Setelah usahanya sia-sia, akhirnya dia menyerah. "Baiklah, besok pagi-pagi kamu harus sudah pergi! Dan ingat, jangan bawa barang berharga dari sini. Semua yang ada di sini itu milik Tama!"
"Aku akan pulang ke rumahku dengan diantar Mas Tama. Itulah yang akan terjadi, karena jika tidak, aku takkan keluar dari rumah ini." "Dasar keras kepala!" Mama mertua nampak kesal. "Bukan aku yang keras kepala, tapi Mama yang aneh. Kenapa ngotot banget aku harus pergi sekarang. Memang apa yang Mama rencanakan?" Mama mertua tergelak. "Eh, semakin kurang ajar kamu. Menuduhku merencanakan sesuatu. Nggak ada yang kurencanakan. Aku hanya ingin Tama berpisah denganmu, dan menikah lagi dengan wanita yang mampu memberikan keturunan." "Semoga keinginannya terkabul ya, Ma. Sekarang Mama istirahat. Aku juga akan istirahat, karena besok aku harus melakukan perjalanan. Udah ya, Mama tenang saja. Aku pasti akan pergi." "Tidak akan ada yang pergi. Aku akan merujukmu." Tiba-tiba Mas Tama sudah berada di belakang ibunya. Percaya diri amat dia mengatakan itu. Bukannya pantang baginya menjilat ludah sendiri? Lalu apa yang dikatakan barusan? "Maafkan aku, Nin. Tadi aku khilaf." "Aku takkan membiarkan itu terjadi, Mas! Kamu harus menceraikannya. Kalau tidak akan kusebarkan aibmu!" "Sayang." Ibu mertua lekas menghampiri wanita itu. Aku memang tidak tahu siapa wanita itu, tapi dari caranya berbicara tadi, sepertinya dia ada hubungannya dengan Mas Tama. "Ayo, kembali ke kamarmu," ajak Mama mertua pada wanita itu. Terlihat jelas kalau Mama begitu menyayanginya. Sekarang tinggal aku dan Mas Tama. Lelaki itu hendak melangkah mendekatiku. "Hibur wanitamu itu, jangan pikirkan aku yang sudah kamu buang ini," sinisku. Namun, itu tak menghentikan langkahnya. Melihatnya seperti itu aku bergegas menutup pintu. Sengaja sedikit menyentak daun pintu hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. "Nin, dengarkan aku dulu! Nin!" Mas Tama mengetuk pintu sambil terus memanggil namaku. Apa dia menyesal? Atau dia mempunyai rencana lain? Apapun itu, aku takkan luluh begitu saja. Belajar dari pengalaman beberapa teman, aku berhak bahagia. "Tama, sudahlah. Buat apa kamu memohon pada wanita itu. Talak sudah kamu ucapkan, jadi tak usah bersikap seperti itu. Kamu itu lelaki, mana harga dirimu!" Suara Mama mertua terdengar jelas di telingaku. Marah? Bukan, aku tak marah padanya, hanya saja kecewa dengan sikapnya. Dulu, awal-awal menikah, Mama mertua begitu menyayangiku. Hubungan kami sangat baik sebagai menantu dan mertua. Dia juga tak pernah mempermasalahkan soal keturunan. "Mama istirahatlah, aku mau bicara dengan Nin," ujar Mas Tama. Aku hanya menyimak dari balik pintu. "Apalagi yang mau kamu bicarakan, Tama? Udah-udah, gini aja. Besok mama dan Raya ikut mengantar Nin pulang. Mama yang akan mengatakan alasannya pada orang tuanya." Raya? Oh, jadi perempuan itu bernama Raya. Ucapan wanita tadi teriang kembali. Aib Mas Tama? Oh, Tuhan. Apa mungkin dugaanku benar. Mereka telah melakukan hal yang tidak seharusnya. Sungguh, aku tak pernah menyangka akan mengalami hal seperti ini. "Aku akan mencari jalan lain, Ma. Aku masih—" "Mencintainya? Buat apa sih nyari susah? Mengapa kamu mempersulit dirimu sendiri, Tama?!" "Ma ...." "Besok mama antar kalian. Sekarang, istirahatlah, kalau tidak mama akan menemanimu di sini." Sungguh drama. Sepertinya mama sudah tidak menginginkan kehadiranku di sini. Baiklah, aku akan mengabulkannya. "Kasihan Raya kalau kamu seperti ini, Tama. Bagaimanapun juga dia sudah–" "Ma!" Aku yang tadinya bersandar