Share

BAB 2

Author: Duy.Nah
last update Last Updated: 2025-03-24 22:26:10

Bab 2: Darah Pertama di Santa Cruz

Santa Cruz, Wilayah Para Raja Tanpa Mahkota

Santa Cruz bukan sekadar kota. Ini adalah kerajaan tanpa mahkota, tempat di mana uang lebih berkuasa daripada hukum, dan yang lemah hanyalah umpan bagi mereka yang lebih kuat.

Di antara semua pemimpin yang pernah memerintah Santa Cruz, hanya sedikit yang bertahan lama. Yang lemah mati lebih cepat, yang kuat akan bertahan—tetapi dengan harga yang mahal.

"Kau akan tinggal bersama paman di kota, dan akan belajar banyak hal." mendoza berbica pada Rayder yang dari tadi hanya diam.

~~

Malam itu, seorang anak laki-laki berusia lima belas tahun tiba di Santa Cruz.

Namanya Rayder Bomb. Dan malam itu adalah awal dari segalanya.

Tiba di Santa Cruz: Dunia yang Berbeda

Mobil meluncur perlahan di jalanan Santa Cruz. Lampu neon yang berkedip-kedip menyinari trotoar yang penuh dengan kehidupan malam. Bau alkohol, rokok, dan debu bercampur di udara.

Di dalam mobil, Rayder yang masih duduk diam di kursi belakang. Wajahnya dingin, tetapi di balik matanya yang tajam, ada badai yang sedang berkecamuk—amarah, kehilangan, dan rasa haus akan kekuatan.

Di depan kemudi, Mendoza "Sabio" Bomb, pamannya, mengemudi dengan tenang. Tangannya yang besar memegang setir, sementara cerutu menyala di bibirnya.

"Lihat baik-baik, Nak," kata Mendoza tanpa menoleh. "Ini dunia yang akan kau tinggali mulai sekarang."

Rayder masih tidak menjawab. Dia masih memikirkan malam ketika rumahnya terbakar, ibunya terbunuh, dan hidupnya diambil paksa.

"Tidak ada yang akan memberimu belas kasihan di sini," Mendoza melanjutkan. "Jika kau ingin bertahan, kau harus belajar aturan di Santa Cruz—emas atau timah panas."

Rayder menatap keluar jendela. Dia tidak merasa takut. Yang ada hanya kehampaan… dan kemarahan yang membara.

Rumah Baru: Bertemu dengan Moya

Mobil berhenti di depan rumah besar di pinggiran kota. Itu rumah Mendoza—besar dan kokoh, tapi terasa dingin.

Begitu mereka masuk, seorang anak laki-laki yang lebih muda dari Rayder berlari di lorong. Bocah itu berambut hitam berantakan, mengenakan kaus lusuh, dan matanya memancarkan rasa ingin tahu yang tajam.

"Rayder," kata Mendoza, "kenalkan, ini Moya. Sepupumu."

Moya menatap Rayder dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Jadi ini bocah yang katanya akan belajar dari Ayah?" tanyanya, suaranya sedikit meremehkan.

"Aku bukan bocah," balas Rayder datar.

Moya menyeringai kecil. "Kita lihat saja nanti."

Rayder menatapnya tajam. Dia sudah kehilangan segalanya. Dia tidak akan membiarkan siapa pun meremehkannya lagi.

Pelajaran Pertama: Tak Ada Tempat untuk yang Lemah

Dengan nada datar mendoza berbicara. "Rayder ikuti aku, ada yang akan aku tunjukan padamu."

Malam itu, Mendoza langsung membawa Rayder ke ruang bawah tanah rumahnya. Udara di sana dingin, lampu remang-remang menerangi ruangan yang penuh dengan kotak kayu dan senjata.

Di tengah ruangan, ada seorang pria terikat di kursi. Wajahnya lebam, darah mengering di sudut bibirnya. Napasnya pendek dan terputus-putus.

"Dia mencuri dari kartel," kata Mendoza sambil menyodorkan pistol ke tangan Rayder.

Rayder memegang pistol itu, merasakan beratnya di telapak tangan.

"Kau ingin bertahan di dunia ini? Kau harus membuktikan dirimu," lanjut Mendoza. "Tarik pelatuknya."

