“Aku kirain sakit apaan. Heran juga, orang paling hebat gini kok bisa sakit,” Ali menjawab tak acuh sambil duduk di sofa ruangan VVIP tersebut, “Akung nyuruh aku pulang pakai acara beginian tuh buat apa? Aku, kan, udah bilang kalau aku nggak mau nurutin kemauan Akung.”
Al-Ayubi Hasan—28 tahun. Pria tampan berdarah Jawa-Melayu itu lebih suka dipanggil Ali. Kariernya begitu cemerlang sebagai pengusaha muda di London, berbanding terbalik dengan kisah hidupnya yang menyedihkan sebagai anak yatim piyatu.
Ali tidak sepenuhnya sendiri. Peran sang kakek begitu besar baginya. Ali tumbuh dengan penuh kedisplinan di bawah asuhan sang kakek yang seorang pengusaha sejak muda sampai usianya senja. Mengambil gelar master di bidang managemen bisnis di London juga bagian dari bimbingan sang kakek.
Namun, ada satu hal yang tidak disukai Ali dari Akungnya itu. Sejak usianya menginjak seperempat abad sampai hampir 30 an ini, sang kakek selalu saja menyuruhnya pulang ke Indonesia untuk menikah. Dengan alasan kondisi kesehatan dan usia sang kakek yang sudah sangat senja.
Kini di ruang rawat rumah sakit terbilang mewah di Bandung, Ali sedang menyipitkan matanya melihat sang Kakek—Jumali Hasan—dengan tatapan pertanyaan.
“Akung nggak capek nyuruh aku nikah? Ini 2025 loh, Kung. Masih zaman main jodoh-jodohan?” Ali bertanya dengan nada sarkas. Lengkungan tipis di bibirnya menggambarkan perasaannya dengan jelas.
“Den Ali, maaf kalau aku ikut campur. Kelihatannya kamu harus ngikutin maunya Akung kali ini,” Rudi yang sedari awal tidak beranjak meninggalkan Akung Hasan, mulai mengambil peran saat melihat kekesalan Ali pada sepuh tersebut.
“Udah, diam kamu, Rud,” sergah Akung Hasan dengan nada suara rendah, “Akung mau istirahat aja. Capek banget rasanya,” sambungnya berucap lemah dan mulai membaringkan tubuh tuanya membelakangi Ali.
“Rud, lagi ngapain sih Lo sama Akung? Lo nyuruh gue pulang, okay gue pulang. Gue tungguin Akung balik dari Penang tapi nggak taunya Lo nyuruh gue ke sini. Bisa ngobrol dewasa nggak sih? Rud, Akung?”
Ali bertanya bingung. Sikap sang kakek dan ekspresi Rudi terlihat tidak bercanda. Pria tampan tersebut mengalah, menurunkan egonya untuk mendekati sang kakek yang dikenalnya jahil, “Akung kenapa sih? Hasil berobat ke Penang gimana? Semuanya OK kan?”
“Nggak tau. Akung malas bahas itu, nanti Akung nangis,” menolak menjawab, tapi ucapan Akung Hasan saat ini semakin membuat Ali penasaran, “Akung belum siap ditanya-tanya Papa Mama kamu nanti—,”
“Akung…”Ali berucap lirih di samping brangkar tempat Akung Hasan berbaring, “Aku nggak mau banyak tanya ke Akung, tapi Akung stop ngomong soal begituan,” sambungnya berucap, membuat Akung Hasan bergerak, membalikkan tubuhnya menatap wajah tampan sang cucu kesayangan.
“Jadi Akung harus gimana, Li?” Akung Hasan bertanya balik.
“Akung maunya apa? Mau lihat aku nikah. Okey, Ali nikah sesuai maunya Akung. Tapi janji jangan ngomongin soal Papa Mama begitu lagi,” pundak Ali bergetar pelan menahan sesak yang nyaris menyeruak. Matanya memerah saat membayangkan pria hebat yang mengasuhnya hampir seumur hidup itu pergi menyusul kedua orang tuanya.
