"Tapi bukan berarti itu kebenarannya, Ka." Aku mencoba bersikap biasa saja.
"Ya mana kami tahu? Ya nggak Bu-Ibu? Kami itu nggak peduli dengan urusan orang lain, Nin, tapi kami beruntung karena sudah mendapat bocoran, jadi bisa mawas diri dan hati-hati. Jangan sampai suami kita kepincut janda lincah," sindirnya. Aku menatapnya. Ada apa sebenarnya dengannya. Sejak dulu Ika memang tidak menyukaiku. Entah mengapa? Dia selalu saja mengusikku, selalu mencari-cari keburukanku, setelah itu dia akan menyebarkan pada teman-temanku yang lainnya. Aneh! "Benar katamu, Ka. Kalian harus berhati-hati. Jaga baik-baik suami kalian, tapi sepertinya sekarang ini janda lincah yang kamu sebut itu sudah banyak berkurang. Kebanyakan janda sekarang lebih mandiri. Yang lebih bahaya lagi ada loh, Ka. Istrinya orang, karena bagi lelaki, katanya istri orang itu lebih menantang." Aku langsung beranjak setelah mengucapkannya. Rasanya tak ada gunanya bicara dengannya. Sebelas dua belas dengan ibu Hani. "Janda ya tetap janda! Kegatelan!" serunya. Aku terus melangkah menuju teras, mencoba tak peduli dengan ucapan Ika. Namun, mau tak mau, aku langsung menoleh setelah mendengar jeritan. "Apa yang kamu lakukan, Mas?! Tega kamu menamparku? Apa karena janda gatal itu? Iya?!" Sepertinya akan terjadi keributan antar pasutri. Ridho, suaminya Ika sedang manarik tangan istrinya. "Lepaskan tanganku, Mas!" Ika terlihat berontak. Namun, suaminya itu tak mengindahkan. Dia terus saja menarik tangan Ika. Sementara itu satu persatu ibu-ibu yang berkumpul di teras Mak Lin membubarkan diri. Berkali-kali aku menghela napas, sepertinya setelah ini akan ada gosip yang tak henti-henti. Bergegas aku berlari ke dalam rumah setelah mendengar panggilan bapak. Sampai di ruang tengah aku tertegun melihat bapak tengah mencoba membangunkan ibu. Oh Tuhan, apa yang terjadi dengan ibuku? ** Di rumah sakit, di depan ruangan ICU, aku hanya bisa menangis di sebuah bangku yang terbuat dari besi, sendirian. Tak henti-hentinya merutuki diri. Ini tak seharusnya terjadi. Semua ini salahku. "Mbak." Seseorang menyentuh pundakku. Aku menengadah. Setelah melihat siapa yang berdiri di depanku, tangisku pecah. "Bariq, ini semua gara-gara mbak, Riq. Maafkan mbak." Pemuda itu memelukku. "Jangan salahkan dirimu, Mbak. Kita doakan saja semoga ibu baik-baik saja," hiburnya dengan suara yang terdengar parau. Aku tahu dia sama terlukanya denganku. Setelah tangisku reda, Bariq mengurai pelukannya. Lalu hening, aku dan Bariq sama bungkam. Aku larut dalam untaian doa. Meminta bahkan terkesan memaksa, agar diberikan kesembuhan untuk ibu. Dering telpon memecah keheningan. Bariq menatapku setelah mengangkat panggilan di teleponnya. Raut wajah itu, membuat detak jantungku memacu dengan cepat. Ada apa lagi? "Ada apa, Riq?" Aku mengunci tatapannya. "Riq!" seruku sambil mengguncang lengannya karena dia tidak langsung menjawab pertanyaanku. Adikku itu malah memalingkan muka, lalu terdengar helaan napasnya. Sikapnya itu semakin membuatku tersiksa karena penasaran bercampur dengan kecemasan. "Bapak dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan," ucap Bariq dengan suara pelan. Namun, mampu membuatku hampir roboh. Spontan aku mencengkeram erat lengannya. Astaghfirullah, lirih bibirku mengucapkan istighfar. "Apa wanita itu benar-benar melaporkan ibu?" Ucapku