Share

Bab 2

Author: Puspita
last update Last Updated: 2025-06-17 06:46:10

Setelah usahanya sia-sia, akhirnya dia menyerah. "Baiklah, besok pagi-pagi kamu harus sudah pergi! Dan ingat, jangan bawa barang berharga dari sini. Semua yang ada di sini itu milik Tama!"

"Aku akan pulang ke rumahku dengan diantar Mas Tama. Itulah yang akan terjadi, karena jika tidak, aku takkan keluar dari rumah ini."

"Dasar keras kepala!" Mama mertua nampak kesal.

"Bukan aku yang keras kepala, tapi Mama yang aneh. Kenapa ngotot banget aku harus pergi sekarang. Memang apa yang Mama rencanakan?"

Mama mertua tergelak. "Eh, semakin kurang ajar kamu. Menuduhku merencanakan sesuatu. Nggak ada yang kurencanakan. Aku hanya ingin Tama berpisah denganmu, dan menikah lagi dengan wanita yang mampu memberikan keturunan."

"Semoga keinginannya terkabul ya, Ma. Sekarang Mama istirahat. Aku juga akan istirahat, karena besok aku harus melakukan perjalanan. Udah ya, Mama tenang saja. Aku pasti akan pergi."

"Tidak akan ada yang pergi. Aku akan merujukmu." Tiba-tiba Mas Tama sudah berada di belakang ibunya. Percaya diri amat dia mengatakan itu. Bukannya pantang baginya menjilat ludah sendiri? Lalu apa yang dikatakan barusan?

"Maafkan aku, Nin. Tadi aku khilaf."

"Aku takkan membiarkan itu terjadi, Mas! Kamu harus menceraikannya. Kalau tidak akan kusebarkan aibmu!"

"Sayang." Ibu mertua lekas menghampiri wanita itu. Aku memang tidak tahu siapa wanita itu, tapi dari caranya berbicara tadi, sepertinya dia ada hubungannya dengan Mas Tama.

"Ayo, kembali ke kamarmu," ajak Mama mertua pada wanita itu. Terlihat jelas kalau Mama begitu menyayanginya.

Sekarang tinggal aku dan Mas Tama. Lelaki itu hendak melangkah mendekatiku.

"Hibur wanitamu itu, jangan pikirkan aku yang sudah kamu buang ini," sinisku. Namun, itu tak menghentikan langkahnya. Melihatnya seperti itu aku bergegas menutup pintu. Sengaja sedikit menyentak daun pintu hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.

"Nin, dengarkan aku dulu! Nin!"

Mas Tama mengetuk pintu sambil terus memanggil namaku. Apa dia menyesal? Atau dia mempunyai rencana lain? Apapun itu, aku takkan luluh begitu saja. Belajar dari pengalaman beberapa teman, aku berhak bahagia.

"Tama, sudahlah. Buat apa kamu memohon pada wanita itu. Talak sudah kamu ucapkan, jadi tak usah bersikap seperti itu. Kamu itu lelaki, mana harga dirimu!"

Suara Mama mertua terdengar jelas di telingaku. Marah? Bukan, aku tak marah padanya, hanya saja kecewa dengan sikapnya. Dulu, awal-awal menikah, Mama mertua begitu menyayangiku. Hubungan kami sangat baik sebagai menantu dan mertua. Dia juga tak pernah mempermasalahkan soal keturunan.

"Mama istirahatlah, aku mau bicara dengan Nin," ujar Mas Tama. Aku hanya menyimak dari balik pintu.

"Apalagi yang mau kamu bicarakan, Tama? Udah-udah, gini aja. Besok mama dan Raya ikut mengantar Nin pulang. Mama yang akan mengatakan alasannya pada orang tuanya."

Raya? Oh, jadi perempuan itu bernama Raya. Ucapan wanita tadi teriang kembali. Aib Mas Tama? Oh, Tuhan. Apa mungkin dugaanku benar. Mereka telah melakukan hal yang tidak seharusnya. Sungguh, aku tak pernah menyangka akan mengalami hal seperti ini.

"Aku akan mencari jalan lain, Ma. Aku masih—"

"Mencintainya? Buat apa sih nyari susah? Mengapa kamu mempersulit dirimu sendiri, Tama?!"

"Ma ...."

"Besok mama antar kalian. Sekarang, istirahatlah, kalau tidak mama akan menemanimu di sini."

Sungguh drama. Sepertinya mama sudah tidak menginginkan kehadiranku di sini. Baiklah, aku akan mengabulkannya.

