Disebuah kamar hotel, seorang pria terlihat berdiri didepan kaca besar. Tangan kirinya dimasukkan ke kantong celana dan tangan satu laginya digunakan untuk menjawab telepon dari seseorang.
"Semuanya telah selesai, kita hanya perlu menerima barangnya besok."
Dari lantai lima belas, pria itu bisa melihat pemandangan kota Jakarta yang berkelap-kelip dengan indah. Mobil dan motor-motor tanpa henti berlalu lalang di jalan raya pada malam hari itu.
"Kali ini aku pastikan, kita memilih anjing yang tepat untuk dijadikan budak. Dia tidak se-naif CEO yang dulu kita angkat. Kita bisa memanfaatkannya, lalu setelah itu kita buang dan jadikan dia sebagai kambing hitam."
Masih mendengarkan penuturan dari seberang sana, pria itu berbalik dan berjongkok menghadap wanita yang bersimpuh dibawah kakinya. Keadaan wanita itu begitu menyedihkan, kedua tangannya diikat dan mulutnya disekap kain. Saat ia melarikan tatapannya pada kedua netra itu, wanita itu memberontak ingin berbicara.
"Yah, aku pastikan tidak akan ada kesalahan apapun. Semuanya akan berjalan sesuai rencana kita." Setelah memutuskan sambungan telepon, pria itu memandang wanita itu sinis.
"Siapa dia?" Pria itu bertanya, karena Boy lah yang membawa wanita itu kemari.
"Wanita ini bernama Mega, dia adalah istri dari mendiang Wisnu CEO yang kita bunuh bulan lalu. Dia melarikan diri dan berniat melaporkan kita kepada polisi. Tapi untungnya kita berhasil menangkapnya lebih dulu." jelas Boy pada ketua mafia itu.
Mega memberontak, berulang kali dia ingin bicara pada mafia itu tapi kain di mulutnya lagi-lagi menghalangi niatnya.
"Aku sudah cukup lelah mengurus satu parasit jantan yang mengusik pekerjaan ku dan sekarang satu parasit betina datang. Apa aku harus merayakannya dengan mandi darah?"
Mega langsung menggelengkan kepalanya takut. Matanya tanpa henti mengeluarkan air mata.
"Lepaskan kain di mulutnya!" Dia ingin tahu rengekan apa yang ingin wanita itu tunjukkan padanya.
Setelah kain itu terlepas, Mega langsung memohon. "Aku mohon jangan bunuh aku... Bukti itu sudah aku musnahkan. Aku janji tidak akan melaporkan kalian kepada polisi dan kasus ini akan aku tutup. Tapi biarkan aku hidup." pilunya ketakutan.
Rahang Mega tiba-tiba di cengkeram kuat oleh ketua mafia itu. Tatapan matanya benar-benar mengerikan.
"Kau pikir kau siapa, hingga kami harus meminta belas kasihan mu untuk tidak melaporkannya kepada polisi. Jika kami ingin, kami bisa membunuhmu saat ini juga. Tidak ada bukti dan kasus itupun akan hilang dengan sendirinya."
Lagi-lagi Mega menggelengkan kepalanya ketakutan. Dia bersujud di kaki ketua Mafia itu dan memohon ampun.
"Aku mohon jangan bunuh aku..." Wanita itu benar-benar ketakutan. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Takut ancaman itu menjadi kenyataan.
"Ingin mati secara perlahan atau mengenaskan?" Pria itu mengeluarkan pistolnya dari balik jasnya.
"Tidak!! Tolong jangan lakukan itu!" Mega langsung menjerit histeris saat sebuah pistol berhasil mengarah di pelipisnya.
Pria itu tersenyum miring, ini yang dia inginkan. Lawannya memohon dan memintanya untuk segera dibunuh.
"Tiga." dengan hitungan perlahan, Mafia itu menekan pelatuk pistolnya.
"Dua." Mega masih histeris dan memohon. Tangannya diikat sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sat--"
"Aku sedang hamil, aku mohon biarkan anakku lahir."
Setelah mendengar pertanyaan tersebut, ketua Mafia itu menahan gerakannya untuk menembak Mega. Dia menatap wanita itu sebentar.
"Lalu apakah aku harus peduli?" tantangnya menaikan alisnya keatas. Mega tercengang.
"Apakah kau tidak punya hati, hingga ingin membunuh anak tidak berdosa ini?"
