"Itu adalah bukti kalau anakmu tukang selingkuh!" Ibu Hani terlihat sangat percaya diri. Melihat tak ada reaksi dari bapak, dia terlihat semakin puas.
Mas Tama mengambil salah satu foto, seketika rahangnya mengeras. Melihatnya seperti itu dahiku mengernyit heran. Apa dia percaya dengan apa yang ada dalam foto tersebut? Sementara bapak masih bersikap biasa saja. "Shock kan melihat kelakuan anak Bapak?" ledeknya. Spontan tanganku terulur, kuambil satu foto yang menggambarkan aku sedang berpelukan dengan seorang lelaki yang tak kukenal. "Kenapa, Nin? Tak nyangka kan? Kamu pikir kebusukanmu takkan terendus gitu? Ingat ya, Nin. Serapat-rapatnya kamu menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga baunya." Belum sempat aku membuka mulut, dia kembali bersuara. "Dan ini, ini adalah bukti anak yang kamu banggakan adalah tukang fitnah." Ibu Hani mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya. Oh, rupanya itu adalah hasil pemeriksaan kesuburan kami, bukti bahwa yang bermasalah dengan kesehatan adalah Mas Tama. Aku memilih diam, seperti yang dilakukan kedua orang tuaku. Aku yakin bapak bisa mengatasinya. "Anakmu itu pembohong ulung, Pak. Dia sampai memalsukan hasil tes kesehatan dan memfitnah kalau yang mandul itu anak saya! Padahal sudah terbukti kalau Tama tidak mandul, karena saat ini Raya tengah mengandung anaknya!" ujar ibunya Mas Tama berapi-api. Sontak Mas Tama meminta ibunya untuk berhenti bicara. Bapak dan ibu hanya diam memperhatikannya, sementara aku hampir tak bisa menahan tawa. Secara tidak sadar, mereka telah membuka boroknya sendiri. "Jangan halangi mama untuk bicara, Tama. Biarkan mereka tahu seperti apa anak yang selalu mereka banggakan!" Ibu Hani tidak terima diminta Mas Tama untuk diam. "Sudah, Ma. Sudah! Mama diam! Biar Tama yang bicara!" Mas Tama terlihat geram. "Kamu yang diam!" Ibu Hani balik membentak Mas Tama. Sungguh ini adalah tontonan yang menghibur. "Sudah jelas buktinya kan, Pak? Jadi, tak ada alasan bagi Tama untuk mempertahankan rumah tangga mereka. Anakmu itu yang nggak bener!" "Iya, Bu. Semua sudah jelas. Silakan ibu keluar dari rumah saya. Terima kasih sudah manjatuhkan talak untuk anak saya. Saya akan sangat menyesal jika anak saya masih terjebak dalam keluarga kalian. Tama, kalau kamu tidak segera mengajukan ke pengadilan agama, biar kami yang melakukannya." "Iya, itu lebih baik! Kalian urus saja perceraiannya. Ingat ya, Pak. Selama mereka berumah tangga, anak bapak itu sama sekali tak bekerja, jadi nggak usah menuntut gono-gini. Mereka kan nggak punya anak!" sahut ibunya Mas Tama. Bapak mengambil foto yang berserakan di meja. "Saya juga akan menyelidiki foto ini, jika ini semua tidak benar, saya akan melaporkannya ke kantor polisi." "Lakukan saja, kamu pikir aku takut? Semua bukti itu bukan rekayasa!" Ibu Hani tidak gentar. "Silakan keluar." Bapak bangkit. Begitu juga denganku dan ibu. "Nggak usah disuruh juga kami akan pergi! Nggak betah lama-lama duduk di ruang sempit seperti ini!" cibirnya sambil berdiri, yang diikuti oleh anak-anaknya. "Silakan." "Ayo, Tama! Bisa-bisa ketularan kampungan kalau lama-lama di sini!" Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Mas Tama menurut begitu saja dengan perintah ibunya. Begitu juga dengan Raya dan Bela, kedua perempuan itu mengikuti langkah Mas Tama dan ibunya. Setelah mereka keluar, kami beranjak menuju pintu. Aku sudah menduga jika kejadian ini akan menjadi tontonan gratis untuk para tetangga yang suka kepo. Beberapa orang masih bertahan di teras Mak Lin, yang rumahnya tepat berada di depan rumahku. Mereka pasti ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Bu-ibu, mulai sekarang jaga suami kalian! Ada janda baru tukang selingkuh!" Bu Hani berteriak pada orang-orang yang berkerumun itu ketika sampai di tepi jalan menuju mobilnya. Sementara Raya dan Bela sudah masuk ke dalam mobil. Aku yang sudah tak bisa menahan kesabaran bergegas menghampirinya. Ibu Hani tersenyum mengejek, sepertinya dia sangat puas sudah membuatku malu. "Segera pergi dari sini, sebelum aku kehilangan kendali! Satu lagi, untukmu wahai seorang yang sudah menjadi ibu, seharusnya kamu bisa menjaga kata-katamu karena kamu juga mempunyai seorang anak perempuan." Aku menatap manik mata Bu Hani. Wanita senja itu memiringkan bibirnya. Mengejekku. "Aku bicara apa adanya. Kamu wanita mandul, tukang selingkuh! Kalau wanita lain akan sedih jika divonis mandul, ternyata itu tak berlaku buatmu ya. Kamu seolah bangga dan bisa bergonta-ganti selingkuhan karena tidak mungkin hamil!" serunya. Sepertinya dia memang sengaja mengatakannya dengan keras. Ibu Hani menjerit ketika secepat kilat sebuah tamparan mendarat di pipinya. Aku sendiri juga sempat tertegun dengan apa yang baru saja terjadi. "Pergi diri sini! Kalau tidak ingin aku berbuat lebih!" Ibu terlihat sangat emosional. Aku yang tadi tertegun langsung merangkulnya. Kedua mata Bu Hani melotot, sementara satu tangannya memegangi pipinya yang memerah. Dadanya naik turun tanda kalau dia teramat murka. "Aku tidak terima diperlakukan seperti ini Tama! Laporkan wanita gila ini karena sudah melakukan kekerasan!" Bu Hani berteriak lantang. "Dasar orang-orang kampung! Tak berpendidikan! Tama! Pokoknya, bagaimanapun caranya wanita kampung ini harus masuk penjara!" Bu Hani menunjuk-nunjuk ke arah ibu. "Tama, bawa pergi Mamamu." Bapak sudah berada di antara kami. "Anin, bawa ibumu masuk," titahnya. "Bentar, Pak. Tolong Bapak yang ajak ibu masuk." Tanpa menunggu jawaban dari bapak, aku langsung melepaskan rangkulanku pada ibu dan menghampiri Mas Tama. "Maunya keluargamu itu apa sih? Hah?! Tiba-tiba kamu menalakku, setelah aku menerima keputusanmu, kamu ingin rujuk. Lalu sekarang kamu dan ibumu itu membuat rusuh di sini. Maumu apa hah?!" "Kamu mau tahu mauku apa?" tanya Mas Tama. Ah, melihat ekspresi wajahnya saat mengucapkannya, semakin membuatku meradang. "Kamu takut ibumu aku laporkan ya?" ledeknya. "Kau lihat sendiri, walaupun jika benar aku mandul, setidaknya ada wanita yang dengan rela akan mematahkan statement tersebut," kelakarnya. "Jadi, jangan banyak tingkah, pikirkan nama baikmu juga keluargamu," imbuhnya mengancam. Setelah itu dia masuk ke dalam mobil. Mas Tama sengaja menekan gas kuat-kuat pada mobilnya. Hingga menimbulkan suara gaduh sebelum kendaraannya itu melaju. "Brengsek!" Aku menendang debu yang berterbangan akibat roda mobil yang berputar-putar sebelum berjalan. "Sudah, Nin. Ayo masuk," ajak bapak. "Ayo." Kali ini ibu yang berucap. Namun, sesaat kemudian ibu terhuyung. Beruntung bapak dengan sigap menahannya. "Ibu dan Bapak masuk aja dulu. Aku mau bicara dikit," tolakku. Mungkin, karena khawatir dengan