setelah susah payah mengatur deru napas. Ini benar-benar di luar dugaanku. Hanya karena Mas Tama menceraikanku, dan setelah permintaan rujuknya tak kuterima sampai begini jadinya. Sungguh keterlaluan! Bariq memegang tanganku yang mencengkeram lenggangnya. Ah, tersadar aku pun melepaskan peganganku. "Kalau wanita itu melaporkan Ibu, kita juga harus melaporkannya, Riq! Dia sudah mengganggu kenyamanan, menfitnah juga menyebarkan berita bohong! Kamu dengar ya, Riq. Semua yang dia katakan itu tidak benar!" Amarahku berkobar. "Aku percaya sama kamu, Mbak. Makanya kita harus bergerak cepat. Aku akan meminta bantuan temanku untuk menyelidiki foto-foto itu. Jika bisa membuktikan jika fotonya editan, itu sudah cukup untuk menyeret mereka ke penjara," sahutnya sambil mengelus lengan. Aku mengangguk-angguk kecil mendengar penuturan Bariq. "Sekarang juga kamu ke kantor polisi, temani Bapak." Adikku mengangguk. "Iya." Kuhela napas panjang, kemudian mengeluarkannya secara kasar. Aku masih tidak percaya dengan kejadian buruk yang datang secara bertubi-tubi. Kemarin aku masih baik-baik saja, hanya selang beberapa jam, tiba-tiba saja banyak hati yang terluka. Siapa yang salah dalam hal ini? "Nanti temenku datang ke sini. Menemanimu," ujar Bariq setelah beberapa saat terdiam. "Iya," sahutku. "Bapak baik-baik saja kan, Riq?" Aku ingin meyakinkan. Lebih tepatnya ingin menghibur hati yang dilanda kecemasan. "Bapak itu pahlawan, Mbak. Jelas dia baik-baik saja," hiburnya. Seulas senyum terukir dari bibir kami. Bapak memang pahlawan kami. Ponsel Bariq kembali berdering. Adikku itu gegas mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. "Bentar lagi temanku datang," ucapnya setelah mengakhiri panggilan. Selang beberapa menit, seorang perempuan muda menghampiri kami. "Dis." Bariq bangkit dari duduknya menyambut kedatangan perempuan muda itu. Pemudi itu tersenyum. "Mbak ini Gladis, dia yang akan menemanimu." Bariq memperkenalkan temannya. Kami pun berjabat tangan. "Udah izin sama Ibu?" tanya Bariq, membuatku meliriknya. Sepertinya hubungan mereka lebih dari sekedar teman. Bariq terlihat sudah akrab dengan keluarga perempuan muda itu. "Sudah, Kak," sahut gadis itu. Manis banget panggilannya untuk Bariq, batinku tersenyum mendengarnya. Setelah itu Bariq pamit pergi. Kami terlibat obrolan ringan untuk saling mengenal. Gladis mengucapkan rasa simpatinya juga mendoakan kesembuhan untuk ibu. Setelah itu suasana kembali hening. Sepergian Bariq, seorang perawat dan seorang dokter keluar dari ruang ICU. "Kelurga pasien Ibu Ririn." Mendengar nama ibu disebut aku langsung bangkit. Dokter itu mengatakan jika keadaan ibu sudah melewati masa kritis. Jika, besok hasil pemeriksaannya bagus, ibu sudah busa keluar dari ICU. Tentu saja aku sangat bahagia mendengar kabar tersebut. "Tetap doakan yang terbaik untuk ibunya ya, Mbak," ucap dokter tersebut sebelum berlalu. Aku segera menghubungi Bariq, kabar ini harus segera disampaikan. Agar beban pikirannya juga bapak berkurang. Setengah sepuluh malam, aku meminta Gladis pulang. Tak enak rasanya memintanya menemaniku sampai kedatangan Bariq. Toh di sini aku tak sendiri, ada beberapa keluarga pasien yang juga menunggui anggota keluarga yang masuk ICU. Pukul sebelas Bariq dan bapak datang. Wajah lelah mereka membuat rasa bersalahku semakin bertambah. "Kamu