Ketua Mafia itu menghela nafas, lelah. Dia berdiri untuk menunjukkan ketidak tertariknya.
"Kau benar-benar bertanya kepadaku tentang hal ini?" jeda sejenak, sebelum melanjutkan. "Menurutmu monster itu punya hati?" Ketua mafia itu malah membalikkan pertanyaan kepadanya.
Mega hanya diam. Tatapannya menyiratkan kebencian dan ketakutan pada ketua Mafia itu.
"Untuk saat ini kau lolos, tapi bukan berarti aku tidak akan membunuhmu. Keputusan masih ada ditangan penguasa."
"Boy bawa dia, besok dia akan ikut kita ke Singapura. Biar wanita itu rasakan, bagaimana keganasan sang penguasa saat mencabut nyawanya. Bukan tembakan seperti yang ingin kulakukan, tapi siksaan menyakitkan sampai ia menyesal pernah hidup di dunia ini."
****
"Apa itu?" Boy diberikan tugas mengawal Mega yang ingin pergi ke toilet pesawat. Namun saat wanita itu ingin masuk, boy menemukan sebuah jepit rambut jatuh dari kantung bajunya.
"Bukan apa-apa." Mega langsung merampas kembali benda itu dari tangan Boy.
Jelas sekali itu bukan jepit rambut biasa, ada setitik cahaya merah di permata hiasannya. Sudah jelas! Dia sudah biasa menangani benda itu sebelumnya, jadi melihatnya sekali saja dia langsung tahu kalau benda tersebut adalah sebuah rekaman.
"Berikan benda itu!" todongnya langsung.
"Tidak!! Aku akan memberikannya pada mereka."
Pandangan Boy terarah pada dua pramugari yang berjalan mendekat ke arah mereka. Sial! Ternyata Mega mengkhianatinya.
"Berikan!!" Boy hendak merampas benda itu tapi Mega lebih dulu memasukkan benda itu ke dalam mulutnya.
Gawat! Pramugari itu semakin mendekat. Boy menarik lengan Mega kedalam toilet. Saat didalam pun, Boy berusaha membuka mulut Mega agar terbuka.
"Berikan benda itu!!" Boy geram, wanita itu tetap tidak mau menurut. Dia terus menutup rapat mulutnya.
Akhirnya Boy menjambak rambut Mega ke belakang. Ia mendengar Mega berteriak kesakitan. Dia memanfaatkan itu untuk mengambil benda tersebut, lalu membekap mulut wanita itu lagi agar suaranya tidak terdengar dari luar. Namun Boy terkejut saat seseorang mengetuk pintu.
"Are you oke?"
"Diam dan jangan katakan apapun! Kalau tidak kau dan bayimu akan mati sekarang juga!!" Setelah mengatakan ancaman itu, Boy membawa Mega keluar toilet.
***
Saat menemukan pria itu, Anita menarik lengannya sampai berbalik dan dengan berani Anita menadahkan tangannya di hadapan pria itu.
"Dimana pistol itu?"
Pria itu mengernyitkan dahinya.
"Pistol apa? Apa kau sedang bercanda?" Pria itu terkekeh lucu.
"Jangan pura-pura tidak tahu, sudah jelas tapi aku melihat mu menodongkan pistol pada punggung istrimu."
"Ada apa ini?" Dua orang pramugara dan seorang pramugari datang menghampiri mereka.
"Lihat! Dia membawa pistol." tuduh Anita langsung.
"Apa-apaan, kau sudah menuduhku. Aku tidak membawa pistol apapun." ucapnya meyakinkan pramugara yang ada disana.
"Maaf nona, kau sudah melanggar peraturan dengan masuk kemari." Pramugara itu akhirnya angkat bicara.
"ASTAGA!! Setidaknya kalian cek dulu, apakah benar orang ini membawa pistol atau tidak! Dimana wanita itu?" lihat saja, Anita akan membuktikannya sendiri. Anita melihat wanita itu duduk tidak jauh dari mereka.
"Katakan nyonya, suami mu menodongkan pistol padamu kan?" tanya Anita.
Mega tidak mengatakan apapun. Matanya bergerak gelisah. Antara mengatakan sebenarnya atau tidak.
"Jangan takut nyonya, kita semua ada disini." Anita berusaha meyakinkan. "Aku akan melindungi mu, aku janji." lanjut Anita lagi.
Boy mengisyaratkan lewat matanya agar Mega diam. Jangan katakan apapun atau kau akan mati! Begitulah kira-kira arti dari tatapan Boy. Mega gundah.
