Home / Horor / Lupa Cara Pulang / Potongan Potongan Kenangan

Share

Potongan Potongan Kenangan

Author: Aji
last update Last Updated: 2025-08-10 16:43:43

Malam merambat pelan, menelan cahaya satu per satu. Di sebuah kamar sederhana dengan dinding yang mulai mengelupas catnya, Rey duduk termenung di pinggir ranjang. Di tangannya, sebuah foto kusam tergenggam erat—foto yang ditemukan di dalam kotak kecil yang tersembunyi di balik rak buku tua di rumah kontrakan tempat ia tinggal sementara.

Wajah-wajah dalam foto itu tampak kabur, namun satu hal yang pasti: anak laki-laki dalam foto itu adalah dirinya. Dan dua sosok lain, seorang wanita dan pria dewasa, tampak tersenyum bahagia di sampingnya. Ada kehangatan yang terasa aneh saat ia menatap foto itu—seolah ada potongan kenangan yang mengintip, meminta dikenali.

“Siapa kalian?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

Rey memejamkan mata. Dalam gelap, bayangan itu datang kembali—sebuah taman bermain, suara tawa, dan suara lembut yang memanggil namanya. Tapi semuanya cepat menghilang, seperti kabut yang tersapu angin.

Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk pelan.

“Rey, kamu belum tidur?” suara Ibu Kos terdengar dari luar.

Rey menegakkan badan. “Belum, Bu.”

“Jangan terlalu larut ya, besok kamu kerja kan?”

“Iya, Bu. Makasih.”

Langkah kaki menjauh, dan suasana kembali hening.

Rey menatap foto itu sekali lagi, lalu bangkit. Ia membuka laptop tuanya dan mulai mencari sesuatu—apa pun yang mungkin mengarah pada identitas keluarganya. Ia bahkan mencoba mengenali pakaian yang dikenakan dalam foto, latar belakangnya, apa saja. Ia menelusuri forum-forum orang hilang, mengunggah potongan gambar, dan mengetik kalimat pendek:

> “Saya mencari keluarga saya. Ini foto saya kecil. Ada yang mengenali?”

Ia tahu kemungkinannya kecil. Tapi untuk pertama kalinya, ada keberanian yang mendorongnya untuk mencoba. Malam itu, Rey tidak tidur. Ia sibuk menjelajahi dunia maya, menelusuri nama-nama, membaca artikel, dan membandingkan gambar-gambar lama.

Pagi datang dengan lelah yang menggantung di pelupuk mata. Tapi ada satu pesan masuk di kotaknya. Isinya singkat:

> “Saya pernah melihat anak di foto itu. Namanya bukan Rey. Tapi Aldi.”

Jantung Rey berhenti sejenak. Aldi?

Tangannya gemetar saat membalas pesan itu, berharap lebih banyak informasi. Tak lama, si pengirim membalas dengan satu tautan ke berita lama berjudul "Keluarga Aldi Rahmawan Hilang Setelah Kecelakaan Misterius Tahun 2010.”

Rey membaca setiap baris dengan napas tertahan. Aldi, bocah tujuh tahun, dinyatakan hilang setelah mobil yang ditumpangi keluarganya ditemukan terguling di jurang. Dua jasad ditemukan—ayah dan ibunya. Tapi jasad sang anak tak pernah ditemukan.

Foto bocah itu... mirip dengannya.

“Apakah aku... Aldi?”

Hatinya bergemuruh. Selama ini, ia hidup dengan identitas Rey—nama yang diberikan oleh panti asuhan saat ia ditemukan di pinggir sungai, tak sadarkan diri, tanpa satu pun identitas.

Kini, ada pintu yang terbuka.

Tapi di balik pintu itu, Rey tahu mungkin ada lebih dari sekadar jawaban—ada luka lama, ada misteri, bahkan mungkin bahaya. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa lebih dari sekadar nama kosong.

Ia merasa... nyata.

Aku menarik napas panjang, menatap langit yang mulai berubah warna. Awan-awan tipis menggantung seolah menunggu malam datang. Bayangan tentang rumah kembali menghantui pikiranku. Aroma masakan ibu, suara televisi yang tak pernah dimatikan, dan suara pintu yang selalu dibuka dengan keras oleh ayah. Semua itu mendadak terasa asing, seperti mimpi yang kabur.

