"Penyesalan itu memang datang terlambat, Mas. Beda dengan pendaftaran. Nggak perlu ada yang disesali, nikmati saja alurnya. Kamu udah memilih, begitu juga denganku."
Sepersekian detik kami saling diam. Sepertinya ada banyak hal yang ingin diucapkannya. Namun, sulit untuk mengungkapkan. Sementara aku, sudah benar-benar tidak ada respect sama dia. "Mas, apalagi yang kamu tunggu? Mama itu loh. Biar aku yang jaga rumah, bisa jadi kan, pas kita pergi ada maling!" Sebelum Mas Tama membalas ucapan Bela. Aku bergegas mundur, tanpa menunggu dan berpikir lama, aku membawa satu koper dan satu ransel. Semua berisi barang-barangku yang dulu kubawa ke sini. "Nin, mau ke mana?" Mas Tama terlihat khawatir. Berbeda dengan Bela yang nampak tersenyum. "Mau pergi lah, buat apa juga aku di sini." "Ini masih malam, Nin." "Aku bukan anak kecil. Jadi, berhenti mengkhawatirkanku, apalagi sekarang kita bukan suami-istri lagi." "Aku tetap akan berusaha merujukmu, Nin." "Lakukan saja sesukamu, aku tak peduli. Pantang bagiku, memungut barang yang sudah kulepas." Aku segera bergegas, sambil menelpon Bariq. Semoga saja dia sudah dalam perjalanan. "Ayo, Mas cepetan! Kasihan Mama!" seru Raya dari dalam mobil. Aku yang baru saja keluar dari pintu meneruskan langkah, tanpa peduli dengan kondisi mantan mama mertua yang berada di mobil bersamanya. Entah sakit apa dia? Sikapnya sendiri yang membuatku tak peduli lagi, padahal aku dulu sangat menyayanginya. Menganggapnya seperti ibuku sendiri. "Nin, ayo ikut ke rumah sakit. Nanti aku antar pulang." Mas Tama berhasil mencekal tanganku sebelum aku mencapai pagar. "Aku udah dijemput Bariq, Mas." Aku menarik tanganku dari pegangannya. "Itu masih lama, Nin. Baiklah, kalau kamu mau menunggu Bariq, tunggu di dalam," titahnya. Ini, jika dilakukannya tidak dalam keadaan seperti sekarang, pasti aku akan berbunga-bunga, bahagia karena merasa diperhatikan. Sayang, semua itu sudah tidak berlaku lagi. "Udahlah, Mas. Nggak usah sok peduli." "Nin. Aku tahu aku salah, tapi tolong jangan membuatku merasa semakin bersalah." Aku hendak membantah, tapi ketika sekilas kulihat amarah dan kekesalan di wajah Raya, akhirnya aku mengiyakan. Ada kepuasan melihat wanita itu seperti itu. Setelah aku mengangguk sebagai tandan setuju, Mas Tama langsung mengambil alih koper dan ransel yang kubawa. Tanpa bicara dia langsung berjalan kembali ke teras. Aku pun mengikuti langkahnya. Silakan cemburu Raya! "Ngapain sih, Mas? Harusnya biarkan saja dia pergi!" Bela terlihat tak suka. Mas Tama tak menghiraukan adiknya. Dia terus saja berjalan. "Aku tunggu di sini saja, Mas." Mas Tama menghentikan langkahnya dan langsung menoleh. "Kamu yakin?" Aku mengangguk-angguk kecil sebagai jawaban, setelah itu aku menjatuhkan bobot tubuh di bangku teras. Mas Tama menghela napas, setelah itu dia bergegas menuju mobil karena Raya sudah memanggil. Tinggallah aku dan Bela. Gadis itu terlihat salah tingkah. Mungkin, dia takut aku akan menyerangnya, secara di rumah tidak ada orang lain selain kami. "Sejak kapan kakakmu berhubung dengan wanita itu?" Aku bertanya sambil menatap lekat pada manik matanya. "Apa sih?" Bela semakin terlihat tak nyaman. "Kamu itu perempuan. Suatu saat kamu akan berkeluarga. Apa kamu tidak kecewa jika ternyata suamimu bermain api dengan wanita lain?" Aku masih menatapnya. "Hal itu takkan terjadi, karena aku bukan perempuan mandul!" Wah, pedas juga ucapannya. Sangat jauh berbeda dengan Bela yang kukenal selama lima tahun ini. "Kamu tetap berpikir jika aku yang mandul?" "Ya iyalah! Memang siapa lagi? Mas Tama jelas nggak mungkin. Kata Mama, keluarga kami nggak ada keturunan mandul!" "Lalu kamu pikir keluargaku keturunan mandul? Aku ini seorang anak! Itu artinya orang tuaku nggak mandul! Paham?" "Bisa saja kan? Bukankah yang berpotensi mandul itu perempuan?" "Dan kamu juga perempuan." Bela terlihat kesal, sepertinya dia tidak bisa membantah ucapanku. Gegas dia bangkit, kemudian langsung beranjak masuk ke rumah, tak lama kemudian terdengar suara anak kunci diputar. Aku tersenyum kecut. Rasanya