đź“– Bab 3: Ujian Loyalitas di Santa Cruz
Santa Cruz: Di Antara Keluarga dan Kekuasaan Di Santa Cruz, hukum bukan ditulis di pengadilan, tetapi diukir dengan darah di jalanan. Di wilayah ini, kepercayaan bisa membunuhmu, dan pengkhianatan adalah mata uang yang paling mahal. Tidak ada yang selamat jika mereka ragu sekejap pun. Rayder Bomb memahami itu sejak ia dibawa ke rumah pamannya, Mendoza "Sabio", di usia 15 tahun. Di rumah besar yang terasa dingin itu, dia menyadari satu hal—di dunia ini, yang lemah hanya menjadi mangsa. Malam ini, Rayder dan sepupunya, Moya, duduk berhadapan di ruang tengah yang luas. Mereka tahu, ada sesuatu yang besar akan terjadi. Mendoza tidak memanggil mereka kecuali untuk hal penting—atau mematikan. “Hari ini aku beri kalian pilihan,” suara Mendoza terdengar berat, dalam, dan penuh tekanan. Asap dari cerutu yang dihisapnya melayang di udara, menciptakan aura mengancam di ruangan. Rayder duduk tegak, menatap pamannya tanpa berkedip. Di sebelahnya, Moya bersandar santai, tetapi ada ketegangan di rahangnya yang terlihat jelas. “Pilihan apa?” suara Rayder memecah keheningan. Mendoza meletakkan cerutunya di asbak kristal. Ia menatap mereka berdua seperti pemangsa yang menilai apakah mangsanya cukup kuat untuk bertahan. “Kalian sudah cukup lama di bawah perlindunganku,” katanya perlahan. “Tapi perlindungan selalu ada harga. Sekarang saatnya kalian membuktikan apakah kalian pantas hidup di dunia ini—atau kalian mati seperti yang lainnya.” Misi yang Memisahkan Mereka “Kalian akan mendapat tugas berbeda,” Mendoza melanjutkan, memecah ketegangan di udara. Ia menunjuk ke arah Rayder. “Kau akan pergi ke distrik utara. Ada pengkhianat di antara kita—seseorang membocorkan informasi ke kartel Gardigo. Aku ingin kau menemukannya dan memastikan dia tidak bicara lagi.” Rayder mengangguk tanpa keraguan. “Dimengerti.” Kemudian, Mendoza menoleh pada Moya, yang masih menatap tajam. “Dan kau,” katanya, “ada seorang pejabat di dewan kota yang mulai ragu untuk bekerja sama. Pastikan dia tahu tempatnya. Jika dia menolak… kau tahu apa yang harus kau lakukan.” Moya tersenyum tipis. “Aku akan membuatnya paham, Ayah.” Mendoza menyandarkan tubuhnya ke kursi kulit, mengamati mereka berdua sejenak sebelum berkata, “Jangan buat aku kecewa.” Setelah Perintah, Muncul Rivalitas Saat mereka meninggalkan ruangan, udara di antara Rayder dan Moya terasa berbeda. Ada sesuatu yang tidak terucap di antara mereka—rivalitas halus yang selama ini mereka tekan. “Sepertinya Ayah ingin menguji kita,” kata Moya pelan saat mereka berjalan di lorong panjang rumah besar itu. “Bukan hanya menguji,” jawab Rayder tanpa menoleh. “Dia ingin tahu siapa di antara kita yang lebih layak berdiri di sisinya.” Moya terkekeh pelan. “Kau berpikir aku peduli siapa yang lebih baik?” Rayder berhenti di depan pintu, menatap langsung ke mata Moya. “Aku tahu kau peduli,” suaranya rendah tetapi tajam. “Tapi kau juga tahu, kita hanya punya satu sama lain di dunia ini.” Hening sejenak. Meski ada persaingan di antara mereka, di balik itu semua ada sesuatu yang lebih kuat—loyalitas. “Aku takkan membiarkan siapa pun melukai kita,” tambah Rayder sebelum membuka pintu dan melangkah pergi ke dalam malam yang dingin. Tugas Rayder: Darah atau Pengampunan Gudang tua di distrik utara berbau besi dan kematian. Rayder berdiri di depan seorang