Share

Bab 4

Author: Puspita
last update Last Updated: 2025-06-17 06:47:47

Nyatanya dalam perjalanan tak ada satu kata yang keluar dari bibirku. Sekuat-kuatnya aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja, tetap merasa kehilangan.

Sekali lagi, lima tahun bukanlah waktu yang singkat, ada banyak kenangan yang tercipta. Ah, biarlah saat ini aku habiskan sakit, sedikit demi sedikit kulepas kenangan itu selama dalam perjalanan. Agar nanti ketika aku sampai di rumah orang tuaku, semua sudah habis tak bersisa. Semoga.

Bariq juga diam. Dia juga tidak banyak protes ketika aku menyadarkan kepala di punggungnya. Sungguh, situasi yang berbanding terbalik dengan beberapa tahun yang lalu. Dulu, punggungku yang menjadi sandaran kepala kecilnya.

"Mbak udah sampai." Aku merasa guncangan di pundak. Perlahan mataku mengerjap dan betapa terkejutnya ketika menyadari kami sudah sampai rumah. Aku semakin terkejut setelah mendapati ibu dan bapak berdiri di sisi kiri dan kananku.

Dalam keremangan subuh, aku masih bisa melihat kaca-kaca di netra teduh milik ibu. Begitu juga dengan bapak, lelaki yang telah mengukir jiwa ragaku itu mengalihkan pandangan ketika aku menoleh padanya. Seketika mataku memanas, menyesal telah membuat mereka bersedih.

Bapak, ibu dan Bariq memilih bungkam, setelah aku menceritakan semuanya. Saat ini kami sedang duduk di ruang tengah sekaligus tempat untuk menonton televisi. Beberapa kali terdengar helaan napas kedua orang tuaku itu.

"Sekarang kamu istirahat saja," titah bapak. Setelah itu lelaki senja itu bangkit dari duduknya, yang kemudian di susul oleh ibu.

Tinggal aku dan Bariq yang masih bertahan di tempat semula. "Subuhan dulu kalau mau tidur, Mbak." Setelah berucap Bariq juga langsung bangkit. Tak mau termenung sendirian, aku juga memilih untuk beranjak.

Setelah melaksanakan kewajiban dua rakaat yang hampir telat, aku langsung berbaring di kasur, tempat yang dulu selalu membuatku nyaman. Tak banyak yang berubah dari kamar ini, pernak-perniknya tetap sama seperti sebelum aku menikah.

Aku terjaga setelah sayup-sayup terdengar suara orang mengobrol. Ketika menoleh pada jam dinding, aku sedikit terkejut. Rupanya tidurku cukup lama, dari fajar sampai menjelang Dzuhur. Hal itu memang tidak baik, tapi kalau urusannya urgent juga tidak apa-apa kan? Hehehe.

"Mengapa kamu ngotot meminta rujuk setelah mengucapkan talak?" Suara bapak terdengar tegas walaupun tidak keras. Oh, jadi mantan suamiku itu nekad datang ke sini, besar juga nyalinya.

"Saya khilaf, Pak," sahut Mas Tama. Aku yang berdiri di balik pintu merasa kesal dengan jawabnya. Mungkin, jika saat itu kami bertengkar hebat karena kesalahanku dan aku tidak mau mengakui itu wajar jika dia khilaf mengucapkan talak. Lah wong tidak ada masalah apa-apa, adem ayem aja tiba-tiba ngucapin talak kok dibilang khilaf. Dasar saraf!

"Khilaf? Khilaf yang seperti apa sampai-sampai kamu mengucapkan hal yang tak seharusnya diucapkan seorang suami? Memangnya apa kesalahan anakku?" Suara bapak terdengar sedikit bergetar. Sepertinya saat ini dia mati-matian menahan amarahnya.

Saat ini aku benar-benar merasa bersalah pada keluargaku, karena aku mereka mengalami hal yang kurang menyenangkan. Aku bisa merasakan kalau bapak sangat terluka.

"Anin tidak bersalah, Pak. Saya ... saya khilaf, Pak. Waktu itu saya benar-benar yang terpojok hingga mengatakan hal tersebut." Dengan terbata-bata Mas Tama menjawab ucapan bapak.

