Bab 2: Darah Pertama di Santa Cruz
Santa Cruz, Wilayah Para Raja Tanpa Mahkota Santa Cruz bukan sekadar kota. Ini adalah kerajaan tanpa mahkota, tempat di mana uang lebih berkuasa daripada hukum, dan yang lemah hanyalah umpan bagi mereka yang lebih kuat. Di antara semua pemimpin yang pernah memerintah Santa Cruz, hanya sedikit yang bertahan lama. Yang lemah mati lebih cepat, yang kuat akan bertahan—tetapi dengan harga yang mahal. "Kau akan tinggal bersama paman di kota, dan akan belajar banyak hal." mendoza berbica pada Rayder yang dari tadi hanya diam. ~~ Malam itu, seorang anak laki-laki berusia lima belas tahun tiba di Santa Cruz. Namanya Rayder Bomb. Dan malam itu adalah awal dari segalanya. Tiba di Santa Cruz: Dunia yang Berbeda Mobil meluncur perlahan di jalanan Santa Cruz. Lampu neon yang berkedip-kedip menyinari trotoar yang penuh dengan kehidupan malam. Bau alkohol, rokok, dan debu bercampur di udara. Di dalam mobil, Rayder yang masih duduk diam di kursi belakang. Wajahnya dingin, tetapi di balik matanya yang tajam, ada badai yang sedang berkecamuk—amarah, kehilangan, dan rasa haus akan kekuatan. Di depan kemudi, Mendoza "Sabio" Bomb, pamannya, mengemudi dengan tenang. Tangannya yang besar memegang setir, sementara cerutu menyala di bibirnya. "Lihat baik-baik, Nak," kata Mendoza tanpa menoleh. "Ini dunia yang akan kau tinggali mulai sekarang." Rayder masih tidak menjawab. Dia masih memikirkan malam ketika rumahnya terbakar, ibunya terbunuh, dan hidupnya diambil paksa. "Tidak ada yang akan memberimu belas kasihan di sini," Mendoza melanjutkan. "Jika kau ingin bertahan, kau harus belajar aturan di Santa Cruz—emas atau timah panas." Rayder menatap keluar jendela. Dia tidak merasa takut. Yang ada hanya kehampaan… dan kemarahan yang membara. Rumah Baru: Bertemu dengan Moya Mobil berhenti di depan rumah besar di pinggiran kota. Itu rumah Mendoza—besar dan kokoh, tapi terasa dingin. Begitu mereka masuk, seorang anak laki-laki yang lebih muda dari Rayder berlari di lorong. Bocah itu berambut hitam berantakan, mengenakan kaus lusuh, dan matanya memancarkan rasa ingin tahu yang tajam. "Rayder," kata Mendoza, "kenalkan, ini Moya. Sepupumu." Moya menatap Rayder dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Jadi ini bocah yang katanya akan belajar dari Ayah?" tanyanya, suaranya sedikit meremehkan. "Aku bukan bocah," balas Rayder datar. Moya menyeringai kecil. "Kita lihat saja nanti." Rayder menatapnya tajam. Dia sudah kehilangan segalanya. Dia tidak akan membiarkan siapa pun meremehkannya lagi. Pelajaran Pertama: Tak Ada Tempat untuk yang Lemah Dengan nada datar mendoza berbicara. "Rayder ikuti aku, ada yang akan aku tunjukan padamu." Malam itu, Mendoza langsung membawa Rayder ke ruang bawah tanah rumahnya. Udara di sana dingin, lampu remang-remang menerangi ruangan yang penuh dengan kotak kayu dan senjata. Di tengah ruangan, ada seorang pria terikat di kursi. Wajahnya lebam, darah mengering di sudut bibirnya. Napasnya pendek dan terputus-putus. "Dia mencuri dari kartel," kata Mendoza sambil menyodorkan pistol ke tangan Rayder. Rayder memegang