Share

Ayo Cerai

Author: Money Angel
last update Last Updated: 2025-05-07 08:40:58

“Aku kirain sakit apaan. Heran juga, orang paling hebat gini kok bisa sakit,” Ali menjawab tak acuh sambil duduk di sofa ruangan VVIP tersebut, “Akung nyuruh aku pulang pakai acara beginian tuh buat apa? Aku, kan, udah bilang kalau aku nggak mau nurutin kemauan Akung.”

Al-Ayubi Hasan—28 tahun. Pria tampan berdarah Jawa-Melayu itu lebih suka dipanggil Ali. Kariernya begitu cemerlang sebagai pengusaha muda di London, berbanding terbalik dengan kisah hidupnya yang menyedihkan sebagai anak yatim piyatu.

Ali tidak sepenuhnya sendiri. Peran sang kakek begitu besar baginya. Ali tumbuh dengan penuh kedisplinan di bawah asuhan sang kakek yang seorang pengusaha sejak muda sampai usianya senja. Mengambil gelar master di bidang managemen bisnis di London juga bagian dari bimbingan sang kakek.

Namun, ada satu hal yang tidak disukai Ali dari Akungnya itu. Sejak usianya menginjak seperempat abad sampai hampir 30 an ini, sang kakek selalu saja menyuruhnya pulang ke Indonesia untuk menikah. Dengan alasan kondisi kesehatan dan usia sang kakek yang sudah sangat senja.

Kini di ruang rawat rumah sakit terbilang mewah di Bandung, Ali sedang menyipitkan matanya melihat sang Kakek—Jumali Hasan—dengan tatapan pertanyaan.

“Akung nggak capek nyuruh aku nikah? Ini 2025 loh, Kung. Masih zaman main jodoh-jodohan?” Ali bertanya dengan nada sarkas. Lengkungan tipis di bibirnya menggambarkan perasaannya dengan jelas.

“Den Ali, maaf kalau aku ikut campur. Kelihatannya kamu harus ngikutin maunya Akung kali ini,” Rudi yang sedari awal tidak beranjak meninggalkan Akung Hasan, mulai mengambil peran saat melihat kekesalan Ali pada sepuh tersebut.

“Udah, diam kamu, Rud,” sergah Akung Hasan dengan nada suara rendah, “Akung mau istirahat aja. Capek banget rasanya,” sambungnya berucap lemah dan mulai membaringkan tubuh tuanya membelakangi Ali.

“Rud, lagi ngapain sih Lo sama Akung? Lo nyuruh gue pulang, okay gue pulang. Gue tungguin Akung balik dari Penang tapi nggak taunya Lo nyuruh gue ke sini. Bisa ngobrol dewasa nggak sih? Rud, Akung?”

Ali bertanya bingung. Sikap sang kakek dan ekspresi Rudi terlihat tidak bercanda. Pria tampan tersebut mengalah, menurunkan egonya untuk mendekati sang kakek yang dikenalnya jahil, “Akung kenapa sih? Hasil berobat ke Penang gimana? Semuanya OK kan?”

“Nggak tau. Akung malas bahas itu, nanti Akung nangis,” menolak menjawab, tapi ucapan Akung Hasan saat ini semakin membuat Ali penasaran, “Akung belum siap ditanya-tanya Papa Mama kamu nanti—,”

“Akung…”Ali berucap lirih di samping brangkar tempat Akung Hasan berbaring, “Aku nggak mau banyak tanya ke Akung, tapi Akung stop ngomong soal begituan,” sambungnya berucap, membuat Akung Hasan bergerak, membalikkan tubuhnya menatap wajah tampan sang cucu kesayangan.

“Jadi Akung harus gimana, Li?” Akung Hasan bertanya balik.

“Akung maunya apa? Mau lihat aku nikah. Okey, Ali nikah sesuai maunya Akung. Tapi janji jangan ngomongin soal Papa Mama begitu lagi,” pundak Ali bergetar pelan menahan sesak yang nyaris menyeruak. Matanya memerah saat membayangkan pria hebat yang mengasuhnya hampir seumur hidup itu pergi menyusul kedua orang tuanya.

