"Udah mendingan, Pak. Bapak mau ke mushola?""Iya. Kamu butuh apa? Bapak siapkan dulu?""Nggak usah, Pak. Bapak pergi aja."Tak lama berselang pintu kamar Bariq terbuka. Adikku itu terlihat masih ngantuk, tanpa mempedulikan kami, dia langsung ngeloyor ke belakang. "Bapak pergi dulu. Assalamualaikum.""Waalaikumussalam." Aku dan bapak sama-sama melangkah, tapi berlawanan arah. Bapak ke depan, aku kebelakang."Cepetan, Riq."Tak ada jawaban, namun pintu langsung terbuka. Wajah Bariq yang tadi terlihat mengantuk, kini terlihat segar. "Ati-ati loh, Mbak. Licin. Aku juga mau ke mushola.""Iya," sahutku sebelum menutup pintu kamar mandi.Aku yang baru saja menyelesaikan bacaan surah Yasin setelah sholat subuh, dibuat terkejut mendengar keributan di luar. "Ada apalagi Ya Allah?" ucapku pada diri sendiri sambil melepaskan mukena."Ya Allah, Nin. Syukurlah kamu baik-baik saja? Kabarnya kamu mengalami kecelakaan." Bu Ti dan beberapa tetangga sudah berkerumun di teras."Jatuh biasa, Bu Ti. Alh
Sampai rumah aku langsung meminta untuk diantar ke kamar. "Riq kamu panggil Mbah Mi untuk memijat Mbakmu. Barangkali ada yang keseleo." "Iya, Pak," sahut Bariq. Setelah itu dia bergegas keluar kamar."Bapak tinggal ke kandang dulu ya. Nanti kalau perlu apa-apa kamu panggil saja," pesannya. "Siap, Pak." Dengan susah payah aku mengucapkannya. Karena saat ini aku dikuasai rasa haru yang luar biasa. Kasih dan perhatian bapak tak pernah sekalipun berubah. Walaupun aku bukan anak kecil lagi.**Aku sampai menggigit kain ketika diurut sama Mbah Mi. Apalagi pas bagian lutut belakang. "Jangan ditahan ya, Ndok. Rileks," ucap Mbah Mi entah yang keberapa kali.Dulu aku kenal baik dengannya, karena dia adalah nenek dari temanku. Sering juga aku main ke rumahnya."Iya, Mbah." Suaraku tak terdengar jelas karena mulut masih tersumpal kain."Kalau lihat kamu, mbah Mi jadi ingat Sanu." Kain yang sedari tadi kugigit, kulepas karena penasaran dengan ucapan Mbah Mi. "Memangnya Sanu sekarang di mana, Mb
Bapak." Suaraku terdengar parau. Aku masih belum bisa menoleh, tatapanku lurus ke plafon. Derap langkah terdengar mendekat."Alhamdulillah, kamu sudah siuman," ucap bapak setelah dia sampai di pinggir ranjang."Pak, ayo pulang. Aku baik-baik saja kan?" Aku melirik bapak, lelaki itu menghela napasnya."Iya, kalau sudah diizinkan Dokter," sahut bapak akhirnya. Apa lukaku separah itu? Hingga belum dibolehkan pulang. Perasaan khawatir langsung memenuhi pikiran. Jangan-jangan? Aku berusaha mengangkat kakiku satu persatu, ah leganya semua aman. Kemudian berganti ke tangan. Syukurlah, aku masih bisa merasakan kedua tanganku bergerak dengan normal. Lalu aku mencoba meraba kening yang tadi berdarah. Aku menghela napas, ternyata masih diperban."Pasien atas nama Anindita?" Seorang perawat datang sambil membawa map."Iya, Mbak." Bapak langsung menyahut setelah menoleh."Hasil lab-nya sudah keluar ya, Pak. Semua normal. Ini obat yang harus ditebus." Perempuan itu mengulurkan sebuah kertas pada b
Aku berusaha bangkit walaupun sulit. Namun, usahaku sia-sia, aku sama sekali tak bisa bergerak. Salah satu kakiku tertindih motor. Teriakkan mulai terdengar seiring terlihatnya beberapa orang yang mengerumuniku dari atas. Ada beberapa yang turun dan ada juga yang hanya menyaksikan."Sabar ya, Mbak," ucap seorang laki-laki yang beranjak turun. Beberapa orang laki-laki mulai mengikutinya. "Angkat motornya dulu, Mas." Entah siapa yang memberi perintah. Dengan kompak mereka mengangkat motorku. "Masih kurang orang ini. Ayo, Mas tolong! Kasian Mbaknya sepertinya sudah kesakitan!" Memang benar katanya, aku sudah merasa tak bertenaga. Setelah beberapa saat, akhirnya motorku berhasil diangkat."Kakiku ...." Aku merintih. "Sabar ya, Mbak. Maaf aku akan mengangkat Mbaknya. Maaf ya," ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Rasanya ingin cepat-cepat keluar dari parit ini."Pegangan ya, Mbak." Setelah berucap lelaki itu mulai mengangkatku. Spontan aku mengalungkan tangan di lehernya."Se
"Besok aku akan datang lagi," ucapku sebelum ibu dibawa masuk petugas. Ibu menoleh lalu mengangguk dengan bibir yang menyunggingkan senyuman."Ibu mau dimasakin apa?" "Apa saja, Mbak Anin. Yang banyak ya. Biar kita juga kebagian," sahut sang petugas. Aku menanggapinya dengan tawa kecil. Kedua tanganku terangkat dan mengacungkan dua jempol sebagai tanda oke.Keluar dari lapas kesedihanku sedikit berkurang. Setelah mengetahui jika ibu baik-baik saja. Namun, lagi-lagi aku harus dihadapkan dengan kekesalan. Mas Tama masih berada di tempatnya tadi. Sebenarnya mau apa dia?Lelaki itu berdiri melihatku keluar. Lalu bergegas menghampiriku. Namun, aku tetap melangkah tak peduli dengannya yang berusaha menghentikan langkahku."Aku tadi belum selesai bicara, Nin. Baiknya kita bicara di tempat lain aja." Dengan percaya diri Mas Tama mengucapkannya. Apa dia pikir aku mau diajaknya gitu? Heran aja, kok ada lelaki yang mempunyai rasa percaya diri sangat tinggi seperti itu.Kutepis tangannya yang me
"Tak usah lagi menemuiku. Secara kita sudah berpisah. Sampai jumpa di pengadilan, Pak Tama. Entah pengadilan agama atau pengadilan sidang kasus yang telah kuajukan. Jadi, urusi saja urusanmu, nggak usah repot-repot ngurusin urusanku."Saat ini kami tengah berhadapan. Tatapan kami saling mengunci. Aku dan dia sama-sama diliputi amarah. Lima tahun bersama rupanya aku sudah tertipu dengan sikapnya. Apa karena dulu aku tak pernah menuntut dan selalu memaklumi semua sikapnya, hingga tak dapat melihat sifat aslinya. "Semua ini terjadi karena kamu adalah anak dan istri yang durhaka!" cemoohnya. Aku tersenyum sinis. Berurusan dengan orang yang tak pernah melihat kesalahannya, dan cenderung selalu menyalahkan."Apa di rumahmu sudah nggak ada kaca? Hingga tak bisa melihat kesalahan diri sendiri?" Aku berdecak. "Kasihan sekali," imbuhku."Kamu benar-benar durhaka, Nin! Itu semakin membuat dugaanku semakin kuat. Kamu telah terpengaruh oleh selingkuhanmu. Anin, sebelum kamu semakin terjerumus ke