"Kasihan Raya kalau kamu seperti ini, Tama. Bagaimanapun juga dia sudah–"

"Ma!"

Aku yang tadinya bersandar di daun pintu, menegakkan punggung setelah mendengar sepenggal ucapan mama mertua. Raya sudah apa? Hamil? Tak sadar bibirku tersenyum sendiri, membayangkan betapa sulitnya posisi Mas Tama kali ini.

"Apa? Biar saja Nin dengar, kenapa mesti ditutup-tutupi. Toh, kalian sudah bukan suami-istri lagi."

"Ma. Ayo-ayo kita istirahat. Besok kita sama-sama nganterin Nin pulang."

Tiba-tiba saja terlintas ide di kepalaku. Aku pun bergegas membuka pintu dan memanggil Mas Tama. Lelaki itu sontak menoleh, senyum terbit di bibirnya setelah aku melangkah ke arahnya.

"Nin." Wajahnya terlihat berseri, berbanding terbalik dengan wajah mamanya yang nampak cemberut.

"Nin, aku bisa jelasin semuanya. Mau ya aku rujuk? Nin, terlalu indah kenangan yang sudah kita ukir bersama, hingga terlalu sayang jika harus berakhir dengan sia-sia. Aku tahu, cinta kita takkan tergoyahkan walaupun diterjang badai masalah."

Panjang lebar Mas Tama berucap. Namun, tak satu pun yang merasuk dalam kalbuku. Aku anggap dia hanya membaca sebuah tulisan, bukan mengeluarkan ungkapan isi hatinya.

Aku tersenyum, dan itu membuat senyum di bibir Mas Tama semakin lebar. Binar matanya menyiratkan kebahagiaan.

Mama mertua menjerit setelah aku menampar Mas Tama. Sementara Mas Tama menatapku tak percaya sambil memegangi pipinya.

"Gi la kamu, Nin!" Mama mertua kembali menjerit sambil memakiku, setelah aku menampar Mas Tama lagi. Wanita baya itu menarik putranya lalu berdiri persis di depanku.

"Kurang ajar kamu!" Dia benar-benar tak terima, dan ingin membalas. Namun, tangannya melayang di udara. Rupanya, Mas Tama menahan tangan mama mertua yang hendak menamparku.

"Sudahlah, Ma. Nin memang berhak melakukannya." Setelah berucap Mas Tama mengajak mamanya melangkah. Keduanya masuk ke dalam kamar mama. Tak lama kemudian terdengar tangisan mama. Jahatkah aku?

Aku urung melangkah ketika pintu kamar Bela terbuka, Raya keluar bersama dengan adik iparku. Keduanya menatapku dengan tatapan penuh amarah, setelah beberapa detik mereka melanjutkan langkah menuju kamar mantan mama mertua.

Kekhawatirkanku pada keadaan mantan mama mertua tiba-tiba menguap begitu saja. Buat apa aku membodohi diri sendiri? Mereka sudah tak sudi denganku, ya sudah aku akan pergi. Sungguh miris, bahkan talak saja baru terucap, tapi sudah ada wanita lain di rumah ini.

Kembali masuk ke kamar, aku meraih ponsel yang tergeletak di meja. Dengan mantap aku menghubungi Bariq-adikku. Setelah panggilan tersambung, tanpa basa-basi aku mengatakan niatku.

Walaupun aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku seolah tahu jika dia tengah terperanjat. Bagaimana tidak, selama ini hubunganku dengan Mas Tama baik-baik saja, lalu tiba-tiba aku mengatakan jika Mas Tama menalakku dengan alasan aku mandul. Bariq tak banyak tanya lagi, dia menyanggupi akan menjemputku.

Aku tersenyum kecut, setelah memutuskan panggilan. Sungguh, aku tak pernah menyangka akan merasakan hal yang selama ini hanya kubaca dalam sebuah cerita. Namun, jika dalam cerita tokoh wanita akan berusaha mempertahankan hubungan dan mau saja disia-siakan, aku takkan seperti itu. Aku masih punya orang tua yang selalu menerimaku, jadi tak perlu aku meratapi nasib yang memang terlihat menyedihkan.

Tekadku, sesakit apapun hati ini, aku takkan menunjukkan pada siapapun. Akan kutunjukan jika aku baik-baik saja. Apalagi sudah jelas kalau yang kesehatannya bermasalah itu bukan aku.

