Share

Bab 6

Author: Puspita
last update Last Updated: 2025-08-07 22:47:11

"Tapi bukan berarti itu kebenarannya, Ka." Aku mencoba bersikap biasa saja.

"Ya mana kami tahu? Ya nggak Bu-Ibu? Kami itu nggak peduli dengan urusan orang lain, Nin, tapi kami beruntung karena sudah mendapat bocoran, jadi bisa mawas diri dan hati-hati. Jangan sampai suami kita kepincut janda lincah," sindirnya.

Aku menatapnya. Ada apa sebenarnya dengannya. Sejak dulu Ika memang tidak menyukaiku. Entah mengapa? Dia selalu saja mengusikku, selalu mencari-cari keburukanku, setelah itu dia akan menyebarkan pada teman-temanku yang lainnya. Aneh!

"Benar katamu, Ka. Kalian harus berhati-hati. Jaga baik-baik suami kalian, tapi sepertinya sekarang ini janda lincah yang kamu sebut itu sudah banyak berkurang. Kebanyakan janda sekarang lebih mandiri. Yang lebih bahaya lagi ada loh, Ka. Istrinya orang, karena bagi lelaki, katanya istri orang itu lebih menantang."

Aku langsung beranjak setelah mengucapkannya. Rasanya tak ada gunanya bicara dengannya. Sebelas dua belas dengan ibu Hani.

"Janda ya tetap janda! Kegatelan!" serunya.

Aku terus melangkah menuju teras, mencoba tak peduli dengan ucapan Ika. Namun, mau tak mau, aku langsung menoleh setelah mendengar jeritan.

"Apa yang kamu lakukan, Mas?! Tega kamu menamparku? Apa karena janda gatal itu? Iya?!"

Sepertinya akan terjadi keributan antar pasutri. Ridho, suaminya Ika sedang manarik tangan istrinya.

"Lepaskan tanganku, Mas!" Ika terlihat berontak. Namun, suaminya itu tak mengindahkan. Dia terus saja menarik tangan Ika.

Sementara itu satu persatu ibu-ibu yang berkumpul di teras Mak Lin membubarkan diri. Berkali-kali aku menghela napas, sepertinya setelah ini akan ada gosip yang tak henti-henti.

Bergegas aku berlari ke dalam rumah setelah mendengar panggilan bapak. Sampai di ruang tengah aku tertegun melihat bapak tengah mencoba membangunkan ibu. Oh Tuhan, apa yang terjadi dengan ibuku?

**

Di rumah sakit, di depan ruangan ICU, aku hanya bisa menangis di sebuah bangku yang terbuat dari besi, sendirian. Tak henti-hentinya merutuki diri. Ini tak seharusnya terjadi. Semua ini salahku.

"Mbak." Seseorang menyentuh pundakku.

Aku menengadah. Setelah melihat siapa yang berdiri di depanku, tangisku pecah.

"Bariq, ini semua gara-gara mbak, Riq. Maafkan mbak." Pemuda itu memelukku.

"Jangan salahkan dirimu, Mbak. Kita doakan saja semoga ibu baik-baik saja," hiburnya dengan suara yang terdengar parau. Aku tahu dia sama terlukanya denganku.

Setelah tangisku reda, Bariq mengurai pelukannya. Lalu hening, aku dan Bariq sama bungkam. Aku larut dalam untaian doa. Meminta bahkan terkesan memaksa, agar diberikan kesembuhan untuk ibu.

Dering telpon memecah keheningan. Bariq menatapku setelah mengangkat panggilan di teleponnya. Raut wajah itu, membuat detak jantungku memacu dengan cepat. Ada apa lagi?

"Ada apa, Riq?" Aku mengunci tatapannya. "Riq!" seruku sambil mengguncang lengannya karena dia tidak langsung menjawab pertanyaanku.

Adikku itu malah memalingkan muka, lalu terdengar helaan napasnya. Sikapnya itu semakin membuatku tersiksa karena penasaran bercampur dengan kecemasan.

"Bapak dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan," ucap Bariq dengan suara pelan. Namun, mampu membuatku hampir roboh. Spontan aku mencengkeram erat lengannya. Astaghfirullah, lirih bibirku mengucapkan istighfar.

