Share

BAB 3

Penulis: Duy.Nah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-24 22:27:56

📖 Bab 3: Ujian Loyalitas di Santa Cruz

Santa Cruz: Di Antara Keluarga dan Kekuasaan

Di Santa Cruz, hukum bukan ditulis di pengadilan, tetapi diukir dengan darah di jalanan.

Di wilayah ini, kepercayaan bisa membunuhmu, dan pengkhianatan adalah mata uang yang paling mahal. Tidak ada yang selamat jika mereka ragu sekejap pun.

Rayder Bomb memahami itu sejak ia dibawa ke rumah pamannya, Mendoza "Sabio", di usia 15 tahun. Di rumah besar yang terasa dingin itu, dia menyadari satu hal—di dunia ini, yang lemah hanya menjadi mangsa.

Malam ini, Rayder dan sepupunya, Moya, duduk berhadapan di ruang tengah yang luas. Mereka tahu, ada sesuatu yang besar akan terjadi. Mendoza tidak memanggil mereka kecuali untuk hal penting—atau mematikan.

“Hari ini aku beri kalian pilihan,” suara Mendoza terdengar berat, dalam, dan penuh tekanan.

Asap dari cerutu yang dihisapnya melayang di udara, menciptakan aura mengancam di ruangan. Rayder duduk tegak, menatap pamannya tanpa berkedip. Di sebelahnya, Moya bersandar santai, tetapi ada ketegangan di rahangnya yang terlihat jelas.

“Pilihan apa?” suara Rayder memecah keheningan.

Mendoza meletakkan cerutunya di asbak kristal. Ia menatap mereka berdua seperti pemangsa yang menilai apakah mangsanya cukup kuat untuk bertahan.

“Kalian sudah cukup lama di bawah perlindunganku,” katanya perlahan. “Tapi perlindungan selalu ada harga. Sekarang saatnya kalian membuktikan apakah kalian pantas hidup di dunia ini—atau kalian mati seperti yang lainnya.”

Misi yang Memisahkan Mereka

“Kalian akan mendapat tugas berbeda,” Mendoza melanjutkan, memecah ketegangan di udara.

Ia menunjuk ke arah Rayder. “Kau akan pergi ke distrik utara. Ada pengkhianat di antara kita—seseorang membocorkan informasi ke kartel Gardigo. Aku ingin kau menemukannya dan memastikan dia tidak bicara lagi.”

Rayder mengangguk tanpa keraguan. “Dimengerti.”

Kemudian, Mendoza menoleh pada Moya, yang masih menatap tajam.

“Dan kau,” katanya, “ada seorang pejabat di dewan kota yang mulai ragu untuk bekerja sama. Pastikan dia tahu tempatnya. Jika dia menolak… kau tahu apa yang harus kau lakukan.”

Moya tersenyum tipis. “Aku akan membuatnya paham, Ayah.”

Mendoza menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit, mengamati mereka berdua sejenak sebelum berkata, “Jangan buat aku kecewa.”

Setelah Perintah, Muncul Rivalitas

Saat mereka meninggalkan ruangan, udara di antara Rayder dan Moya terasa berbeda. Ada sesuatu yang tidak terucap di antara mereka—rivalitas halus yang selama ini mereka tekan.

“Sepertinya Ayah ingin menguji kita,” kata Moya pelan saat mereka berjalan di lorong panjang rumah besar itu.

“Bukan hanya menguji,” jawab Rayder tanpa menoleh. “Dia ingin tahu siapa di antara kita yang lebih layak berdiri di sisinya.”

Moya terkekeh pelan. “Kau berpikir aku peduli siapa yang lebih baik?”

Rayder berhenti di depan pintu, menatap langsung ke mata Moya. “Aku tahu kau peduli,” suaranya rendah tetapi tajam. “Tapi kau juga tahu, kita hanya punya satu sama lain di dunia ini.”

Hening sejenak. Meski ada persaingan di antara mereka, di balik itu semua ada sesuatu yang lebih kuat—loyalitas.

“Aku takkan membiarkan siapa pun melukai kita,” tambah Rayder sebelum membuka pintu dan melangkah pergi ke dalam malam yang dingin.

Tugas Rayder: Darah atau Pengampunan

Gudang tua di distrik utara berbau besi dan kematian. Rayder berdiri di depan seorang pria yang terikat di kursi. Wajah pria itu berlumuran darah, napasnya tersengal ketakutan.