pistol itu, merasakan beratnya di telapak tangan. "Kau ingin bertahan di dunia ini? Kau harus membuktikan dirimu," lanjut Mendoza. "Tarik pelatuknya." Pria di kursi mulai menangis. "Aku tidak akan melakukannya lagi… aku punya keluarga… tolong…" Tangan Rayder sedikit gemetar. Dia hanya bocah 15 tahun. Ini gila. Tapi dia ingat malam itu—suara tembakan yang membunuh ibunya. Wajah ibunya yang penuh darah. "Jika aku tidak bisa membunuh," pikirnya, "maka aku akan mati." Mendoza menatapnya tajam. "Lakukan. Atau kau tidak akan pernah menjadi siapa-siapa." Rayder menarik napas panjang. Kemarahan, kesedihan, dan ketakutan bercampur dalam dirinya. Tangannya berhenti gemetar. Dia sudah memutuskan. Bang..!! Suara tembakan menggema di ruangan. Pria di kursi itu terkulai, nyawanya hilang dalam sekejap. Rayder menurunkan pistol. Dia tidak merasa mual. Tidak merasa bersalah. Yang dia rasakan hanyalah… kekuatan. Wejangan dari Mendoza: Emas atau Timah Panas Mendoza mendekat dan menepuk bahunya. "Bagus," katanya, suaranya lembut namun dingin. "Kau lulus ujian pertamamu, Nak." dan melanjutkan, "Sekarang kau siap belajar lebih banyak lagi." Rayder menatap mayat di kursi tanpa ekspresi. Mendoza duduk di salah satu kursi yang ada di depan Rayder, menatapnya langsung di mata. "Ingat ini baik-baik," katanya pelan, "di dunia ini, kau hanya punya dua pilihan: emas atau timah panas. Beri mereka emas, mereka akan membungkuk padamu. Beri mereka timah panas, mereka akan takut padamu." Dia mengangkat wajah Rayder dengan jarinya. "Jangan pernah ragu lagi. Keraguan hanya milik orang bodoh. Kau bukan orang bodoh, kan?" Rayder menggeleng pelan. Dia mengerti. Dunia ini tidak punya tempat untuk yang lemah. "Aku tidak akan pernah lemah lagi," katanya dalam hati. Mengenal Dunia Baru: Moya dan Pelajaran Kekuasaan Hari-hari berikutnya, Rayder mulai mengenal rutinitas baru di rumah Mendoza. Moya—sepupunya yang lebih muda—menjadi teman sekaligus rivalnya. "Kau tidak terlihat seperti pembunuh," sindir Moya suatu hari. "Aku bukan pembunuh," jawab Rayder tenang. "Aku bertahan hidup." Moya menyeringai. "Kalau kau cukup pintar, kau bisa jadi lebih dari sekadar bertahan hidup." Mereka berbeda, tapi satu hal mempersatukan mereka: Dunia ini tidak akan memberi mereka belas kasihan. Dan Rayder bersumpah, tidak peduli seberapa jauh dia harus melangkah—dia akan jadi penguasa di Santa Cruz. Tiga Tahun Sudah Berlalu Sejak Hari Pertama Rayder Tiba Di Rumah Pamannya. Mulai Belajar Banyak Hal: Rayder dan Moya Mulai berlatih keras! "Pistol ini terasa sangat ringan setelah kita berlatih sejak Tiga tahun terakhir, tidak seperti sebelumnya, saat pertama kali ayahmu mebawaku ke ruang bawah tanah". jelas Rayder kepada Moya yang saat itu sedang Pushup. "Jangan sombong dulu Dagger, saat kau berperang nanti, mungkin pistol itu akan terasa lebih berat dari sekarang". Jawab Moya yang saat itu sudah selesai dengan Pushupnya. "Kita lihat saja nanti saat perang sudah benar-benar terjadi". jawab Rayder dengan datar, tapi juga penuh keyakinan. Bang..!! Bang..!! Rayder menembakkan pistolnya ke target yang ada di depan. "Ayo