Share

MANTAN SUAMI MATI GAYA
MANTAN SUAMI MATI GAYA
Author: Puspita

Bab 1

Author: Puspita
last update Last Updated: 2025-06-17 06:45:30

"Berkemaslah. Besok aku akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu."

Aku yang sedang membersihkan wajah refleks menghentikan gerakan. Kutatap wajah Mas Tama-suamiku– lewat pantulan cermin dengan tatapan tak percaya.

"Apa maksudmu, Mas?"

Pria yang menikahiku beberapa tahun yang lalu itu berdiri, kemudian membalas menatapku.

"Mulai hari ini aku talak kamu," jawabnya lagi.

Kapas yang ada di tanganku terlepas. Detak jantung yang awalnya normal, langsung memacu dengan cepat.

"Bercandamu nggak lucu, Mas," sahutku. Mencoba untuk menanggapinya dengan santai, walaupun hatiku kebat-kebit tak karuan.

"Aku tidak sedang bercanda." Suaranya terdengar datar dan serius. "Seperti kata orang tuamu dulu. Mereka memintaku mengantarmu pulang jika sudah tak bisa lagi melanjutkan hubungan ini."

"Mas ...." Aku yang sudah dikuasai oleh emosi menghadap penuh padanya. Aku benar-benar tak suka dengan leluconnya kali ini.

"Aku serius." Dia nampak biasa saja ketika mengucapkannya, sama sekali tak terlihat gejolak emosi di wajahnya. "Setelah aku berpikir, memang lebih baik kita berpisah," imbuhnya tanpa ragu.

Untuk beberapa saat tatapan kami bertemu. Aku melihat keseriusan di sorot matanya. Tak ada lagi tatapan penuh cinta yang membuatku tergila-gila.

"Beri aku alasan yang logis, Mas," ucapku akhirnya setelah sepersekian detik membisu.

Walaupun rasanya ingin menangis, aku berusaha untuk meredamnya. Aku tak mau merengek, apalagi memintanya untuk memikirkan ulang tentang apa yang dikatakannya. Dia cukup dewasa untuk tidak main-main dengan hal itu.

"Alasannya jelas, karena kamu tak bisa memberiku keturunan."

Setelah hening beberapa saat, tawaku meledak. Menurutku ini benar-benar lucu.

"Mengapa baru sekarang? Lalu ke mana kata-katamu dulu, yang katanya takkan mempermasalahkan soal keturunan?"

"Ini bukan hanya tentang aku. Ini tentang keluarga besarku yang memang menginginkan keturunan."

Aku menangkap keanehan dalam keadaan ini. Bagaimana mungkin tiba-tiba Mas Tama ingin bercerai. Pasti ada yang tidak beres. Aku yakin itu, akan tetapi aku tak bisa mengatakannya.

"Selama ini orang tuaku selalu menuruti keinginanku. Jadi, mengapa aku tak bisa menuruti keinginan mereka yang ingin memiliki keturunan dariku."

"Oh, jadi sekarang kamu sudah mau menikah lagi? Gitu aja pakai muter-muter ngomongnya," sinisku.

"Iya, aku butuh wanita yang mampu memberikan keturunan," sahutnya dengan cepat. Terlihat jelas kilatan amarah di sorot matanya.

"Baiklah, aku bisa apa jika itu alasannya. Aku tak bisa menjanjikan sesuatu yang bukan kehendakku kan?"

"Baguslah kalau kamu sadar. Oh iya, karena kita tidak ada keturunan dan selama ini aku yang bekerja, maka jangan sekali-kali meminta harta gono-gini."

Lagi, sesaat aku menahan napas mendengar penuturannya.

"Harusnya kalimat itu tidak keluar dari seseorang yang berpendidikan seperti kamu. Baiklah, aku takkan meminta harta gono-gini, tapi tolong kembalikan lima tahunku yang terbuang karena sudah mengabdi dan melayanimu."

Mas Tama nampak kesal mendengar jawabanku. Mungkin dia tak menyangka aku akan mengatakannya, kemudian tanpa bicara lagi, Mas Tama melangkah menuju pintu.

"Sebelum kita berpisah, ada sesuatu yang ingin kutunjukan padamu. Anggap saja ini hadiah perpisahan dariku." Ucapanku berhasil menghentikan langkahnya.