“Kau tahu kenapa aku di sini,” suara Rayder terdengar dingin dan stabil.

Pria itu menggeleng, air matanya bercampur darah. “Aku… aku hanya mencoba melindungi keluargaku.”

Rayder menatapnya tanpa emosi. Keluarga. Kata itu terasa asing baginya—satu-satunya keluarga yang ia kenal adalah mereka yang sanggup bertahan hidup.

“Keluarga tidak akan menyelamatkanmu sekarang,” kata Rayder, mengeluarkan pistol dari pinggangnya.

“Tolong… aku bisa memperbaikinya… aku tidak akan bicara lagi…” pria itu memohon.

Rayder mengingat kata-kata Mendoza: “Jika kau ragu, kau akan mati.”

Jari telunjuknya menekan pelatuk perlahan. Dalam sekejap, suara tembakan memecah kesunyian. Darah mengalir di lantai. Tanpa ekspresi, Rayder membalikkan badan dan pergi—meninggalkan mayat yang dulu menyebut dirinya teman.

Ini bukan soal benar atau salah. Ini soal bertahan hidup.

Tugas Moya: Negosiasi yang Berbahaya

Di sisi lain kota, Moya duduk berhadapan dengan Hector Galvez, pejabat korup di dewan kota. Restoran mewah tempat mereka bertemu tampak elegan, tetapi suasana di meja itu tegang.

“Kau mulai mengingkari kesepakatan,” kata Moya, suaranya terdengar santai, tetapi matanya tajam.

Hector menyandarkan tubuhnya, mencoba terlihat santai. “Kau ini masih bocah. Apa kau pikir aku takut dan percaya padamu?”

Moya tersenyum, tetapi di balik senyum itu ada bahaya. Dia mengeluarkan sebuah amplop dan mendorongnya ke tengah meja.

“Aku tahu di mana keluargamu tinggal,” bisik Moya. “Dan aku tahu apa yang terjadi pada orang yang mengkhianati kami.”

Wajah Hector memucat seketika. “Apa kau mengancamku?”

Moya menatapnya tanpa berkedip. “Aku hanya mengingatkan bahwa aku tidak datang sendirian.”

Rayder di Balik Bayang-Bayang

Apa yang Hector tidak tahu—Rayder ada di luar restoran, mengawasi.

Saat Hector keluar dari pintu belakang beberapa menit kemudian, Rayder mencegatnya di lorong gelap. Ia menempelkan laras pistol dingin ke punggung pria itu.

“Jika kau mencoba melukai sepupuku, aku akan menguliti hidup-hidup,” bisik Rayder di telinga Hector.

Hector tidak berani menoleh. Ia hanya mengangguk gemetar sebelum bergegas pergi.

Moya mungkin bisa berbicara, tapi aku yang memastikan semua orang mendengarkan, pikir Rayder saat ia berjalan kembali ke dalam bayang-bayang.

Penilaian Mendoza: Siapa yang Lebih Layak?

Dua hari setelah menyelesaikan tugas mereka, Rayder dan Moya kembali berdiri di depan Mendoza di ruang kerjanya. Cahaya redup dari lampu meja membuat wajah Mendoza terlihat semakin dingin dan sulit ditebak.

Mendoza mengamati mereka berdua lama, seolah menimbang sesuatu yang lebih besar daripada sekadar hasil tugas mereka.

"Kalian berdua menyelesaikan tugas dengan cara berbeda," suaranya datar tetapi memiliki bobot yang menekan udara di ruangan itu.

Rayder tetap berdiri tegak, wajahnya tidak menunjukkan emosi. Di sebelahnya, Moya bersandar santai di dinding, tetapi tatapannya tajam dan penuh rasa ingin tahu.

"Rayder," Mendoza memulai. "Kau menunjukkan kekuatan dan keberanian. Kau tidak ragu untuk mengotori tanganmu demi melindungi keluarga ini. Itu penting."

Rayder tidak bicara, tetapi dalam hati, ia tahu—kekuatan adalah mata uang utama di dunia ini.

"Dan kau, Moya," Mendoza menoleh. "Kau membuktikan bahwa otak bisa menjadi senjata yang lebih tajam daripada peluru. Kau tahu kapan harus menekan dan kapan harus bermain cerdas."

Senyum tipis muncul di wajah Moya. "Aku hanya memastikan tidak ada yang meremehkan kita, Ayah," jawabnya pelan.