“Jangan asal ngasih janji ke Akung kalau kamunya nggak ikhlas, Li. Akung cuma mau kamu bahagia dengan pasangan kamu waktu Akung udah nggak bisa—,”
“Rud, atur jadwal buat gue ketemu cewek pilihan Akung mulai besok. Hari ini gue mau ngurus semua yang di London. Gue nggak balik ke sana sampai Akung sehat lagi. Kalau perlu gue bawa Akung ke sana bareng cucu mantu Akung sekalian,”
Rudi dan Akung seketika saling menatap. Seolah apa yang menjadi goals mereka berhasil sempurna.
“Yang bener, Li? Nggak terpaksa nih?”
“Aku udah kasih perintah ke Rudi, Kung. Akung atur aja deh. Aku yakin pilihan Akung yang terbaik. Asalkan kakinya napak dan nggak pake paku di ubun-ubunnya,”
“Hush, emangnya Kunti! Kamu ini.” Akung tersenyum lebar mendengar celotehan Ali yang tidak biasa. Itu membuat sang kakek yakin bahwa cucunya saat ini tidak lagi menolak menikah.
‘Maafin Akung, Li. Walaupun Akung lagi bohong sekarang, faktanya Akung bukan temen nongkrong Malaikat Izrail. Kami nggak pernah bahas sampai berapa umur Akung. Dan kalau memang udah saatnya, Akung mau kamu udah ada yang nemenin. Yang bisa hapus air mata kamu waktu Akung pergi nanti…’
***
Hari sudah berganti ketika Dahlia sadar dirinya berada di rumah sakit. Kecelakaan tunggal tadi mulai diingatnya berikut penyebab yang membuatnya pergi dalam kemarahan. Beruntung dirinya hanya mengalami memar ringan dan benturan di dahi, tapi memang kondisinya mengharuskan Dahlia dirawat. Hitung-hitung wanita yang tersakiti itu menenangkan semuanya setelah badai pengkhianatan mengguncang hidupnya.
Mata Dahlia mulai berkaca, sesekali menggigit bibir bawahnya saat menahan suara tangis yang ingin sekali keluar.
Mungkin saja jika ujian hidupnya hanya dari cibiran dan hinaan ibu mertua, Dahlia akan sanggup. Jika pun diharuskan bekerja keras dan menjadi tulang punggung keluarga, ia masih sanggup. Tapi berbeda ceritanya ketika ujiannya sendiri berasal dari orang yang paing diharapkannya, Juan.
‘Jadi, semua perhatian dan kebaikan kamu karena kamu ngerasa hutang budi ke aku, Mas?’
‘Jadi, alasan kamu selalu nolak hubungan badan sama sku bukan karena kamu khawatir kondisi aku. Tapi karena kamu cinta sama Nila?’
‘Apa kamu nggak tau, selama ini aku bertahan cuma karena kamu, Mas? Aku rela kasih satu ginjalku untuk Ibu. Aku rela keluar dari hubungan keluarga Sagala demi kamu. Aku sakit tapi terus kerja untuk bisa support karier kamu,’
‘Padahal aku capek, aku sakit ngerasain semuanya. Apalagi harus jauh dari kamu, satu-satunya orang yang sayang sama aku. Tapi semuanya malah…’
Suara isak tangis mulai terdengar ketika suara hatinya tidak lagi cukup mengutarakan kesakitan dari bibir yang dipaksa membisu.
Pintu ruang rawat terbuka. Dari sana sosok pria yang selalu menjadi malaikat baginya masuk dan mendekat ke brankar tempat Dahlia berbaring. Juan menyentuh lembut punggung tangan Dahlia dan menatap istrinya dengan sendu.
“Kamu udah bangun kok nggak panggil-panggil? Apa yang dirasa, Sayang? Bagian mana yang terasa sakit?” tanyanya lembut, seolah sang istri adalah yang paling berharga.
Mendengar dan melihat perhatian seperti itu dari Juan membuat air mata Lia semakin deras keluar. Jika itu adalah cinta, mungkin itu adalah tangisan bahagia Dahlia. Tapi kebaikan itu hanya iba. Itu bukan cinta tapi beban balas budi.
“Kok nangis? Sakit banget, ya?” Juan terlihat khawatir, “Mas panggilin dokter sebentar!” Sambungnya lalu beranjak dari duduk.
“Mas…” panggil Dahlia dengan suara parau.
Juan menoleh, “Ya? Sebentar ya, Mas panggil dokter dulu. Kamu sakit, kan?” Ucapnya lagi.