benar-benar tidak menyenangkan diperlukan seperti ini. Untuk menemani rasa sepi, aku berselancar di dunia maya. F******k yang pertama kali kutuju. Walaupun kata sebagian orang F******k sudah tidak zaman, aku tetap suka dengan aplikasi biru tersebut. Nyaman, itu salah satu alasannya. Setelah scrolling dan memberi like pada postingan teman yang lewat beranda, aku masuk ke grup kepenulisan. Aku lagi suka dengan salah satu cerita yang mengisahkan tentang sepasang suami-isteri yang tinggal serumah dengan mertua. Ceritanya lain daripada yang lain. Satu hal yang membuat menyukainya, penulisnya orang Tuban. Sama denganku hehehe. Surti-Tejo itu adalah nama tokoh dalam cerita yang kusebut di atas. Sayang, sikap dan sifat Mas Tama sangat jauh berbeda dengan si Tejo. Ah, andai Mas Tama sesetia Tejo, aku pasti sangat bahagia. Sebuah klakson membuyarkan konsentrasiku yang tengah serius membaca. Bariq turun dari motornya, adikku itu melangkah tergesa ke arahku. "Mbak dikunci?" Bariq nampak emosi. Aku melihatnya sekilas. "Iya." Aku menyahut sambil meraih koper yang ada di pinggir bangku. "Kurang ajar banget sih!" Adikku itu hendak menggedor pintu. Tangannya sudah diangkat dan hampir saja diayunkan ke daun pintu. "Eh, mau apa kamu? Bariq!" cegahku. Bariq mengurungkan niatnya. Dia membuang kepalan tangannya ke ruang kosong di sebelahnya. "Mantan suamimu itu kurang ajar, Mbak!" Dia tak terima. "Orangnya nggak di rumah. Udah, ayo!" Aku beranjak sambil menarik koper. "Ke mana?" tanyanya sambil mengambil alih koper yang kuseret. "Rumah sakit. Udah! Ayo!" Rasanya aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. "Siapa yang sakit?" tanyanya lagi. Duh, sejak kapan adik lelakiku ini cerewet? "Bariq, udahlah. Nanti aja ceritanya sambil jalan." Ah, sepertinya jawabku tak dapat memuaskan hatinya. "Yang sakit Mama, oke. Sekarang ayo lekas, kita pergi dari sini," imbuhku, sekaligus berharap dia tak banyak tanya lagi. "Sakit apa? Shock dengan ulah anaknya?" tebaknya. "Mungkin," sahutku. "Syukurin!" Dia masih menyahut. "Hust!" Bariq tertawa ditahan, sementara aku melotot ke arahnya.Bapak mengangguk, membuatku sontak menutup mulut, tak menyangka tetangga sendiri mau menjerumuskan ibu, yang jelas-jelas melakukannya karena membelaku. "Untung saja, Pak Tohir memberi kesaksian lain. Dia memperlihatkan rekaman video dari hp cucunya."Aku memperbaiki posisi duduk agar lebih fokus pada bapak. Sepertinya ceritanya cukup menegangkan."Si Udin merekam ibunya Tama pas marah-marah dan menghinamu. Semua tergambar jelas bagaimana kronologinya. Hingga ibumu menampar ibunya Tama."Aku mengangguk-angguk. "Atas bukti itu, beberapa warga menyarankan untuk melapor balik, karena Ibunya Tama masih menolak untuk damai. Sebenarnya bapak nggak mau berurusan dengan polisi, Nin, tapi bapak juga nggak rela kalau keluarga bapak disakiti." Bapak menghela napas."Ibumu memang bersalah di mata hukum, karena melalukan tindakan kekerasan. Semoga saja dengan bukti bahwa kamulah yang difitnah, bisa mengurangi tuduhan pada ibumu."Mendengar penuturan bapak, mau tak mau pikiranku langsung tertuju pa
"Tapi bukan berarti itu kebenarannya, Ka." Aku mencoba bersikap biasa saja."Ya mana kami tahu? Ya nggak Bu-Ibu? Kami itu nggak peduli dengan urusan orang lain, Nin, tapi kami beruntung karena sudah mendapat bocoran, jadi bisa mawas diri dan hati-hati. Jangan sampai suami kita kepincut janda lincah," sindirnya.Aku menatapnya. Ada apa sebenarnya dengannya. Sejak dulu Ika memang tidak menyukaiku. Entah mengapa? Dia selalu saja mengusikku, selalu mencari-cari keburukanku, setelah itu dia akan menyebarkan pada teman-temanku yang lainnya. Aneh!"Benar katamu, Ka. Kalian harus berhati-hati. Jaga baik-baik suami kalian, tapi sepertinya sekarang ini janda lincah yang kamu sebut itu sudah banyak berkurang. Kebanyakan janda sekarang lebih mandiri. Yang lebih bahaya lagi ada loh, Ka. Istrinya orang, karena bagi lelaki, katanya istri orang itu lebih menantang."Aku langsung beranjak setelah mengucapkannya. Rasanya tak ada gunanya bicara dengannya. Sebelas dua belas dengan ibu Hani."Janda ya tet