Terdengar helaan napas, entah siapa yang melakukannya. Setelah itu suasana menjadi hening.

"Terpojok? Siapa yang memojokkanmu?" Akhirnya setelah sepersekian detik bapak bersuara lagi.

"Sebenarnya ... sebenarnya sudah lama Mama menginginkan hadirnya seorang cucu. Selama lima tahun Mama masih bisa bersabar, tapi entah mengapa beberapa minggu terakhir Mama mulai mempermasalahkannya lagi."

Mendengar penuturan mantan suamiku itu, aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Masa bodoh dengan penampilan yang mungkin acak-acakan karena baru bangun tidur. Aku sudah muak dengan alasan-alasannya. Semua omong kosong!

"Sudahlah, Mas. Aku kan udah bilang, jangan mempersulit keadaan. Aku bisa menerima kenyataan jika kamu menceraikanku. Jadi, berhentilah berharap kita akan bersatu lagi."

"Kenapa, Nin? Kenapa kamu sepertinya tidak keberatan dengan keputusanku? Apa benar, selama ini kamu mempunyai kekasih lain?"

Bunyi gebrakan membuat semua yang ada di tempat ini melihat ke asal suara. Bapak langsung bangkit setelah mengetahui siapa pelakunya.

"Kenapa kalian terlihat kaget? Nggak menyangka kan, kalau anak kalian itu wanita murahan!"

"Astaghfirullah. Kalau ada yang mau dibicarakan, bicaralah dengan baik." Bapak melangkah ke arah ibunya Mas Tama. Begitu juga dengan mantan suamiku itu, dia bergegas menghampiri ibunya.

Sementara aku ditahan sama ibu ketika hendak mengikuti bapak.

"Ma. Kenapa Mama kesini? Harusnya Mama istirahat di rumah sakit." Mas Tama terlihat khawatir. Mantan suamiku itu merangkul ibunya.

"Bagaimana mama bisa tenang, Tama? Kalau kamu tetap seperti ini?" sungut ibu Hani. Ya lebih baik mulai sekarang aku memanggilnya dengan namanya saja. Tidak enak kalau selalu menyebutnya mantan mama mertua.

"Tama, ajak Mamamu duduk. Kita bicara baik-baik." Bapak masih berusaha untuk bersikap normal, walaupun terlihat jelas kalau dia tengah menahan emosinya. Sementara di luar rumah, beberapa tetangga mulai terlihat berkerumun dan berjalan hilir mudik. Jiwa kepo mereka meronta-ronta.

"Buat apa berbicara baik-baik, kalau kenyataan seperti itu!" sungut ibu Hani. Dia tetap menolak, tidak mau masuk.

"Kalau Ibu tidak mau kita berbicara baik-baik, silakan pergi dari rumah saya. Dan kamu Tama, segera urusi perceraian kalian." Bapak mengambil keputusan, mungkin bapak pikir tak ada gunanya bicara dengan orang yang sulit diajak berdiskusi.

"Tentu saja Tama akan segera mengurusinya, buat apa mempertahankan istri tukang selingkuh, tukang fitnah, mandul dan kurang ajar pada mertua."

Terlihat keterkejutan dari raut wajah bapak ketika ibu Reni mengatakannya. Orang tua mana yang tak geram mendengar anaknya dihina dina. Sementara di sisiku, ibu tak henti-hentinya mengucapkan istighfar.

Tak sabar dengan semua yang terjadi, aku melepaskan diri dari rangkulan ibu dan langsung melangkah menghampiri ibunya Mas Tama.

"Nin, tenangkan dirimu," ucap bapak dengan suara lembut sebelum aku sempat mendamprat mantan mertuaku tersebut. Dadaku naik turun menahan gejolak amarah yang sudah sangat penuh di dada ini.

"Tama, ajak ibumu duduk. Dia harus menjelaskan tentang apa yang baru saja diucapkannya. Jika semua itu tidak benar, aku akan membawa hal ini ke rana hukum." Tatapan bapak sangat tajam pada Mas Tama ketika mengucapkannya.

