Malam itu rumah terasa begitu tenang. Pesta pernikahan Darren dan Tina masih terbayang dalam ingatan, dengan tawa, musik, dan lampu gemerlapnya.Namun kini, hanya ada suara jangkrik dari luar jendela dan napas kecil Akbar yang sudah lelap di kamarnya.Ali bersandar di sisi ranjang, memandang Dahlia yang sibuk melepas perhiasannya satu per satu. Ada kilau lembut di mata pria itu, seolah setiap gerakan istrinya adalah sesuatu yang ingin ia abadikan.“Lelah, Sayang?” tanya Dahlia sambil tersenyum tipis, tanpa menoleh.Ali mendekat, tangannya menyentuh perlahan bahu istrinya dari belakang, “Sedikit. Tapi lebih lelah lagi kalau harus nahan diri buat nggak nyentuh kamu.”Dahlia terkekeh pelan, wajahnya sedikit memerah, “Mas ini, ada-ada aja…”Ali berputar, berdiri tepat di depannya, lalu meraih kedua tangannya, “Tadi semua orang kagum sama Tina yang jadi ratu sehari. Tapi tahu nggak, Yang? Bagiku, dari dulu sampai sekarang, pengantin tercantik itu ya kamu.”“Kamu yang aku menangkan dulu, da
Detik-detik penuh haru itu menjadi titik balik hidup Dahlia dan Ali. Malam ketika tangisan bayi kecil memanggil pulang sang ayah dari ambang maut, adalah malam yang tak pernah mereka lupakan.Sejak hari itu, hidup mereka tak lagi sama. Hari-hari berat di rumah sakit berganti dengan tawa kecil, belajar ulang bagaimana menjadi orangtua, dan menemukan makna baru tentang kebersamaan.Ali yang dulu hampir menyerah, kini punya alasan untuk bertahan.Dahlia yang pernah merasa sendiri, kini selalu ditemani dua cahaya dalam hidupnya.Mereka belajar menerima hari-hari sederhana, menemukan kebahagiaan di balik hal-hal kecil, seperti sarapan bersama, menonton anak mereka belajar berjalan, hingga mendengar celoteh polosnya yang memenuhi rumah.Dan waktu pun berjalan tanpa terasa…Enam tahun kemudian, matahari pagi menyinari halaman rumah sederhana di pinggiran kota. Seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlari kecil dengan tawa renyah, memanggil-manggil ayahnya yang sedang menyiram bunga di t
Dahlia menggenggam tangan Ali yang dingin, menatap wajahnya yang masih terpejam dengan selang dan kabel medis di sekujur tubuh. “Aku di sini, Mas…” bisiknya lembut, “Aku udah memaafkan semuanya. Sekarang tugasku hanya menemani kamu sampai kamu bangun nanti.”Dalam kesunyian ruang rawat itu, Dahlia tahu, meski jalan hidupnya penuh luka, Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menjaga cinta yang tersisa. Dan dari situlah ia akan memulai hidup yang baru.Hari-hari di Singapura berjalan dengan lambat bagi Dahlia. Setiap pagi, ia datang lebih awal ke rumah sakit, kadang bahkan sebelum matahari terbit. Suster-suster sudah hafal wajahnya, begitu juga dengan satpam yang selalu menyapanya ketika ia masuk dengan langkah pelan dan wajah letih.Ruang rawat Ali terasa seperti dunia kecil yang tak pernah berubah. Hanya suara mesin monitor detak jantung yang terus berdenting, seakan menjadi pengingat bahwa suaminya masih bertahan, masih berj
Hidup Nila berubah drastis sejak statusnya diputuskan sebagai tahanan rumah.Rumah kontrakan kecil, hampir menyerupai gubuk reyot, kini menjadi satu-satunya dunia yang ia kenal. Di sana, ruang sempit itu bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga penjara yang tak terlihat.Polisi berjaga di luar setiap hari. Dua orang bergantian mengawasi, memastikan ia tak berani melangkah sejengkal pun keluar tanpa izin. Setiap pintu diketuk, setiap suara langkah di luar kontrakan, membuat jantungnya berdegup takut. Ia tahu, satu kesalahan saja bisa membuatnya kembali masuk ke balik jeruji.Keseharian Nila penuh dengan pekerjaan tanpa henti. Bayinya yang masih merah sering menangis di malam hari, membuatnya terjaga hingga dini. Sementara di siang hari, ia harus mengurus ibu mertuanya yang lumpuh separuh badan. Dari memberi makan, membersihkan tubuh, hingga menahan sabar saat Bu Bani mengigau menyebut nama Juanda, anak laki-l
Sejak kabar kematian Juanda datang, rumah kontrakan kecil itu berubah seperti rumah duka yang tak pernah berhenti menangis. Tangisan para tetangga dan sanak saudara sudah lama reda, tapi isak lirih seorang ibu masih saja terdengar.Bu Bani duduk di pojok kamar, berbalut kain jarik kusam yang sejak tiga hari lalu tak pernah ia lepas. Rambutnya yang dulu selalu tersisir rapi kini awut-awutan. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan kedua tangannya terus meremas kain sajadah yang terbentang di hadapannya.“Anak Ibu… Juanda… kenapa kamu ninggalin Ibu secepat ini? Belum sempat kamu bawa buat Ibu senang, Juan. Belum sempat kamu lihat bayi kamu. Tapi kenapa cepat banget, Juan…” suaranya pecah, sesenggukan.Orang-orang mencoba menghibur, mengatakan semua sudah takdir. Tapi Bu Bani selalu menolak kenyataan itu.“Kalau memang takdir, kenapa anakku mati dengan cara begini? Kenapa dunia tega sama dia?” begitu ia berulang kali bergumam, setengah marah, setengah putus asa.Namun di hadapan tetangga,
Ali sudah didaftarkan sebagai salah satu pasien di rumah sakit besar di negara maju—Singapura.Kondisinya kini jauh berbeda sejak kecelakaan beberapa bulan lalu. Luka parah pada tubuhnya menyebabkan kerusakan organ dalam yang begitu fatal. Hati, paru-paru, bahkan salah satu ginjalnya harus bekerja keras agar tetap bertahan.Kini Ali tengah tertidur di ranjang pasien. Di sampingnya, Dahlia setia menunggu tanpa pernah beranjak. Tatapannya penuh iba setiap kali melihat wajah Ali yang makin pucat, makin tirus dari hari ke hari.Sejak kecelakaan itu, Ali koma. Tubuh dan semua organ vitalnya Tujuh Puluh persen dibantu alat canggih medis.“Mas Ali masih dalam tahap pemulihan. Terapi obat-obatan harus dijalankan dengan hati-hati karena hampir semua organ vitalnya terkena dampak benturan hebat waktu kecelakaan.”“Paru-parunya masih rapuh, fungsi hati menurun, dan ginjalnya hanya tersisa satu yang masih bisa bekerja,” jelas sang dokter panjang lebar pada Dahlia, ditemani Rudi yang selalu rutin