“Jangan asal ngasih janji ke Akung kalau kamunya nggak ikhlas, Li. Akung cuma mau kamu bahagia dengan pasangan kamu waktu Akung udah nggak bisa—,”

“Rud, atur jadwal buat gue ketemu cewek pilihan Akung mulai besok. Hari ini gue mau ngurus semua yang di London. Gue nggak balik ke sana sampai Akung sehat lagi. Kalau perlu gue bawa Akung ke sana bareng cucu mantu Akung sekalian,”

Rudi dan Akung seketika saling menatap. Seolah apa yang menjadi goals mereka berhasil sempurna.

“Yang bener, Li? Nggak terpaksa nih?”

“Aku udah kasih perintah ke Rudi, Kung. Akung atur aja deh. Aku yakin pilihan Akung yang terbaik. Asalkan kakinya napak dan nggak pake paku di ubun-ubunnya,”

“Hush, emangnya Kunti! Kamu ini.” Akung tersenyum lebar mendengar celotehan Ali yang tidak biasa. Itu membuat sang kakek yakin bahwa cucunya saat ini tidak lagi menolak menikah.

‘Maafin Akung, Li. Walaupun Akung lagi bohong sekarang, faktanya Akung bukan temen nongkrong Malaikat Izrail. Kami nggak pernah bahas sampai berapa umur Akung. Dan kalau memang udah saatnya, Akung mau kamu udah ada yang nemenin. Yang bisa hapus air mata kamu waktu Akung pergi nanti…’

***

Hari sudah berganti ketika Dahlia sadar dirinya berada di rumah sakit. Kecelakaan tunggal tadi mulai diingatnya berikut penyebab yang membuatnya pergi dalam kemarahan. Beruntung dirinya hanya mengalami memar ringan dan benturan di dahi, tapi memang kondisinya mengharuskan Dahlia dirawat. Hitung-hitung wanita yang tersakiti itu menenangkan semuanya setelah badai pengkhianatan mengguncang hidupnya.

Mata Dahlia mulai berkaca, sesekali menggigit bibir bawahnya saat menahan suara tangis yang ingin sekali keluar. 

Mungkin saja jika ujian hidupnya hanya dari cibiran dan hinaan ibu mertua, Dahlia akan sanggup. Jika pun diharuskan bekerja keras dan menjadi tulang punggung keluarga, ia masih sanggup. Tapi berbeda ceritanya ketika ujiannya sendiri berasal dari orang yang paing diharapkannya, Juan.

‘Jadi, semua perhatian dan kebaikan kamu karena kamu ngerasa hutang budi ke aku, Mas?’

‘Jadi, alasan kamu selalu nolak hubungan badan sama sku bukan karena kamu khawatir kondisi aku. Tapi karena kamu cinta sama Nila?’

‘Apa kamu nggak tau, selama ini aku bertahan cuma karena kamu, Mas? Aku rela kasih satu ginjalku untuk Ibu. Aku rela keluar dari hubungan keluarga Sagala demi kamu. Aku sakit tapi terus kerja untuk bisa support karier kamu,’

‘Padahal aku capek, aku sakit ngerasain semuanya. Apalagi harus jauh dari kamu, satu-satunya orang yang sayang sama aku. Tapi semuanya malah…’

Suara isak tangis mulai terdengar ketika suara hatinya tidak lagi cukup mengutarakan kesakitan dari bibir yang dipaksa membisu.

Pintu ruang rawat terbuka. Dari sana sosok pria yang selalu menjadi malaikat baginya masuk dan mendekat ke brankar tempat Dahlia berbaring. Juan menyentuh lembut punggung tangan Dahlia dan menatap istrinya dengan sendu.

“Kamu udah bangun kok nggak panggil-panggil? Apa yang dirasa, Sayang? Bagian mana yang terasa sakit?” tanyanya lembut, seolah sang istri adalah yang paling berharga.

Mendengar dan melihat perhatian seperti itu dari Juan membuat air mata Lia semakin deras keluar. Jika itu adalah cinta, mungkin itu adalah tangisan bahagia Dahlia. Tapi kebaikan itu hanya iba. Itu bukan cinta tapi beban balas budi.