Bergegas aku membuka lemari. Setelah itu mengambil sesuatu yang selama beberapa tahun tersimpan rapi di dalamnya.

"Ini." Aku menyerahkan sebuah amplop yang bertuliskan nama sebuah rumah sakit.

"Masih ingat kan kenapa kita datang ke rumah sakit itu. Baca dengan teliti, jangan sampai ada yang tertinggal." Setelah berucap aku melangkah maju, kemudian membuka pintu.

Aku ingin Mas Tama segera keluar dari kamar. Namun, pemandangan di luar kamar membuatku mengerutkan dahi. Ada mama mertua, adik ipar dan seorang wanita yang tak kukenal tengah berdiri sambil bersikap seolah sedang serius mendengarkan sesuatu.

"Mama?"

Mama Hani gelagapan. "Kebetulan saja kami lewat dan berhenti ketika mendengar keributan," sahutnya beralasan.

"Keributan? Siapa yang ribut? Kok aku nggak dengar?"

"Mungkin telinga kamu bermasalah. Karena kami tadi benar-benar mendengar keributan dari sini."

"Jadi Mama memang menunggu kami ribut? Jadi, Mama sudah tahu jika Mas Tama akan menalakku?" tanyaku menohok.

Wanita baya itu melengos. Tanpa menjawab dia langsung mengajak anak dan wanita yang bersamanya itu pergi.

"Ini tidak mungkin!" dengus Mas Tama. Lelaki itu terlihat shock dengan apa yang baru saja diketahuinya.

"Ini tidak mungkin kan, Nin?!" Mas Tama mendekatiku. Dia terlihat panik dan emosi.

"Sayang sekali, itulah kebenarannya. Jadi, jika nanti kamu menikah dan istrimu itu hamil. Maka, bisa dipastikan jika itu bukan darah dagingmu."

"Omong kosong apa ini, Nin!" Mas Tama mencengkeram daguku.

Dengan susah paya aku melepas cengkramannya. "Kalau kamu tidak percaya, lakukanlah lagi, tes lagi. Gampang kan? Tak perlu marah begitu, apalagi menyakitiku."

"Tidak mungkin!" Lagi-lagi Mas Tama menolak kebenarannya. Hingga dia pergi dengan tergesa meninggalkanku. "Ma!" teriaknya memekakkan gendang telinga. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aku pun segera menutup pintu, kemudian menguncinya. Rasa sesak dan sakit yang sedari tadi kutahan, tumpah sudah. Tak ada hati yang tak patah, tak ada yang baik-baik saja jika seseorang yang dicintai memutuskan untuk berpisah. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Setiap hari bersama, setiap hari merajut kasih. Kini, aku harus melepaskan semua itu, tentu saja tidak mudah.

Setelah sekian menit meratapi nasib, aku pun bergegas membereskan barang-barang milikku. Sakit ini jangan sampai kusimpan lama-lama, tak ada untungnya juga. Aku yakinkan diri, jika ini memang jalan hidupku. Bisa, aku pasti bisa menjalaninya. Tekadku.

Aku terjaga setelah terdengar gedoran pintu. Kepala langsung pening karena baru saja mata ini terpejam. Aku pikir itu Mas Tama, jadi aku enggan untuk membuka pintu. Namun, gedoran itu tak kunjung berhenti dan malah semakin sering dan keras.

"Buka pintunya, Nin!"

Tak perlu mempertajam pendengaran untuk mengetahui siapa yang berada dibalik pintu. Itu adalah suara Mama mertua. Mau apa dia? Sebelum aku beranjak dari kasur, sempat kulirik jam yang menempel di dinding. Pukul setengah satu, gerutuku.

"Nin!"

"Ada apa, Ma?" tanyaku setelah pintu terbuka sedikit.

"Cepat pergi dari sini. Kamu sudah dicerai Tama kan? Tak usah menunggu besok, takkan ada yang berubah. Tama tetap akan menceraikanmu."

"Mama jangan khawatir, besok aku akan langsung pergi dari sini."

"Kelamaan nunggu besok, sekarang aja! Mau kupaksa atau pergi baik-baik?" ancamnya. Matanya melotot dengan kedua tangan yang berkacak pinggang.

"Saya akan pulang diantar Mas Tama, itulah kesepakatannya."