"Apa wanita itu benar-benar melaporkan ibu?" Ucapku setelah susah payah mengatur deru napas. Ini benar-benar di luar dugaanku. Hanya karena Mas Tama menceraikanku, dan setelah permintaan rujuknya tak kuterima sampai begini jadinya. Sungguh keterlaluan!

Bariq memegang tanganku yang mencengkeram lenggangnya. Ah, tersadar aku pun melepaskan peganganku.

"Kalau wanita itu melaporkan Ibu, kita juga harus melaporkannya, Riq! Dia sudah mengganggu kenyamanan, menfitnah juga menyebarkan berita bohong! Kamu dengar ya, Riq. Semua yang dia katakan itu tidak benar!" Amarahku berkobar.

"Aku percaya sama kamu, Mbak. Makanya kita harus bergerak cepat. Aku akan meminta bantuan temanku untuk menyelidiki foto-foto itu. Jika bisa membuktikan jika fotonya editan, itu sudah cukup untuk menyeret mereka ke penjara," sahutnya sambil mengelus lengan.

Aku mengangguk-angguk kecil mendengar penuturan Bariq. "Sekarang juga kamu ke kantor polisi, temani Bapak."

Adikku mengangguk. "Iya."

Kuhela napas panjang, kemudian mengeluarkannya secara kasar. Aku masih tidak percaya dengan kejadian buruk yang datang secara bertubi-tubi. Kemarin aku masih baik-baik saja, hanya selang beberapa jam, tiba-tiba saja banyak hati yang terluka. Siapa yang salah dalam hal ini?

"Nanti temenku datang ke sini. Menemanimu," ujar Bariq setelah beberapa saat terdiam.

"Iya," sahutku. "Bapak baik-baik saja kan, Riq?" Aku ingin meyakinkan. Lebih tepatnya ingin menghibur hati yang dilanda kecemasan.

"Bapak itu pahlawan, Mbak. Jelas dia baik-baik saja," hiburnya. Seulas senyum terukir dari bibir kami. Bapak memang pahlawan kami.

Ponsel Bariq kembali berdering. Adikku itu gegas mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. "Bentar lagi temanku datang," ucapnya setelah mengakhiri panggilan.

Selang beberapa menit, seorang perempuan muda menghampiri kami. "Dis." Bariq bangkit dari duduknya menyambut kedatangan perempuan muda itu. Pemudi itu tersenyum.

"Mbak ini Gladis, dia yang akan menemanimu." Bariq memperkenalkan temannya. Kami pun berjabat tangan.

"Udah izin sama Ibu?" tanya Bariq, membuatku meliriknya. Sepertinya hubungan mereka lebih dari sekedar teman. Bariq terlihat sudah akrab dengan keluarga perempuan muda itu.

"Sudah, Kak," sahut gadis itu. Manis banget panggilannya untuk Bariq, batinku tersenyum mendengarnya.

Setelah itu Bariq pamit pergi. Kami terlibat obrolan ringan untuk saling mengenal. Gladis mengucapkan rasa simpatinya juga mendoakan kesembuhan untuk ibu. Setelah itu suasana kembali hening.

Sepergian Bariq, seorang perawat dan seorang dokter keluar dari ruang ICU. "Kelurga pasien Ibu Ririn."

Mendengar nama ibu disebut aku langsung bangkit. Dokter itu mengatakan jika keadaan ibu sudah melewati masa kritis. Jika, besok hasil pemeriksaannya bagus, ibu sudah busa keluar dari ICU. Tentu saja aku sangat bahagia mendengar kabar tersebut.

"Tetap doakan yang terbaik untuk ibunya ya, Mbak," ucap dokter tersebut sebelum berlalu.

Aku segera menghubungi Bariq, kabar ini harus segera disampaikan. Agar beban pikirannya juga bapak berkurang.

Setengah sepuluh malam, aku meminta Gladis pulang. Tak enak rasanya memintanya menemaniku sampai kedatangan Bariq. Toh di sini aku tak sendiri, ada beberapa keluarga pasien yang juga menunggui anggota keluarga yang masuk ICU.

Pukul sebelas Bariq dan bapak datang. Wajah lelah mereka membuat rasa bersalahku semakin bertambah.

