“Ya, aku memang cinta sama Nila, bahkan sebelum kita pacaran. Tapi, semua hal tuntun aku untuk putusin hubungan kami dan akhirnya aku nikahnya sama kamu, Lia.” Juan memperjelas pengakuannya.
“Karena aku donorin ginjal ke Ibu, kan? Kamu ngerasa hutang budi banget ke aku, kan, Mas?”
Pertanyaan Dahlia kembali membuat Juan tertunduk. Ia masih memegang tangan sang istri meskipun wanita itu sudah sangat hancur dengan fakta. Perlahan, Juan mengangguk membenarkan.
“Waktu itu keadaan Ibu parah banget. Cari ginjal yang cocok buat Ibu susah dan mahal. Aku nggak punya uang dan takut Ibu pergi tinggalin aku. Aku bersumpah ke Tuhan, siapapun orang yang bisa bantu untuk kesembuhan Ibu, aku bakalan balas budi ke orang itu seumur hidup aku,”
“Dan kamu orangnya, Lia.” nada bicara Juan mulai terdengar serak, “Walaupun semuanya benar dan kamu udah tau semuanya, tapi aku nggak mau kita cerai, Lia. Aku juga sayang kamu, tapi bukan sebagai perempuan. Kamu udah aku anggap saudaraku sendiri, Lia,”
“Dan kamu jangan takut. Kamu tetap jadi istri pertama aku, istri sah. Aku cuma bakalan nikah sirih aja sama Nila, Lia,”
“Maaf, Mas.” Dahlia menjawab singkat, membuat Juan menoleh menatapnya, “Aku manusia normal. Aku perempuan normal yang nggak mungkin tahan kalau suamiku berbagi semuanya ke perempuan lain. Sekalipun dia sahabat aku dari kecil. Maaf, aku nggak bisa,”
“Maksud kamu, kita beneran cerai?” Juan bertanya serius, “Jangan sembarangan ambil keputusan, Lia!”
Dahlia memalingkan wajahnya yang semakin memerah karena tangis, “Aku nggak sanggup, Mas. Aku capek,” jawabnya pelan tapi yakin.
“Nggak, Lia. Aku nggak mau cerai. Kamu masih sakit dan kamu nggak punya siapapun lagi selain aku, Ibu, dan Nila. Kalau kita pisah, kamu bakalan sendirian dan aku nggak mau itu,” Juan menolak dengan alasan yang membuat telinga Dahlia berdenging muak.
“Memang selama ini begitu, kan? Memangnya selama ini siapa yang temani aku dan jadi sandaran aku? Kamu? Ibu? Nila?” Dahlia membalikkan pertanyaan saat menoleh lagi pada Juan.
“Masih pengantin baru, kamu mohon supaya aku donor ginjal ke Ibu. Tiga bulan harus bedrest dan harus berbagi perhatian kamu ke Ibu yang juga sakit. Habis aku sembuh dan sehat, kamu enteng banget setuju dikirim ke Papua, tinggalin aku buat ngurus Ibu,”
“Kamu tau, hampir setiap hari Ibu pergi dan sering buat acara di rumah. Pulang kerja aku masih harus tahan omelan Ibu yang entah kapan bakalan hargai aku sebagai istri kamu. Aku capek, tapi aku tahan semuanya demi kamu. Karena aku yakin kamu satu-satunya orang yang sayangi aku tulus. Tapi apa, Mas?”
“Satu-satunya orang yang bisa kuandalkan malah ngehancurin harapan hidup aku dengan selingkuh, sama temanku sendiri pula! Apa kamu nggak mikir gimana sakitnya aku, Mas?!” Dahlia tidak lagi tenang. Tangis dan suaranya pecah membentak Juan.
Juan tidak menjawab karena semuanya benar. Yang awalnya ingin berpura-pura bodoh di depan Lia sekalipun Bu Bani sudah menceritakan kemungkinan, bahwa Dahlia tahu hubungan perselingkuhan itu hingga membuatnya pergi dengan kemarahan dari rumah. Nyatanya bom waktu memang saatnya meledak.
“Lia, tenang dulu. Kamu masih sakit. Kita bicarakan semuanya nanti, ya?” Juan mulai membujuk Dahlia lembut.
“Kamu atau aku yang buat pengajuan cerai?” Dahlia kembali menegaskan keputusannya.