Disana Anita memegang pundak Mega dan mengangguk lembut. "Katakan saja, jangan takut." ucap Anita lagi.
Hening sesaat sampai kemudian Mega berbicara lantang.
"Tidak ada pistol, anda salah liat." Mega berbicara cepat sehingga Anita yang mendengarnya tidak percaya.
"Itu tidak benar, sudah ku katakan jangan takut. Aku akan melindungi mu, katakan yang sebenarnya." Anita terus memaksa. Jelas-jelas dia melihat sendiri, bagaimana pia itu menancapkan pistol di pinggang wanita itu.
Mega masih tetap diam, enggan untuk berbicara lagi.
"Katakan!!" Anita geram dan terus memaksa. "Katakan nyonya!" ucap Anita frustasi.
"Mohon maaf, anda sudah membuat satu keributan." Peringati pramugari itu.
"Tidak! Kita belum mendapatkan jawaban yang sebenarnya." kilah Anita garang.
"Tadi anda sudah mendengarnya sendiri, nyonya ini mengatakan suaminya tidak membawa pistol atau apapun. Semuanya salah paham, mohon anda kembali ketempat duduk anda lagi." pinta pramugari itu dengan tetap sopan.
"Dia berbohong!!" Anita masih kekeh dengan pendiriannya.
"Katakan nyonya!!" bentak Anita kelewatan.
Pramugari itu mengisyaratkan teman-temannya untuk bergerak.
"Maaf nona, anda harus kembali ketempat anda." ucap dua pramugara itu sambil menyeret lengan Anita untuk pergi dari sana.
"Aku tidak mau!! Lepaskan aku, kita harus menangkap orang itu!!"
"Orang itu sangat berbahaya!!" teriak Anita memberontak.
Dua pramugara itu tidak peduli dan tetap menyeret Anita untuk berjalan.
Sebelum Anita bisa keluar, ia sempat mendengar suara seorang pria datang.
"Ada apa ini?"
Pramugari itu membalas. "Maaf tuan, kami telah mengganggu waktu tidur anda."
Setelah itu Anita tidak mendengar apapun lagi, selain kedua pramugara itu yang menyeretnya hingga ke tempat duduknya.
***
Besok paginya Anita menunggu Alex didepan kamar, ia sudah membereskan pecahan beling yang disebabkan Alex semalam. Ia juga sudah menyiapkan sarapan pagi untuk Alex.Akhirnya pintu terbuka, keluarlah Alex dari balik pintu. Saat Anita berada didepannya, pria itu terkejut melihat Anita berada dihadapannya. Tapi hanya beberapa saat saja. Setelah itu Alex kembali merubah raut wajahnya menjadi datar. "Maaf atas kejadian semalam." Anita menundukkan kepalanya menyesal. Alex tidak membalas dan pergi begitu saja melewati Anita, pria itu langsung duduk di meja makan.Dalam hatinya ia merasa senang karena dapat membuat Alex kesal. Kejadian kemarin tidak seberapa, itu hanya permulaan. Permainan sesungguhnya akan dimulai sekarang."Tunggu dulu, biar aku saja yang menyajikannya." seperkian detik Anita sudah berada dimeja makan dan langsung melayani Alex. Anggap saja perlakuan spesial ini sebagai permintaan maaf Anita. Karena tidak pernah sekalipun Anita menyajikan makanan langsung seperti ini. Bi
Sudah tidak tahan, Anita tidak mau di perintah oleh Alex lagi. Sementang ia seorang majikan bisa seenaknya menyuruh. Jika bukan karena misi, Anita tidak mau melakukan ini semua. Lebih baik jika waktunya ia pergunakan untuk istirahat, baru ini ia istirahat dari pagi hingga saat ini. Alex benar-benar keterlaluan. Pria itu suka memerintah seenaknya. Lihat saja pria itu akan di penjara setelah ini.Anita sudah melakukan berbagai cara, tapi tetap saja gagal. Ia tidak menemukan apapun di rumah ini, mau bertanya kepada pria itu sama saja mencari mati.Tapi ada sesuatu yang membuat Anita kepikiran, ia ragu apakah ini akan berhasil kedepannya atau tidak. Mengingat resikonya yang sangat besar. Ada hati yang harus di pertahankan dan juga harga dirinya yang di korbankan. Ia ragu untuk melakukannya.Akan tetapi jika rencana ini sukses, Anita bisa mendapatkan apa yang diinginkannya yaitu kebebasan dan menjebloskan Alex kedalam penjara.