Setelah merasa capek duduk sambil merenung, aku langsung berbaring. Ini akan jadi yang terakhir, tubuhku bersentuhan dengan kasur yang sudah lima tahun membersamaiku.

Mata ini kupaksa terpejam, walaupun sulit untuk terlelap. Biarlah aku menikmati saat-saat terakhir di rumah ini. Baru saja aku merasakan ketenangan, ada yang menggendor pintu kamar. Aku langsung bangkit, ingin menyelesaikan semuanya.

Mas Tama berdiri di depan pintu dengan wajah penuh amarah.

"Aku akan membawa mama ke rumah sakit. Kamu tunggu aku kalau mau pulang."

"Pergilah, tak perlu kamu memikirkanku. Aku udah telpon Bariq, dia akan menjemputku."

"Nin, kumohon. Lupakan ucapanku tadi, aku akan membenahi semuanya."

"Apa sih? Udahlah, Mas. Nggak usah seperti ini. Kamu udah mengakhiri hubungan ini, ya udah."

"Aku nyesel, Nin."

Tawaku tak tertahan, memang terkesan tak sopan, tapi ini benar-benar lucu. Dia bilang menyesal? Jelas saja, orang dia yang bermasalah. Aku bisa menebak, tapi ini hanya sekedar tebakan. Wanita bernama Raya itu tengah hamil, dan entah bagaimana ceritanya Mas Tama harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mungkin saja mantan suamiku itu dijebak, tapi dia menikmati jebakan yang disuguhkan wanita itu. Sukurin!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 7

    Bapak mengangguk, membuatku sontak menutup mulut, tak menyangka tetangga sendiri mau menjerumuskan ibu, yang jelas-jelas melakukannya karena membelaku. "Untung saja, Pak Tohir memberi kesaksian lain. Dia memperlihatkan rekaman video dari hp cucunya."Aku memperbaiki posisi duduk agar lebih fokus pada bapak. Sepertinya ceritanya cukup menegangkan."Si Udin merekam ibunya Tama pas marah-marah dan menghinamu. Semua tergambar jelas bagaimana kronologinya. Hingga ibumu menampar ibunya Tama."Aku mengangguk-angguk. "Atas bukti itu, beberapa warga menyarankan untuk melapor balik, karena Ibunya Tama masih menolak untuk damai. Sebenarnya bapak nggak mau berurusan dengan polisi, Nin, tapi bapak juga nggak rela kalau keluarga bapak disakiti." Bapak menghela napas."Ibumu memang bersalah di mata hukum, karena melalukan tindakan kekerasan. Semoga saja dengan bukti bahwa kamulah yang difitnah, bisa mengurangi tuduhan pada ibumu."Mendengar penuturan bapak, mau tak mau pikiranku langsung tertuju pa

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 6

    "Tapi bukan berarti itu kebenarannya, Ka." Aku mencoba bersikap biasa saja."Ya mana kami tahu? Ya nggak Bu-Ibu? Kami itu nggak peduli dengan urusan orang lain, Nin, tapi kami beruntung karena sudah mendapat bocoran, jadi bisa mawas diri dan hati-hati. Jangan sampai suami kita kepincut janda lincah," sindirnya.Aku menatapnya. Ada apa sebenarnya dengannya. Sejak dulu Ika memang tidak menyukaiku. Entah mengapa? Dia selalu saja mengusikku, selalu mencari-cari keburukanku, setelah itu dia akan menyebarkan pada teman-temanku yang lainnya. Aneh!"Benar katamu, Ka. Kalian harus berhati-hati. Jaga baik-baik suami kalian, tapi sepertinya sekarang ini janda lincah yang kamu sebut itu sudah banyak berkurang. Kebanyakan janda sekarang lebih mandiri. Yang lebih bahaya lagi ada loh, Ka. Istrinya orang, karena bagi lelaki, katanya istri orang itu lebih menantang."Aku langsung beranjak setelah mengucapkannya. Rasanya tak ada gunanya bicara dengannya. Sebelas dua belas dengan ibu Hani."Janda ya tet

