Share

BAB 7. PERMOHONAN MAAF

"Mas, kamu dimana?"

Isi pesanku pada Mas Pandu, yang sudah dua hari ini tidak pulang. Pesanku pun hanya centang satu. Ini pertama kalinya Mas Pandu tidak pulang, biasanya jika kami bertengkar, dia tetap kembali ke rumah. 

Seperti biasa aku akan mengalah, meminta maaf dan suasana romantis kembali tercipta antara aku dan Mas Pandu. Tapi, tidak kali ini.

Aku pun mondar mandir dengan gelisah.

"Kamu gak boleh gegabah, Lisa. Tenang dan berpikir jernih, kalo gak kamu bisa kehilangan segalanya," kataku berbicara pada diri sendiri. 

Aku melirik ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi tanda-tanda kepulangan Mas Pandu, belum juga terlihat. Kotak pesanku pun masih centang satu.

"Apa Mas Pandu pulang ke rumah orang tuanya ya? atau.. jangan-jangan dia ke rumah selingkuhnya itu?" batinku kembali berdialog. 

"Gak.. gak!" 

Aku pun menggeleng menepis semua praduga yang melintas di kepala.

Akhirnya, kubulatkan tekad untuk menelpon ibu mertua.

"Maaf, Ma, kalo Lisa ganggu waktu istirahatnya," ucapku dengan perasaan serba salah, saat teleponku sudah terhubung dengan ibunya.

"Apa Mas Pandu ada di sana?"

"Aduh Lisaaa, kamu kan istrinya, harusnya kamu tau dong di mana suami kamu, makanya jadi istri itu gak usah sok-sokan cari pembenaran, pake tes-tes laboratorium segala. Kabur kan jadinya Pandu? Suami mana juga yang gak tersinggung, istrinya bawa hasil tes laboratorium langsung ke orang tuanya, pake di bilang mandul pula," sindir mertuaku, sinis sekali.

Rasanya aku ingin sekali membanting telpon itu. Kata-kata ibu yang singgah di telinga, begitu menyakitkan hati. Ia seperti menari-nari di atas kesedihanku. Memojokkanku menjadi hal paling ia senangi. Aku menggigit bibir, menahan getaran yang terjadi dalam diri. Lalu, menarik napas panjang dan mengatur nada suara agar terdengar tenang dan sabar.

"Ma, Lisa kan ngejalanin program hamil ini juga atas dasar keinginan Mama, bukannya Mama yang ngedesak Lisa buat cepet-cepet ngasih keturunan?"

"Kok kamu malah jadi nyalahin saya?" balas ibu berang.

"Lisa gak pernah nyalahin siapapun Ma. Lisa cuman berusaha ngewujutin keinginan mama, siapa yang bakal nyangka kalo ternyata hasil tes laboratorium, justru nunjukin kondisi kesehatan reproduksi Mas Pandu yang terganggu."

"Halaaah, itu pasti akal-akalan kamu aja kan?" sergah ibu. Nada suaranya terdengar sangat tidak senang.

"Toh buktinya Panduuu.." kata-kata ibu mertuaku tiba-tiba terputus.

"Buktinya Mas Pandu kenapa, Ma?" kejarku tak mau kalah.

Sekian detik kami terdiam.

"Buktinya Mas Pandu, kenapa Ma?" desakku lagi.

"Buktinya Pandu sehat-sehat aja tuh, gak ada keluhan apa-apa," ucap ibu mertua memberi pembelaan.

"Ingat Lisa, Pandu itu pewaris tunggal keluarga Atmaja, kami butuh penerus. Pandu gak bisa terus hidup, sama wanita yang gak juga ngasih dia keturunan. Jadi, saya tetap akan memilihkan wanita yang bisa memberinya keturunan."

"Ma, itu gak adil. Mama kan sudah liat sendiri, hasil tes laboratoriumnya."

"Saya sangat yakin kalo hasil tes itu salah, cuma rekayasa kamu aja," ucap ibu enteng.

"Gimana kalo kita lakuin tes laboratorium sekali lagi, Ma?"

"Gak perlu, dengan menikahkan Pandu sama wanita lain, itu sudah jadi bukti kongkret, yang bisa saya terima dibandingkan hanya coretan di atas kertas, ngerti kamu, Lisa!"

"Tapi, Ma..."

