“Jika aku ke sana, apa bapak kamu mau berbicara semuanya sama aku?” tanya Rasti setelah sekian lama terdiam.
“Mungkin saja, Mbak, coba saja,” jawab Huda acuh.
“Aku tahu, aku memang telah bersalah dengan percaya begitu saja orang-orang yang tiba-tiba datang. Tapi sekarang, aku sudah bertekad untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Dan aku, sudah memegang sesuatu yang sangat penting,” kata Rasti mencoba membuat Huda tak lagi menyalahkannya.
“Apa itu, Mbak?” tanya Huda penasaran. Kalimatnya sudah tidak seacuh yang tadi.
“Kamu tidak perlu tahu sekarang. Yang jelas, bila kamu memang kasihan sama mendiang bapakku, maka bantulah aku untuk menemui Pak Rano,”
“Tempat kerja Bapak itu jauh, Mbak. Harus naik pesawat, setelah itu, masih harus menempuh perjalanan berjam-jam,”
“Tidak masalah. Aku akan melakukannya,” tegas Rasti.
Firna yang masih duduk di atas bed dengan infus terpasang di lengan, hanya bisa mengikuti gerak-gerik lelaki yang sangat dicintainya itu melalui tatapan matanya. Sekalipun raga dan hati Danang tak bisa ia miliki, dirinya sudah cukup bahagia dengan hanya melihat senyum terukir di bibir kakak iparnya itu. “Mas, suatu ketika nanti, saat aku sudah siap, aku akan mengatakan itu pada kamu,” ucap Firna dengan suara sedih. “Apa maksdunya?” Danang yang sedang memasukkan baju ke dalam tas mendongak dan bertanya. “Talak. Kau boleh mengucapkannya saat aku sudah benar-benar siap. Untuk saat ini, biarkanlah aku menjadi istri sirimu, istri rahasiamu, yang hanya bahagia melihat kamu tersenyum untukku.” Danang bangkit dari posisi berjongkok, berdiri di samping Firna lalu berkata, “aku akan doakan kamu bertemu dengan jodoh kamu yang sesungguhnya. Yang mencintai kamu dan kamu pun mencintainya.
“Kalian di sini ternyata. Papa panggil tidak ada yang menyahut,” ucap Danang saat menemukan yang dicari berada di dalam kamar.“Papa kenapa baru pulang?” si Kecil Raline bertanya.“Maaf, Papa habis—“ Danang berhenti memberikan penjelasan. Karena ia tahu, jika ditersukan akan menyakiti hati Rasti. “Kalian sedang apa di sini?” sambungnya lagi.“sedang bermain, Papa,” jawab Raline yang belum paham apa yang terjadi.“Kakak kenapa diam? Tidak kangen sama Papa?” tanya Danang pada Nadine. Anak sulungnya itu menggeleng lemah.“Mama?” Tatapan danang kini beralih pada istri pertamanya.“Mandilah! Jika belum makan, masih ada makanan di meja” Rasti menjawab dingin.Danang sadar dan memahami, bila ia diperlakukan sedemikian cuek oleh ketiga orang yang
“Bapak dan Ibu sayang sama kamu, rasti,” “Rasa sayang itu bisa dirasakan. Bukan hanya sekadar ucapan dari orang lain.” “Kenapa aku seperti tidak mengenal kamu, Rasti? Berapa hari kam u bekerja? Dan dengan siapa kamu bekerja? Sehingga sifatmu berubah seperti in ….” “Kamu terlalu sibuk menjaga Firna. Hingga tidak tahu dengan apa yang terjadi sama aku.” “Dia sendirian tidak ada yang menunggu.” “Ada orang tuanya. Atau, bisa meminta siapapun orang yang butuh bayaran untuk menjaganya.” “Rasti! Jawab dulu pertanyaan aku!” tegas Danang. “Ok. Aku tidak berubah, Mas. Aku hanya seperti orang yang tersadar dari mimpi yang sangat panjang. Yang dinina bobokan oleh singa, hanya agar aku tidak pernah bangun dan tahu kenyataan yang terjadi.” Mendengar jawaban Rasti, danang tersentak. Ada gurat gelisah di wajah. Hatinya mendadak diliputi keta
Danang gelisah di dalam kamar tidur. Ia yang sudah berbaring menunggu sang istri datang seperti waktu-waktu sebelumnya –harus menlan rasa kecewa. Sejak sore tadi, Rasti bersikap sedikit pendiam. Meski dirinya berusaha mengajak mengobrol berkali-kali, wanita yang telah ia nikahi bertahun-tahun itu menjawabnya singkat. Pun dengan Nadine, si Sulung yang sangat dicintainya itu berkali-kali tertangkap basah tengah memandang dirinya dengan tatapan yang tidak biasa. “Kakak kangen sama Papa?” pancing Danang saat lepas Maghrib anaknya selesai sholat. Nadine menggeleng. Danang lalu mengajaknya ke teras, dengan alasan menunggu pedagang lewat. “Kakak marah sama Papa?” tanya Danang lagi saat keduanya duduk bersila di atas keramik. “Kakak hanya takut. Suatu hari nanti, kami harus diusir Eyang dari rumah ini,” jawab Nadine polos. “Kakak, Sayang, jangan berpikir