Pria di kursi mulai menangis. "Aku tidak akan melakukannya lagi… aku punya keluarga… tolong…"

Tangan Rayder sedikit gemetar. Dia hanya bocah 15 tahun. Ini gila.

Tapi dia ingat malam itu—suara tembakan yang membunuh ibunya. Wajah ibunya yang penuh darah.

"Jika aku tidak bisa membunuh," pikirnya, "maka aku akan mati."

Mendoza menatapnya tajam. "Lakukan. Atau kau tidak akan pernah menjadi siapa-siapa."

Rayder menarik napas panjang. Kemarahan, kesedihan, dan ketakutan bercampur dalam dirinya.

Tangannya berhenti gemetar. Dia sudah memutuskan.

Bang..!!

Suara tembakan menggema di ruangan. Pria di kursi itu terkulai, nyawanya hilang dalam sekejap.

Rayder menurunkan pistol. Dia tidak merasa mual. Tidak merasa bersalah.

Yang dia rasakan hanyalah… kekuatan.

Wejangan dari Mendoza: Emas atau Timah Panas

Mendoza mendekat dan menepuk bahunya.

"Bagus," katanya, suaranya lembut namun dingin. "Kau lulus ujian pertamamu, Nak." dan melanjutkan, "Sekarang kau siap belajar lebih banyak lagi."

Rayder menatap mayat di kursi tanpa ekspresi.

Mendoza duduk di salah satu kursi yang ada di depan Rayder, menatapnya langsung di mata. "Ingat ini baik-baik," katanya pelan, "di dunia ini, kau hanya punya dua pilihan: emas atau timah panas. Beri mereka emas, mereka akan membungkuk padamu. Beri mereka timah panas, mereka akan takut padamu."

Dia mengangkat wajah Rayder dengan jarinya. "Jangan pernah ragu lagi. Keraguan hanya milik orang bodoh. Kau bukan orang bodoh, kan?"

Rayder menggeleng pelan. Dia mengerti. Dunia ini tidak punya tempat untuk yang lemah.

"Aku tidak akan pernah lemah lagi," katanya dalam hati.

Mengenal Dunia Baru: Moya dan Pelajaran Kekuasaan

Hari-hari berikutnya, Rayder mulai mengenal rutinitas baru di rumah Mendoza.

Moya—sepupunya yang lebih muda—menjadi teman sekaligus rivalnya.

"Kau tidak terlihat seperti pembunuh," sindir Moya suatu hari.

"Aku bukan pembunuh," jawab Rayder tenang. "Aku bertahan hidup."

Moya menyeringai. "Kalau kau cukup pintar, kau bisa jadi lebih dari sekadar bertahan hidup."

Mereka berbeda, tapi satu hal mempersatukan mereka: Dunia ini tidak akan memberi mereka belas kasihan.

Dan Rayder bersumpah, tidak peduli seberapa jauh dia harus melangkah—dia akan jadi penguasa di Santa Cruz.

Tiga Tahun Sudah Berlalu Sejak Hari Pertama Rayder Tiba Di Rumah Pamannya.

Mulai Belajar Banyak Hal: Rayder dan Moya Mulai berlatih keras!

"Pistol ini terasa sangat ringan setelah kita berlatih sejak Tiga tahun terakhir, tidak seperti sebelumnya, saat pertama kali ayahmu mebawaku ke ruang bawah tanah". jelas Rayder kepada Moya yang saat itu sedang Pushup.

"Jangan sombong dulu Dagger, saat kau berperang nanti, mungkin pistol itu akan terasa lebih berat dari sekarang". Jawab Moya yang saat itu sudah selesai dengan Pushupnya.

"Kita lihat saja nanti saat perang sudah benar-benar terjadi". jawab Rayder dengan datar, tapi juga penuh keyakinan.

Bang..!! Bang..!!

Rayder menembakkan pistolnya ke target yang ada di depan.

"Ayo cepat selesaikan latihanmu, kita harus segera pergi, Paman sudah memunggu kita." Tegas Rayder pada Moya, dan berlalu ke ruang tengah.