keadaan ibu, bapak tak lagi bicara. Lelaki cinta pertamaku itu memapah ibu masuk. Kasak kusuk terdengar dari kerumunan di teras Mak Lin, menarik minatku untuk menoleh. Wajah-wajah mereka tak asing, karena memang kami sudah bertetangga cukup lama. "Kalau ada yang ingin ditanyakan, silakan bertanya. Tak perlu menerka-nerka apa yang terjadi dengan keluargaku." "Nggak kok Nin, memang sudah menjadi kebiasaan kami kumpul-kumpul di sini," sahut Mbak Sri. "Semua sudah jelas, apalagi yang harus ditanyakan? Kami di sini juga nggak budeg!" Aku menoleh pada asal suara. Ika, temanku itu berjalan menuju teras Mak Lin, bergabung dengan yang lainnya.Bapak mengangguk, membuatku sontak menutup mulut, tak menyangka tetangga sendiri mau menjerumuskan ibu, yang jelas-jelas melakukannya karena membelaku. "Untung saja, Pak Tohir memberi kesaksian lain. Dia memperlihatkan rekaman video dari hp cucunya."Aku memperbaiki posisi duduk agar lebih fokus pada bapak. Sepertinya ceritanya cukup menegangkan."Si Udin merekam ibunya Tama pas marah-marah dan menghinamu. Semua tergambar jelas bagaimana kronologinya. Hingga ibumu menampar ibunya Tama."Aku mengangguk-angguk. "Atas bukti itu, beberapa warga menyarankan untuk melapor balik, karena Ibunya Tama masih menolak untuk damai. Sebenarnya bapak nggak mau berurusan dengan polisi, Nin, tapi bapak juga nggak rela kalau keluarga bapak disakiti." Bapak menghela napas."Ibumu memang bersalah di mata hukum, karena melalukan tindakan kekerasan. Semoga saja dengan bukti bahwa kamulah yang difitnah, bisa mengurangi tuduhan pada ibumu."Mendengar penuturan bapak, mau tak mau pikiranku langsung tertuju pa
"Tapi bukan berarti itu kebenarannya, Ka." Aku mencoba bersikap biasa saja."Ya mana kami tahu? Ya nggak Bu-Ibu? Kami itu nggak peduli dengan urusan orang lain, Nin, tapi kami beruntung karena sudah mendapat bocoran, jadi bisa mawas diri dan hati-hati. Jangan sampai suami kita kepincut janda lincah," sindirnya.Aku menatapnya. Ada apa sebenarnya dengannya. Sejak dulu Ika memang tidak menyukaiku. Entah mengapa? Dia selalu saja mengusikku, selalu mencari-cari keburukanku, setelah itu dia akan menyebarkan pada teman-temanku yang lainnya. Aneh!"Benar katamu, Ka. Kalian harus berhati-hati. Jaga baik-baik suami kalian, tapi sepertinya sekarang ini janda lincah yang kamu sebut itu sudah banyak berkurang. Kebanyakan janda sekarang lebih mandiri. Yang lebih bahaya lagi ada loh, Ka. Istrinya orang, karena bagi lelaki, katanya istri orang itu lebih menantang."Aku langsung beranjak setelah mengucapkannya. Rasanya tak ada gunanya bicara dengannya. Sebelas dua belas dengan ibu Hani."Janda ya tet
"Itu adalah bukti kalau anakmu tukang selingkuh!" Ibu Hani terlihat sangat percaya diri. Melihat tak ada reaksi dari bapak, dia terlihat semakin puas.Mas Tama mengambil salah satu foto, seketika rahangnya mengeras. Melihatnya seperti itu dahiku mengernyit heran. Apa dia percaya dengan apa yang ada dalam foto tersebut? Sementara bapak masih bersikap biasa saja."Shock kan melihat kelakuan anak Bapak?" ledeknya. Spontan tanganku terulur, kuambil satu foto yang menggambarkan aku sedang berpelukan dengan seorang lelaki yang tak kukenal."Kenapa, Nin? Tak nyangka kan? Kamu pikir kebusukanmu takkan terendus gitu? Ingat ya, Nin. Serapat-rapatnya kamu menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga baunya." Belum sempat aku membuka mulut, dia kembali bersuara. "Dan ini, ini adalah bukti anak yang kamu banggakan adalah tukang fitnah." Ibu Hani mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya. Oh, rupanya itu adalah hasil pemeriksaan kesuburan kami, bukti bahwa yang bermasalah dengan kesehatan adal