Tapi Juan seperti memang tidak ingin membahas perceraian lagi, “Kamu masih capek, belum stabil. Aku keluar aja biar kamu tenang, ya,” ucapnya menghindar. Pria itu melepaskan tangan Lia dan beranjak dari sana. Tepat di depan pintu, suara Dahlia membuatnya mematung di sana.
“Aku yang urus berkas. Kita ketemu di pengadilan,” ucap Dahlia mantap tanpa menoleh ke arah pria yang seharusnya jadi malaikat, tapi ternyata iblis bersayap putih.
***
Dua hari setelah kecelakaan, Dahlia mulai membaik. Meskipun perban masih membalut kepalanya, tapi tubuhnya sudah bisa bergerak bebas.
Jika sebagian orang akan bosan saat menjalani rawat inap di rumah sakit, tidak begitu bagi Dahlia. Sesuai permintaannya juga, Juan ataupun Bu Bani tidak datang membesuk. Ia merasa seperti sedang berlibur, menenangkan pikiran dan hatinya. Terlebih, suasana area ruangan rawatnya terbilang tenang.
Jabatannya sebagai senior manager di kantor membuat rumah sakit yang menanganinya memberikan fasilitas kelas atas. Di lantai atas bangunan bertingkat tujuh itu menyediakan taman yang asri yang jauh dari keriuhan guna menjadi hiburan untuk pasien spesial di sana.
Dahlia berjalan ke taman tersebut dan matanya tertuju pada sebuah bangku panjang di samping pot besar bunga Bougenville 5 warna. Ia yakin jika duduk di sana view yang indah yang akan dilihat olehnya. Akan tetapi, bukan seperti itu kenyataan yang terlihat di depan mata.
Mata Dahlia memicing sembari menajamkan pendengarannya saat mendekat pada seorang kakek tua yang memanjat dinding pembatas bangunan lalu duduk di sana. Tentu saja itu adalah situasi berbahaya, tapi Dahlia tidak ingin gegabah dan bisa menyebabkan kakek tersebut jatuh ataupun melompat.
“Gusti, ampuni hamba yang nggak tau diri ini. Udah tua, tapi masih aja bohong sama cucu sendiri, nggak berguna juga,” suara si kakek terdengar jelas di telinga Dahlia.
“Ali udah setuju mau nikah, tapi nggak ada gadis yang cocok buat cucuku, Gusti…” kali ini suara sang kakek diiringi tangis, “Aku nyerah, Gusti…” sambil menangis, sang kakek terlihat merentangkan tangan sambil menengadahkan kepalanya ke atas.
Dahlia mulai panik dan tidak bisa hanya memperhatikan, “Kek, turun, yuk!” Ajaknya bernada membujuk. Sang kakek yang sadar panggilan itu untuknya segera menoleh, “Jangan nekat, Kek. Jangan lompat–,”
“Loh, Kakek yang kemarin?”
“Kamu? Yang kemarin tolong saya, kan?” Tanya si kakek balik. Ya, itu adalah Eyang Kakung Jumali Hasan alias Akung.
Baik Akung ataupun Dahlia sama-sama terperangah. Tapi Akung mengerutkan dahi seolah paham dengan tindakan perempuan yang menolongnya kemarin. Akung menebak kalau saat ini Dahlia mengira Akung ingin mengakhiri hidup.
“Kakek turun, ya. Angin di sini kencang banget, Kek. Nanti jatuh,” ucap Dahlia yang kembali membujuk. Tapi nyatanya Akung masih tidak bergeming saat terus menatapnya.
Dalam diamnya, Akung terus terpukau pada perhatian Dahlia padanya. Bukan tidak mendengar bujukan berulang padanya, tapi Akung menjadikan penuturan Dahlia sebagai poin penambah penilaian Akung pada wanita muda yang baik itu.
“Turun, ya. Sini saya bantu,” ucap Dahlia yang sudah kesekian kali membujuk sambil mengulurkan tangan.
“Akung mau turun. Nggak jadi bunuh diri. Tapi asalkan kamu mau jadi cucu mantu Akung,” ucap Akung yang sontak membuat Dahlia kaget.
“Hah?!”
“Ya udah kalau nggak mau. Akung mau lompat aja!” sambut Akung setelah melihat Dahlia terdiam.
“Eh, jangan!” Dahlia bereaksi cepat, berusaha menggapai sebelah tangan Akung yang bebas, “Nggak gitu maksud saya, Kek. Kenapa malah jadi mau jadikan saya cucu mantu? Kita nggak saling kenal, kan?” Sambungnya mengutarakan nalar.