"Yap.. Aku akan menyusul". Lanjut Moya dengan santai, sambil merapikan peralatannya.

****************

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MAFIA SANTA CRUZ: SANG RAJA TANPA MAHKOTA   BAB 11 (BAGIAN II)

    Bab 11: Fondasi Kekuasaan 1. Meja Bundar Tanpa Mahkota Gudang bawah tanah di Distrik Sur kini berubah menjadi pusat komando Rayder. Tak ada lampu kristal, hanya cahaya redup dari lampu gantung industri. Di meja bundar dari kayu kasar, duduklah empat orang yang tak pernah disatukan siapa pun selain Rayder. Rayder memecah keheningan. “Kita bukan lagi anak buah siapa-siapa. Mulai hari ini, kita adalah poros baru.” Moya mengangguk pelan, kedua tangannya saling bertaut di atas meja. “Dan setiap poros butuh sistem. Kalau tidak, kita hanya jadi pemimpin setengah matang.” “Setengah matang masih bisa membakar,” sahut Ghost dingin, bekas luka di pelipisnya terlihat jelas di bawah cahaya. “Tapi kalau ini semua jadi pertunjukan demokrasi, aku keluar sekarang.” “Tidak, Ghost,” potong Rayder. “Kau di sini bukan untuk berdebat. Kau bagian dari fondasi. Sama seperti Moya, Sergio, dan Zorro.” Sergio—berbadan tambun, dengan mata waspada layaknya pedagang ulung—mengangguk. “Aku sudah dapatk

  • MAFIA SANTA CRUZ: SANG RAJA TANPA MAHKOTA   BAB 11-(BAGIAN I)

    Bab 11: Empat Pilar Tanpa MahkotaLangit Santa Cruz sore itu memerah, seolah membakar sisa-sisa darah yang mengering di jalan-jalan belakang pelabuhan. Di dermaga tua, tempat kapal-kapal penyelundup biasa bersandar, Rayder berdiri diam menghadap laut, diapit oleh tiga sosok yang kelak menjadi tonggak kekuasaannya.Moya "Mago" Bomb berdiri dengan jas krem, tangannya memegang catatan kecil, wajahnya tenang namun matanya penuh hitungan. Di sebelahnya, Ghost Rivas, mengenakan jaket militer hitam, wajahnya kosong tanpa emosi. Di belakang, menyender ke mobil Range Rover, Rafael "Zorro" Morales menyalakan cerutu, mengamati dari jauh sambil tersenyum tipis.“Ini bukan tentang senjata saja,” kata Rayder lirih. “Santa Cruz tak bisa dikuasai hanya dengan darah. Kita butuh akar. Politik. Ekonomi. Narasi.”Moya mengangguk. “Dan legitimasi. Kita perlu buat publik percaya, kita ini bukan monster. Kita ini sistem baru.”Rayder menatapnya. “Dan siapa yang kau rasa cocok jadi wajah sistem baru itu?”Mo

  • MAFIA SANTA CRUZ: SANG RAJA TANPA MAHKOTA   BAB 10

    Bab 10 – Pisau di Meja MakanJamuan BeracunRuangan makan itu megah tapi sunyi. Lampu gantung kristal bergoyang pelan. Di tengah meja panjang, duduk empat tokoh: Rayder, Rafael Morales, Moya, dan seorang tamu dari luar kota—Don Belisario, utusan dari kartel Rivales.Rayder menyeka tangannya, menatap Rafael tanpa senyum.Rayder:"Jadi, Rafael... katamu dia hanya ingin berdiskusi?"Rafael:“Betul. Mereka ingin jalur dagang ke timur. Tidak lebih.”Moya:"Dan kau percaya begitu saja?"Don Belisario:"Kami datang dengan itikad baik. Santa Cruz terlalu besar untuk dilawan, tapi bisa diajak bicara."Rayder mencelupkan roti ke saus, lalu menaruhnya kembali tanpa makan.Rayder:"Orang yang terlalu banyak bicara biasanya takut. Apa yang sebenarnya kalian mau?"Don Belisario (senyum tenang):"Aliansi. Kami bantu kalian ekspor senjata. Kalian buka jalur utara untuk kami. Tidak ada darah."Rayder tertawa kecil. Dingin.Rayder:"Kau datang ke meja ini bawa janji. Tapi aku tahu Rivales menyuap dua k

