Home / Horor / Lupa Cara Pulang / Jalan Yang Salah

Share

Jalan Yang Salah

Author: Aji
last update Last Updated: 2025-08-10 16:42:29

Cahaya putih itu menyilaukan. Rey menutup matanya sesaat, lalu membukanya perlahan.

Ia berdiri di sebuah jalan beraspal sempit, dikelilingi oleh pohon-pohon pinus tinggi yang menjulang ke langit. Udara di sekitarnya sejuk, dengan aroma tanah basah dan daun yang tertiup angin. Tidak ada suara langkah, tidak ada bisikan. Hanya ketenangan.

Tapi ketenangan itu justru menimbulkan ketegangan lain.

"Apa aku... sudah keluar?" gumamnya, melangkah pelan.

Ia menyusuri jalan itu, berusaha mengenali sesuatu. Tidak ada bangunan. Tidak ada kendaraan. Hanya jalan lurus yang seolah tak berujung. Rey menoleh ke belakang, berharap bisa melihat rumah tua tadi, tapi jalan di belakangnya sudah berubah—seperti tak pernah ada apa pun di sana.

Ia berjalan terus.

Lima belas menit.

Tiga puluh menit.

Lalu, dari kejauhan, ia melihat sebuah papan kecil di tepi jalan. Rey mempercepat langkah, matanya menyipit membaca tulisan yang tertempel di kayu tua itu.

"Desa Siluman — Jangan Masuk Jika Tidak Diundang"

Alis Rey berkerut. “Apa maksudnya? Desa Siluman?”

Ia memandang ke depan. Jalan itu mulai bercabang, satu ke arah lembah kecil yang berkabut, satu lagi ke arah bukit dengan bangunan beratap jerami di kejauhan. Rey menimbang-nimbang, mencoba mengingat sesuatu dari nama desa itu. Tapi tidak ada yang muncul. Hanya rasa tidak enak di perutnya.

Akhirnya, ia memilih jalan ke bukit.

Semakin ia berjalan, suasana makin aneh. Pepohonan di sisi jalan terlihat seperti melengkung, seakan memperhatikannya. Udara menjadi dingin, dan angin mulai membawa suara yang sangat pelan, seperti suara orang berbisik jauh di kejauhan.

“Reyandra…”

Ia menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa.

“Reyandra Mahesa…”

Kali ini suara itu terdengar lebih dekat. Rey menelan ludah. Ia mempercepat langkah, melewati pagar bambu yang hampir roboh, menuju bangunan beratap jerami di atas bukit.

Bangunan itu tampak seperti lumbung atau gudang. Rey mendorong pintunya yang berat dan berderit keras saat terbuka. Dalamnya gelap, tapi ada cahaya kecil dari jendela berlubang.

Ia masuk perlahan.

Di dalam, ada meja kayu panjang dengan kursi-kursi kosong mengelilinginya. Di tengah meja, terdapat sesuatu yang dibungkus kain putih. Rey mendekat, menyingkapkan kain itu… dan mundur kaget.

Sebuah foto lama.

Itu fotonya. Rey. Tapi berbeda. Rambutnya lebih panjang. Matanya lebih kosong. Di bawah foto, tertulis:

"Reyandra Mahesa — Kembali tapi tak benar-benar pulang"

Jantung Rey berdebar keras. “Apa maksudnya ini?”

Tiba-tiba, pintu di belakangnya tertutup dengan keras. Ia berbalik, tapi tak sempat melangkah karena sosok-sosok muncul dari bayangan.

Tiga orang, mengenakan topeng kayu aneh, berdiri di pojok ruangan. Tubuh mereka tinggi, kurus, dan bergerak tanpa suara.

Salah satunya mengangkat tangan, menunjuk ke Rey.

“Namamu tidak cukup untuk pulang,” katanya dengan suara serak. “Kau harus ingat... siapa yang menunggumu.”

“Apa… maksudmu?”

“Kalau tak ada yang menunggu, kau hanya berputar-putar dalam ingatanmu sendiri.”

Tiba-tiba, ingatan lain menampar kepalanya seperti kilatan petir.

Seorang perempuan. Di bangku taman. Rambut panjang. Senyuman hangat. Ia memanggil Rey dengan lembut. “Jangan lama-lama, ya. Aku tunggu di tempat biasa.”

Rey memegang kepalanya yang berdenyut. “Siapa dia? Siapa kamu…?”