"Kamu pulang saja, diantar adikmu. Biar bapak yang menunggu di sini."

Aku menggeleng. "Aku akan menemani Bapak. Lagian di rumah juga aku nggak ada temannya."

"Kalau gitu, aku mau menemui temanku. Biar cepat kelar urusannya." Bariq pamit.

"Ati-ati, Riq." Aku dan bapak hampir bersamaan ketika mengucapkannya.

Setelah Bariq berlalu, mengalirlah cerita tentang apa yang terjadi. Rupanya, setelah mendapatkan perlawanan dan bapak melaporkannya balik. Mereka, Mas Tana dan ibunya menarik laporan.

"Tadinya mereka tetap ngotot melaporkan ibumu, apalagi ada beberapa orang yang memberi kesaksian tentang kejadian tadi siang."

Dahiku mengernyit. "Tetangga kita?" Aku menyela ucapan bapak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 7

    Bapak mengangguk, membuatku sontak menutup mulut, tak menyangka tetangga sendiri mau menjerumuskan ibu, yang jelas-jelas melakukannya karena membelaku. "Untung saja, Pak Tohir memberi kesaksian lain. Dia memperlihatkan rekaman video dari hp cucunya."Aku memperbaiki posisi duduk agar lebih fokus pada bapak. Sepertinya ceritanya cukup menegangkan."Si Udin merekam ibunya Tama pas marah-marah dan menghinamu. Semua tergambar jelas bagaimana kronologinya. Hingga ibumu menampar ibunya Tama."Aku mengangguk-angguk. "Atas bukti itu, beberapa warga menyarankan untuk melapor balik, karena Ibunya Tama masih menolak untuk damai. Sebenarnya bapak nggak mau berurusan dengan polisi, Nin, tapi bapak juga nggak rela kalau keluarga bapak disakiti." Bapak menghela napas."Ibumu memang bersalah di mata hukum, karena melalukan tindakan kekerasan. Semoga saja dengan bukti bahwa kamulah yang difitnah, bisa mengurangi tuduhan pada ibumu."Mendengar penuturan bapak, mau tak mau pikiranku langsung tertuju pa

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 6

    "Tapi bukan berarti itu kebenarannya, Ka." Aku mencoba bersikap biasa saja."Ya mana kami tahu? Ya nggak Bu-Ibu? Kami itu nggak peduli dengan urusan orang lain, Nin, tapi kami beruntung karena sudah mendapat bocoran, jadi bisa mawas diri dan hati-hati. Jangan sampai suami kita kepincut janda lincah," sindirnya.Aku menatapnya. Ada apa sebenarnya dengannya. Sejak dulu Ika memang tidak menyukaiku. Entah mengapa? Dia selalu saja mengusikku, selalu mencari-cari keburukanku, setelah itu dia akan menyebarkan pada teman-temanku yang lainnya. Aneh!"Benar katamu, Ka. Kalian harus berhati-hati. Jaga baik-baik suami kalian, tapi sepertinya sekarang ini janda lincah yang kamu sebut itu sudah banyak berkurang. Kebanyakan janda sekarang lebih mandiri. Yang lebih bahaya lagi ada loh, Ka. Istrinya orang, karena bagi lelaki, katanya istri orang itu lebih menantang."Aku langsung beranjak setelah mengucapkannya. Rasanya tak ada gunanya bicara dengannya. Sebelas dua belas dengan ibu Hani."Janda ya tet

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 5

    "Itu adalah bukti kalau anakmu tukang selingkuh!" Ibu Hani terlihat sangat percaya diri. Melihat tak ada reaksi dari bapak, dia terlihat semakin puas.Mas Tama mengambil salah satu foto, seketika rahangnya mengeras. Melihatnya seperti itu dahiku mengernyit heran. Apa dia percaya dengan apa yang ada dalam foto tersebut? Sementara bapak masih bersikap biasa saja."Shock kan melihat kelakuan anak Bapak?" ledeknya. Spontan tanganku terulur, kuambil satu foto yang menggambarkan aku sedang berpelukan dengan seorang lelaki yang tak kukenal."Kenapa, Nin? Tak nyangka kan? Kamu pikir kebusukanmu takkan terendus gitu? Ingat ya, Nin. Serapat-rapatnya kamu menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga baunya." Belum sempat aku membuka mulut, dia kembali bersuara. "Dan ini, ini adalah bukti anak yang kamu banggakan adalah tukang fitnah." Ibu Hani mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya. Oh, rupanya itu adalah hasil pemeriksaan kesuburan kami, bukti bahwa yang bermasalah dengan kesehatan adal

