Masuk"Kau yang menginginkan ini, Bu! Lihat dirimu... kau begitu haus di bawahku!" geram Rama serak, napasnya memburu seperti binatang buas. "Biarkan Nadia tidur dengan bajingan itu, aku tidak peduli lagi! Aku punya kau sekarang... milikmu jauh lebih mengkel, jauh lebih sempit! Aku akan menghabisimu malam ini, Alya!" Alya semakin histeris mendengar namanya disebut tanpa embel-embel 'Ibu'. Ia meracau semakin menjadi, "Ya, panggil namaku, Rama! Lupakan istrimu yang pengkhianat itu! Aku jauh lebih baik, bukan? Terus... lebih cepat, Ram! Aku mau keluar! Aku mau pecah di tanganmu!" Rama semakin beringas. Ia mencengkeram bokong besar Alya dengan sangat kuat hingga memerah, menjadikannya tumpuan untuk setiap tusukan yang semakin dalam dan keras. "Kau milikku malam ini... hanya milikku! Aku akan mengeluarkan semuanya di dalammu, biarkan kau mengandung anak dari menantumu sendiri!" Keduanya benar-benar sudah hanyut dalam dosa yang luar biasa. Racauan mereka saling bersahutan, memenuhi kamar
Rasa kesal dan amarah yang mengganjal di dada Rama kini meledak menjadi hasrat yang liar. Ia melampiaskan seluruh pengkhianatan istrinya melalui sentuhan-sentuhan kasar dan menuntut. Tanpa basa-basi, Rama langsung membopong tubuh matang Alya dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang. Ia segera memposisikan dirinya di antara kedua kaki Alya, lalu melahap pusat kenikmatan mertuanya itu dengan gerakan lidah yang cepat dan liar. Rama benar-benar tak terkendali; setiap hisapan dan jilatan yang ia berikan seolah ingin menguras habis harga diri dan kesadaran Alya. Alya kewalahan. Napasnya tersengal-sengal menghadapi serangan membabi buta dari menantunya. Namun, di saat yang sama, ia sangat menikmatinya. Ia mencengkeram rambut Rama, menariknya lebih dalam ke arah pangkal pahanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam lautan nafsu yang diciptakan oleh pria yang seharusnya memanggilnya "Ibu" tersebut. Cairan gairah semakin membasahi sprei seiring dengan gerakan lidah Rama yang kian bruta
Saat Rama berniat menghentikan semuanya, perasaan bersalah kembali menekan dadanya. Ini salah. Terlalu salah. Namun ponselnya bergetar—sekali, dua kali, berkali-kali—memecah fokusnya. Alya masih duduk di sana, gelisah dengan rasa bersalah yang sama. Ia hanya bisa diam, memperhatikan menantunya yang terpaku pada layar ponsel, dada telanjang, wajahnya mengeras. Alya bahkan tak sadar sejak kapan rama sudah merapikan dirinya sendiri. Kali ini semuanya terasa jelas—prasangkanya selama ini seperti menemukan bentuk. Di layar ponsel, terpampang foto Nadia. Istrinya—tergandeng seorang pria bule. Terlalu dekat. Terlalu bebas. Pemandangan yang mengingatkannya pada sesuatu yang pernah ia abaikan. Sebuah pesan masuk, menyusul tanpa jeda. “Ram, maafkan aku, tapi aku lihat Nadia terlalu berlebihan.” —Dinda Napas Rama tersendat. Tak percaya. Nadia? Seliar itu di belakangnya? Amarah bercampur luka menyambar cepat. Ada rasa dipermainkan, ada ego yang tercabik, ada kepercayaan ya
Dalam keadaan telanjang dada dan tubuh yang masih lembap, Rama membopong tubuh mertuanya menuju kamar di lantai atas. Suara hujan yang menghantam atap seolah menjadi musik latar bagi gairah yang membara di dalam sana. Rama merebahkan Alya di atas ranjang, lalu melucuti pakaian wanita itu satu per satu hingga tak ada lagi penghalang. Ia tertegun. Tubuh Alya begitu sempurna—seperti gitar Spanyol dengan lekuk yang menggoda, dada yang kencang dan besar,dan tatapan sayu yang meminta lebih. Tanpa menunggu lama, Rama menindihnya, melumat bibir Alya dengan rakus sementara tangannya meremas ganas gundukan kenyal di dadanya. "Ahhh... Ram..." Alya mengerang saat Rama mulai memainkan titik sensitifnya dengan lidah. Gairah Alya memuncak hingga ia mencapai klimaks pertamanya. Namun Rama belum selesai. Ia turun ke bawah, membuka paha Alya lebar-lebar. Matanya menatap penuh kagum pada keindahan yang selama ini tersembunyi. Dengan liar, ia memberikan rangsangan yang membuat Alya
Keduanya terperanjat. Rasa canggung yang pekat tiba-tiba menyelimuti keduanya. Dengan gerakan refleks, Rama menyambar ponselnya yang terus bergetar, mengangkat panggilan dari istrinya. "Mas, maaf bukan tiga hari, ternyata aku di sini harus sampai sepuluh hari," suara Nadia terdengar dari seberang sana. Mendengar kabar itu, Rama dan Alya saling lirik. Ada kebingungan sekaligus percikan aneh yang sulit dijelaskan di mata mereka. Rama berdeham, mencoba menetralkan suaranya yang mendadak serak. "Baiklah Nad, semangat ya. Hati-hati di sana," jawab Rama singkat, kalimat standar yang baru pertama kali ia ucapkan. Hatinya bergejolak. Ada rasa kesal karena rencananya mencicipi kehangatan mertuanya terganggu oleh panggilan Nadia. Tanpa berbasa-basi lagi, Nadia menutup panggilan tersebut. "Em... Bu... anu..." Rama bingung harus memulai obrolan dari mana. "Jangan pernah katakan apa pun pada Nadia," potong Alya pelan, suaranya nyaris berbisik namun penuh penekanan. Rama men
"Mas, aku berangkat ya," ucap Nadia manja pada Rama sebelum ia benar-benar melangkah pergi menuju bandara untuk keberangkatannya ke Singapura.Rama hanya menyunggingkan senyum tipis yang dipaksakan. Di dalam benaknya, ia mengira semalam Nadia akan memberikan "jatah" sebagai salam perpisahan sementara, namun lagi-lagi istrinya itu beralasan lelah dan takut kesiangan. Hatinya dongkol, mengkel bukan main, namun ia tak berdaya. Ia tak ingin merusak suasana hati istrinya; setidaknya ia ingin kepergian Nadia berkesan manis, meski hanya di permukaan."Bu, aku titip Rama ya. Hanya tiga hari saja," ucap Nadia pada Alya.Alya tersenyum manis, "Iya, jangan lama-lama perginya. Kasihan suamimu nanti kesepian.""Ngapain kesepian? Kan ada Ibu di rumah ini," jawab Nadia enteng. Perkataan itu seketika membuat Rama dan Alya saling lirik dengan tatapan yang sulit diartikan. Kalimat itu terasa begitu ambigu di telinga mereka."Heh, apa maksudmu ada Ibu?" Alya menepuk pelan bahu putrinya, mencoba m