Sosok bertopeng mendekat. “Jika kau tidak mengingatnya, kau akan tersesat di jalan yang salah. Nama bukan satu-satunya kunci. Kenangan adalah peta."

“Kenangan?”

“Dia adalah jalan pulangmu yang sebenarnya.”

Tiba-tiba, dinding bangunan itu retak. Cahaya merah menyembur dari celahnya. Tanah bergetar. Suara tangisan dan jeritan menggema dari balik papan-papan tua.

Sosok-sosok bertopeng itu mundur, lalu menghilang satu per satu.

Rey berdiri di tengah ruangan yang mulai runtuh. Ia harus memilih—tetap mencari tahu siapa perempuan itu, atau kembali ke jalan sebelumnya, kembali ke rumah.

Tapi dalam hatinya, suara perempuan itu bergema lagi.

“Jangan lama-lama, ya…”

Dan ia tahu.

Jika ingin benar-benar pulang, ia harus mengingat cinta yang ia lupakan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lupa Cara Pulang    Diriku Yang Tidak Pernah Selamat

    Rey terpaku. Sosok itu berdiri hanya beberapa langkah darinya—wajah sama, sorot mata sama, bahkan bekas luka kecil di dagu pun sama persis. Hanya satu yang berbeda: tatapan mata sosok itu jauh lebih gelap, seperti menyimpan sesuatu yang tak pernah Rey akui.“Aku tahu apa yang kau cari,” katanya, suaranya datar namun menusuk. “Ibumu. Jawaban. Kebenaran tentang dirimu.”Rey menelan ludah. “Kalau kau memang… aku. Kenapa kau di sini? Apa kau bagian dari tempat ini?”Sosok itu tersenyum tipis. “Aku adalah kemungkinan yang seharusnya terjadi. Kemungkinan yang tidak pernah kau ingat.” Ia melangkah mendekat, dan Rey merasakan hawa dingin seperti disapu kabut hitam. “Aku adalah dirimu… yang gagal melarikan diri malam itu.”Rey mengerutkan dahi. “Malam itu?”“Ya,” jawabnya sambil menatap lurus ke mata Rey. “Malam ketika ibumu membuka Gerbang. Aku—versi dirimu—tidak sempat keluar. Aku tertangkap. Gerbang menelanku bersama ibumu.”Rey merasa darahnya berhenti mengalir. Dunia seperti memadat di se

  • Lupa Cara Pulang    Wajah Yang Tak Seharusnya Kembali

    Cahaya dari Gerbang Pertama perlahan memudar di belakangnya. Rey berdiri di tengah padang berkabut, dikelilingi reruntuhan bangunan yang seolah pernah menjadi desa. Dinding-dinding bata berlumut, pintu-pintu kayu tergantung setengah patah, dan di udara tercium aroma lembab bercampur logam—bau darah yang telah lama mengering.Langit di atasnya berwarna abu keunguan, tanpa bintang, tanpa bulan.Suara bisikan samar-samar terdengar di antara reruntuhan, seperti orang-orang yang berbicara pelan dari balik kabut.Rey menggenggam erat peta yang kini berubah lagi: lingkaran pertama di ujung atas sudah menyala, sementara enam lainnya bergetar samar, seperti menunggu giliran.“Gerbang berikutnya…” gumamnya. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sesuatu.Di tengah reruntuhan itu, ada rumah kecil dengan atap miring.Dan di depan rumah itu—terdapat sosok wanita, berdiri membelakanginya. Rambutnya panjang, hitam, berayun pelan tertiup angin. Tubuhnya tampak rapuh, tapi Rey merasakan sesuatu yang an

  • Lupa Cara Pulang    Gerbang Pertama

    Kabut itu menelan segalanya.Suara Naya perlahan menghilang, berganti dengan desir angin yang dinginnya seperti datang dari dunia lain. Rey berusaha melangkah, tapi tanah di bawah kakinya terasa berat—seolah menolak setiap gerakan.“Lihatlah, Pewaris,” suara pria berjubah hitam menggema di sekelilingnya. “Inilah awal jalanmu.”Di depan Rey, celah di udara yang tadi terbuka mulai meluas. Cahaya biru pucat keluar dari dalamnya, membentuk lingkaran raksasa dengan simbol-simbol yang berputar perlahan. Rey menatap dalam diam, merasakan tubuhnya bergetar tanpa kendali.“Masuklah,” ucap pria itu datar. “Gerbang pertama menunggumu.”Rey menelan ludah. Ia menatap celah itu—di baliknya, tampak bayangan pepohonan hitam, kabut tebal, dan suara gemerisik yang tak bisa dijelaskan. Napasnya berat. Tapi tekadnya sudah bulat.“Aku siap.”Begitu langkah pertamanya menembus celah itu, dunia di sekelilingnya langsung berubah.Udara di dalam terasa lebih dingin, menusuk hingga ke tulang. Langitnya berwarn