"Itu adalah bukti kalau anakmu tukang selingkuh!" Ibu Hani terlihat sangat percaya diri. Melihat tak ada reaksi dari bapak, dia terlihat semakin puas.Mas Tama mengambil salah satu foto, seketika rahangnya mengeras. Melihatnya seperti itu dahiku mengernyit heran. Apa dia percaya dengan apa yang ada dalam foto tersebut? Sementara bapak masih bersikap biasa saja."Shock kan melihat kelakuan anak Bapak?" ledeknya. Spontan tanganku terulur, kuambil satu foto yang menggambarkan aku sedang berpelukan dengan seorang lelaki yang tak kukenal."Kenapa, Nin? Tak nyangka kan? Kamu pikir kebusukanmu takkan terendus gitu? Ingat ya, Nin. Serapat-rapatnya kamu menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga baunya." Belum sempat aku membuka mulut, dia kembali bersuara. "Dan ini, ini adalah bukti anak yang kamu banggakan adalah tukang fitnah." Ibu Hani mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya. Oh, rupanya itu adalah hasil pemeriksaan kesuburan kami, bukti bahwa yang bermasalah dengan kesehatan adal
Nyatanya dalam perjalanan tak ada satu kata yang keluar dari bibirku. Sekuat-kuatnya aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja, tetap merasa kehilangan.Sekali lagi, lima tahun bukanlah waktu yang singkat, ada banyak kenangan yang tercipta. Ah, biarlah saat ini aku habiskan sakit, sedikit demi sedikit kulepas kenangan itu selama dalam perjalanan. Agar nanti ketika aku sampai di rumah orang tuaku, semua sudah habis tak bersisa. Semoga.Bariq juga diam. Dia juga tidak banyak protes ketika aku menyadarkan kepala di punggungnya. Sungguh, situasi yang berbanding terbalik dengan beberapa tahun yang lalu. Dulu, punggungku yang menjadi sandaran kepala kecilnya."Mbak udah sampai." Aku merasa guncangan di pundak. Perlahan mataku mengerjap dan betapa terkejutnya ketika menyadari kami sudah sampai rumah. Aku semakin terkejut setelah mendapati ibu dan bapak berdiri di sisi kiri dan kananku. Dalam keremangan subuh, aku masih bisa melihat kaca-kaca di netra teduh milik ibu. Begitu juga dengan bap
"Penyesalan itu memang datang terlambat, Mas. Beda dengan pendaftaran. Nggak perlu ada yang disesali, nikmati saja alurnya. Kamu udah memilih, begitu juga denganku."Sepersekian detik kami saling diam. Sepertinya ada banyak hal yang ingin diucapkannya. Namun, sulit untuk mengungkapkan. Sementara aku, sudah benar-benar tidak ada respect sama dia."Mas, apalagi yang kamu tunggu? Mama itu loh. Biar aku yang jaga rumah, bisa jadi kan, pas kita pergi ada maling!"Sebelum Mas Tama membalas ucapan Bela. Aku bergegas mundur, tanpa menunggu dan berpikir lama, aku membawa satu koper dan satu ransel. Semua berisi barang-barangku yang dulu kubawa ke sini."Nin, mau ke mana?" Mas Tama terlihat khawatir. Berbeda dengan Bela yang nampak tersenyum. "Mau pergi lah, buat apa juga aku di sini.""Ini masih malam, Nin.""Aku bukan anak kecil. Jadi, berhenti mengkhawatirkanku, apalagi sekarang kita bukan suami-istri lagi.""Aku tetap akan berusaha merujukmu, Nin.""Lakukan saja sesukamu, aku tak peduli. P
Setelah usahanya sia-sia, akhirnya dia menyerah. "Baiklah, besok pagi-pagi kamu harus sudah pergi! Dan ingat, jangan bawa barang berharga dari sini. Semua yang ada di sini itu milik Tama!""Aku akan pulang ke rumahku dengan diantar Mas Tama. Itulah yang akan terjadi, karena jika tidak, aku takkan keluar dari rumah ini.""Dasar keras kepala!" Mama mertua nampak kesal."Bukan aku yang keras kepala, tapi Mama yang aneh. Kenapa ngotot banget aku harus pergi sekarang. Memang apa yang Mama rencanakan?"Mama mertua tergelak. "Eh, semakin kurang ajar kamu. Menuduhku merencanakan sesuatu. Nggak ada yang kurencanakan. Aku hanya ingin Tama berpisah denganmu, dan menikah lagi dengan wanita yang mampu memberikan keturunan.""Semoga keinginannya terkabul ya, Ma. Sekarang Mama istirahat. Aku juga akan istirahat, karena besok aku harus melakukan perjalanan. Udah ya, Mama tenang saja. Aku pasti akan pergi.""Tidak akan ada yang pergi. Aku akan merujukmu." Tiba-tiba Mas Tama sudah berada di belakang ib