Share

Bab 3

Author: Puspita
last update Last Updated: 2025-06-17 06:47:03

"Penyesalan itu memang datang terlambat, Mas. Beda dengan pendaftaran. Nggak perlu ada yang disesali, nikmati saja alurnya. Kamu udah memilih, begitu juga denganku."

Sepersekian detik kami saling diam. Sepertinya ada banyak hal yang ingin diucapkannya. Namun, sulit untuk mengungkapkan. Sementara aku, sudah benar-benar tidak ada respect sama dia.

"Mas, apalagi yang kamu tunggu? Mama itu loh. Biar aku yang jaga rumah, bisa jadi kan, pas kita pergi ada maling!"

Sebelum Mas Tama membalas ucapan Bela. Aku bergegas mundur, tanpa menunggu dan berpikir lama, aku membawa satu koper dan satu ransel. Semua berisi barang-barangku yang dulu kubawa ke sini.

"Nin, mau ke mana?" Mas Tama terlihat khawatir. Berbeda dengan Bela yang nampak tersenyum.

"Mau pergi lah, buat apa juga aku di sini."

"Ini masih malam, Nin."

"Aku bukan anak kecil. Jadi, berhenti mengkhawatirkanku, apalagi sekarang kita bukan suami-istri lagi."

"Aku tetap akan berusaha merujukmu, Nin."

"Lakukan saja sesukamu, aku tak peduli. Pantang bagiku, memungut barang yang sudah kulepas."

Aku segera bergegas, sambil menelpon Bariq. Semoga saja dia sudah dalam perjalanan.

"Ayo, Mas cepetan! Kasihan Mama!" seru Raya dari dalam mobil.

Aku yang baru saja keluar dari pintu meneruskan langkah, tanpa peduli dengan kondisi mantan mama mertua yang berada di mobil bersamanya. Entah sakit apa dia? Sikapnya sendiri yang membuatku tak peduli lagi, padahal aku dulu sangat menyayanginya. Menganggapnya seperti ibuku sendiri.

"Nin, ayo ikut ke rumah sakit. Nanti aku antar pulang." Mas Tama berhasil mencekal tanganku sebelum aku mencapai pagar.

"Aku udah dijemput Bariq, Mas." Aku menarik tanganku dari pegangannya.

"Itu masih lama, Nin. Baiklah, kalau kamu mau menunggu Bariq, tunggu di dalam," titahnya. Ini, jika dilakukannya tidak dalam keadaan seperti sekarang, pasti aku akan berbunga-bunga, bahagia karena merasa diperhatikan. Sayang, semua itu sudah tidak berlaku lagi.

"Udahlah, Mas. Nggak usah sok peduli."

"Nin. Aku tahu aku salah, tapi tolong jangan membuatku merasa semakin bersalah."

Aku hendak membantah, tapi ketika sekilas kulihat amarah dan kekesalan di wajah Raya, akhirnya aku mengiyakan. Ada kepuasan melihat wanita itu seperti itu.

Setelah aku mengangguk sebagai tandan setuju, Mas Tama langsung mengambil alih koper dan ransel yang kubawa. Tanpa bicara dia langsung berjalan kembali ke teras. Aku pun mengikuti langkahnya. Silakan cemburu Raya!

"Ngapain sih, Mas? Harusnya biarkan saja dia pergi!" Bela terlihat tak suka. Mas Tama tak menghiraukan adiknya. Dia terus saja berjalan.

"Aku tunggu di sini saja, Mas."

Mas Tama menghentikan langkahnya dan langsung menoleh. "Kamu yakin?"

Aku mengangguk-angguk kecil sebagai jawaban, setelah itu aku menjatuhkan bobot tubuh di bangku teras. Mas Tama menghela napas, setelah itu dia bergegas menuju mobil karena Raya sudah memanggil.

Tinggallah aku dan Bela. Gadis itu terlihat salah tingkah. Mungkin, dia takut aku akan menyerangnya, secara di rumah tidak ada orang lain selain kami.