di daun pintu, menegakkan punggung setelah mendengar sepenggal ucapan mama mertua. Raya sudah apa? Hamil? Tak sadar bibirku tersenyum sendiri, membayangkan betapa sulitnya posisi Mas Tama kali ini. "Apa? Biar saja Nin dengar, kenapa mesti ditutup-tutupi. Toh, kalian sudah bukan suami-istri lagi." "Ma. Ayo-ayo kita istirahat. Besok kita sama-sama nganterin Nin pulang." Tiba-tiba saja terlintas ide di kepalaku. Aku pun bergegas membuka pintu dan memanggil Mas Tama. Lelaki itu sontak menoleh, senyum terbit di bibirnya setelah aku melangkah ke arahnya. "Nin." Wajahnya terlihat berseri, berbanding terbalik dengan wajah mamanya yang nampak cemberut. "Nin, aku bisa jelasin semuanya. Mau ya aku rujuk? Nin, terlalu indah kenangan yang sudah kita ukir bersama, hingga terlalu sayang jika harus berakhir dengan sia-sia. Aku tahu, cinta kita takkan tergoyahkan walaupun diterjang badai masalah." Panjang lebar Mas Tama berucap. Namun, tak satu pun yang merasuk dalam kalbuku. Aku anggap dia hanya membaca sebuah tulisan, bukan mengeluarkan ungkapan isi hatinya. Aku tersenyum, dan itu membuat senyum di bibir Mas Tama semakin lebar. Binar matanya menyiratkan kebahagiaan. Mama mertua menjerit setelah aku menampar Mas Tama. Sementara Mas Tama menatapku tak percaya sambil memegangi pipinya. "Gi la kamu, Nin!" Mama mertua kembali menjerit sambil memakiku, setelah aku menampar Mas Tama lagi. Wanita baya itu menarik putranya lalu berdiri persis di depanku. "Kurang ajar kamu!" Dia benar-benar tak terima, dan ingin membalas. Namun, tangannya melayang di udara. Rupanya, Mas Tama menahan tangan mama mertua yang hendak menamparku. "Sudahlah, Ma. Nin memang berhak melakukannya." Setelah berucap Mas Tama mengajak mamanya melangkah. Keduanya masuk ke dalam kamar mama. Tak lama kemudian terdengar tangisan mama. Jahatkah aku? Aku urung melangkah ketika pintu kamar Bela terbuka, Raya keluar bersama dengan adik iparku. Keduanya menatapku dengan tatapan penuh amarah, setelah beberapa detik mereka melanjutkan langkah menuju kamar mantan mama mertua. Kekhawatirkanku pada keadaan mantan mama mertua tiba-tiba menguap begitu saja. Buat apa aku membodohi diri sendiri? Mereka sudah tak sudi denganku, ya sudah aku akan pergi. Sungguh miris, bahkan talak saja baru terucap, tapi sudah ada wanita lain di rumah ini. Kembali masuk ke kamar, aku meraih ponsel yang tergeletak di meja. Dengan mantap aku menghubungi Bariq-adikku. Setelah panggilan tersambung, tanpa basa-basi aku mengatakan niatku. Walaupun aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku seolah tahu jika dia tengah terperanjat. Bagaimana tidak, selama ini hubunganku dengan Mas Tama baik-baik saja, lalu tiba-tiba aku mengatakan jika Mas Tama menalakku dengan alasan aku mandul. Bariq tak banyak tanya lagi, dia menyanggupi akan menjemputku. Aku tersenyum kecut, setelah memutuskan panggilan. Sungguh, aku tak pernah menyangka akan merasakan hal yang selama ini hanya kubaca dalam sebuah cerita. Namun, jika dalam cerita tokoh wanita akan berusaha mempertahankan hubungan dan mau saja disia-siakan, aku takkan seperti itu. Aku masih punya orang tua yang selalu menerimaku, jadi tak perlu aku meratapi nasib yang memang terlihat menyedihkan. Tekadku, sesakit apapun hati ini, aku takkan menunjukkan pada siapapun. Akan kutunjukan jika aku baik-baik saja. Apalagi sudah jelas kalau yang kesehatannya bermasalah itu bukan aku. Setelah merasa capek duduk sambil merenung, aku langsung berbaring. Ini akan jadi yang terakhir, tubuhku bersentuhan dengan kasur yang