"Jangan mimpi! Tama takkan melalukan itu. Sebagai seorang ibu, aku takkan mengizinkannya melakukan itu."

"Mas Tama memang sudah menalakku, tapi bukan berarti dia lepas tanggung jawab denganku. Semua ada prosedurnya, Ma. Talak yang diucapkan Mas Tama masih lemah."

"Halah, aku tak percaya. Tentu saja akan banyak usaha yang akan kamu lakukan agar Tama mau menerimamu lagi kan? Aku yakin itu." Wanita baya itu bersungut-sungut.

"Udah ya, Ma. Sekarang Mama istirahat. Kupastikan besok aku akan pergi dari sini."

"Jangan keras kepala kamu, Nin!" Mama mertuaku berusaha mendorong pintu.

"Mama juga jangan keras kepala. Ini sudah malam, Ma." Aku menahan pintu dengan sekuat tenaga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Puji Astutik
Tama yang mandul ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 69

    Hari pernikahan akhirnya tiba. Sejak subuh, rumah sudah dipenuhi hiruk pikuk suara tamu, tetangga yang datang membantu, dan sanak keluarga yang berdatangan dari jauh. Udara pagi terasa sejuk, tapi hatiku dipenuhi rasa haru yang hangat.Di kamar pengantin, Bariq duduk tenang mengenakan beskap sederhana berwarna putih gading. Wajahnya tampak lebih dewasa dari biasanya. Aku sampai menahan napas melihat adikku yang dulu sering merengek minta dibelikan mainan, kini sudah siap memimpin rumah tangga.Aku mengetuk pintu pelan lalu masuk. “MasyaAllah, ganteng banget, Riq…” suaraku bergetar menahan tangis haru.Bariq tersenyum malu, lalu bangkit memelukku sebentar. “Makasih, Mbak. Kamu jangan nangis dulu, nanti make up-mu luntur.”Aku tertawa di sela isak kecilku. “Iya, iya… tapi tetap aja terharu.”Di pelaminan, Lestari tampak anggun mengenakan kebaya putih berhiaskan payet halus. Wajahnya memancarkan ketenangan yang sama seperti pertama kali aku melihatnya. Saat ijab kabul berlangsung, suasan

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 68

    Kebahagiaan itu semakin bertambah setelah Bariq membawa kabar, setelah sekian purnama, akhirnya kabar itu datang juga. Kembali semua anggota keluarga menangis bahagia. Adik laki-lakiku itu telah mengatakan niatnya untuk melamar seorang gadis.“Serius, Riq?” tanyaku tak percaya, sembari menutup mulut dengan kedua tangan. Mataku sampai terasa panas menahan air mata bahagia.Bariq, dengan wajah penuh senyum malu-malu, mengangguk mantap. “Iya, Mbak. Aku sudah yakin. Namanya Lestari. Kami sudah cukup lama dekat, tapi baru sekarang aku memberanikan diri bicara serius.”Ibu sampai terisak, memeluk adikku erat. “Alhamdulillah… akhirnya. Kamu membuat hati Ibu tenang, Nak. Ibu selalu berdoa agar kamu segera menemukan pendamping hidup yang baik.”Bapak pun tersenyum lebar. “Laki-laki harus berani melangkah, Riq. Kalau memang yakin, jangan ditunda-tunda.”Aku sendiri menatap Bariq dengan rasa haru. Seakan baru kemarin aku melihatnya masih lugu, sibuk dengan hobinya, dan selalu menolak kalau disin

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 67

    [Aku benar-benar menyesal, Nin. Ternyata tak ada yang mencintaiku sepertimu]Pret! Spontan bibirku berucap.[Maafkan aku pernah menyia-nyiakanmu][Sebenarnya aku masih ingin mengulang kisah kita. Namun, itu takkan kulakukan][Bahagia lah, Nin. Kamu berhak mendapatkan itu][Untuk terakhir kalinya, bolehkah aku video call?]Selesai membaca pesannya yang terakhir, aku langsung membalasnya.[Maaf, tak bisa] Setelah pesan terkirim dan sudah dibaca. Aku langsung memblokir nomornya. Biarlah aku dikatakan jahat. Menurutku itu adalah jalan terbaik. Mengenai kejadian yang menimpa Raya, apa itu karma? Entahlah, aku juga tidak mau capek-capek memikirkannya. Mungkin, memang sudah menjadi takdirnya.Aku meletakkan ponsel di meja rias, lalu menatap cermin. Wajahku sendiri terlihat asing. Ada guratan lelah di mata, tapi juga ada cahaya harapan yang tak bisa kusangkal. Malam ini adalah malam terakhir aku tidur dengan status gadis. Besok aku akan menjadi seorang istri. Pikiran tentang masa lalu bersama