“Kok nangis? Sakit banget, ya?” Juan terlihat khawatir, “Mas panggilin dokter sebentar!” Sambungnya lalu beranjak dari duduk.

“Mas…” panggil Dahlia dengan suara parau.

Juan menoleh, “Ya? Sebentar ya, Mas panggil dokter dulu. Kamu sakit, kan?” Ucapnya lagi.

“Kita cerai aja,”

Deg…

Pernyataan Dahlia dengan ekspresi seperti itu sukses membuat Juan mematung. Gerakannya lamban untuk kembali duduk menatap sang istri, “Ka-kamu ngomong apa, Lia? Kenapa tiba-tiba ngomongin ce-rai?” Tanyanya terbata.

“Aku capek, Mas. Badan aku, hati aku udah capek untuk basa basi lagi,” Dahlia memberi tanggapan, “Tadi malam aku tau semuanya. Aku tau dan lihat sendiri kalau kamu… di kamar kita… sama Nila–,”

Dahlia menggantung kalimatnya. Terasa tidak sanggup lidahnya menyampaikan pengkhianatan yang disaksikannya pada sang suami.

“Aku tau semuanya. Kalau kamu sama Nila itu–,”

“Ya. Aku cinta sama Nila.” Ucap Juan tanpa ragu.

Dahlia menutup matanya seketika. Merasakan sakit yang lebih perih saat dirinya mendengar sendiri pengkhianatan itu dari Juan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MANTANMU JADI ISTRI BOS   Hadiah Untuk Kakak Hebat

    Semenjak sepeninggal Akung, Rudi jarang ke kantor. Dia lebih senang di rumah, meresapi sisa sisa kehadiran Akung di setiap sudut rumah.Seperti saat ini, Rudi sedang merapikan rak pot bunga yang dulu biasa diurus Akung. Ia juga mulai terbiasa menyapu halaman, menyiangi rumput, bahkan duduk setiap pagi di kursi tua Akung sambil membaca koran bekas.Beberapa pembantu rumah mulai akrab dengan tingkahnya. Bahkan, beberapa tetangga mulai menyapa pelan. Bagaimanapun, kabar sudah tersebar bahwa bukan hanya Ali yang menjadi tuan rumah itu, tapi juga Rudi.Tapi tak semua orang senang tentunya. Seperti, Tante Nuri.Tante Nuri yang baru keluar dari dapur langsung pasang suara sinis sambil menatap Rudi dari teras.“Halah… gaya banget, ya. Baru juga ketahuan anak haram, udah mau jadi pemilik rumah ini? Dasar darah dari luar pagar!”Rudi mendongak sebentar. Tapi ia memilih diam, kembali menata pot bunga.

  • MANTANMU JADI ISTRI BOS   Hubungan Yang Berubah Canggung

    Ali berdiri memunggungi bangku taman, memandangi pohon-pohon di kejauhan. Tidak lama, Rudi datang dengan langkah pelan.“Den Ali… katanya manggil saya ke sini?” tanya Rudi, ragu.“Iya. Duduk aja,” jawab Ali tanpa menoleh. Enggan sekali rasanya melihat wajah Rudi ada di hadapannya.Rudi duduk perlahan di bangku. Keheningan melingkupi mereka beberapa detik.“Gue udah nonton isi flashdisk dari Pak Harlan,” kata Ali akhirnya.“Oh… iya? Terus… isinya apa? Akung nggak salah ngasih warisan sebanyak itu ke saya, Den?” tanya Rudi.Ali menatapnya lurus. “Nggak salah. Karena Lo bukan cuma anak angkat Akung, Rud.”Rudi mengernyit, “Maksudnya?”“Lo ternyata adik kandung gue,” ujar Ali pelan tapi tegas.Rudi membelalak, “A-adik kandung? Gimana ceritanya, Den?”“Ayah kita… sama,” Ali mengoreksi, “sebelum nikah sama ibu gue, dia udah nikah siri sama ibu Lo. Dan Lo, anak dari pernikahan itu.”Rudi menu