"Sejak kapan kakakmu berhubung dengan wanita itu?" Aku bertanya sambil menatap lekat pada manik matanya.

"Apa sih?" Bela semakin terlihat tak nyaman.

"Kamu itu perempuan. Suatu saat kamu akan berkeluarga. Apa kamu tidak kecewa jika ternyata suamimu bermain api dengan wanita lain?" Aku masih menatapnya.

"Hal itu takkan terjadi, karena aku bukan perempuan mandul!"

Wah, pedas juga ucapannya. Sangat jauh berbeda dengan Bela yang kukenal selama lima tahun ini.

"Kamu tetap berpikir jika aku yang mandul?"

"Ya iyalah! Memang siapa lagi? Mas Tama jelas nggak mungkin. Kata Mama, keluarga kami nggak ada keturunan mandul!"

"Lalu kamu pikir keluargaku keturunan mandul? Aku ini seorang anak! Itu artinya orang tuaku nggak mandul! Paham?"

"Bisa saja kan? Bukankah yang berpotensi mandul itu perempuan?"

"Dan kamu juga perempuan."

Bela terlihat kesal, sepertinya dia tidak bisa membantah ucapanku. Gegas dia bangkit, kemudian langsung beranjak masuk ke rumah, tak lama kemudian terdengar suara anak kunci diputar. Aku tersenyum kecut. Rasanya benar-benar tidak menyenangkan diperlukan seperti ini.

Untuk menemani rasa sepi, aku berselancar di dunia maya. F******k yang pertama kali kutuju. Walaupun kata sebagian orang F******k sudah tidak zaman, aku tetap suka dengan aplikasi biru tersebut. Nyaman, itu salah satu alasannya.

Setelah scrolling dan memberi like pada postingan teman yang lewat beranda, aku masuk ke grup kepenulisan. Aku lagi suka dengan salah satu cerita yang mengisahkan tentang sepasang suami-isteri yang tinggal serumah dengan mertua. Ceritanya lain daripada yang lain. Satu hal yang membuat menyukainya, penulisnya orang Tuban. Sama denganku hehehe.

Surti-Tejo itu adalah nama tokoh dalam cerita yang kusebut di atas. Sayang, sikap dan sifat Mas Tama sangat jauh berbeda dengan si Tejo. Ah, andai Mas Tama sesetia Tejo, aku pasti sangat bahagia.

Sebuah klakson membuyarkan konsentrasiku yang tengah serius membaca. Bariq turun dari motornya, adikku itu melangkah tergesa ke arahku.

"Mbak dikunci?" Bariq nampak emosi.

Aku melihatnya sekilas. "Iya." Aku menyahut sambil meraih koper yang ada di pinggir bangku.

"Kurang ajar banget sih!" Adikku itu hendak menggedor pintu. Tangannya sudah diangkat dan hampir saja diayunkan ke daun pintu.

"Eh, mau apa kamu? Bariq!" cegahku. Bariq mengurungkan niatnya. Dia membuang kepalan tangannya ke ruang kosong di sebelahnya.

"Mantan suamimu itu kurang ajar, Mbak!" Dia tak terima.

"Orangnya nggak di rumah. Udah, ayo!" Aku beranjak sambil menarik koper.

"Ke mana?" tanyanya sambil mengambil alih koper yang kuseret.

"Rumah sakit. Udah! Ayo!" Rasanya aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini.

"Siapa yang sakit?" tanyanya lagi. Duh, sejak kapan adik lelakiku ini cerewet?

"Bariq, udahlah. Nanti aja ceritanya sambil jalan." Ah, sepertinya jawabku tak dapat memuaskan hatinya.

"Yang sakit Mama, oke. Sekarang ayo lekas, kita pergi dari sini," imbuhku, sekaligus berharap dia tak banyak tanya lagi.

"Sakit apa? Shock dengan ulah anaknya?" tebaknya.