pulang saja, diantar adikmu. Biar bapak yang menunggu di sini." Aku menggeleng. "Aku akan menemani Bapak. Lagian di rumah juga aku nggak ada temannya." "Kalau gitu, aku mau menemui temanku. Biar cepat kelar urusannya." Bariq pamit. "Ati-ati, Riq." Aku dan bapak hampir bersamaan ketika mengucapkannya. Setelah Bariq berlalu, mengalirlah cerita tentang apa yang terjadi. Rupanya, setelah mendapatkan perlawanan dan bapak melaporkannya balik. Mereka, Mas Tana dan ibunya menarik laporan. "Tadinya mereka tetap ngotot melaporkan ibumu, apalagi ada beberapa orang yang memberi kesaksian tentang kejadian tadi siang." Dahiku mengernyit. "Tetangga kita?" Aku menyela ucapan bapak.Hari pernikahan akhirnya tiba. Sejak subuh, rumah sudah dipenuhi hiruk pikuk suara tamu, tetangga yang datang membantu, dan sanak keluarga yang berdatangan dari jauh. Udara pagi terasa sejuk, tapi hatiku dipenuhi rasa haru yang hangat.Di kamar pengantin, Bariq duduk tenang mengenakan beskap sederhana berwarna putih gading. Wajahnya tampak lebih dewasa dari biasanya. Aku sampai menahan napas melihat adikku yang dulu sering merengek minta dibelikan mainan, kini sudah siap memimpin rumah tangga.Aku mengetuk pintu pelan lalu masuk. “MasyaAllah, ganteng banget, Riq…” suaraku bergetar menahan tangis haru.Bariq tersenyum malu, lalu bangkit memelukku sebentar. “Makasih, Mbak. Kamu jangan nangis dulu, nanti make up-mu luntur.”Aku tertawa di sela isak kecilku. “Iya, iya… tapi tetap aja terharu.”Di pelaminan, Lestari tampak anggun mengenakan kebaya putih berhiaskan payet halus. Wajahnya memancarkan ketenangan yang sama seperti pertama kali aku melihatnya. Saat ijab kabul berlangsung, suasan
Kebahagiaan itu semakin bertambah setelah Bariq membawa kabar, setelah sekian purnama, akhirnya kabar itu datang juga. Kembali semua anggota keluarga menangis bahagia. Adik laki-lakiku itu telah mengatakan niatnya untuk melamar seorang gadis.“Serius, Riq?” tanyaku tak percaya, sembari menutup mulut dengan kedua tangan. Mataku sampai terasa panas menahan air mata bahagia.Bariq, dengan wajah penuh senyum malu-malu, mengangguk mantap. “Iya, Mbak. Aku sudah yakin. Namanya Lestari. Kami sudah cukup lama dekat, tapi baru sekarang aku memberanikan diri bicara serius.”Ibu sampai terisak, memeluk adikku erat. “Alhamdulillah… akhirnya. Kamu membuat hati Ibu tenang, Nak. Ibu selalu berdoa agar kamu segera menemukan pendamping hidup yang baik.”Bapak pun tersenyum lebar. “Laki-laki harus berani melangkah, Riq. Kalau memang yakin, jangan ditunda-tunda.”Aku sendiri menatap Bariq dengan rasa haru. Seakan baru kemarin aku melihatnya masih lugu, sibuk dengan hobinya, dan selalu menolak kalau disin
[Aku benar-benar menyesal, Nin. Ternyata tak ada yang mencintaiku sepertimu]Pret! Spontan bibirku berucap.[Maafkan aku pernah menyia-nyiakanmu][Sebenarnya aku masih ingin mengulang kisah kita. Namun, itu takkan kulakukan][Bahagia lah, Nin. Kamu berhak mendapatkan itu][Untuk terakhir kalinya, bolehkah aku video call?]Selesai membaca pesannya yang terakhir, aku langsung membalasnya.[Maaf, tak bisa] Setelah pesan terkirim dan sudah dibaca. Aku langsung memblokir nomornya. Biarlah aku dikatakan jahat. Menurutku itu adalah jalan terbaik. Mengenai kejadian yang menimpa Raya, apa itu karma? Entahlah, aku juga tidak mau capek-capek memikirkannya. Mungkin, memang sudah menjadi takdirnya.Aku meletakkan ponsel di meja rias, lalu menatap cermin. Wajahku sendiri terlihat asing. Ada guratan lelah di mata, tapi juga ada cahaya harapan yang tak bisa kusangkal. Malam ini adalah malam terakhir aku tidur dengan status gadis. Besok aku akan menjadi seorang istri. Pikiran tentang masa lalu bersama
