“Lo emang nggak pernah ngertiin gue!”
“Apa?! Gue nggak pernah ngertiin lo? Maksud lo apa, Sya?! Saat lo lagi sibuk sama temen-temen lo, apa gue pernah nyalahin lo? Apa gue pernah larang-larang lo? Lagian, gue selalu ngasih apa pun yang elo mau.” Sorot mataku menatap tajam pada seorang perempuan bernama Tasya, sang pujaan hati.
Aku dan Tasya sudah menjalin hubungan semenjak tiga tahun yang lalu, tepatnya saat kami baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas, yang mana pada saat itu Tasya dirundung sebuah nestapa. Ibunya meninggal. Ya, dan akulah satu-satunya orang yang menyelamatkan Tasya dari neraka bernama kesepian.
Sejak saat itu juga, Tasya selalu menggunakan bahuku untuk menyandarkan kepalanya di saat dia mengalami masalah yang menghancurkan hatinya. Kami berbagi kasih dan sayang. Juga berbagi kesedihan.
“Bukan itu maksud gue, Jaya! Bukan itu! Gua tahu kalau lo selalu pengertian sama gue.” Tasya menggeleng pelan. Jelas sekali bahwa ia sedang menahan air mata yang telah menggantung di maniknya.
“Terus apa? Salah gue apaan sama lo? Lo ngomong yang jelas, kek, biar gue tahu salah gue itu di mana. Lo bilang gue gak pengertian, tapi nyatanya gue udah sangat—“
“Lo ke mana aja di malam ulang tahun gue? Sedetik pun elo nggak punya waktu buat gue malam itu. Gue capek nunggu lo. Capek nunggu meskipun cuma sebatas telepon atau SMS.”
Aku mendadak terkejut ketika kalimat tersebut terlontar dari bibir Tasya. Sorot mataku yang tadinya setajam katana, kini tumpul seperti sebuah pisau tua berkarat. Aku mengalihkan pandangan, sebab tahu bahwa aku memang salah.
“Kenapa lo diem, Jay? Udah puas lo sekarang? Udah tahu, kan, salah lo di mana? Lo masih bisa ngelak? Lo masih bisa bilang kalau lo ngerti perasaan gue, hah?! Jawab gue!” Tasya meninggikan nada suaranya. Terdengar seperti harimau mengaum yang siap menikam mangsanya.
“Gue ... gue waktu itu—“
“Keluar sama Risna, kan?” Tasya meraih kerah kemejaku yang tak dikancing sama sekali. Ia kemudian meremasnya, memaksaku untuk menatap kedua matanya yang kini dipenuhi cairan bening bernama air mata. “Lihat gue, Jay, lihat!” lanjut Tasya dengan lirih.
Aku masih tak sanggup menghadapkan wajahku pada Tasya. Apa yang dikatakan olehnya memang adalah sebuah kebenaran. Malam itu aku keluar bersama dengan Risna, yang merupakan teman Tasya. Dan aku benar-benar lupa bahwa hari itu Tasya berulang tahun. Ya, bodohnya aku!
Lagi pula, aku tidak tahu mengapa aku bisa lupa dengan hari ulang tahun Tasya. Aku tidak mengingat apa pun malam itu. Yang aku pikirkan hanya bersedia menemani Risna.
“Gue bilang, lihat gue, Jay Berengsek!” Tasya akhirnya memekik, tidak kuasa menahan gejolak amarah yang telah meluap-luap bagai gunung merapi yang siap meletus.
Dengan perlahan aku menoleh, menatap wajah perempuan berambut panjang bergaya kucir kuda, yang kini telah terbanjiri air mata. “Maaf ....”
Tasya melepaskan kerah kemejaku yang tadinya ia cengkeram begitu erat. Ia membekap mulutnya. Menatap padaku. “Gue benci sama lo! Jangan pernah cari gue lagi!”
Perempuan bertubuh kurus yang mengenakan rok selutut ini berlalu pergi penuh luka. Melangkah tergesa menyusuri jalanan kota yang ramai oleh lalu-lalang berbagai kendaraan. Kemudian, kini yang ada hanyalah sesal yang bergelimang di hati.
Aku tidak ingin mengejar Tasya atau sekadar mengatakan ‘jangan pergi’, sebab ketika kepedihan telah menyapa perempuan itu, tidak ada yang akan bisa menghentikannya.