"Mungkin," sahutku.

"Syukurin!" Dia masih menyahut.

"Hust!"

Bariq tertawa ditahan, sementara aku melotot ke arahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 69

    Hari pernikahan akhirnya tiba. Sejak subuh, rumah sudah dipenuhi hiruk pikuk suara tamu, tetangga yang datang membantu, dan sanak keluarga yang berdatangan dari jauh. Udara pagi terasa sejuk, tapi hatiku dipenuhi rasa haru yang hangat.Di kamar pengantin, Bariq duduk tenang mengenakan beskap sederhana berwarna putih gading. Wajahnya tampak lebih dewasa dari biasanya. Aku sampai menahan napas melihat adikku yang dulu sering merengek minta dibelikan mainan, kini sudah siap memimpin rumah tangga.Aku mengetuk pintu pelan lalu masuk. “MasyaAllah, ganteng banget, Riq…” suaraku bergetar menahan tangis haru.Bariq tersenyum malu, lalu bangkit memelukku sebentar. “Makasih, Mbak. Kamu jangan nangis dulu, nanti make up-mu luntur.”Aku tertawa di sela isak kecilku. “Iya, iya… tapi tetap aja terharu.”Di pelaminan, Lestari tampak anggun mengenakan kebaya putih berhiaskan payet halus. Wajahnya memancarkan ketenangan yang sama seperti pertama kali aku melihatnya. Saat ijab kabul berlangsung, suasan

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 68

    Kebahagiaan itu semakin bertambah setelah Bariq membawa kabar, setelah sekian purnama, akhirnya kabar itu datang juga. Kembali semua anggota keluarga menangis bahagia. Adik laki-lakiku itu telah mengatakan niatnya untuk melamar seorang gadis.“Serius, Riq?” tanyaku tak percaya, sembari menutup mulut dengan kedua tangan. Mataku sampai terasa panas menahan air mata bahagia.Bariq, dengan wajah penuh senyum malu-malu, mengangguk mantap. “Iya, Mbak. Aku sudah yakin. Namanya Lestari. Kami sudah cukup lama dekat, tapi baru sekarang aku memberanikan diri bicara serius.”Ibu sampai terisak, memeluk adikku erat. “Alhamdulillah… akhirnya. Kamu membuat hati Ibu tenang, Nak. Ibu selalu berdoa agar kamu segera menemukan pendamping hidup yang baik.”Bapak pun tersenyum lebar. “Laki-laki harus berani melangkah, Riq. Kalau memang yakin, jangan ditunda-tunda.”Aku sendiri menatap Bariq dengan rasa haru. Seakan baru kemarin aku melihatnya masih lugu, sibuk dengan hobinya, dan selalu menolak kalau disin

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 67

    [Aku benar-benar menyesal, Nin. Ternyata tak ada yang mencintaiku sepertimu]Pret! Spontan bibirku berucap.[Maafkan aku pernah menyia-nyiakanmu][Sebenarnya aku masih ingin mengulang kisah kita. Namun, itu takkan kulakukan][Bahagia lah, Nin. Kamu berhak mendapatkan itu][Untuk terakhir kalinya, bolehkah aku video call?]Selesai membaca pesannya yang terakhir, aku langsung membalasnya.[Maaf, tak bisa] Setelah pesan terkirim dan sudah dibaca. Aku langsung memblokir nomornya. Biarlah aku dikatakan jahat. Menurutku itu adalah jalan terbaik. Mengenai kejadian yang menimpa Raya, apa itu karma? Entahlah, aku juga tidak mau capek-capek memikirkannya. Mungkin, memang sudah menjadi takdirnya.Aku meletakkan ponsel di meja rias, lalu menatap cermin. Wajahku sendiri terlihat asing. Ada guratan lelah di mata, tapi juga ada cahaya harapan yang tak bisa kusangkal. Malam ini adalah malam terakhir aku tidur dengan status gadis. Besok aku akan menjadi seorang istri. Pikiran tentang masa lalu bersama