"Rasti, kita perlu bicara,” ucapnya saat Rasti telah bersiap berangkat. Sementara Nadine dan raline telah menunggu di depan rumah. “Tidak ada yang perlu dibicarakan, Mas. Kita ini suami istri yang yah, seperti biasanya. Jadi, menurut aku, tidak ada masalah penting,” “Kamu benar-benar berbeda,” desis Danang. “Setiap orang, akan berada di fase yang berbeda suatu ketika. Entah karena sebuah kejenuhan, keadaan yang menyakitkan, maupun karena disebabkan oleh suatu kebohongan yang ia ketahui. Meskipun suami istri, tapi masing-masing dari kita, tetaplah pribadi yang memiliki ruang untuk privasi,” ujar Rasti datar. Danang kembali tersentak. Sebuah kata bohong, begitu menampar hatinya. “Pulanglah cepat! Aku akan mengajak kalian jalan-jalan,” ucap Danang memberi perintah. “Aku tidak yakin, bila hari ini tidak ada yang memintamu datang.” Usai berkata demikia
Ponsel Rasti kembali berdering saat ia akan menjalankan kendaraan dari bank menuju sekolah kedua anaknya. Dengan terpaksa menyandarkan motor kembali dan mengangkat telepon yang ternyata dari sang suami.“Pulang cepat, ya? Kita akan jalan-jalan,” ujar Danang tanpa basa-basi.Rasti yang semula berniat menjemput Nadine dan Raline, mengurungkan niat. Karena untuk saat itu, dirinya tidak ingin berdekatan dengan Danang. Karena ia sadar, terlalu lemah bila sudah berdekatan dengan lelaki yang telah mengarungi biduk rumah tangga dengannya bertahun-tahun, terlebib bila sudah mendapatkan sentuhan kasih sayang.“Tidak! Kali ini aku tidak akan mundur,” ujarnya seraya menggelengkan kepala. “Aku sudah teralu lemah, karena merasa dicintai seseorang di saat kehilangan orang tua. Ada hal yang harus aku kerjakan, dan aku tidak akan mampu melakukannya bila Mas Danang sudah mengatakan sesuatu hal yang manis. Ah,
Tak berapa lama, wanita itu kembali dengan sudah memakai daster. Jilbab instan senada dan bibirnya memakai pewarna yang merah menyala. “Mak, gak usah berlebihan, sih,” ucap Maryam sengit. “Biarin aja deh, Mar. Mak juga ‘kan kepengin dandan.” Rasti hanya tertawa melihat pertengkaran kecil kedua ibu dan anak di hadapannya. Ia lalu bangkit dan bersiap pergi. “Eh, Ras!kamu sudah makan belum?” tanya Sumarti membuat rasti berhenti. “Sudah sholat belum?” sambungnya lagi. Rasti menggelengkan kepala. “Kamu ini, Ras. Kamu muslim apa bukan? Kok ya jam segini belum sholat dan mau bertamu. Mau sholat jam berapa? Ayo, sana, sholat dulu! Bagaimana mau berjuang? Kalau kamu tidak minta tolong sama yang punya jagat raya?” omel Sumarti. Bibirnya yang sudah merah merona bergerak lincah. Untuk kali ini, rasti terpukul dengan apa yang Sumarti kat
“Bik, jadi minta aku buatin catetan buat ditanyakan ke mantan RT?” Rasti masih saja menggoda, ketika Sumarti turun dari motornya.“Jangan berlaku tidak sopan sama orang tua!” bisik Sumarti. Takut bila candaan Rasti didengar Maryam.Rasti tertawa terbahak-bahak. “Pulang dulu ya, Bik. Besok-besok, aku antar catatan pertanyaan ke rumah Bibik,” candanya lagi.“Bocah nggak sopan sama orang tua. Eh, ingat! Kalau ke sini lagi, bawa anak-anakmu. Bibik pengin kenalan juga. Keluarga kamu cuma Bibik. Jangan buat mereka tidak kenal.” Sumarti berkata sambil membenahi jilbab instannya.Rasti hanya memberi kode ok, dengan menautkan jari jempol dan telunjuknya. Ia lalu menarik tuas gas meninggalkan rumah wanita yang berbibir merah itu.“Maafkan aku, Bik, aku belum bisa membawa Nadine dan Raline ke rumah Bibik. Itu karena, aku masih mera