“Akung cuma punya satu cucu, yatim piatu dari kecil. Akung cuma mau cucu Akung nikah dan nggak sendirian kalau Akung berpulang,” dengan nada yang dibuat lirih, Akung jujur menyampaikan keinginannya.
“Jadi kenapa saya, Kek?”
“Ya udah kalau nggak mau!” Tanpa menjawab alasannya, Akung kembali berbalik seolah merajuk seperti anak kecil. Sebelah kakinya dilebarkan ke udara.
“Eh, tunggu. Iya, saya mau!” sahutnya spontan dan itu berhasil membuat Akung tersenyum puas.
“Terima kasih, Gusti. Cah ayu iki wes gelem jadi cucu mantuku,” ucap Akung senang dalam bahasa daerah yang juga dipahami Dahlia. Aku terlihat membungkuk dan meraih tangan Dahlia, “Yowes, bantu Akung turun ya, Nduk,” pintanya tanpa membuyarkan senyuman.
“Alhamdulillah. Jangan gitu-gitu lagi ya, Kek?” terdengar kelegaan dan syukur dalam pertanyaannya.
“Asal kamu nggak batal jadi cucu mantu Akung,” jawab Akung santai sambil terus bertumpu tangan pada Dahlia, “Ayo, anterin Akung. Encok Akung kumat Nduk,” sambungnya berjalan pelan lebih dulu sambil menarik Dahlia untuk mengikutinya.
Niat hati ingin menyelamatkan satu nyawa, tapi Dahlia tidak akan menyangka akan ikut tertarik pada satu babak baru hidupnya lewat Akung.
Suasana hangat menyelimuti acara pernikahan Rudi dan Dian. Tawa dan doa mengalun, menandai awal baru bagi mereka berdua, juga hadirnya Ilham yang kini resmi menjadi bagian dari keluarga besar Hasan. Anak kecil itu berlari-lari kecil di antara meja tamu, kadang tertawa, kadang sembunyi malu di balik gaun pengantin ibunya.Dahlia duduk di samping Ali, mengenakan kebaya sederhana namun anggun. Tangannya erat menggenggam milik suaminya, seolah masih tak percaya bahwa lelaki itu kini ada di sisinya, tersenyum, hidup, setelah dulu sempat ia hampir kehilangan. Kenangan pahit pun berkelebat—masa lalunya sebagai janda Juanda Putra yang hancur karena perselingkuhan, perjalanan penuh luka bersama Ali yang sempat ditentang banyak pihak, meninggalnya Akung, Status Rudi, munculnya Shafira dengan kehamilan, hingga malam kelam saat kecelakaan merenggut kesadaran Ali selama tiga bulan.Namun semua itu kini terasa jauh. Semua luka seakan luluh oleh hadirnya Akbar, buah hati mereka, yang kini tertawa
Rudi berdiri di hadapan Dian dan Dilan dengan napas masih memburu setelah pertengkaran barusan. Jemarinya mengepal, namun matanya justru bergetar, penuh pergulatan batin. Ia menatap Dian yang wajahnya masih pucat, lalu beralih ke Dilan yang sudah menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata lagi. Suasana hening, hanya bunyi napas yang terdengar. “Aku…” suara Rudi parau, serak menahan beban yang menyesakkan dada, “Aku juga baru tahu semuanya, baru sekarang, setelah tes DNA keluar.” Dian mengangkat wajahnya dengan pandangan tak percaya, seakan tak mampu menangkap maksud kata-kata itu. Sementara Dilan hanya terdiam, menunggu penjelasan. Rudi menelan ludah, suaranya bergetar namun tegas, “Awalnya… semua ini berangkat dari kecurigaan Mbak Dahlia,” “Dia lihat terlalu banyak kemiripan, bukan cuma wajah, tapi juga emosional Ilham dan Akbar. Semakin lama, semakin jelas.” Rudi memejamkan mata sejenak, menahan sakit di kepalanya, “Aku bahkan sempat menyangkal. Kupikir itu cuma sugesti