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 66

    "Ngapain?""Bu, menurut ibu, apa yang dikatakan Mas Arya itu benar nggak sih?""Kamu percaya nggak?""Percaya nggak percaya sih, tapi lihat mukanya bonyok kek gitu, apa iya dia bo'ong?""Minta petunjuk pada Gusti Allah, Nin. Gusti Allah sebaik-baiknya pemberi petunjuk." Setelah berucap ibu bangkit dan masuk ke kamarnya. Meninggalkanku dalam kebimbangan.Aku terdiam. Tatapanku masih tertuju pada pintu kamar ibu yang baru saja tertutup rapat. Kata-katanya menggema di kepalaku. “Minta petunjuk pada Gusti Allah.” Kalimat sederhana, tapi entah mengapa begitu menenangkan sekaligus membuatku semakin bingung. Seolah-olah ibu menyerahkan seluruh keputusan pada diriku sendiri, padahal aku sangat ingin mendengar jawaban pasti darinya.Tanganku meremas ujung bantal sofa. Rasa cemas, lega, takut, dan ragu bercampur jadi satu. Aku tidak bisa menolak bahwa rasa sayangku pada Mas Arya masih ada. Namun bayang-bayang Karin, perempuan yang tiba-tiba hadir dengan segala keberaniannya, masih saja menghant

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 65

    "Ibu." Aku bangkit setelah mendapati ibu sudah berdiri di pinggir pintu. Segera aku menghampirinya."Ibu nggak usah menjelaskan apa-apa sama ibu. Ibu sudah dengar semuanya," ucap ibu setelah kami duduk di bangku yang berseberangan dengan Mas Arya."Maafkan saya, Bu. Tadi, saya kurang tegas menghadapi Karin. Namun, semua itu kulakukan karena ada alasannya. Karin itu orangnya nekad, dia mempunyai sifat yang kurang bagus. Jika tadi aku marah, Karin pasti akan melakukan hal yang lebih gila lagi. Dia itu—""Sudah cukup, kamu nggak usah mejelaskan lagi. Apa kamu bisa memastikan jika wanita itu tak melakukannya lagi?" Ibu terlihat sangat tegas ketika mengucapkannya."Bu—""Kamu diam dulu, Nin. Diam ya." Ibu memotong ucapanku. Padahal aku hanya ingin jika ibu jangan terlalu banyak pikiran. Saat ini kondisinya sedang kurang baik."Saya tadi sudah ke rumahnya, Bu. Dan sudah bicara jujur dengan suaminya. Semoga saja Karin akan jerah," ujar Mas Arya."Apa kamu bisa pastikan wanita itu tidak melak

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 64

    "Iya, Bu. Terima kasih," balas Anin sambil tersenyum. Senyuman itu terlihat begitu tipis, hampir tak ada rona ceria di wajahnya. Ada kelelahan yang nyata, seolah senyum itu hanya sekadar bentuk kesopanan."Ibu sakit?" Tak sabar, aku langsung bertanya setelah petugas kesehatan itu berlalu. Suaraku sedikit bergetar, karena aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres.Anin tak begitu antusias menanggapi pertanyaanku. "Ibu kelelahan," sahutnya dengan suara datar. Sekilas ada keterkejutan di wajahnya ketika tatapan kami beradu. Ada yang berbeda, sorot matanya tak lagi hangat seperti biasanya."Anin, ada yang mau aku bicarakan," cegahku ketika dia hendak masuk ke rumah. Langkahnya terhenti, lalu ia menoleh perlahan."Iya, Mas Arya harus menjelaskan semuanya. Agar aku bisa mengambil keputusan. Mau lanjut apa cukup sampai di sini." Ucapannya tajam, menusuk jantungku."Duduk yuk, Nin," ajakku. Walaupun terlihat jelas kalau Anin kurang nyaman, tapi dia tetap melakukan yang kukatakan. Kami duduk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status