Mendoza menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Kalian berdua penting bagi kartel ini. Tapi ingat satu hal—hanya ada satu kursi di puncak. Jika kau ingin bertahan di dunia ini, kau harus siap mengambilnya, apa pun caranya."

Kalimat itu adalah peringatan. Peringatan bahwa suatu hari nanti, mereka mungkin harus saling menyingkirkan.

"Sekarang pergi," kata Mendoza akhirnya. "Aku akan mengawasi kalian."

Moya: Antara Ambisi dan Kecurigaan

Moya melangkah keluar dari ruang kerja Mendoza lebih dulu. Langkahnya santai, tetapi pikirannya bekerja keras. Ia tahu apa yang sedang dilakukan ayahnya—membenturkan mereka berdua untuk melihat siapa yang lebih kuat.

Saat Rayder menyusul, Moya menghentikan langkahnya di lorong yang sepi.

"Kau tahu permainan apa yang sedang dia mainkan, kan?" suara Moya terdengar pelan tetapi tajam.

Rayder mengangguk. "Dia ingin kita saling membunuh suatu hari nanti."

Moya tertawa pelan. "Lucu. Kita bukan musuh, tapi dia ingin kita berpikir demikian."

Rayder menatapnya lekat. "Kau tahu aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu, kan?"

Sejenak, wajah Moya melunak. Meski ada persaingan di antara mereka, mereka tahu hanya mereka yang bisa saling percaya di dunia yang kejam ini.

"Aku tahu," jawab Moya akhirnya. "Dan aku juga tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu, Rayder."

Untuk sesaat, mereka berdiri dalam keheningan. Rivalitas tetap ada, tetapi di baliknya, ada ikatan yang tidak bisa dipecahkan.

Rayder: Dingin, Brutal, dan Tak Terhentikan

Malam itu, Rayder kembali ke distrik utara. Gudang tua tempat ia membunuh pengkhianat masih berbau darah. Baginya, itu bukan sekadar pembunuhan—itu adalah pernyataan bahwa dia siap memimpin.

Dia berdiri di tengah kegelapan, merenung. Mendoza menguji mereka. Tapi dia tidak mengerti sesuatu—aku tidak bermain untuk menjadi pion. Aku bermain untuk menjadi raja.

Dari bayang-bayang, seorang pria muncul—Sergio "Cazador", salah satu kepala operasi lapangan.

"Tugas selesai?" tanya Sergio.

Rayder menatapnya tajam. "Selesai. Tidak ada yang akan berbicara lagi."

Sergio mengangguk, lalu menambahkan, "Banyak orang mulai membicarakanmu. Mereka bilang kau lebih kejam daripada Mendoza."

Rayder tersenyum tipis. "Biar mereka bicara. Aku di sini bukan untuk mendapat pujian—aku di sini untuk mengambil semuanya."

Moya di Bayang-Bayang Rayder

Di sisi lain kota, Moya duduk di kamarnya, menatap pisau lipat di tangannya. Ada sesuatu di pikirannya yang sulit diabaikan—bagaimana Rayder selalu melindunginya, bahkan dalam diam.

Ia tahu Rayder ada di restoran malam itu. Ia tahu ancaman Rayder-lah yang membuat Hector tunduk. Tapi ia membiarkan Rayder berpikir bahwa ia tidak tahu.

"Dia mungkin lebih kuat," gumam Moya pelan, "Tapi aku lebih licik."

Bagi orang luar, Rayder mungkin terlihat seperti ancaman terbesar. Tapi bagi Moya, ancaman terbesar bukanlah musuh di luar—melainkan apa yang bisa dilakukan Rayder jika ia benar-benar melepaskan seluruh kekuatannya.

Janji di Antara Mereka

Beberapa hari kemudian, di atap rumah Mendoza, Rayder dan Moya duduk berdampingan. Angin malam Santa Cruz terasa dingin menusuk tulang, tetapi bagi mereka, ini hanya malam biasa di tengah kekacauan.

"Suatu hari nanti, kita akan menguasai semuanya," kata Rayder pelan, matanya menatap jauh ke kota yang bersinar di bawah mereka.

Moya tertawa kecil. "Kita?"

Rayder menoleh. "Aku tidak ingin melakukannya sendirian. Apa pun yang terjadi, aku ingin kau tetap di sisiku."