cepat selesaikan latihanmu, kita harus segera pergi, Paman sudah memunggu kita." Tegas Rayder pada Moya, dan berlalu ke ruang tengah. "Yap.. Aku akan menyusul". Lanjut Moya dengan santai, sambil merapikan peralatannya. ****************Bab 21 Bagian 2: Api yang Menyala di Dalam BayangPagi Santa Cruz tidak pernah benar-benar tenang. Terutama pagi setelah Rayder menerima pesan dari suara yang tak ingin dia dengar lagi.Camila.Ia berdiri di depan peta tua yang tergantung di ruang strateginya, jari telunjuknya menelusuri garis menuju lokasi tersembunyi di hutan barat. Tempat itu—sebuah gudang tua tempat dia dulu belajar mengeksekusi musuh pertamanya—kini menjadi arena masa lalu yang menuntut jawaban."Jika itu jebakan, maka mereka sudah menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya," kata Ghost di belakangnya. Wajahnya keras, tetapi ada ketegangan di mata.Rayder mengangguk, perlahan. "Kalau itu benar Camila... aku harus tahu kenapa dia kembali."Moya masuk dengan tablet di tangan. "Delano tidak menunggu. Orang-orangnya menyerang dua gudang kita semalam. Ada 12 korban.""Kita biarkan?" tanya Ghost."Tidak," jawab Rayder pelan. "Tapi sebelum kita menyerang balik, aku akan hadapi Camila dulu."Di tempat lain, di sebuah villa
Bab 21 : Jejak di Tengah BaraLangit malam Santa Cruz tampak seperti tumpahan darah yang belum mengering. Asap tipis menggantung di udara, memantulkan cahaya kota yang terus menyala. Rayder berdiri di balkon markas pusatnya, memandangi lampu-lampu yang berkedip di kejauhan seperti bintang palsu.Di tangannya, laporan elektronik dari Rafael "Zorro" Morales—koneksi politik dan diplomatik kartel—tentang ancaman besar yang kembali muncul dari utara: Lucas Delano, nama yang selama ini dianggap telah tenggelam dalam sejarah berdarah kartel lama."Dia kembali..." gumam Rayder."Dan dia tidak datang untuk berdamai," Moya menyahut dari balik meja kaca. Ia menaruh berkas hasil interogasi di meja.Rayder menatap wajah sepupunya itu. Dalam lima tahun terakhir, Moya telah tumbuh menjadi arsitek finansial dan strategi diplomatik yang paling Rayder andalkan—dan curigai."Kita pernah membakarnya hidup-hidup. Apa dia bangkit dari neraka?" gumam Rayder setengah sinis."Tidak. Tapi orang-orang seperti d
Bab 20: Neraka yang Kami Bangun (Bagian 2) --- Tanda-Tanda Pengkhianatan Kairo tidak bisa diam. Ia terus menatap rekaman yang memperlihatkan Zorro memasuki hotel mewah bersama seseorang yang dikenali sebagai Agen AFC berpangkat tinggi. “Kita harus tanya dia langsung,” katanya kepada Rayder. Rayder hanya menatap layar. “Tanya? Kita bukan polisi. Kita tentara bayangan. Kita cabut kepercayaannya dulu, baru tanyakan sisanya.” Moya masuk, tanpa mengetuk. “Ada yang aneh. Rapat komisi anti-korupsi tiba-tiba dibatalkan. Dan dua pejabat tinggi di Tinarkko tiba-tiba menghilang.” Rayder: “Zorro yang atur itu?” Moya: “Atau dia dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian.” --- Penjebakan Zorro Rayder membuat rencana: bukan hanya untuk mengkonfrontasi Zorro, tapi untuk memancing seluruh jaringan yang mungkin ikut terlibat. “Jebak dia. Undang ke rapat darurat. Buat dia bicara,” perintah Rayder. Di malam yang ditentukan, Zorro datang seperti biasa, tenang, rapi, membawa tas dokumen. Rayde