  • MANTANMU JADI ISTRI BOS   Dia Adikku

    Langit mendung menggantung di luar jendela, dan angin pelan membuat tirai tipis bergoyang. Suasana rumah besar itu masih dipenuhi aroma bunga duka. Keluarga besar duduk diam. Beberapa saudara sepupu berbisik pelan. Di tengah ruangan, Ali duduk dengan punggung tegak, tangan Dahlia menggenggam erat jemarinya.Tiba-tiba, suara mesin mobil berhenti di halaman depan. Tak lama kemudian, ketukan terdengar di pintu.Seorang asisten rumah tangga membuka pintu, lalu masuklah seorang pria berumur lima puluhan, mengenakan jas rapi warna abu tua. Wajahnya tenang, rapi, dan penuh wibawa.“Pak Ali, ini Pak Harlan… pengacara almarhum Bapak Jumali Hasan,” seorang pria yang lebih muda—asisten Pak Harlan—memperkenalkan bosnya.Pak Harlan melangkah masuk, sedikit membungkuk untuk sapaan singkatnya, “Permisi. Mohon maaf datang di saat duka. Saya Harlan, pengacara pribadi mendiang Bapak Jumali Hasan. Saya ke sini untuk menyampaikan is

  • MANTANMU JADI ISTRI BOS   Akung Dalam Kenangan

    Doa pun dikumandangkan, mengiringi tubuh yang akan menyatu dengan bumi. Suara pelan ustaz, suara isak dari beberapa pelayat, dan suara angin lembut menjadi latar kepergian itu. Ali akhirnya melangkah maju, menggenggam sekop pertama. Dengan tangan itu yang dulu dibantu Akung untuk memegangnya saat belajar jalan, kini dengan tangan ini Ali menguburkan tubuh kakenya sendiri. Seketika tubuh Ali limbung. Satu sekop tanah yang ia jatuhkan, seakan ikut menjatuhkan setengah jiwanya ke dalam lubang itu. Air mata tak bisa lagi ia tahan. Tapi tetap tak ada suara tangis. Hanya wajah yang basah dan beku. Dahlia menyentuh lengan Ali dengan lembut saat prosesi selesai, tapi pria itu tetap diam. Matanya masih tertuju pada tanah merah yang menutup lubang itu perlahan, yang pada setiap sekop tanah terdengar seperti pukulan keras ke dada. Sementara Rudi merunduk, membisikkan doa terakhir sambil menahan

  • MANTANMU JADI ISTRI BOS   Akung Setengah Dunia Ali

    Sampai hari berganti dan para pelayat sebagian besar pergi untuk datang lagi di acara pemakaman nanti, tapi Ali masih duduk di lantai marmer dingin itu.Di hadapannya, tubuh Akung terbujur kaku. Tak ada lagi suara napas berat atau gerutu khas saat pagi datang. Tak ada suara Akung memanggil namanya, tak ada tangan hangat yang menepuk pundaknya.Dan seketika dunia Ali terasa hening, tak ada suara, tak ada waktu, hanya detik-detik hampa yang menusuk dada.Pelan-pelan, air matanya kembali jatuh. Ia tidak bisa berhenti menangis, meski tidak ada suara dari bibirnya. Hanya wajah yang kusut dan mata yang sembab.

  • MANTANMU JADI ISTRI BOS   Dunianya Runtuh

    Sinar matahari menari pelan di sela tirai, menyentuh kulit dua insan yang masih terbungkus selimut hangat. Nafas mereka tenang, dengan tubuh mereka masih bertaut, seperti enggan berpisah dari malam yang telah mereka lalui.Dahlia terbangun lebih dulu. Ia menatap suaminya yang masih terlelap dengan rambut berantakan dan wajah damai, wajah yang malam tadi membuatnya lupa segalanya.Dengan lembut, ia mengecup dahi Ali, “Pagi, Mas…” bisiknya manja.Ali membuka mata perlahan, mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya tersenyum lelah, “Hmm… pagi… istri tercintaku yang bikin aku gempor.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status