Kali ini, Moya tidak menertawakannya. Ia tahu bahwa di dunia yang penuh pengkhianatan ini, satu-satunya orang yang bisa dia percaya adalah Rayder.

"Aku di pihakmu, Rayder," kata Moya akhirnya. "Selalu."

Mereka saling mengulurkan tangan, menggenggam erat—sebuah janji diam-diam yang tak terucap.

Dan di dunia yang penuh darah dan pengkhianatan ini, janji itu mungkin menjadi satu-satunya hal yang menjaga mereka tetap hidup.

****************

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MAFIA SANTA CRUZ: SANG RAJA TANPA MAHKOTA   BAB 21 - BAGIAN II

    Bab 21 Bagian 2: Api yang Menyala di Dalam BayangPagi Santa Cruz tidak pernah benar-benar tenang. Terutama pagi setelah Rayder menerima pesan dari suara yang tak ingin dia dengar lagi.Camila.Ia berdiri di depan peta tua yang tergantung di ruang strateginya, jari telunjuknya menelusuri garis menuju lokasi tersembunyi di hutan barat. Tempat itu—sebuah gudang tua tempat dia dulu belajar mengeksekusi musuh pertamanya—kini menjadi arena masa lalu yang menuntut jawaban."Jika itu jebakan, maka mereka sudah menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya," kata Ghost di belakangnya. Wajahnya keras, tetapi ada ketegangan di mata.Rayder mengangguk, perlahan. "Kalau itu benar Camila... aku harus tahu kenapa dia kembali."Moya masuk dengan tablet di tangan. "Delano tidak menunggu. Orang-orangnya menyerang dua gudang kita semalam. Ada 12 korban.""Kita biarkan?" tanya Ghost."Tidak," jawab Rayder pelan. "Tapi sebelum kita menyerang balik, aku akan hadapi Camila dulu."Di tempat lain, di sebuah villa

  • MAFIA SANTA CRUZ: SANG RAJA TANPA MAHKOTA   BAB 21 - BAGIAN I

    Bab 21 : Jejak di Tengah BaraLangit malam Santa Cruz tampak seperti tumpahan darah yang belum mengering. Asap tipis menggantung di udara, memantulkan cahaya kota yang terus menyala. Rayder berdiri di balkon markas pusatnya, memandangi lampu-lampu yang berkedip di kejauhan seperti bintang palsu.Di tangannya, laporan elektronik dari Rafael "Zorro" Morales—koneksi politik dan diplomatik kartel—tentang ancaman besar yang kembali muncul dari utara: Lucas Delano, nama yang selama ini dianggap telah tenggelam dalam sejarah berdarah kartel lama."Dia kembali..." gumam Rayder."Dan dia tidak datang untuk berdamai," Moya menyahut dari balik meja kaca. Ia menaruh berkas hasil interogasi di meja.Rayder menatap wajah sepupunya itu. Dalam lima tahun terakhir, Moya telah tumbuh menjadi arsitek finansial dan strategi diplomatik yang paling Rayder andalkan—dan curigai."Kita pernah membakarnya hidup-hidup. Apa dia bangkit dari neraka?" gumam Rayder setengah sinis."Tidak. Tapi orang-orang seperti d

  • MAFIA SANTA CRUZ: SANG RAJA TANPA MAHKOTA   BAB 20 - BAGIAN II

    Bab 20: Neraka yang Kami Bangun (Bagian 2) --- Tanda-Tanda Pengkhianatan Kairo tidak bisa diam. Ia terus menatap rekaman yang memperlihatkan Zorro memasuki hotel mewah bersama seseorang yang dikenali sebagai Agen AFC berpangkat tinggi. “Kita harus tanya dia langsung,” katanya kepada Rayder. Rayder hanya menatap layar. “Tanya? Kita bukan polisi. Kita tentara bayangan. Kita cabut kepercayaannya dulu, baru tanyakan sisanya.” Moya masuk, tanpa mengetuk. “Ada yang aneh. Rapat komisi anti-korupsi tiba-tiba dibatalkan. Dan dua pejabat tinggi di Tinarkko tiba-tiba menghilang.” Rayder: “Zorro yang atur itu?” Moya: “Atau dia dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian.” --- Penjebakan Zorro Rayder membuat rencana: bukan hanya untuk mengkonfrontasi Zorro, tapi untuk memancing seluruh jaringan yang mungkin ikut terlibat. “Jebak dia. Undang ke rapat darurat. Buat dia bicara,” perintah Rayder. Di malam yang ditentukan, Zorro datang seperti biasa, tenang, rapi, membawa tas dokumen. Rayde