-II-
“Sayang! Kamu, kok, ngelamun aja dari tadi? Dimakan dong baksonya.” Risna menarikku keluar dari fantasi kenangan beberapa tahun yang lalu.“I-iya.”Aku merasa hubunganku dengan Risna begitu aneh. Setelah lama kami menjalin hubungan pertemanan, kini kami diharuskan terbiasa untuk menjalani hari-hari yang dramatis dalam nuansa percintaan. Aku takut jika pada akhirnya asmara yang terjalin di antara kami berakhir tidak seperti yang diharapkan. Jika hal itu terjadi, apakah hubungan pertemanan kami akan dilanjutkan?Tentu saja perihal cinta yang tidak berjalan sesuai keinginan akan membuat kami tenggelam dalam kecanggungan. Maka, tidak ada yang bisa diubah lagi. Sudah terlambat sebab Risna telah merasakan apa yang pernah kurasakan dulu.Memiliki orang yang begitu cinta dan perhatian padaku memang adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup ini. Namun, cinta itu kadang membingungkan. Bahkan meskipun diriku mengaku ahli dalam perihal romansa,
“Wooooo! Gue lulus!” Risna terpekik kegirangan ketika namanya tertera pada sebuah surat kabar kelulusan SMA. Ia meloncat-loncat kegirangan sembari memutar-mutar secarik kertas di tangannya.Perasaan berdebarnya terbayarkan sudah karena mengetahui dirinya lulus dari Sekolah Menengah Akhir. Begitu pun denganku yang sama girangnya, berekspresi hanya dengan mengangkat tangan kanan yang terkepal.Dengan hanya melihatnya bahagia saja, sudah mampu memahat sebuah senyum di wajahku. “Segitu senengnya, ya?”Risna menghentikan aktivitasnya. “Ya, iyalah! Setelah ini kita bakal masuk universitas! Elo gimana? Lulus, nggak?”“Luluslah. Kan, kita tiap hari belajar terus bareng-bareng.”“Asyik! Sini, gue corat-coret baju lo terus tanda tangan!”“Di mana? Di punggung aja kali, ya?”“Jangan! Di depan aja!” Risna kemudian mengeluarkan sebuah spidol di dalam tasnya. Ia men
“Wooooo! Gue lulus!” Risna terpekik kegirangan ketika namanya tertera pada sebuah surat kabar kelulusan SMA. Ia meloncat-loncat kegirangan sembari memutar-mutar secarik kertas di tangannya.Perasaan berdebarnya terbayarkan sudah karena mengetahui dirinya lulus dari Sekolah Menengah Akhir. Begitu pun denganku yang sama girangnya, berekspresi hanya dengan mengangkat tangan kanan yang terkepal.Dengan hanya melihatnya bahagia saja, sudah mampu memahat sebuah senyum di wajahku. “Segitu senengnya, ya?”Risna menghentikan aktivitasnya. “Ya, iyalah! Setelah ini kita bakal masuk universitas! Elo gimana? Lulus, nggak?”“Luluslah. Kan, kita tiap hari belajar terus bareng-bareng.”“Asyik! Sini, gue corat-coret baju lo terus tanda tangan!”“Di mana? Di punggung aja kali, ya?”“Jangan! Di depan aja!” Risna kemudian mengeluarkan sebuah spidol di dalam tasnya. Ia men
4 tahun lalu“Eh! Lo yang namanya Jaya?!” Seorang lelaki dari SMA sebelah bernama Ridho datang menghampiriku ketika jam sekolah telah berakhir. Sambil petantang-petenteng, Ridho tersenyum kecut dan memberikan tatapan seolah menantang.“Iya. Kenapa? Lo dari SMA sebelah yang mau balasin dendam anak-anak buah lo?” Aku yang tadinya berdiri di depan gerbang sekolah pun melangkah maju lebih dekat di hadapan Ridho. Aku sama sekali tak takut dengan gelagat yang lelaki ini tunjukkan.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngebantai temen-temen gua. Udah merasa kuat lo?!” Ridho menatap tajam padaku dengan wajah beringasnya.“Kenapa? Lo juga mau gue bantai habis-habisan di sini? Jangan mentang-mentang lo bawa temen sekompi kayak gini gue bakalan takut sama lo. Gue nggak akan mundur!” Aku balik menatap Ridho dengan beringas. Menyeringai.Di belakang Ridho, sudah ada sekompi pasukan yang siap bertempur m
“Jadi, kita mau ke mana hari ini, Na?”“Kita happy-happy aja. Terserah mau ke mana. Yang penting dengan kita jalan berdua, kamu bisa ngelupain tentang Tasya sebentar aja.”“Hmm. Ya, udah. Yuk!”“Eits! Kamu yang nyetir, Jay!” Risna mengulurkan tangan kanannya. Sedangkan, sebuah kunci mobil telah menggantung di jari telunjuknya.“Hmm.” Aku melenguh malas. “Iya, deh!” Kemudian kuambil kunci tersebut dari tangan Risna. Kami menjejak keluar dari kost.Semenjak hari di mana aku telah resmi menjadi kekasih Risna, perempuan bermata cokelat tersebut telah berubah. Sepertinya Risna ingin memberikan perhatian padaku sepenuhnya. Ia ingin membuktikan sekaligus membuatku tidak lagi memikirkan Tasya. Hal ini memang bagus menurutku. Akan tetapi, aku masih tidak mampu untuk membuang segala kenanganku bersama dengan Tasya dulu.Meskipun aku lebih dulu mengenal Risna dari
“Lo serius udah nyerah dapetin Tasya lagi?!”“Iya. Gue rasa udah saatnya gue berkorban demi sahabat gue. Keputusan gue udah bulat, Na. Gue bakalan cari cewek lain—““Eh, jangan!” Risna menyela dengan lugas. Ada sebuah kecemasan yang dapat kulihat dengan jelas terlihat di bola matanya. Aku tak mau menduga, tetapi akan kucoba untuk menyelidikinya.“Kenapa?”“Enggak. Hmm ... m-maksud gue ....” Risna tak melanjutkan kalimatnya. Ia juga menolak tatapan mataku.“Maksud lo?” Lantas, aku terheran dibuatnya. “Risna. Gue boleh tanya sesuatu sama lo?”“Boleh. Soal apa?” Risna kembali menatap ke arahku.“Tapi, lo jangan marah, ya? Gue enggak bermaksud, sih. Cuman ... ada sesuatu yang mesti gue pastiin sama elo.”“I-iya. Apa yang mau lo tanyain ke gue?” Risna sudah mulai tampak gugup. Aku yakin bahwa ia sudah menebak