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 5

    "Itu adalah bukti kalau anakmu tukang selingkuh!" Ibu Hani terlihat sangat percaya diri. Melihat tak ada reaksi dari bapak, dia terlihat semakin puas.Mas Tama mengambil salah satu foto, seketika rahangnya mengeras. Melihatnya seperti itu dahiku mengernyit heran. Apa dia percaya dengan apa yang ada dalam foto tersebut? Sementara bapak masih bersikap biasa saja."Shock kan melihat kelakuan anak Bapak?" ledeknya. Spontan tanganku terulur, kuambil satu foto yang menggambarkan aku sedang berpelukan dengan seorang lelaki yang tak kukenal."Kenapa, Nin? Tak nyangka kan? Kamu pikir kebusukanmu takkan terendus gitu? Ingat ya, Nin. Serapat-rapatnya kamu menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga baunya." Belum sempat aku membuka mulut, dia kembali bersuara. "Dan ini, ini adalah bukti anak yang kamu banggakan adalah tukang fitnah." Ibu Hani mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya. Oh, rupanya itu adalah hasil pemeriksaan kesuburan kami, bukti bahwa yang bermasalah dengan kesehatan adal

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 4

    Nyatanya dalam perjalanan tak ada satu kata yang keluar dari bibirku. Sekuat-kuatnya aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja, tetap merasa kehilangan.Sekali lagi, lima tahun bukanlah waktu yang singkat, ada banyak kenangan yang tercipta. Ah, biarlah saat ini aku habiskan sakit, sedikit demi sedikit kulepas kenangan itu selama dalam perjalanan. Agar nanti ketika aku sampai di rumah orang tuaku, semua sudah habis tak bersisa. Semoga.Bariq juga diam. Dia juga tidak banyak protes ketika aku menyadarkan kepala di punggungnya. Sungguh, situasi yang berbanding terbalik dengan beberapa tahun yang lalu. Dulu, punggungku yang menjadi sandaran kepala kecilnya."Mbak udah sampai." Aku merasa guncangan di pundak. Perlahan mataku mengerjap dan betapa terkejutnya ketika menyadari kami sudah sampai rumah. Aku semakin terkejut setelah mendapati ibu dan bapak berdiri di sisi kiri dan kananku. Dalam keremangan subuh, aku masih bisa melihat kaca-kaca di netra teduh milik ibu. Begitu juga dengan bap

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 3

    "Penyesalan itu memang datang terlambat, Mas. Beda dengan pendaftaran. Nggak perlu ada yang disesali, nikmati saja alurnya. Kamu udah memilih, begitu juga denganku."Sepersekian detik kami saling diam. Sepertinya ada banyak hal yang ingin diucapkannya. Namun, sulit untuk mengungkapkan. Sementara aku, sudah benar-benar tidak ada respect sama dia."Mas, apalagi yang kamu tunggu? Mama itu loh. Biar aku yang jaga rumah, bisa jadi kan, pas kita pergi ada maling!"Sebelum Mas Tama membalas ucapan Bela. Aku bergegas mundur, tanpa menunggu dan berpikir lama, aku membawa satu koper dan satu ransel. Semua berisi barang-barangku yang dulu kubawa ke sini."Nin, mau ke mana?" Mas Tama terlihat khawatir. Berbeda dengan Bela yang nampak tersenyum. "Mau pergi lah, buat apa juga aku di sini.""Ini masih malam, Nin.""Aku bukan anak kecil. Jadi, berhenti mengkhawatirkanku, apalagi sekarang kita bukan suami-istri lagi.""Aku tetap akan berusaha merujukmu, Nin.""Lakukan saja sesukamu, aku tak peduli. P

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 2

    Setelah usahanya sia-sia, akhirnya dia menyerah. "Baiklah, besok pagi-pagi kamu harus sudah pergi! Dan ingat, jangan bawa barang berharga dari sini. Semua yang ada di sini itu milik Tama!""Aku akan pulang ke rumahku dengan diantar Mas Tama. Itulah yang akan terjadi, karena jika tidak, aku takkan keluar dari rumah ini.""Dasar keras kepala!" Mama mertua nampak kesal."Bukan aku yang keras kepala, tapi Mama yang aneh. Kenapa ngotot banget aku harus pergi sekarang. Memang apa yang Mama rencanakan?"Mama mertua tergelak. "Eh, semakin kurang ajar kamu. Menuduhku merencanakan sesuatu. Nggak ada yang kurencanakan. Aku hanya ingin Tama berpisah denganmu, dan menikah lagi dengan wanita yang mampu memberikan keturunan.""Semoga keinginannya terkabul ya, Ma. Sekarang Mama istirahat. Aku juga akan istirahat, karena besok aku harus melakukan perjalanan. Udah ya, Mama tenang saja. Aku pasti akan pergi.""Tidak akan ada yang pergi. Aku akan merujukmu." Tiba-tiba Mas Tama sudah berada di belakang ib

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status