"Kamu itu keras kepala banget sih. Toh, saya kan gak nyuruh Pandu buat ceraikan kamu. Harusnya kamu bersyukur akan hal itu."

Mendengar penuturan ibu membuat tubuhku lemas. Tulang-tulangku rasanya tak mampu berdiri tegak, menahan bobot tubuh, hingga membuat aku jatuh terduduk di lantai. Ibu sepertinya tidak peduli dengan hasil tes laboratorium itu. Aku yakin, hal itu karena pengakuan Mas Pandu yang berhasil membuat sekretarisnya hamil.

"Cukup Lisa! Saya lelah berdebat sama kamu. Saya mau istirahat."

***

Aku sontak terbangun, ketika mendengar suara derit pintu kamar di buka.

"Mas Pandu?" pekikku kaget. 

Mas Pandu melihat ke arahku, tapi dia tidak berkata apa-apa. Dia melemparkan jas hitam yang dikenakannya ke pinggir tempat tidur. Kemudian, masuk ke dalam kamar mandi.

Aku menarik tubuhku, yang masih terasa lelah ke posisi duduk. Entah pukul berapa aku benar-benar terlelap semalam, pikiranku terlalu sibuk mencerna kata-kata ibu, yang terus saja mengusik dan berputar di kepala. 

Aaaargh!

Rasanya batinku tak rela jika Mas Pandu memiliki wanita lain, sekalipun secara syariat agama, hal itu dihalalkan. Terlebih, wanita itu telah dia tiduri sebelum janur kuning melengkung. Sebelum lisannya basah dengan ijab kabul, hingga bersemayam seorang janin di dalam rahim wanitanya.

Aku menghela napas dalam-dalam, Mengisi paru-paru dengan udara segar, sebelum menghadapi kepengapan masalah yang siap menyergap, saat berbicara dengannya.

"Mas Pandu," panggilku lembut sesaat setelah dia keluar dari kamar mandi. 

Tak ada jawaban. Mas Pandu tetap membeku, sikapnya begitu dingin. Dia mengenakan pakaiannya tanpa kata.

Aku telah bertekad untuk mendekati Mas Pandu dengan cara halus, tanpa perdebatan yang membuat situasi kembali memanas. Aku bertekad memenangkan kembali hatinya.

Lalu, aku berjalan mendekatinya, memeluk tubuhnya yang hangat dari belakang. 

"Lepas!" perintahnya sambil melepaskan pegangan tanganku, yang melingkar di perutnya.

"Mas," protesku kecewa, "Mau sampai kapan kita kayak gini?" tanyaku merendah.

Pandu berbalik dan menatapku tajam.

"Sampai kamu sadar, kalo seorang istri itu, harus bisa menjunjung tinggi hargai diri suaminya."

"Aku minta maaf. Aku nyesel, Mas. Maafin aku."

"Kamu pikir maaf aja cukup? Bisa ngerubah semuanya?" ucap Pandu geram.

"Kamu tau, betapa malunya aku, pas mama ngasihin lembaran tes laboratorium, yang nunjukin kalo penyebab kamu gak juga hamil adalah aku. Kenapa kamu gak ngomong langsung sama aku? padahal kan kamu tau, mama pengen banget punya cucu dari aku. Eeeh, kamu dengan seenaknya, nunjukin hasil tes itu ke mama?"

"Iya, Mas, maaf aku salah. Tolong maafin aku," ucapku dengan wajah tertunduk, penuh penyesalan.

"Kamu buat Mas, bener-benar kecewa."

"Terus, apa yang harus aku lakuin, biar mas bisa maafin aku?"

"Aku gak yakin kamu sanggup ngelakuinnya?"

"Apa itu, Mas? Kalo sekiranya hal itu bisa aku lakuin, aku akan lakuin demi dapet maaf dari kamu."

"Yakin?" 

Aku pun mengangguk mengiyakan.

"Pikirankan keinginan mama, seenggaknya Mas bisa nunjukin ke mama kalo hasil tes laboratorium itu salah."

"Maksud, Mas?"

"Gak usah pura-pura polos kamu, Lisa. Kamu ngerti apa yang Mas maksud."

Akupun terdiam.

"Oooh, ini cara kamu menghalalkan wanita selingkuhan kamu, Mas. Baiklah, akan aku ikuti permainanmu hingga waktu itu tiba. Tunggu saja!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status