sudah lima tahun membersamaiku. Mata ini kupaksa terpejam, walaupun sulit untuk terlelap. Biarlah aku menikmati saat-saat terakhir di rumah ini. Baru saja aku merasakan ketenangan, ada yang menggendor pintu kamar. Aku langsung bangkit, ingin menyelesaikan semuanya. Mas Tama berdiri di depan pintu dengan wajah penuh amarah. "Aku akan membawa mama ke rumah sakit. Kamu tunggu aku kalau mau pulang." "Pergilah, tak perlu kamu memikirkanku. Aku udah telpon Bariq, dia akan menjemputku." "Nin, kumohon. Lupakan ucapanku tadi, aku akan membenahi semuanya." "Apa sih? Udahlah, Mas. Nggak usah seperti ini. Kamu udah mengakhiri hubungan ini, ya udah." "Aku nyesel, Nin." Tawaku tak tertahan, memang terkesan tak sopan, tapi ini benar-benar lucu. Dia bilang menyesal? Jelas saja, orang dia yang bermasalah. Aku bisa menebak, tapi ini hanya sekedar tebakan. Wanita bernama Raya itu tengah hamil, dan entah bagaimana ceritanya Mas Tama harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mungkin saja mantan suamiku itu dijebak, tapi dia menikmati jebakan yang disuguhkan wanita itu. Sukurin!Hari pernikahan akhirnya tiba. Sejak subuh, rumah sudah dipenuhi hiruk pikuk suara tamu, tetangga yang datang membantu, dan sanak keluarga yang berdatangan dari jauh. Udara pagi terasa sejuk, tapi hatiku dipenuhi rasa haru yang hangat.Di kamar pengantin, Bariq duduk tenang mengenakan beskap sederhana berwarna putih gading. Wajahnya tampak lebih dewasa dari biasanya. Aku sampai menahan napas melihat adikku yang dulu sering merengek minta dibelikan mainan, kini sudah siap memimpin rumah tangga.Aku mengetuk pintu pelan lalu masuk. “MasyaAllah, ganteng banget, Riq…” suaraku bergetar menahan tangis haru.Bariq tersenyum malu, lalu bangkit memelukku sebentar. “Makasih, Mbak. Kamu jangan nangis dulu, nanti make up-mu luntur.”Aku tertawa di sela isak kecilku. “Iya, iya… tapi tetap aja terharu.”Di pelaminan, Lestari tampak anggun mengenakan kebaya putih berhiaskan payet halus. Wajahnya memancarkan ketenangan yang sama seperti pertama kali aku melihatnya. Saat ijab kabul berlangsung, suasan
Kebahagiaan itu semakin bertambah setelah Bariq membawa kabar, setelah sekian purnama, akhirnya kabar itu datang juga. Kembali semua anggota keluarga menangis bahagia. Adik laki-lakiku itu telah mengatakan niatnya untuk melamar seorang gadis.“Serius, Riq?” tanyaku tak percaya, sembari menutup mulut dengan kedua tangan. Mataku sampai terasa panas menahan air mata bahagia.Bariq, dengan wajah penuh senyum malu-malu, mengangguk mantap. “Iya, Mbak. Aku sudah yakin. Namanya Lestari. Kami sudah cukup lama dekat, tapi baru sekarang aku memberanikan diri bicara serius.”Ibu sampai terisak, memeluk adikku erat. “Alhamdulillah… akhirnya. Kamu membuat hati Ibu tenang, Nak. Ibu selalu berdoa agar kamu segera menemukan pendamping hidup yang baik.”Bapak pun tersenyum lebar. “Laki-laki harus berani melangkah, Riq. Kalau memang yakin, jangan ditunda-tunda.”Aku sendiri menatap Bariq dengan rasa haru. Seakan baru kemarin aku melihatnya masih lugu, sibuk dengan hobinya, dan selalu menolak kalau disin