pria yang terikat di kursi. Wajah pria itu berlumuran darah, napasnya tersengal ketakutan. “Kau tahu kenapa aku di sini,” suara Rayder terdengar dingin dan stabil. Pria itu menggeleng, air matanya bercampur darah. “Aku… aku hanya mencoba melindungi keluargaku.” Rayder menatapnya tanpa emosi. Keluarga. Kata itu terasa asing baginya—satu-satunya keluarga yang ia kenal adalah mereka yang sanggup bertahan hidup. “Keluarga tidak akan menyelamatkanmu sekarang,” kata Rayder, mengeluarkan pistol dari pinggangnya. “Tolong… aku bisa memperbaikinya… aku tidak akan bicara lagi…” pria itu memohon. Rayder mengingat kata-kata Mendoza: “Jika kau ragu, kau akan mati.” Jari telunjuknya menekan pelatuk perlahan. Dalam sekejap, suara tembakan memecah kesunyian. Darah mengalir di lantai. Tanpa ekspresi, Rayder membalikkan badan dan pergi—meninggalkan mayat yang dulu menyebut dirinya teman. Ini bukan soal benar atau salah. Ini soal bertahan hidup. Tugas Moya: Negosiasi yang Berbahaya Di sisi lain kota, Moya duduk berhadapan dengan Hector Galvez, pejabat korup di dewan kota. Restoran mewah tempat mereka bertemu tampak elegan, tetapi suasana di meja itu tegang. “Kau mulai mengingkari kesepakatan,” kata Moya, suaranya terdengar santai, tetapi matanya tajam. Hector menyandarkan tubuhnya, mencoba terlihat santai. “Kau ini masih bocah. Apa kau pikir aku takut dan percaya padamu?” Moya tersenyum, tetapi di balik senyum itu ada bahaya. Dia mengeluarkan sebuah amplop dan mendorongnya ke tengah meja. “Aku tahu di mana keluargamu tinggal,” bisik Moya. “Dan aku tahu apa yang terjadi pada orang yang mengkhianati kami.” Wajah Hector memucat seketika. “Apa kau mengancamku?” Moya menatapnya tanpa berkedip. “Aku hanya mengingatkan bahwa aku tidak datang sendirian.” Rayder di Balik Bayang-Bayang Apa yang Hector tidak tahu—Rayder ada di luar restoran, mengawasi. Saat Hector keluar dari pintu belakang beberapa menit kemudian, Rayder mencegatnya di lorong gelap. Ia menempelkan laras pistol dingin ke punggung pria itu. “Jika kau mencoba melukai sepupuku, aku akan menguliti hidup-hidup,” bisik Rayder di telinga Hector. Hector tidak berani menoleh. Ia hanya mengangguk gemetar sebelum bergegas pergi. Moya mungkin bisa berbicara, tapi aku yang memastikan semua orang mendengarkan, pikir Rayder saat ia berjalan kembali ke dalam bayang-bayang. Penilaian Mendoza: Siapa yang Lebih Layak? Dua hari setelah menyelesaikan tugas mereka, Rayder dan Moya kembali berdiri di depan Mendoza di ruang kerjanya. Cahaya redup dari lampu meja membuat wajah Mendoza terlihat semakin dingin dan sulit ditebak. Mendoza mengamati mereka berdua lama, seolah menimbang sesuatu yang lebih besar daripada sekadar hasil tugas mereka. "Kalian berdua menyelesaikan tugas dengan cara berbeda," suaranya datar tetapi memiliki bobot yang menekan udara di ruangan itu. Rayder tetap berdiri tegak, wajahnya tidak menunjukkan emosi. Di sebelahnya, Moya bersandar santai di dinding, tetapi tatapannya tajam dan penuh rasa ingin tahu. "Rayder," Mendoza memulai. "Kau menunjukkan kekuatan dan keberanian. Kau tidak ragu untuk mengotori tanganmu demi melindungi keluarga ini. Itu penting." Rayder tidak bicara, tetapi dalam hati, ia tahu—kekuatan adalah mata uang utama di dunia ini. "Dan kau, Moya," Mendoza menoleh. "Kau membuktikan bahwa otak bisa menjadi senjata yang lebih tajam