Mas Tama dan ibunya terperanjat mendengar ucapan bapak yang memang seperti sebuah gertakan. Tanpa banyak bicara mereka berdua melangkah masuk dan duduk bersisihan. Tak lama kemudian Raya dan Bela menyusul, keduanya melewatiku dan bapak tanpa permisi. Benar-benar minim adab.

"Atas dasar apa ibu menuduh anak saya seperti itu?" tanya bapak setelah kami duduk. Tatapannya tajam terfokus pada mantan besannya membuat ibu Reni terlihat gugup.

"Saya mengatakan semua itu bukan tanpa bukti, Pak. Bela, tunjukkan fotonya," titah ibu Hani setelah beberapa saat terdiam. Orang yang diperintah pun segera merogoh tasnya. Bela mengeluarkan beberapa foto yang gambarnya adalah aku dan seorang laki-laki.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 7

    Bapak mengangguk, membuatku sontak menutup mulut, tak menyangka tetangga sendiri mau menjerumuskan ibu, yang jelas-jelas melakukannya karena membelaku. "Untung saja, Pak Tohir memberi kesaksian lain. Dia memperlihatkan rekaman video dari hp cucunya."Aku memperbaiki posisi duduk agar lebih fokus pada bapak. Sepertinya ceritanya cukup menegangkan."Si Udin merekam ibunya Tama pas marah-marah dan menghinamu. Semua tergambar jelas bagaimana kronologinya. Hingga ibumu menampar ibunya Tama."Aku mengangguk-angguk. "Atas bukti itu, beberapa warga menyarankan untuk melapor balik, karena Ibunya Tama masih menolak untuk damai. Sebenarnya bapak nggak mau berurusan dengan polisi, Nin, tapi bapak juga nggak rela kalau keluarga bapak disakiti." Bapak menghela napas."Ibumu memang bersalah di mata hukum, karena melalukan tindakan kekerasan. Semoga saja dengan bukti bahwa kamulah yang difitnah, bisa mengurangi tuduhan pada ibumu."Mendengar penuturan bapak, mau tak mau pikiranku langsung tertuju pa

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 6

    "Tapi bukan berarti itu kebenarannya, Ka." Aku mencoba bersikap biasa saja."Ya mana kami tahu? Ya nggak Bu-Ibu? Kami itu nggak peduli dengan urusan orang lain, Nin, tapi kami beruntung karena sudah mendapat bocoran, jadi bisa mawas diri dan hati-hati. Jangan sampai suami kita kepincut janda lincah," sindirnya.Aku menatapnya. Ada apa sebenarnya dengannya. Sejak dulu Ika memang tidak menyukaiku. Entah mengapa? Dia selalu saja mengusikku, selalu mencari-cari keburukanku, setelah itu dia akan menyebarkan pada teman-temanku yang lainnya. Aneh!"Benar katamu, Ka. Kalian harus berhati-hati. Jaga baik-baik suami kalian, tapi sepertinya sekarang ini janda lincah yang kamu sebut itu sudah banyak berkurang. Kebanyakan janda sekarang lebih mandiri. Yang lebih bahaya lagi ada loh, Ka. Istrinya orang, karena bagi lelaki, katanya istri orang itu lebih menantang."Aku langsung beranjak setelah mengucapkannya. Rasanya tak ada gunanya bicara dengannya. Sebelas dua belas dengan ibu Hani."Janda ya tet

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 5

    "Itu adalah bukti kalau anakmu tukang selingkuh!" Ibu Hani terlihat sangat percaya diri. Melihat tak ada reaksi dari bapak, dia terlihat semakin puas.Mas Tama mengambil salah satu foto, seketika rahangnya mengeras. Melihatnya seperti itu dahiku mengernyit heran. Apa dia percaya dengan apa yang ada dalam foto tersebut? Sementara bapak masih bersikap biasa saja."Shock kan melihat kelakuan anak Bapak?" ledeknya. Spontan tanganku terulur, kuambil satu foto yang menggambarkan aku sedang berpelukan dengan seorang lelaki yang tak kukenal."Kenapa, Nin? Tak nyangka kan? Kamu pikir kebusukanmu takkan terendus gitu? Ingat ya, Nin. Serapat-rapatnya kamu menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga baunya." Belum sempat aku membuka mulut, dia kembali bersuara. "Dan ini, ini adalah bukti anak yang kamu banggakan adalah tukang fitnah." Ibu Hani mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya. Oh, rupanya itu adalah hasil pemeriksaan kesuburan kami, bukti bahwa yang bermasalah dengan kesehatan adal