[Aku benar-benar menyesal, Nin. Ternyata tak ada yang mencintaiku sepertimu]Pret! Spontan bibirku berucap.[Maafkan aku pernah menyia-nyiakanmu][Sebenarnya aku masih ingin mengulang kisah kita. Namun, itu takkan kulakukan][Bahagia lah, Nin. Kamu berhak mendapatkan itu][Untuk terakhir kalinya, bolehkah aku video call?]Selesai membaca pesannya yang terakhir, aku langsung membalasnya.[Maaf, tak bisa] Setelah pesan terkirim dan sudah dibaca. Aku langsung memblokir nomornya. Biarlah aku dikatakan jahat. Menurutku itu adalah jalan terbaik. Mengenai kejadian yang menimpa Raya, apa itu karma? Entahlah, aku juga tidak mau capek-capek memikirkannya. Mungkin, memang sudah menjadi takdirnya.Aku meletakkan ponsel di meja rias, lalu menatap cermin. Wajahku sendiri terlihat asing. Ada guratan lelah di mata, tapi juga ada cahaya harapan yang tak bisa kusangkal. Malam ini adalah malam terakhir aku tidur dengan status gadis. Besok aku akan menjadi seorang istri. Pikiran tentang masa lalu bersama
"Ngapain?""Bu, menurut ibu, apa yang dikatakan Mas Arya itu benar nggak sih?""Kamu percaya nggak?""Percaya nggak percaya sih, tapi lihat mukanya bonyok kek gitu, apa iya dia bo'ong?""Minta petunjuk pada Gusti Allah, Nin. Gusti Allah sebaik-baiknya pemberi petunjuk." Setelah berucap ibu bangkit dan masuk ke kamarnya. Meninggalkanku dalam kebimbangan.Aku terdiam. Tatapanku masih tertuju pada pintu kamar ibu yang baru saja tertutup rapat. Kata-katanya menggema di kepalaku. “Minta petunjuk pada Gusti Allah.” Kalimat sederhana, tapi entah mengapa begitu menenangkan sekaligus membuatku semakin bingung. Seolah-olah ibu menyerahkan seluruh keputusan pada diriku sendiri, padahal aku sangat ingin mendengar jawaban pasti darinya.Tanganku meremas ujung bantal sofa. Rasa cemas, lega, takut, dan ragu bercampur jadi satu. Aku tidak bisa menolak bahwa rasa sayangku pada Mas Arya masih ada. Namun bayang-bayang Karin, perempuan yang tiba-tiba hadir dengan segala keberaniannya, masih saja menghant
"Ibu." Aku bangkit setelah mendapati ibu sudah berdiri di pinggir pintu. Segera aku menghampirinya."Ibu nggak usah menjelaskan apa-apa sama ibu. Ibu sudah dengar semuanya," ucap ibu setelah kami duduk di bangku yang berseberangan dengan Mas Arya."Maafkan saya, Bu. Tadi, saya kurang tegas menghadapi Karin. Namun, semua itu kulakukan karena ada alasannya. Karin itu orangnya nekad, dia mempunyai sifat yang kurang bagus. Jika tadi aku marah, Karin pasti akan melakukan hal yang lebih gila lagi. Dia itu—""Sudah cukup, kamu nggak usah mejelaskan lagi. Apa kamu bisa memastikan jika wanita itu tak melakukannya lagi?" Ibu terlihat sangat tegas ketika mengucapkannya."Bu—""Kamu diam dulu, Nin. Diam ya." Ibu memotong ucapanku. Padahal aku hanya ingin jika ibu jangan terlalu banyak pikiran. Saat ini kondisinya sedang kurang baik."Saya tadi sudah ke rumahnya, Bu. Dan sudah bicara jujur dengan suaminya. Semoga saja Karin akan jerah," ujar Mas Arya."Apa kamu bisa pastikan wanita itu tidak melak
"Iya, Bu. Terima kasih," balas Anin sambil tersenyum. Senyuman itu terlihat begitu tipis, hampir tak ada rona ceria di wajahnya. Ada kelelahan yang nyata, seolah senyum itu hanya sekadar bentuk kesopanan."Ibu sakit?" Tak sabar, aku langsung bertanya setelah petugas kesehatan itu berlalu. Suaraku sedikit bergetar, karena aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres.Anin tak begitu antusias menanggapi pertanyaanku. "Ibu kelelahan," sahutnya dengan suara datar. Sekilas ada keterkejutan di wajahnya ketika tatapan kami beradu. Ada yang berbeda, sorot matanya tak lagi hangat seperti biasanya."Anin, ada yang mau aku bicarakan," cegahku ketika dia hendak masuk ke rumah. Langkahnya terhenti, lalu ia menoleh perlahan."Iya, Mas Arya harus menjelaskan semuanya. Agar aku bisa mengambil keputusan. Mau lanjut apa cukup sampai di sini." Ucapannya tajam, menusuk jantungku."Duduk yuk, Nin," ajakku. Walaupun terlihat jelas kalau Anin kurang nyaman, tapi dia tetap melakukan yang kukatakan. Kami duduk