Share

Secret Scarlett #4

Setelah rapat berjalan dengan lancar, Om Kevin, Kak Gehna, dan aku pergi ke Restoran yang ada di seberang gedung untuk mengisi perut kami yang mulai bernyanyi. Begitu berat langkahku untuk meninggalkan gedung mewah ini. 

 "Kenapa?" tanya Om Kevin datar.

"Tidak apa-apa,Om! hanya saja Oliv begitu menyukai tempat ini," ucapku sambil menggandeng tangan. Ia menatapnya sebentar lalu kembali berjalan. Kakiku yang pendek membuatku kesulitan mengikuti langkah kaki pria tinggi ini.

"Tidak adiknya! Tidak kakaknya! Sama saja, mereka tidak akan pernah mengerti betapa pendeknya kakiku!" gumamku pelan. Tapi hal itu kedengaran oleh Om Kevin. Sehingga Ia membungkukkan badannya dan memintaku naik ke punggungnya.

"Naik!" perintahnya padaku dengan tegas.

"Tidak perlu, kakiku masih bisa berjalan." Aku terus berjalan tanpa mempedulikan perintahnya.

"Ayo! Ini perintah!" tegasnya sekali lagi.

"Ish, aku bukan anak kecil!" Dengan terpaksa aku menaiki punggungnya dan berpegangan erat pada batang lehernya yang panjang.

"Salah siapa? Kalau mau protes soal langkah kaki langsung katakan saja, jangan bergumam seperti itu!" ucapnya dingin tapi sambil mengusap lembut tanganku.

Semua orang yang masih berada disana menatap kami heran dan pehun tanda tanya. Kalau di pikir-pikir mungkin beberapa dare mereka ada yang berusaha berusaha berpikir positif dan ada juga yang berpikiran negatif tentang kami, tapi aku sama sekali tidak peduli apa tanggapan mereka.

Setelah berjalan cukup jauh, kami akhirnya sampai ke Cafe yang ada di seberang gedung. Kulihat kak Gehna menunggu kami sambil memainkan handphonenya dengan wajah yang serius.

"Kenapa begitu lama?" tanyanya tanpa menoleh. 

"Aku sedang mengurus anak kecil yang cerewet ini, makanya lama. Ayo makan! Perutku sudah lapar, ditambah menggendong dirinya jadi semakin lapar!" ucapnya sambil melirik ke arahku, lalu menyunggingkan ujung bibirnya.

Mendengar itu membuat aku semakin kesal, sehingga aku kembali bergumam. "Benar kata Om yang pagi tadi. Wanita mana yang tahan dengan lelaki seperti dia. Tersenyum saja sulit, selalu saja menyunggingkan ujung bibirnya!" gumamku sambil berjalan di belakang mereka.

Kami bertiga memasuki Cafe itu. Ruangan utama dipenuhi pelanggan yang sedang menikmati makanan mereka. Aku dan kak Gehna mengikuti Om Kevin yang sedang memesan ruangan VIP untuk kita agar tidak ada gangguan ketika menikmati makanan.

***Diruang Makan VIP***

"Oliv!" Panggil kak Gehna dengan nada santai

"Kenapa, Kak?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.

"Gimana kamu bisa memikirkan rencana secemerlang itu? Padahal menurut Kakak, rencana yang kamu pikirkan itu lumayan sulit." Kak Gehna tampak berpikir. Sedangkan Om Kevin yang di sampingnya hanya menyimak pembicaraan kami sambil menikmati makanannya.

"Menurut aku, ide itu bukanlah ide cemerlang. Aku hanya perlu menyimak dan mempergunakan teknologi yang diberikan," jawabku singkat sambil menyuap steak yang terhidang di hadapanku.

"Sudah Kakak katakan, gadis ini tidak semudah yang kamu pikirkan! Jalan pikirannya tidak bisa ditebak," ucap Om Kevin setelah lama tutup mulut.

Di ruangan itu kami berbicara sambil tertawa. Tawa yang yang sangat langka dari seorang Kevin dan Gehna. Hanya aku yang bisa menikmati tawa mereka yang mungkin hanya terlihat satu tahun sekali atau lebih.

"Om, apa besok masih ada Meeting?" tanyaku dengan hati-hati.

"Tidak ada, emang kenapa? Mau jalan-jalan?" tanya balik Om Kevin. Aku mengangguk dengan bersemangat.

"Aku tidak ikut, besok aku harus bertemu temanku!" ujar Kak Gehna sambil melihat layar HP-nya.

"Oh yaudah, kalau gitu aku jalan-jalan sendiri aja. Tidak apa-apa kan Om?" tanyaku sambil menghabiskan steak terakhir yang ada di piring.

"Kata siapa? Kan ada saya, kenapa harus sendirian?" jawabnya dengan nada yang terdengar kesal. Aku hanya bisa tertawa canggung karena jawabannya.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam. Kami kembali mengikuti Om Kevin ke kasir untuk membayar makanan yang telah dipesan lalu pulang ke Villa milik kak Gehna.

Setelah sampai, kami pergi ke kamar masing-masing tanpa mempedulikan satu sama lain. Aku pergi ke kamar mandi dan setelah itu mengganti pakaianku dengan baju piyama lengan pendek berwarna Lilac. Aku segera melempar diriku ke atas kasur empuk dengan tujuan melepas penat hari ini.

"Kringgg kringgg kringgg!" Handphoneku yang berada di atas nakas berbunyi.

Aku baru sadar kalau sejak pergi dan sampai detik ini aku belum menghubungi Ibu dan adikku. Ku' ambil Handphone itu, lalu menatap layar yang memperlihatkan panggilan Video dari Stella. 

"Malam, Kak," panggilnya dengan bersemangat. Di sampingnya ada Mama yang memandangku sambil tersenyum teduh. 

"Malam, Ma! Malam, Dek!" sapaku balik pada mereka. 

Dari terakhir kali aku melihat Mama memukul Stella waktu itu. Sepertinya Mama sudah bisa mengontrol tempramenya. Dan dari panggilan Video ini, aku juga melihat sepertinya Stella sudah menemukan hari cerianya kembali.

Aku melakukan panggilan Video dengan Stella dan Mama sampai jam 12 Malam. Aku mengakhiri Panggilan itu dengan alasan sudah lelah dan ingin istirahat, sedangkan Stella besok harus bangun pagi untuk sekolah.

Malam itu ditutup dengan ditemani deburan ombak, mimpi indah, dan tangisan menyayat dari anak korban Broken home.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status