"Ngapain?""Bu, menurut ibu, apa yang dikatakan Mas Arya itu benar nggak sih?""Kamu percaya nggak?""Percaya nggak percaya sih, tapi lihat mukanya bonyok kek gitu, apa iya dia bo'ong?""Minta petunjuk pada Gusti Allah, Nin. Gusti Allah sebaik-baiknya pemberi petunjuk." Setelah berucap ibu bangkit dan masuk ke kamarnya. Meninggalkanku dalam kebimbangan.Aku terdiam. Tatapanku masih tertuju pada pintu kamar ibu yang baru saja tertutup rapat. Kata-katanya menggema di kepalaku. “Minta petunjuk pada Gusti Allah.” Kalimat sederhana, tapi entah mengapa begitu menenangkan sekaligus membuatku semakin bingung. Seolah-olah ibu menyerahkan seluruh keputusan pada diriku sendiri, padahal aku sangat ingin mendengar jawaban pasti darinya.Tanganku meremas ujung bantal sofa. Rasa cemas, lega, takut, dan ragu bercampur jadi satu. Aku tidak bisa menolak bahwa rasa sayangku pada Mas Arya masih ada. Namun bayang-bayang Karin, perempuan yang tiba-tiba hadir dengan segala keberaniannya, masih saja menghant
"Ibu." Aku bangkit setelah mendapati ibu sudah berdiri di pinggir pintu. Segera aku menghampirinya."Ibu nggak usah menjelaskan apa-apa sama ibu. Ibu sudah dengar semuanya," ucap ibu setelah kami duduk di bangku yang berseberangan dengan Mas Arya."Maafkan saya, Bu. Tadi, saya kurang tegas menghadapi Karin. Namun, semua itu kulakukan karena ada alasannya. Karin itu orangnya nekad, dia mempunyai sifat yang kurang bagus. Jika tadi aku marah, Karin pasti akan melakukan hal yang lebih gila lagi. Dia itu—""Sudah cukup, kamu nggak usah mejelaskan lagi. Apa kamu bisa memastikan jika wanita itu tak melakukannya lagi?" Ibu terlihat sangat tegas ketika mengucapkannya."Bu—""Kamu diam dulu, Nin. Diam ya." Ibu memotong ucapanku. Padahal aku hanya ingin jika ibu jangan terlalu banyak pikiran. Saat ini kondisinya sedang kurang baik."Saya tadi sudah ke rumahnya, Bu. Dan sudah bicara jujur dengan suaminya. Semoga saja Karin akan jerah," ujar Mas Arya."Apa kamu bisa pastikan wanita itu tidak melak
"Iya, Bu. Terima kasih," balas Anin sambil tersenyum. Senyuman itu terlihat begitu tipis, hampir tak ada rona ceria di wajahnya. Ada kelelahan yang nyata, seolah senyum itu hanya sekadar bentuk kesopanan."Ibu sakit?" Tak sabar, aku langsung bertanya setelah petugas kesehatan itu berlalu. Suaraku sedikit bergetar, karena aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres.Anin tak begitu antusias menanggapi pertanyaanku. "Ibu kelelahan," sahutnya dengan suara datar. Sekilas ada keterkejutan di wajahnya ketika tatapan kami beradu. Ada yang berbeda, sorot matanya tak lagi hangat seperti biasanya."Anin, ada yang mau aku bicarakan," cegahku ketika dia hendak masuk ke rumah. Langkahnya terhenti, lalu ia menoleh perlahan."Iya, Mas Arya harus menjelaskan semuanya. Agar aku bisa mengambil keputusan. Mau lanjut apa cukup sampai di sini." Ucapannya tajam, menusuk jantungku."Duduk yuk, Nin," ajakku. Walaupun terlihat jelas kalau Anin kurang nyaman, tapi dia tetap melakukan yang kukatakan. Kami duduk