"Re," suara Naya memecah lamunanku. "Kalau suatu saat kamu pulang... dan mereka tidak menerimamu lagi, kamu akan bagaimana?"

Aku menoleh. Matanya sendu, penuh kecemasan yang tak mampu ia ucapkan.

"Aku tetap akan berdiri di depan pintu itu. Meski tak dibukakan, aku akan tunggu sampai mereka ingat... bahwa aku adalah bagian dari rumah itu."

Naya menggenggam tanganku lebih erat. Aku tahu, sesulit apapun jalanku, selama masih ada orang yang percaya, aku tidak benar-benar sendirian. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan benar-benar menemukan jalan pulang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lupa Cara Pulang    Diriku Yang Tidak Pernah Selamat

    Rey terpaku. Sosok itu berdiri hanya beberapa langkah darinya—wajah sama, sorot mata sama, bahkan bekas luka kecil di dagu pun sama persis. Hanya satu yang berbeda: tatapan mata sosok itu jauh lebih gelap, seperti menyimpan sesuatu yang tak pernah Rey akui.“Aku tahu apa yang kau cari,” katanya, suaranya datar namun menusuk. “Ibumu. Jawaban. Kebenaran tentang dirimu.”Rey menelan ludah. “Kalau kau memang… aku. Kenapa kau di sini? Apa kau bagian dari tempat ini?”Sosok itu tersenyum tipis. “Aku adalah kemungkinan yang seharusnya terjadi. Kemungkinan yang tidak pernah kau ingat.” Ia melangkah mendekat, dan Rey merasakan hawa dingin seperti disapu kabut hitam. “Aku adalah dirimu… yang gagal melarikan diri malam itu.”Rey mengerutkan dahi. “Malam itu?”“Ya,” jawabnya sambil menatap lurus ke mata Rey. “Malam ketika ibumu membuka Gerbang. Aku—versi dirimu—tidak sempat keluar. Aku tertangkap. Gerbang menelanku bersama ibumu.”Rey merasa darahnya berhenti mengalir. Dunia seperti memadat di se

  • Lupa Cara Pulang    Wajah Yang Tak Seharusnya Kembali

    Cahaya dari Gerbang Pertama perlahan memudar di belakangnya. Rey berdiri di tengah padang berkabut, dikelilingi reruntuhan bangunan yang seolah pernah menjadi desa. Dinding-dinding bata berlumut, pintu-pintu kayu tergantung setengah patah, dan di udara tercium aroma lembab bercampur logam—bau darah yang telah lama mengering.Langit di atasnya berwarna abu keunguan, tanpa bintang, tanpa bulan.Suara bisikan samar-samar terdengar di antara reruntuhan, seperti orang-orang yang berbicara pelan dari balik kabut.Rey menggenggam erat peta yang kini berubah lagi: lingkaran pertama di ujung atas sudah menyala, sementara enam lainnya bergetar samar, seperti menunggu giliran.“Gerbang berikutnya…” gumamnya. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sesuatu.Di tengah reruntuhan itu, ada rumah kecil dengan atap miring.Dan di depan rumah itu—terdapat sosok wanita, berdiri membelakanginya. Rambutnya panjang, hitam, berayun pelan tertiup angin. Tubuhnya tampak rapuh, tapi Rey merasakan sesuatu yang an

  • Lupa Cara Pulang    Gerbang Pertama

    Kabut itu menelan segalanya.Suara Naya perlahan menghilang, berganti dengan desir angin yang dinginnya seperti datang dari dunia lain. Rey berusaha melangkah, tapi tanah di bawah kakinya terasa berat—seolah menolak setiap gerakan.“Lihatlah, Pewaris,” suara pria berjubah hitam menggema di sekelilingnya. “Inilah awal jalanmu.”Di depan Rey, celah di udara yang tadi terbuka mulai meluas. Cahaya biru pucat keluar dari dalamnya, membentuk lingkaran raksasa dengan simbol-simbol yang berputar perlahan. Rey menatap dalam diam, merasakan tubuhnya bergetar tanpa kendali.“Masuklah,” ucap pria itu datar. “Gerbang pertama menunggumu.”Rey menelan ludah. Ia menatap celah itu—di baliknya, tampak bayangan pepohonan hitam, kabut tebal, dan suara gemerisik yang tak bisa dijelaskan. Napasnya berat. Tapi tekadnya sudah bulat.“Aku siap.”Begitu langkah pertamanya menembus celah itu, dunia di sekelilingnya langsung berubah.Udara di dalam terasa lebih dingin, menusuk hingga ke tulang. Langitnya berwarn