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 66

    "Ngapain?""Bu, menurut ibu, apa yang dikatakan Mas Arya itu benar nggak sih?""Kamu percaya nggak?""Percaya nggak percaya sih, tapi lihat mukanya bonyok kek gitu, apa iya dia bo'ong?""Minta petunjuk pada Gusti Allah, Nin. Gusti Allah sebaik-baiknya pemberi petunjuk." Setelah berucap ibu bangkit dan masuk ke kamarnya. Meninggalkanku dalam kebimbangan.Aku terdiam. Tatapanku masih tertuju pada pintu kamar ibu yang baru saja tertutup rapat. Kata-katanya menggema di kepalaku. “Minta petunjuk pada Gusti Allah.” Kalimat sederhana, tapi entah mengapa begitu menenangkan sekaligus membuatku semakin bingung. Seolah-olah ibu menyerahkan seluruh keputusan pada diriku sendiri, padahal aku sangat ingin mendengar jawaban pasti darinya.Tanganku meremas ujung bantal sofa. Rasa cemas, lega, takut, dan ragu bercampur jadi satu. Aku tidak bisa menolak bahwa rasa sayangku pada Mas Arya masih ada. Namun bayang-bayang Karin, perempuan yang tiba-tiba hadir dengan segala keberaniannya, masih saja menghant

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 65

    "Ibu." Aku bangkit setelah mendapati ibu sudah berdiri di pinggir pintu. Segera aku menghampirinya."Ibu nggak usah menjelaskan apa-apa sama ibu. Ibu sudah dengar semuanya," ucap ibu setelah kami duduk di bangku yang berseberangan dengan Mas Arya."Maafkan saya, Bu. Tadi, saya kurang tegas menghadapi Karin. Namun, semua itu kulakukan karena ada alasannya. Karin itu orangnya nekad, dia mempunyai sifat yang kurang bagus. Jika tadi aku marah, Karin pasti akan melakukan hal yang lebih gila lagi. Dia itu—""Sudah cukup, kamu nggak usah mejelaskan lagi. Apa kamu bisa memastikan jika wanita itu tak melakukannya lagi?" Ibu terlihat sangat tegas ketika mengucapkannya."Bu—""Kamu diam dulu, Nin. Diam ya." Ibu memotong ucapanku. Padahal aku hanya ingin jika ibu jangan terlalu banyak pikiran. Saat ini kondisinya sedang kurang baik."Saya tadi sudah ke rumahnya, Bu. Dan sudah bicara jujur dengan suaminya. Semoga saja Karin akan jerah," ujar Mas Arya."Apa kamu bisa pastikan wanita itu tidak melak

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 64

    "Iya, Bu. Terima kasih," balas Anin sambil tersenyum. Senyuman itu terlihat begitu tipis, hampir tak ada rona ceria di wajahnya. Ada kelelahan yang nyata, seolah senyum itu hanya sekadar bentuk kesopanan."Ibu sakit?" Tak sabar, aku langsung bertanya setelah petugas kesehatan itu berlalu. Suaraku sedikit bergetar, karena aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres.Anin tak begitu antusias menanggapi pertanyaanku. "Ibu kelelahan," sahutnya dengan suara datar. Sekilas ada keterkejutan di wajahnya ketika tatapan kami beradu. Ada yang berbeda, sorot matanya tak lagi hangat seperti biasanya."Anin, ada yang mau aku bicarakan," cegahku ketika dia hendak masuk ke rumah. Langkahnya terhenti, lalu ia menoleh perlahan."Iya, Mas Arya harus menjelaskan semuanya. Agar aku bisa mengambil keputusan. Mau lanjut apa cukup sampai di sini." Ucapannya tajam, menusuk jantungku."Duduk yuk, Nin," ajakku. Walaupun terlihat jelas kalau Anin kurang nyaman, tapi dia tetap melakukan yang kukatakan. Kami duduk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status