“Kita cerai aja,”
Deg…
Pernyataan Dahlia dengan ekspresi seperti itu sukses membuat Juan mematung. Gerakannya lamban untuk kembali duduk menatap sang istri, “Ka-kamu ngomong apa, Lia? Kenapa tiba-tiba ngomongin ce-rai?” Tanyanya terbata.
“Aku capek, Mas. Badan aku, hati aku udah capek untuk basa basi lagi,” Dahlia memberi tanggapan, “Tadi malam aku tau semuanya. Aku tau dan lihat sendiri kalau kamu… di kamar kita… sama Nila–,”
Dahlia menggantung kalimatnya. Terasa tidak sanggup lidahnya menyampaikan pengkhianatan yang disaksikannya pada sang suami.
“Aku tau semuanya. Kalau kamu sama Nila itu–,”
“Ya. Aku cinta sama Nila.” Ucap Juan tanpa ragu.
Dahlia menutup matanya seketika. Merasakan sakit yang lebih perih saat dirinya mendengar sendiri pengkhianatan itu dari Juan.
Suasana hangat menyelimuti acara pernikahan Rudi dan Dian. Tawa dan doa mengalun, menandai awal baru bagi mereka berdua, juga hadirnya Ilham yang kini resmi menjadi bagian dari keluarga besar Hasan. Anak kecil itu berlari-lari kecil di antara meja tamu, kadang tertawa, kadang sembunyi malu di balik gaun pengantin ibunya.Dahlia duduk di samping Ali, mengenakan kebaya sederhana namun anggun. Tangannya erat menggenggam milik suaminya, seolah masih tak percaya bahwa lelaki itu kini ada di sisinya, tersenyum, hidup, setelah dulu sempat ia hampir kehilangan. Kenangan pahit pun berkelebat—masa lalunya sebagai janda Juanda Putra yang hancur karena perselingkuhan, perjalanan penuh luka bersama Ali yang sempat ditentang banyak pihak, meninggalnya Akung, Status Rudi, munculnya Shafira dengan kehamilan, hingga malam kelam saat kecelakaan merenggut kesadaran Ali selama tiga bulan.Namun semua itu kini terasa jauh. Semua luka seakan luluh oleh hadirnya Akbar, buah hati mereka, yang kini tertawa
Rudi berdiri di hadapan Dian dan Dilan dengan napas masih memburu setelah pertengkaran barusan. Jemarinya mengepal, namun matanya justru bergetar, penuh pergulatan batin. Ia menatap Dian yang wajahnya masih pucat, lalu beralih ke Dilan yang sudah menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata lagi. Suasana hening, hanya bunyi napas yang terdengar. “Aku…” suara Rudi parau, serak menahan beban yang menyesakkan dada, “Aku juga baru tahu semuanya, baru sekarang, setelah tes DNA keluar.” Dian mengangkat wajahnya dengan pandangan tak percaya, seakan tak mampu menangkap maksud kata-kata itu. Sementara Dilan hanya terdiam, menunggu penjelasan. Rudi menelan ludah, suaranya bergetar namun tegas, “Awalnya… semua ini berangkat dari kecurigaan Mbak Dahlia,” “Dia lihat terlalu banyak kemiripan, bukan cuma wajah, tapi juga emosional Ilham dan Akbar. Semakin lama, semakin jelas.” Rudi memejamkan mata sejenak, menahan sakit di kepalanya, “Aku bahkan sempat menyangkal. Kupikir itu cuma sugesti
Ponsel Rudi bergetar di atas meja kerja hotelnya. Ia baru saja selesai membereskan berkas meeting ketika nama temannya, pemilik laboratorium, muncul di layar. “Aku tinggal sebentar.” Pamitnya pada Dian dan Dilan. Rudi meninggalkan kamar dan mencari tempat yang hening untuk mendengarkan kabar yang dia tunggu sejak dua hari lalu. Dengan cepat ia angkat, menempelkan ke telinga. ‘Rud, hasil tes DNA yang kamu titipkan itu… sebenarnya Ilham itu—’ Kalimat di seberang sana terputus. Rudi menahan napas, keningnya berkerut, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia memejamkan mata sepersekian detik, lalu suara sambungan telepon tiba-tiba terdengar terputus. Sinyal hilang. Rudi mendecak pelan, perasaan tidak tenang membayangi benaknya. Ia menatap layar ponsel yang kembali hening, belum berani menyimpulkan apapun. Sementara itu, di depan kamar Rudi, ada sebuah joglo kecil dengan lampu temaram dan kursi kayu. Malam Bali yang hangat hanya ditemani suara ombak jauh di kejauhan. Dila