  • MAFIA SANTA CRUZ: SANG RAJA TANPA MAHKOTA   BAB 9

    BAB 9: Retakan Dalam Bayanagan.Ketegangan di Ruang Tengah Di ruang rapat utama, Moya dan Rafael kembali bertemu. Keduanya mulai menunjukkan ketidaknyamanan yang lebih terang. “Rayder menyimpan terlalu banyak rahasia,” ucap Rafael. “Kita semua punya rahasia,” jawab Moya tenang. “Bukan begitu maksudku. Dia mulai curiga ke semua orang. Bahkan padaku.” Moya meneguk kopinya, lalu berkata pelan, “Mungkin memang waktunya kita siapkan rencana darurat. Kalau dia jatuh, kita tidak boleh jatuh bersamanya.” “Rencana seperti apa?” “Sesuatu yang tak akan membuat kita terjebak di tengah perang saudara,” ucap Moya tanpa menatap Rafael. Serangan Tak Terduga dari Kartel Rivales Dini hari, markas gudang timur Rayder meledak. Api membumbung tinggi, mengguncang satu blok penuh. Tim Ghost langsung meluncur ke lokasi, tapi sudah terlambat. Tiga orang tewas. Dua truk berisi senjata dan uang hangus. Rayder berdiri di depan puing-puing. Mulutnya kaku. Mata menyala marah. “Mereka masuk terlalu dalam

  • MAFIA SANTA CRUZ: SANG RAJA TANPA MAHKOTA   BAB 8

    Bab 8: Luka yang Tidak Terlihat Luka Psikologis dan Ketegangan dalam Organisasi Pagi di Santa Cruz terasa lebih sunyi dari biasanya. Di markas utama, Rayder duduk diam di ruangannya. Pistol tergeletak di meja, pelurunya belum terisi kembali sejak eksekusi kemarin malam. Tapi suara jeritan dari gudang itu masih terngiang di kepalanya. Moya masuk tanpa permisi, membawa secangkir kopi. Tatapannya lurus, ekspresinya datar. "Kau tidak tidur, ya?" tanyanya. Rayder tidak menjawab. Hanya memandangi dinding. "Kau sudah membuat peringatan ke Rivales. Tapi kau juga meninggalkan ketakutan di anak buah sendiri." "Aku tak butuh loyalitas yang dibangun dari rasa aman," balas Rayder. "Aku butuh ketakutan yang menjaga mereka tetap bergerak." Moya duduk, meletakkan laporan di meja. "Ada yang harus kau lihat. Salah satu informan kita dibunuh. Disiksa dulu." Rayder membaca laporan itu cepat. Ekspresi wajahnya tak berubah, tapi napasnya lebih berat. "Mereka balas dendam." "Kemungkinan besar," uc

  • MAFIA SANTA CRUZ: SANG RAJA TANPA MAHKOTA   BAB 7-(BAGIAN II)

    Bayang-Bayang Pengkhianatan Malam itu udara terasa berat di markas utama. Rayder berdiri di balkon lantai dua, menatap kilauan lampu kota Santa Cruz yang terasa jauh dari jangkauannya. Di bawah, suara mesin mobil dan langkah kaki para anak buahnya terdengar samar. Operasi balasan terhadap kartel Rivales berjalan lancar, tetapi di dalam dirinya, Moya merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak beres."Kau yakin ini sudah cukup?" Suara Moya memecah keheningan. Ia berdiri di belakang Rayder, kedua tangannya terlipat di depan dada. Ada ketegangan yang jelas di matanya.Rayder tidak menoleh. "Kita sudah memberi mereka peringatan. Jika mereka masih berani bergerak, aku pastikan itu jadi langkah terakhir mereka."Moya melangkah mendekat. "Tapi kau tahu mereka tidak akan berhenti begitu saja. Rivales bukan kartel kecil. Jika kita terlalu keras, mereka akan membalas dengan cara yang lebih brutal."Rayder menghela napas panjang, akhirnya berbalik menghadap Moya. Sorot matanya tajam, teta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status