Nyatanya dalam perjalanan tak ada satu kata yang keluar dari bibirku. Sekuat-kuatnya aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja, tetap merasa kehilangan.Sekali lagi, lima tahun bukanlah waktu yang singkat, ada banyak kenangan yang tercipta. Ah, biarlah saat ini aku habiskan sakit, sedikit demi sedikit kulepas kenangan itu selama dalam perjalanan. Agar nanti ketika aku sampai di rumah orang tuaku, semua sudah habis tak bersisa. Semoga.Bariq juga diam. Dia juga tidak banyak protes ketika aku menyadarkan kepala di punggungnya. Sungguh, situasi yang berbanding terbalik dengan beberapa tahun yang lalu. Dulu, punggungku yang menjadi sandaran kepala kecilnya."Mbak udah sampai." Aku merasa guncangan di pundak. Perlahan mataku mengerjap dan betapa terkejutnya ketika menyadari kami sudah sampai rumah. Aku semakin terkejut setelah mendapati ibu dan bapak berdiri di sisi kiri dan kananku. Dalam keremangan subuh, aku masih bisa melihat kaca-kaca di netra teduh milik ibu. Begitu juga dengan bap
"Penyesalan itu memang datang terlambat, Mas. Beda dengan pendaftaran. Nggak perlu ada yang disesali, nikmati saja alurnya. Kamu udah memilih, begitu juga denganku."Sepersekian detik kami saling diam. Sepertinya ada banyak hal yang ingin diucapkannya. Namun, sulit untuk mengungkapkan. Sementara aku, sudah benar-benar tidak ada respect sama dia."Mas, apalagi yang kamu tunggu? Mama itu loh. Biar aku yang jaga rumah, bisa jadi kan, pas kita pergi ada maling!"Sebelum Mas Tama membalas ucapan Bela. Aku bergegas mundur, tanpa menunggu dan berpikir lama, aku membawa satu koper dan satu ransel. Semua berisi barang-barangku yang dulu kubawa ke sini."Nin, mau ke mana?" Mas Tama terlihat khawatir. Berbeda dengan Bela yang nampak tersenyum. "Mau pergi lah, buat apa juga aku di sini.""Ini masih malam, Nin.""Aku bukan anak kecil. Jadi, berhenti mengkhawatirkanku, apalagi sekarang kita bukan suami-istri lagi.""Aku tetap akan berusaha merujukmu, Nin.""Lakukan saja sesukamu, aku tak peduli. P
Setelah usahanya sia-sia, akhirnya dia menyerah. "Baiklah, besok pagi-pagi kamu harus sudah pergi! Dan ingat, jangan bawa barang berharga dari sini. Semua yang ada di sini itu milik Tama!""Aku akan pulang ke rumahku dengan diantar Mas Tama. Itulah yang akan terjadi, karena jika tidak, aku takkan keluar dari rumah ini.""Dasar keras kepala!" Mama mertua nampak kesal."Bukan aku yang keras kepala, tapi Mama yang aneh. Kenapa ngotot banget aku harus pergi sekarang. Memang apa yang Mama rencanakan?"Mama mertua tergelak. "Eh, semakin kurang ajar kamu. Menuduhku merencanakan sesuatu. Nggak ada yang kurencanakan. Aku hanya ingin Tama berpisah denganmu, dan menikah lagi dengan wanita yang mampu memberikan keturunan.""Semoga keinginannya terkabul ya, Ma. Sekarang Mama istirahat. Aku juga akan istirahat, karena besok aku harus melakukan perjalanan. Udah ya, Mama tenang saja. Aku pasti akan pergi.""Tidak akan ada yang pergi. Aku akan merujukmu." Tiba-tiba Mas Tama sudah berada di belakang ib