Rudi mengerjap, kembali ke kenyataan. Dadanya naik turun tak teratur. Pandangan matanya bergetar, seakan ia baru saja diseret kembali ke neraka masa lalu. “Jangan-jangan…” gumamnya, tenggorokannya tercekat. Ia tak berani melanjutkan. Rudi terdiam lama. Ingatan tentang malam penuh dosa di Golden Lotus Bay terus berkelebat di kepalanya. Nafasnya berat, wajahnya pucat. Dan entah kenapa, setiap ia menatap Ilham, ada sesuatu yang menusuk—rasa yang tak bisa ia tolak. ‘Jangan-jangan… dia…’ pikirannya mendadak kacau. Sebelum sempat ia larut lebih jauh, suara lirih Dahlia memecah lamunan, “Rudi… Mbak takut dosa, tapi Mbak harus bilang.” Rudi menoleh cepat. Dahlia menunduk, jemarinya meremas ujung bajunya sendiri, wajahnya diliputi rasa bersalah. “Mbak… nggak tahu kenapa, tapi Mbak kepikiran kalau Ilham itu anak Mas Ali.” Deg… Kata-kata itu membuat jantung Rudi makin berdegup tak karuan. Dahlia menarik napas berat, matanya berkaca-kaca. “Mbak tahu ini salah. Aku istri dia, seh
Malam itu… adalah malam paling kelam dalam hidup Dian. Dia sama sekali tidak sadar apa yang dilakukannya. Semua anggota tubuhnya seperti tidak lagi dikendalikan oleh pikirannya.Samar-samar, dia masih bisa ingat… kalau dia sendiri yang memulai permainan terlarang itu.Dian yang menarik lelaki itu ke dalam lingkaran dosa yang akhirnya menjeratnya sampai sekarang.Dan paginya… waktu Dian membuka mata, dia langsung tersentak. Seluruh tubuhnya bergetar begitu sadar dia hampir tak mengenakan apa-apa, hanya berbalut satu selimut tipis… bersama pria itu. Baju-baju mereka berserakan di lantai, jadi tanpa pikir panjang Dian buru-buru memungutnya satu per satu. Dian tidak berani menoleh lagi ke arah lelaki itu, apalagi membangunkannya. Dia hanya ingin lari. Lari sejauh mungkin dari kamar itu.Sejak saat itu, Dian selalu merasa hidup dalam dosa.‘Aku berdosa, Mbak… aku benar-benar berdosa…’‘Dan dosa itu semakin nyata waktu sebulan kemudian aku sadar ada nyawa kecil tumbuh dalam rahimku.’‘Awa
Di sebuah taman bermain sederhana yang punya area café kecil Akbar dan Ilham akhirnya bertemu. Akbar datang menggandeng tangan Dahlia, sementara Ilham sudah duduk di bangku taman ditemani Dian yang tampil sederhana dengan kemeja longgar dan topi. Begitu mata mereka bertemu, Akbar langsung melangkah cepat. “Eh, kamu Ilham?” tanyanya polos sambil sedikit mengangkat alis. Ilham berdiri, tersenyum tipis, “Iya. Kamu Akbar, kan?” Tanpa basa-basi, dua bocah itu langsung berjabat tangan. Dahlia dan Dian yang menyaksikan dari samping sempat saling melirik, terkejut sekaligus lega melihat anak-anak mereka begitu mudah nyambung. “Jadi kamu juga nolak dibayar uang?” tanya Akbar sambil duduk di sebelah Ilham. “Iya,” jawab Ilham santai, “aku minta uangnya buat Eyang bikin toko bunga aja. Kalau kamu?” “Aku juga gitu, minta Tante Dian supaya balik jadi cewek,” jawab Akbar sambil melirik Dian sebentar. Dian tersipu, menunduk dalam, sementara Dahlia spontan menahan tawa kecil meliha