Bab 20: Neraka yang Kami Bangun (Bagian 1) Langit Tanpa Janji Langit Santa Cruz malam itu seperti lembaran kelam. Awan hitam menggantung berat, menyembunyikan bulan, menekan kota. “Dia itu Leonel Diaz,” kata Ghost cepat. “Rekrutan kita yang hilang dua tahun lalu.” Rayder menatap layar, diam beberapa detik. “Dan sekarang dia mengemudi truk ke arah pusat kota?” “Satu truk. Tapi bukan truk biasa,” timpal Moya. “Sensor tangkap konsentrasi gas neurotoksik. VX, kemungkinan.” Rayder berbalik. “Matikan jalur akses ke Zona Empat. Siapkan ledakan di jembatan Del Norte.” Ghost: “Kau yakin mau ledakkan jalan utama?” “Kita tidak buka pintu neraka. Kita segel selamanya.” Dampak Serangan & Kepanikan Kota Panik menyebar seperti penyakit. Rumah sakit penuh. Warga menyerbu toko untuk masker dan makanan. Radio bawah tanah menyebarkan ketakutan yang dibungkus kebohongan. Morena duduk di depan mikrofon, menggenggam naskah berita dengan tangan bergetar. “Kita siarkan kabar darurat sekarang,” uj
Bab 19: Kota Tanpa Cahaya (Bagian 2) 8. Kegelapan adalah Senjata Dengan sistem El Silencio masih aktif, Rayder mulai mengubah strategi. “Kegelapan bukan lagi gangguan,” katanya kepada tim elit. “Kita jadikan ia senjata.” Zorro menyebarkan informasi palsu melalui saluran radio tua bahwa Isandro akan melakukan kudeta terhadap pemerintah Tinarkko. Di saat yang sama, Morena menyebar kabar di kalangan bisnis bawah tanah bahwa Isandro telah membunuh dua pemimpin kartel kecil untuk mengambil alih rute mereka. “Jika mereka percaya Isandro akan mengkhianati mereka, mereka akan datang kepada kita,” kata Morena. 9. Jatuhnya Pilar Lama Kairo berhasil menembus jaringan informasi lama yang masih berjalan di bawah kontrol bank hitam internasional. Di sana, ia menemukan transaksi mencurigakan—pengiriman dana dari jaringan yang dulu milik Mendoza kepada identitas yang baru terhubung ke Isandro. “Dia menggunakan harta warisan untuk menghancurkan apa yang diwarisinya,” kata Kairo. Rayder menatap
Bab 19: Kota Tanpa Cahaya (Bagian 1 ) 1. Ledakan dalam Sunyi Pukul 00.01, seluruh distrik timur Santa Cruz gelap total. Bukan hanya padam listrik—semua sistem komunikasi, jaringan digital, bahkan kontrol transportasi dan distribusi logistik terhenti. Kairo menatap layar sistem utama yang padam. Di ruang kendali markas besar, hanya cahaya senter yang menembus kegelapan. “El Silencio bukan hanya sistem penghubung lama,” katanya pelan. “Ini akar dari seluruh perkembangan digital kita. Kalau mati, semua turun bersamanya.” Lupe berkutat dengan terminal cadangan. “Protokol yang kau buat tidak cukup. Kita butuh jaringan baru. Dari awal.” Rayder berdiri membelakangi mereka, menatap jendela hitam. Di kejauhan, suara sirene membelah malam. “Biarkan semua lumpuh. Biarkan mereka tahu bahwa cahaya yang mereka nikmati selama ini datang dari sisi tergelap kota ini.” 2. Reaksi Kacau: Ketakutan di Jalanan Warga mulai panik. Di distrik pusat, orang-orang berlarian. Apotek dijarah, toko makanan