"ini semua gara-gara kau!!" Alex menyalakan Anita atas rencananya yang gagal.Mereka saat ini sudah berada dirumah, Boy memberitahu Alex bahwa mereka kehilangan jejak Malik dan Anita disalahkan atas semua ini. Ia bahkan sama sekali tidak tahu rencana apa yang hendak Alex lakukan sewaktu di pesta. Ia bingung, terkejut dan sangat marah ketika Alex menyerahkannya sebagai hadiah pada Derry. Tapi dengan seenaknya, pria itu malah menyalahkannya seperti ini."Boy pergi dan selesaikan kekacauan dirumah itu, jangan biarkan polisi tahu mengenai hal ini!" titah Alex sebelum Boy pergi meninggalkan mereka."Aku tidak percaya kau begitu bodoh, seharusnya kau goda saja Malik dan buat dia takluk. Sehingga aku bisa membunuhnya saat itu juga!"Terus menerus Anita disalahkan dan ia masih berusaha sabar. Anita berfikir kenapa Alex harus semarah ini. Biasanya pria itu tidak banyak bicara dan hanya diam terus mengabaikannya seperti biasa."Kau dengar aku?!" Alex mendada
Anita dibawa ke halaman pesta lagi, ia bisa melihat petugas kebersihan sedang bersih-bersih disana."Bos, aku sudah mendapatkannya." ucap Derry pada pria yang membelakangi mereka."Aku tidak menyangka, Alex akan memberikannya dengan mudah." Derry berkata lagi.Bertepatan dengan itu, pria itu membalikan badannya menghadap mereka. Tangannya memegang satu tongkat, senyum di bibirnya mengingatkan Anita pada kejadian beberapa waktu lalu."Maafkan aku." Anita menabrak seorang pria paruh baya didepan pintu toilet. Pria itu tersenyum miring, "tidak masalah."Ada sesuatu yang membuat Anita merasa aneh, tapi Anita merasa tidak perduli dan kembali pada Alex yang menunggunya diluar. Pria itu sangat ribet, Anita ingin ke toilet saja mereka harus mengalami perdebatan yang panjang.Katanya mereka sebentar lagi akan masuk ke pesta ken
"kau yang melakukannya?" tanya Anita. Mereka semua berada di kamar Alex, duduk di sofa mengintrogasi Anita. Anita menundukkan kepalanya dan memainkan kedua tangannya pura-pura ketakutan. "Aku tidak melakukannya." Anita menjawab polos. "BOHONG!! Jelas-jelas dia yang buat aku begini, kakiku jadi terkilir dan kulitku memerah gara-gara wanita itu!! Ngaku saja kau wanita jalang!!" Gladis yang sedang terbaring di kasur Alex berteriak dari kejauhan. Tadi dokter sudah memeriksanya. Gladis hanya perlu istirahat selama beberapa hari, kakinya yang terkilir sudah di gips dan mengenai kulitnya yang memerah memang Anita lah yang membuatnya tapi tidak mengaku. Ketika dikamar mandi, Anita menyiram Gladis dengan air shower yang sedikit panas. Siapa sangka baru saja ia melakukannya, Gladis langsung berteriak dan kepeleset di kamar mandi. Bertepatan dengan itu, Alex datang dan menyaksikan semuanya.
Benar kata Alex selama seminggu ini, ia tidak kembali kerumah. Kemana sebenarnya dia pergi, apa mungkin pria itu menyimpan rahasia besar darinya.Jika begini caranya bagaimana ia bisa menyelidiki kejahatan pria itu. Selama berhari-hari yang dilakukan Anita dirumah ini seperti biasa bersih-bersih, makan dan tidur. Itupun ada dua penjaga yang mengawasinya, ia bosan dan lelah. Rasanya Anita ingin melarikan diri dan mencari Alex diluar sana. Ia curiga pria itu sedang melakukan kejahatannya diluar sana.Ceklek!Suara pintu terbuka menyadarkan Anita dari lamunannya. Segera Anita pergi dari dapur keruang tengah, benar saja saat Anita berjalan keruang tengah ia melihat Alex sedang melangkah arah berlawanan darinya."Dari mana kau?!" Anita bertanya saat sudah berada di sampingnya. "Lukamu baik-baik saja?"Alex mengabaikan dan terus berjalan ke sofa."Jika kau pingsan lagi,