  • Lupa Cara Pulang    Pewaris Gerbang

    Udara di pemakaman itu semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rey berdiri kaku di hadapan pria berjubah hitam, napasnya tak beraturan. Suara jangkrik malam seolah lenyap, digantikan keheningan yang menekan.“Pewaris?” Rey akhirnya bersuara, meski suaranya nyaris tak terdengar.Pria itu melangkah maju, tongkat kayu di tangannya memancarkan cahaya samar dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. “Ya. Kau, anak yang memegang peta itu. Tidak ada yang kebetulan. Darahmu sudah ditentukan sejak lama.”Rey meremas erat peta di genggamannya. “Apa maksudmu? Siapa kau?”Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tak membawa kehangatan apa pun. “Namaku tidak penting. Yang penting adalah peranmu. Kau akan membuka Gerbang itu. Dan hanya kau yang bisa.”Kata-kata itu membuat Rey merinding. “Gerbang…? Kau tahu di mana Mama-ku?”Tatapan pria itu berubah dingin. “Ibumu? Ya, aku tahu dia. Dialah yang mencoba menentang takdir. Ia melarikan diri dari tugasnya, berharap bisa hidup tenang bersama anakny

  • Lupa Cara Pulang    Bayangan Yang Mengintai

    Udara malam menusuk kulit Rey ketika ia akhirnya berhasil keluar dari gudang tua itu. Nafasnya terengah, masih bisa merasakan detak jantung yang menghantam dadanya. Di tangannya, peta kuno yang tadi diselamatkannya dari sergapan makhluk-makhluk itu terasa berat—bukan karena bobot kertasnya, melainkan karena beban rahasia yang tersimpan di dalamnya.Rey menoleh sekali lagi ke arah gudang. Lampu neon yang sempat berkelip kini padam sepenuhnya, meninggalkan bangunan itu dalam kegelapan pekat. Sejenak ia ragu, apakah makhluk-makhluk menyeramkan itu masih mengintainya dari dalam, menunggu saat yang tepat untuk kembali muncul?Tanpa menunggu jawaban, Rey melangkah cepat menuju jalan kecil yang jarang dilalui orang. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa arti simbol-simbol ini? Apa hubungannya dengan Mama? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepalanya berdenyut, tapi ia tahu tak ada waktu untuk berdiam diri.Begitu tiba di sebuah halte tua, ia duduk dan membuka kembali peta itu. Kertasnya kasar,

  • Lupa Cara Pulang    Rahasia Ibu

    Langkah-langkah itu terus mengitari gudang, lambat tapi tak henti, seperti predator yang tahu mangsanya tak bisa lari. Rey duduk di lantai tanah, memandangi Bibi yang menatap pintu dengan tatapan kosong namun tegang.“Apa maksudmu tadi… ibu masih hidup?” Rey akhirnya bertanya, suaranya nyaris berbisik.Bibi menghela napas panjang, lalu menunduk. “Rey… atau Aldi, nama yang seharusnya kau ingat… ibumu bukan hanya sekadar manusia biasa. Dia… seorang penjaga gerbang.”Rey mengernyit. “Penjaga… gerbang?”Bibi menatap matanya, serius. “Gerbang antara dunia kita dan dunia mereka. Sejak dulu, keluargamu punya tugas menjaga agar makhluk-makhluk itu tidak bisa bebas masuk ke dunia manusia. Tapi ada malam ketika segalanya berubah…”Rey mencoba mengingat, tapi yang muncul hanya potongan gambar kabur—suara jeritan, cahaya merah, dan tangan dingin yang menariknya.“Waktu kau masih kecil, mereka berhasil menembus gerbang itu. Ibumu berhasil menahan mereka, tapi sebagai gantinya… dia terperangkap di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status