  • MAFIA SANTA CRUZ: SANG RAJA TANPA MAHKOTA   BAB 20 - BAGIAN I

    Bab 20: Neraka yang Kami Bangun (Bagian 1) Langit Tanpa Janji Langit Santa Cruz malam itu seperti lembaran kelam. Awan hitam menggantung berat, menyembunyikan bulan, menekan kota. “Dia itu Leonel Diaz,” kata Ghost cepat. “Rekrutan kita yang hilang dua tahun lalu.” Rayder menatap layar, diam beberapa detik. “Dan sekarang dia mengemudi truk ke arah pusat kota?” “Satu truk. Tapi bukan truk biasa,” timpal Moya. “Sensor tangkap konsentrasi gas neurotoksik. VX, kemungkinan.” Rayder berbalik. “Matikan jalur akses ke Zona Empat. Siapkan ledakan di jembatan Del Norte.” Ghost: “Kau yakin mau ledakkan jalan utama?” “Kita tidak buka pintu neraka. Kita segel selamanya.” Dampak Serangan & Kepanikan Kota Panik menyebar seperti penyakit. Rumah sakit penuh. Warga menyerbu toko untuk masker dan makanan. Radio bawah tanah menyebarkan ketakutan yang dibungkus kebohongan. Morena duduk di depan mikrofon, menggenggam naskah berita dengan tangan bergetar. “Kita siarkan kabar darurat sekarang,” uj

  • MAFIA SANTA CRUZ: SANG RAJA TANPA MAHKOTA   BAB 19 - BAGIAN II

    Bab 19: Kota Tanpa Cahaya (Bagian 2) 8. Kegelapan adalah Senjata Dengan sistem El Silencio masih aktif, Rayder mulai mengubah strategi. “Kegelapan bukan lagi gangguan,” katanya kepada tim elit. “Kita jadikan ia senjata.” Zorro menyebarkan informasi palsu melalui saluran radio tua bahwa Isandro akan melakukan kudeta terhadap pemerintah Tinarkko. Di saat yang sama, Morena menyebar kabar di kalangan bisnis bawah tanah bahwa Isandro telah membunuh dua pemimpin kartel kecil untuk mengambil alih rute mereka. “Jika mereka percaya Isandro akan mengkhianati mereka, mereka akan datang kepada kita,” kata Morena. 9. Jatuhnya Pilar Lama Kairo berhasil menembus jaringan informasi lama yang masih berjalan di bawah kontrol bank hitam internasional. Di sana, ia menemukan transaksi mencurigakan—pengiriman dana dari jaringan yang dulu milik Mendoza kepada identitas yang baru terhubung ke Isandro. “Dia menggunakan harta warisan untuk menghancurkan apa yang diwarisinya,” kata Kairo. Rayder menatap

  • MAFIA SANTA CRUZ: SANG RAJA TANPA MAHKOTA   BAB 19 - BAGIAN I

    Bab 19: Kota Tanpa Cahaya (Bagian 1 ) 1. Ledakan dalam Sunyi Pukul 00.01, seluruh distrik timur Santa Cruz gelap total. Bukan hanya padam listrik—semua sistem komunikasi, jaringan digital, bahkan kontrol transportasi dan distribusi logistik terhenti. Kairo menatap layar sistem utama yang padam. Di ruang kendali markas besar, hanya cahaya senter yang menembus kegelapan. “El Silencio bukan hanya sistem penghubung lama,” katanya pelan. “Ini akar dari seluruh perkembangan digital kita. Kalau mati, semua turun bersamanya.” Lupe berkutat dengan terminal cadangan. “Protokol yang kau buat tidak cukup. Kita butuh jaringan baru. Dari awal.” Rayder berdiri membelakangi mereka, menatap jendela hitam. Di kejauhan, suara sirene membelah malam. “Biarkan semua lumpuh. Biarkan mereka tahu bahwa cahaya yang mereka nikmati selama ini datang dari sisi tergelap kota ini.” 2. Reaksi Kacau: Ketakutan di Jalanan Warga mulai panik. Di distrik pusat, orang-orang berlarian. Apotek dijarah, toko makanan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status