Ponsel Rudi bergetar di atas meja kerja hotelnya. Ia baru saja selesai membereskan berkas meeting ketika nama temannya, pemilik laboratorium, muncul di layar. “Aku tinggal sebentar.” Pamitnya pada Dian dan Dilan. Rudi meninggalkan kamar dan mencari tempat yang hening untuk mendengarkan kabar yang dia tunggu sejak dua hari lalu. Dengan cepat ia angkat, menempelkan ke telinga. ‘Rud, hasil tes DNA yang kamu titipkan itu… sebenarnya Ilham itu—’ Kalimat di seberang sana terputus. Rudi menahan napas, keningnya berkerut, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia memejamkan mata sepersekian detik, lalu suara sambungan telepon tiba-tiba terdengar terputus. Sinyal hilang. Rudi mendecak pelan, perasaan tidak tenang membayangi benaknya. Ia menatap layar ponsel yang kembali hening, belum berani menyimpulkan apapun. Sementara itu, di depan kamar Rudi, ada sebuah joglo kecil dengan lampu temaram dan kursi kayu. Malam Bali yang hangat hanya ditemani suara ombak jauh di kejauhan. Dila
Rudi mengerjap, kembali ke kenyataan. Dadanya naik turun tak teratur. Pandangan matanya bergetar, seakan ia baru saja diseret kembali ke neraka masa lalu. “Jangan-jangan…” gumamnya, tenggorokannya tercekat. Ia tak berani melanjutkan. Rudi terdiam lama. Ingatan tentang malam penuh dosa di Golden Lotus Bay terus berkelebat di kepalanya. Nafasnya berat, wajahnya pucat. Dan entah kenapa, setiap ia menatap Ilham, ada sesuatu yang menusuk—rasa yang tak bisa ia tolak. ‘Jangan-jangan… dia…’ pikirannya mendadak kacau. Sebelum sempat ia larut lebih jauh, suara lirih Dahlia memecah lamunan, “Rudi… Mbak takut dosa, tapi Mbak harus bilang.” Rudi menoleh cepat. Dahlia menunduk, jemarinya meremas ujung bajunya sendiri, wajahnya diliputi rasa bersalah. “Mbak… nggak tahu kenapa, tapi Mbak kepikiran kalau Ilham itu anak Mas Ali.” Deg… Kata-kata itu membuat jantung Rudi makin berdegup tak karuan. Dahlia menarik napas berat, matanya berkaca-kaca. “Mbak tahu ini salah. Aku istri dia, seh
Malam itu… adalah malam paling kelam dalam hidup Dian. Dia sama sekali tidak sadar apa yang dilakukannya. Semua anggota tubuhnya seperti tidak lagi dikendalikan oleh pikirannya.Samar-samar, dia masih bisa ingat… kalau dia sendiri yang memulai permainan terlarang itu.Dian yang menarik lelaki itu ke dalam lingkaran dosa yang akhirnya menjeratnya sampai sekarang.Dan paginya… waktu Dian membuka mata, dia langsung tersentak. Seluruh tubuhnya bergetar begitu sadar dia hampir tak mengenakan apa-apa, hanya berbalut satu selimut tipis… bersama pria itu. Baju-baju mereka berserakan di lantai, jadi tanpa pikir panjang Dian buru-buru memungutnya satu per satu. Dian tidak berani menoleh lagi ke arah lelaki itu, apalagi membangunkannya. Dia hanya ingin lari. Lari sejauh mungkin dari kamar itu.Sejak saat itu, Dian selalu merasa hidup dalam dosa.‘Aku berdosa, Mbak… aku benar-benar berdosa…’‘Dan dosa itu semakin nyata waktu sebulan kemudian aku sadar ada nyawa kecil tumbuh dalam rahimku.’‘Awa
Di sebuah taman bermain sederhana yang punya area café kecil Akbar dan Ilham akhirnya bertemu. Akbar datang menggandeng tangan Dahlia, sementara Ilham sudah duduk di bangku taman ditemani Dian yang tampil sederhana dengan kemeja longgar dan topi. Begitu mata mereka bertemu, Akbar langsung melangkah cepat. “Eh, kamu Ilham?” tanyanya polos sambil sedikit mengangkat alis. Ilham berdiri, tersenyum tipis, “Iya. Kamu Akbar, kan?” Tanpa basa-basi, dua bocah itu langsung berjabat tangan. Dahlia dan Dian yang menyaksikan dari samping sempat saling melirik, terkejut sekaligus lega melihat anak-anak mereka begitu mudah nyambung. “Jadi kamu juga nolak dibayar uang?” tanya Akbar sambil duduk di sebelah Ilham. “Iya,” jawab Ilham santai, “aku minta uangnya buat Eyang bikin toko bunga aja. Kalau kamu?” “Aku juga gitu, minta Tante Dian supaya balik jadi cewek,” jawab Akbar sambil melirik Dian sebentar. Dian tersipu, menunduk dalam, sementara Dahlia spontan menahan tawa kecil meliha