daripada peluru. Kau tahu kapan harus menekan dan kapan harus bermain cerdas." Senyum tipis muncul di wajah Moya. "Aku hanya memastikan tidak ada yang meremehkan kita, Ayah," jawabnya pelan. Mendoza menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Kalian berdua penting bagi kartel ini. Tapi ingat satu hal—hanya ada satu kursi di puncak. Jika kau ingin bertahan di dunia ini, kau harus siap mengambilnya, apa pun caranya." Kalimat itu adalah peringatan. Peringatan bahwa suatu hari nanti, mereka mungkin harus saling menyingkirkan. "Sekarang pergi," kata Mendoza akhirnya. "Aku akan mengawasi kalian." Moya: Antara Ambisi dan Kecurigaan Moya melangkah keluar dari ruang kerja Mendoza lebih dulu. Langkahnya santai, tetapi pikirannya bekerja keras. Ia tahu apa yang sedang dilakukan ayahnya—membenturkan mereka berdua untuk melihat siapa yang lebih kuat. Saat Rayder menyusul, Moya menghentikan langkahnya di lorong yang sepi. "Kau tahu permainan apa yang sedang dia mainkan, kan?" suara Moya terdengar pelan tetapi tajam. Rayder mengangguk. "Dia ingin kita saling membunuh suatu hari nanti." Moya tertawa pelan. "Lucu. Kita bukan musuh, tapi dia ingin kita berpikir demikian." Rayder menatapnya lekat. "Kau tahu aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu, kan?" Sejenak, wajah Moya melunak. Meski ada persaingan di antara mereka, mereka tahu hanya mereka yang bisa saling percaya di dunia yang kejam ini. "Aku tahu," jawab Moya akhirnya. "Dan aku juga tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu, Rayder." Untuk sesaat, mereka berdiri dalam keheningan. Rivalitas tetap ada, tetapi di baliknya, ada ikatan yang tidak bisa dipecahkan. Rayder: Dingin, Brutal, dan Tak Terhentikan Malam itu, Rayder kembali ke distrik utara. Gudang tua tempat ia membunuh pengkhianat masih berbau darah. Baginya, itu bukan sekadar pembunuhan—itu adalah pernyataan bahwa dia siap memimpin. Dia berdiri di tengah kegelapan, merenung. Mendoza menguji mereka. Tapi dia tidak mengerti sesuatu—aku tidak bermain untuk menjadi pion. Aku bermain untuk menjadi raja. Dari bayang-bayang, seorang pria muncul—Sergio "Cazador", salah satu kepala operasi lapangan. "Tugas selesai?" tanya Sergio. Rayder menatapnya tajam. "Selesai. Tidak ada yang akan berbicara lagi." Sergio mengangguk, lalu menambahkan, "Banyak orang mulai membicarakanmu. Mereka bilang kau lebih kejam daripada Mendoza." Rayder tersenyum tipis. "Biar mereka bicara. Aku di sini bukan untuk mendapat pujian—aku di sini untuk mengambil semuanya." Moya di Bayang-Bayang Rayder Di sisi lain kota, Moya duduk di kamarnya, menatap pisau lipat di tangannya. Ada sesuatu di pikirannya yang sulit diabaikan—bagaimana Rayder selalu melindunginya, bahkan dalam diam. Ia tahu Rayder ada di restoran malam itu. Ia tahu ancaman Rayder-lah yang membuat Hector tunduk. Tapi ia membiarkan Rayder berpikir bahwa ia tidak tahu. "Dia mungkin lebih kuat," gumam Moya pelan, "Tapi aku lebih licik." Bagi orang luar, Rayder mungkin terlihat seperti ancaman terbesar. Tapi bagi Moya, ancaman terbesar bukanlah musuh di luar—melainkan apa yang bisa dilakukan Rayder jika ia benar-benar melepaskan seluruh kekuatannya. Janji di Antara Mereka Beberapa hari kemudian, di atap rumah Mendoza, Rayder dan Moya duduk berdampingan. Angin malam Santa Cruz terasa dingin menusuk tulang, tetapi bagi mereka, ini