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 4

    Nyatanya dalam perjalanan tak ada satu kata yang keluar dari bibirku. Sekuat-kuatnya aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja, tetap merasa kehilangan.Sekali lagi, lima tahun bukanlah waktu yang singkat, ada banyak kenangan yang tercipta. Ah, biarlah saat ini aku habiskan sakit, sedikit demi sedikit kulepas kenangan itu selama dalam perjalanan. Agar nanti ketika aku sampai di rumah orang tuaku, semua sudah habis tak bersisa. Semoga.Bariq juga diam. Dia juga tidak banyak protes ketika aku menyadarkan kepala di punggungnya. Sungguh, situasi yang berbanding terbalik dengan beberapa tahun yang lalu. Dulu, punggungku yang menjadi sandaran kepala kecilnya."Mbak udah sampai." Aku merasa guncangan di pundak. Perlahan mataku mengerjap dan betapa terkejutnya ketika menyadari kami sudah sampai rumah. Aku semakin terkejut setelah mendapati ibu dan bapak berdiri di sisi kiri dan kananku. Dalam keremangan subuh, aku masih bisa melihat kaca-kaca di netra teduh milik ibu. Begitu juga dengan bap

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 3

    "Penyesalan itu memang datang terlambat, Mas. Beda dengan pendaftaran. Nggak perlu ada yang disesali, nikmati saja alurnya. Kamu udah memilih, begitu juga denganku."Sepersekian detik kami saling diam. Sepertinya ada banyak hal yang ingin diucapkannya. Namun, sulit untuk mengungkapkan. Sementara aku, sudah benar-benar tidak ada respect sama dia."Mas, apalagi yang kamu tunggu? Mama itu loh. Biar aku yang jaga rumah, bisa jadi kan, pas kita pergi ada maling!"Sebelum Mas Tama membalas ucapan Bela. Aku bergegas mundur, tanpa menunggu dan berpikir lama, aku membawa satu koper dan satu ransel. Semua berisi barang-barangku yang dulu kubawa ke sini."Nin, mau ke mana?" Mas Tama terlihat khawatir. Berbeda dengan Bela yang nampak tersenyum. "Mau pergi lah, buat apa juga aku di sini.""Ini masih malam, Nin.""Aku bukan anak kecil. Jadi, berhenti mengkhawatirkanku, apalagi sekarang kita bukan suami-istri lagi.""Aku tetap akan berusaha merujukmu, Nin.""Lakukan saja sesukamu, aku tak peduli. P

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 2

    Setelah usahanya sia-sia, akhirnya dia menyerah. "Baiklah, besok pagi-pagi kamu harus sudah pergi! Dan ingat, jangan bawa barang berharga dari sini. Semua yang ada di sini itu milik Tama!""Aku akan pulang ke rumahku dengan diantar Mas Tama. Itulah yang akan terjadi, karena jika tidak, aku takkan keluar dari rumah ini.""Dasar keras kepala!" Mama mertua nampak kesal."Bukan aku yang keras kepala, tapi Mama yang aneh. Kenapa ngotot banget aku harus pergi sekarang. Memang apa yang Mama rencanakan?"Mama mertua tergelak. "Eh, semakin kurang ajar kamu. Menuduhku merencanakan sesuatu. Nggak ada yang kurencanakan. Aku hanya ingin Tama berpisah denganmu, dan menikah lagi dengan wanita yang mampu memberikan keturunan.""Semoga keinginannya terkabul ya, Ma. Sekarang Mama istirahat. Aku juga akan istirahat, karena besok aku harus melakukan perjalanan. Udah ya, Mama tenang saja. Aku pasti akan pergi.""Tidak akan ada yang pergi. Aku akan merujukmu." Tiba-tiba Mas Tama sudah berada di belakang ib

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status