluargamu punya tugas menjaga agar makhluk-makhluk itu tidak bisa bebas masuk ke dunia manusia. Tapi ada malam ketika segalanya berubah…”Rey mencoba mengingat, tapi yang muncul hanya potongan gambar kabur—suara jeritan, cahaya merah, dan tangan dingin yang menariknya.“Waktu kau masih kecil, mereka berhasil menembus gerbang itu. Ibumu berhasil menahan mereka, tapi sebagai gantinya… dia terperangkap di
Langkah kaki itu terdengar semakin jelas, menembus suara hujan yang menghantam atap. Rey berdiri di ruang tamu, jantungnya berpacu, sementara Bibi menutup semua gorden dengan gerakan cepat.“Matikan semua lampu,” bisiknya tegas.Rey menuruti, satu demi satu cahaya padam, hingga rumah tenggelam dalam kegelapan. Hanya suara hujan dan detak jantungnya sendiri yang terdengar.Tok… tok… tok…Tiga ketukan pelan di pintu depan. Terlalu pelan untuk tamu biasa, terlalu tenang untuk pencuri.“Jangan buka,” kata Bibi. “Apa pun yang terjadi, jangan buka pintu.”Ketukan itu berhenti, digantikan suara gesekan di jendela, seperti kuku yang menyeret kaca. Rey mundur, matanya terpaku pada bayangan di luar. Bentuknya tinggi, tubuhnya kurus, dan kepalanya sedikit miring.“Bibi…” suara Rey bergetar. “Apa itu manusia?”Bibi tak menjawab, hanya meraih rosario kayu di meja dan menggenggamnya erat.Lalu, suara itu datang lagi—bisikan serak dari luar jendela."Aldi… bukalah. Kami ingin bicara."Rey membeku. N
Malam kembali turun, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rey berbaring di ranjang kayu kamar belakang, menatap langit-langit gelap yang dipenuhi bayangan. Hujan sudah reda, tapi suara tetesan air dari atap terdengar seperti jarum jam yang menghitung waktu menuju sesuatu yang mengerikan.Ia mencoba memejamkan mata, namun pikirannya penuh pertanyaan. Siapa orang-orang yang mengejarnya? Mengapa keluarganya harus menghilang? Dan kenapa Bibi bersikeras menutupi semua itu?Tepat saat ia mulai terlelap, suara itu datang. Sebuah bisikan pelan, memanggil namanya."Rey..."Suara itu bukan milik Bibi. Bukan juga suara Naya. Nada suaranya datar, seperti datang dari ruang kosong. Rey langsung duduk tegak."Siapa?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.Tak ada jawaban, hanya bunyi langkah kaki pelan di lorong.Rey membuka pintu kamar. Lorong itu gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu minyak di ujung. Lantai kayu berderit di bawah kakinya. Bisikan itu terdengar lagi, kali i
Hujan turun deras malam itu, membasahi seluruh kota hingga aroma tanah basah menembus setiap sudut jalan. Rey berdiri di depan sebuah rumah tua bercat putih yang sudah memudar. Jantungnya berdebar hebat, bukan karena udara dingin, tapi karena ia tahu—di balik pintu ini mungkin ada jawaban.Rumah itu persis seperti yang ia lihat dalam mimpi-mimpinya. Jendela di lantai dua retak di sudutnya, pagar kayu berderit saat disentuh, dan di teras ada pot bunga tanah liat yang miring. Semua terasa akrab, tapi juga asing.Ia mengetuk pintu tiga kali. Suaranya menggema di bawah rintik hujan.Tak ada jawaban.Rey mencoba lagi, kali ini lebih keras. Langkah kaki terdengar dari dalam, lalu suara kunci diputar. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang wanita tua berwajah lelah. Matanya sayu, tapi penuh kewaspadaan."Ya?" tanyanya singkat.Rey menelan ludah. "Bu... apakah ini rumah keluarga Rahmawan?"Wanita itu terdiam beberapa detik. "Siapa kamu?""Saya..." Rey ragu, kata-kata tersangkut di ten