hanya malam biasa di tengah kekacauan. "Suatu hari nanti, kita akan menguasai semuanya," kata Rayder pelan, matanya menatap jauh ke kota yang bersinar di bawah mereka. Moya tertawa kecil. "Kita?" Rayder menoleh. "Aku tidak ingin melakukannya sendirian. Apa pun yang terjadi, aku ingin kau tetap di sisiku." Kali ini, Moya tidak menertawakannya. Ia tahu bahwa di dunia yang penuh pengkhianatan ini, satu-satunya orang yang bisa dia percaya adalah Rayder. "Aku di pihakmu, Rayder," kata Moya akhirnya. "Selalu." Mereka saling mengulurkan tangan, menggenggam erat—sebuah janji diam-diam yang tak terucap. Dan di dunia yang penuh darah dan pengkhianatan ini, janji itu mungkin menjadi satu-satunya hal yang menjaga mereka tetap hidup. ****************Bab 11: Fondasi Kekuasaan 1. Meja Bundar Tanpa Mahkota Gudang bawah tanah di Distrik Sur kini berubah menjadi pusat komando Rayder. Tak ada lampu kristal, hanya cahaya redup dari lampu gantung industri. Di meja bundar dari kayu kasar, duduklah empat orang yang tak pernah disatukan siapa pun selain Rayder. Rayder memecah keheningan. “Kita bukan lagi anak buah siapa-siapa. Mulai hari ini, kita adalah poros baru.” Moya mengangguk pelan, kedua tangannya saling bertaut di atas meja. “Dan setiap poros butuh sistem. Kalau tidak, kita hanya jadi pemimpin setengah matang.” “Setengah matang masih bisa membakar,” sahut Ghost dingin, bekas luka di pelipisnya terlihat jelas di bawah cahaya. “Tapi kalau ini semua jadi pertunjukan demokrasi, aku keluar sekarang.” “Tidak, Ghost,” potong Rayder. “Kau di sini bukan untuk berdebat. Kau bagian dari fondasi. Sama seperti Moya, Sergio, dan Zorro.” Sergio—berbadan tambun, dengan mata waspada layaknya pedagang ulung—mengangguk. “Aku sudah dapatk
Bab 11: Empat Pilar Tanpa MahkotaLangit Santa Cruz sore itu memerah, seolah membakar sisa-sisa darah yang mengering di jalan-jalan belakang pelabuhan. Di dermaga tua, tempat kapal-kapal penyelundup biasa bersandar, Rayder berdiri diam menghadap laut, diapit oleh tiga sosok yang kelak menjadi tonggak kekuasaannya.Moya "Mago" Bomb berdiri dengan jas krem, tangannya memegang catatan kecil, wajahnya tenang namun matanya penuh hitungan. Di sebelahnya, Ghost Rivas, mengenakan jaket militer hitam, wajahnya kosong tanpa emosi. Di belakang, menyender ke mobil Range Rover, Rafael "Zorro" Morales menyalakan cerutu, mengamati dari jauh sambil tersenyum tipis.“Ini bukan tentang senjata saja,” kata Rayder lirih. “Santa Cruz tak bisa dikuasai hanya dengan darah. Kita butuh akar. Politik. Ekonomi. Narasi.”Moya mengangguk. “Dan legitimasi. Kita perlu buat publik percaya, kita ini bukan monster. Kita ini sistem baru.”Rayder menatapnya. “Dan siapa yang kau rasa cocok jadi wajah sistem baru itu?”Mo
Bab 10 – Pisau di Meja MakanJamuan BeracunRuangan makan itu megah tapi sunyi. Lampu gantung kristal bergoyang pelan. Di tengah meja panjang, duduk empat tokoh: Rayder, Rafael Morales, Moya, dan seorang tamu dari luar kota—Don Belisario, utusan dari kartel Rivales.Rayder menyeka tangannya, menatap Rafael tanpa senyum.Rayder:"Jadi, Rafael... katamu dia hanya ingin berdiskusi?"Rafael:“Betul. Mereka ingin jalur dagang ke timur. Tidak lebih.”Moya:"Dan kau percaya begitu saja?"Don Belisario:"Kami datang dengan itikad baik. Santa Cruz terlalu besar untuk dilawan, tapi bisa diajak bicara."Rayder mencelupkan roti ke saus, lalu menaruhnya kembali tanpa makan.Rayder:"Orang yang terlalu banyak bicara biasanya takut. Apa yang sebenarnya kalian mau?"Don Belisario (senyum tenang):"Aliansi. Kami bantu kalian ekspor senjata. Kalian buka jalur utara untuk kami. Tidak ada darah."Rayder tertawa kecil. Dingin.Rayder:"Kau datang ke meja ini bawa janji. Tapi aku tahu Rivales menyuap dua k