  • Lupa Cara Pulang    Pewaris Gerbang

    Udara di pemakaman itu semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Rey berdiri kaku di hadapan pria berjubah hitam, napasnya tak beraturan. Suara jangkrik malam seolah lenyap, digantikan keheningan yang menekan.“Pewaris?” Rey akhirnya bersuara, meski suaranya nyaris tak terdengar.Pria itu melangkah maju, tongkat kayu di tangannya memancarkan cahaya samar dari simbol-simbol yang terukir di permukaannya. “Ya. Kau, anak yang memegang peta itu. Tidak ada yang kebetulan. Darahmu sudah ditentukan sejak lama.”Rey meremas erat peta di genggamannya. “Apa maksudmu? Siapa kau?”Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tak membawa kehangatan apa pun. “Namaku tidak penting. Yang penting adalah peranmu. Kau akan membuka Gerbang itu. Dan hanya kau yang bisa.”Kata-kata itu membuat Rey merinding. “Gerbang…? Kau tahu di mana Mama-ku?”Tatapan pria itu berubah dingin. “Ibumu? Ya, aku tahu dia. Dialah yang mencoba menentang takdir. Ia melarikan diri dari tugasnya, berharap bisa hidup tenang bersama anakny

  • Lupa Cara Pulang    Bayangan Yang Mengintai

    Udara malam menusuk kulit Rey ketika ia akhirnya berhasil keluar dari gudang tua itu. Nafasnya terengah, masih bisa merasakan detak jantung yang menghantam dadanya. Di tangannya, peta kuno yang tadi diselamatkannya dari sergapan makhluk-makhluk itu terasa berat—bukan karena bobot kertasnya, melainkan karena beban rahasia yang tersimpan di dalamnya.Rey menoleh sekali lagi ke arah gudang. Lampu neon yang sempat berkelip kini padam sepenuhnya, meninggalkan bangunan itu dalam kegelapan pekat. Sejenak ia ragu, apakah makhluk-makhluk menyeramkan itu masih mengintainya dari dalam, menunggu saat yang tepat untuk kembali muncul?Tanpa menunggu jawaban, Rey melangkah cepat menuju jalan kecil yang jarang dilalui orang. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa arti simbol-simbol ini? Apa hubungannya dengan Mama? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepalanya berdenyut, tapi ia tahu tak ada waktu untuk berdiam diri.Begitu tiba di sebuah halte tua, ia duduk dan membuka kembali peta itu. Kertasnya kasar,

  • Lupa Cara Pulang    Rahasia Ibu

    Langkah-langkah itu terus mengitari gudang, lambat tapi tak henti, seperti predator yang tahu mangsanya tak bisa lari. Rey duduk di lantai tanah, memandangi Bibi yang menatap pintu dengan tatapan kosong namun tegang.“Apa maksudmu tadi… ibu masih hidup?” Rey akhirnya bertanya, suaranya nyaris berbisik.Bibi menghela napas panjang, lalu menunduk. “Rey… atau Aldi, nama yang seharusnya kau ingat… ibumu bukan hanya sekadar manusia biasa. Dia… seorang penjaga gerbang.”Rey mengernyit. “Penjaga… gerbang?”Bibi menatap matanya, serius. “Gerbang antara dunia kita dan dunia mereka. Sejak dulu, keluargamu punya tugas menjaga agar makhluk-makhluk itu tidak bisa bebas masuk ke dunia manusia. Tapi ada malam ketika segalanya berubah…”Rey mencoba mengingat, tapi yang muncul hanya potongan gambar kabur—suara jeritan, cahaya merah, dan tangan dingin yang menariknya.“Waktu kau masih kecil, mereka berhasil menembus gerbang itu. Ibumu berhasil menahan mereka, tapi sebagai gantinya… dia terperangkap di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status