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 4

    Nyatanya dalam perjalanan tak ada satu kata yang keluar dari bibirku. Sekuat-kuatnya aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja, tetap merasa kehilangan.Sekali lagi, lima tahun bukanlah waktu yang singkat, ada banyak kenangan yang tercipta. Ah, biarlah saat ini aku habiskan sakit, sedikit demi sedikit kulepas kenangan itu selama dalam perjalanan. Agar nanti ketika aku sampai di rumah orang tuaku, semua sudah habis tak bersisa. Semoga.Bariq juga diam. Dia juga tidak banyak protes ketika aku menyadarkan kepala di punggungnya. Sungguh, situasi yang berbanding terbalik dengan beberapa tahun yang lalu. Dulu, punggungku yang menjadi sandaran kepala kecilnya."Mbak udah sampai." Aku merasa guncangan di pundak. Perlahan mataku mengerjap dan betapa terkejutnya ketika menyadari kami sudah sampai rumah. Aku semakin terkejut setelah mendapati ibu dan bapak berdiri di sisi kiri dan kananku. Dalam keremangan subuh, aku masih bisa melihat kaca-kaca di netra teduh milik ibu. Begitu juga dengan bap

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 3

    "Penyesalan itu memang datang terlambat, Mas. Beda dengan pendaftaran. Nggak perlu ada yang disesali, nikmati saja alurnya. Kamu udah memilih, begitu juga denganku."Sepersekian detik kami saling diam. Sepertinya ada banyak hal yang ingin diucapkannya. Namun, sulit untuk mengungkapkan. Sementara aku, sudah benar-benar tidak ada respect sama dia."Mas, apalagi yang kamu tunggu? Mama itu loh. Biar aku yang jaga rumah, bisa jadi kan, pas kita pergi ada maling!"Sebelum Mas Tama membalas ucapan Bela. Aku bergegas mundur, tanpa menunggu dan berpikir lama, aku membawa satu koper dan satu ransel. Semua berisi barang-barangku yang dulu kubawa ke sini."Nin, mau ke mana?" Mas Tama terlihat khawatir. Berbeda dengan Bela yang nampak tersenyum. "Mau pergi lah, buat apa juga aku di sini.""Ini masih malam, Nin.""Aku bukan anak kecil. Jadi, berhenti mengkhawatirkanku, apalagi sekarang kita bukan suami-istri lagi.""Aku tetap akan berusaha merujukmu, Nin.""Lakukan saja sesukamu, aku tak peduli. P

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 2

    Setelah usahanya sia-sia, akhirnya dia menyerah. "Baiklah, besok pagi-pagi kamu harus sudah pergi! Dan ingat, jangan bawa barang berharga dari sini. Semua yang ada di sini itu milik Tama!""Aku akan pulang ke rumahku dengan diantar Mas Tama. Itulah yang akan terjadi, karena jika tidak, aku takkan keluar dari rumah ini.""Dasar keras kepala!" Mama mertua nampak kesal."Bukan aku yang keras kepala, tapi Mama yang aneh. Kenapa ngotot banget aku harus pergi sekarang. Memang apa yang Mama rencanakan?"Mama mertua tergelak. "Eh, semakin kurang ajar kamu. Menuduhku merencanakan sesuatu. Nggak ada yang kurencanakan. Aku hanya ingin Tama berpisah denganmu, dan menikah lagi dengan wanita yang mampu memberikan keturunan.""Semoga keinginannya terkabul ya, Ma. Sekarang Mama istirahat. Aku juga akan istirahat, karena besok aku harus melakukan perjalanan. Udah ya, Mama tenang saja. Aku pasti akan pergi.""Tidak akan ada yang pergi. Aku akan merujukmu." Tiba-tiba Mas Tama sudah berada di belakang ib

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status