BAB 9: Retakan Dalam Bayanagan.Ketegangan di Ruang Tengah Di ruang rapat utama, Moya dan Rafael kembali bertemu. Keduanya mulai menunjukkan ketidaknyamanan yang lebih terang. “Rayder menyimpan terlalu banyak rahasia,” ucap Rafael. “Kita semua punya rahasia,” jawab Moya tenang. “Bukan begitu maksudku. Dia mulai curiga ke semua orang. Bahkan padaku.” Moya meneguk kopinya, lalu berkata pelan, “Mungkin memang waktunya kita siapkan rencana darurat. Kalau dia jatuh, kita tidak boleh jatuh bersamanya.” “Rencana seperti apa?” “Sesuatu yang tak akan membuat kita terjebak di tengah perang saudara,” ucap Moya tanpa menatap Rafael. Serangan Tak Terduga dari Kartel Rivales Dini hari, markas gudang timur Rayder meledak. Api membumbung tinggi, mengguncang satu blok penuh. Tim Ghost langsung meluncur ke lokasi, tapi sudah terlambat. Tiga orang tewas. Dua truk berisi senjata dan uang hangus. Rayder berdiri di depan puing-puing. Mulutnya kaku. Mata menyala marah. “Mereka masuk terlalu dalam
Bab 8: Luka yang Tidak Terlihat Luka Psikologis dan Ketegangan dalam Organisasi Pagi di Santa Cruz terasa lebih sunyi dari biasanya. Di markas utama, Rayder duduk diam di ruangannya. Pistol tergeletak di meja, pelurunya belum terisi kembali sejak eksekusi kemarin malam. Tapi suara jeritan dari gudang itu masih terngiang di kepalanya. Moya masuk tanpa permisi, membawa secangkir kopi. Tatapannya lurus, ekspresinya datar. "Kau tidak tidur, ya?" tanyanya. Rayder tidak menjawab. Hanya memandangi dinding. "Kau sudah membuat peringatan ke Rivales. Tapi kau juga meninggalkan ketakutan di anak buah sendiri." "Aku tak butuh loyalitas yang dibangun dari rasa aman," balas Rayder. "Aku butuh ketakutan yang menjaga mereka tetap bergerak." Moya duduk, meletakkan laporan di meja. "Ada yang harus kau lihat. Salah satu informan kita dibunuh. Disiksa dulu." Rayder membaca laporan itu cepat. Ekspresi wajahnya tak berubah, tapi napasnya lebih berat. "Mereka balas dendam." "Kemungkinan besar," uc
Bayang-Bayang Pengkhianatan Malam itu udara terasa berat di markas utama. Rayder berdiri di balkon lantai dua, menatap kilauan lampu kota Santa Cruz yang terasa jauh dari jangkauannya. Di bawah, suara mesin mobil dan langkah kaki para anak buahnya terdengar samar. Operasi balasan terhadap kartel Rivales berjalan lancar, tetapi di dalam dirinya, Moya merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak beres."Kau yakin ini sudah cukup?" Suara Moya memecah keheningan. Ia berdiri di belakang Rayder, kedua tangannya terlipat di depan dada. Ada ketegangan yang jelas di matanya.Rayder tidak menoleh. "Kita sudah memberi mereka peringatan. Jika mereka masih berani bergerak, aku pastikan itu jadi langkah terakhir mereka."Moya melangkah mendekat. "Tapi kau tahu mereka tidak akan berhenti begitu saja. Rivales bukan kartel kecil. Jika kita terlalu keras, mereka akan membalas dengan cara yang lebih brutal."Rayder menghela napas panjang, akhirnya berbalik menghadap Moya. Sorot matanya tajam, teta