Share

MERI BERULAH

last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-25 22:59:55

Setelah menutup gerbang dan bersiap untuk membuka aplikasi Go Car, tiba-tiba saja ada orang yang menyiramkan air ke arahku dengan sengaja. 

"Sial!" 

Aku menoleh, ternyata Meri yang melakukan itu semua. Dasar manusia tidak punya tata krama.

"Itu ganjaran buat orang yang sudah merusak kebahagiaanku!" teriak Meri dari dalam gerbang. 

"Kebahagiaan apa? Kebahagiaan menipu saudara sendiri? Wow ... Ternyata ada orang yang bisa bahagia di atas penderitaan orang lain?" 

Segera aku kembali kedalam untuk berganti baju, untung saja ponsel di tangan masih aman. Kalau sampai rusak gara-gara kena air, aku pasti akan menuntut Meri. 

Belum saja menginjakkan kaki di teras, Meri menarik rambutku yang tergerai. 

"Dasar orang kampung! Sudah miskin bela gu! Sebelum kamu datang ke sini semua baik-baik saja! Tapi sekarang aku harus kehilangan kasih sayang mas Anjar!" teriak Meri kalap sambil menarik dan mencakar wajahku. 

Dengan sigap aku menarik tangan Meri dan segera menjatuhkannya ke tanah. Sebelum wajahku hancur oleh cakaran kuku panjangnya. 

Aku pikir dia hanya berani di mulut saja, ternyata aku salah. Dia sangat bar-bar. 

"Maryuni ... Lepaskan!" teriak mama mencoba menengahi. 

Tubuh Meri yang sudah jatuh ke tanah membuatku serba salah. Jujur, aku takut kalau mama menuduhku menghajar anak gadisnya, padahal dia sendiri yang berulah.

"Meri yang memulai, Ma. Dia menyiramku dengan air bekas cucian dan menjambak rambutku." Aku membela diri. 

"Sudah, sana ganti baju. Sudah siang," ucap Mama sembari membantu Meri berdiri. 

"Sebentar!" 

"Saya memang orang kampung, saya tidak akan pernah datang ke sini kalau si empunya rumah tidak meminta saya untuk datang dan tinggal. Jadi, kalau ingin saya pergi dari sini. Katakan pada orang yang meminta saya untuk mengembalikan saya!" tantangku, geram rasanya di perlakukan semena-mena. 

"Mar, maafkan adikmu," ucap mama memelas. 

Aku tidak tahu, seberapa jahatnya si Meri. Berulang kali dia berulah aku mencoba sabar dan sadar diri, tetapi kelakuannya sangat keterlaluan. 

Tidak aku gubris perkataan mama. Aku ingin segera pergi dari rumah ini. 

+++

Empat bulan yang lalu, sebelum aku dan mas Anjar resmi menikah. Kami tidak di jodohkan, tetapi salah satu teman mas Anjar yang juga temanku memperkenalkan dia kepadaku. 

Mas Anjar yang waktu perkenalan terlihat baik ternyata setelah menikah berubah sembilan puluh derajat. 

Kata temanku mas Anjar adalah seorang duda tidak beranak dan pisah karena di tinggal selingkuh, aku pun tidak mempermasalahkannya dan menerima lamarannya setelah satu bulan perkenalan. 

Bukan aku tidak ingin mengenalnya lebih dalam, tetapi desakan simbok agar aku segera menikah membuatku tidak bisa berkutik. Aku terima saja lamarannya agar simbok senang. Toh, mungkin dengan cara itu aku menyebabkan hatinya bahagia. 

Aku Maryuni yang berumur dua puluh lima dengan mas Anjar yang berusia tiga puluh enam. Aku pikir tidak masalah terpaut usia yang cukup jauh, mungkin dia bisa momong aku yang masih labil. 

Sebelum aku menerima permintaan simbok untuk segera menikah, aku meminta beliau untuk merahasiakan semua yang aku miliki. Termasuk rumah yang baru saja selesai kubuat dengan hasil jerih payahku sendiri. 

Terlihat aneh memang, menerima lamaran tanpa tahu seluk beluk kepribadiannya, apa mau di buat simbok terus saja mendesak. Hingga aku memutuskan untuk menerimanya.

Sialnya, dia yang aku kira sangat loyal ternyata sangat berbeda. Karena segala upacara di adakan di kampung jadi aku di boyong kerumahnya yang berada di kota. 

Sesampainya di kota, aku sungguh terkejut dengan keadaan rumah sebesar. Rumah mewah, tetapi tidak ada bahan makanan sama sekali. Aku tidak ingin di anggap benalu, maka sebisa mungkin aku membawa diri agar. 

Dengan bantuan mas Anjar, terbeli sudah kebutuhan dapur. Aku pikir orang kota kebanyakan akan mengisi kulkas dengan penuh dan menyimpan berbagai kebutuhan sebagai stok selama sebulan. Nyatanya, tidak begitu di rumah ini. 

Setidaknya sampai detik Ini, aku masih mencoba untuk sadar diri. Mengingat mas Anjar tidak ingin pisah rumah dengan keluarganya, jadi aku sendiri yang harus berinisiatif mencari waktu untuk menentramkan hatiku. Dengan beralasan bekerja di toko orang lain, padahal itu miliku sendiri. 

Tidak apa, yang terpenting aku harus tetap menjaga semua aset yang aku miliki dari orang-orang seperti mereka. 

+++

Hari ini tanggal aku gajian, mas Anjar begitu antusias mendengar aku akan gajian. 

"Hati-hati di jalan, ya, Dek." Suara mas Anjar dari seberang lalu mengakhiri sambungan telepon sepihak.

Tidak biasanya dia menghubungiku melalui telepon, entah apa yang ada di pikirannya.

Kuhitung hasil jualan hari ini, alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT. Semua ini tidak lepas dari campur tangan-Nya. 

"Alhamdulillah, Mbak, untuk hasil hari ini. Oiya ... Besok juragan cabe tidak bisa kirim, bagaimana dengan pelanggan kita, ya? Dia bilang lusa baru bisa kirim karena sedang berduka katanya," ucapku kepada mbak Wati yang masih sibuk membersihkan toko dari daun yang berserak. 

"Besok permintaan hanya sekitar satu setengah kwintal, aku usahakan untuk mencari di pasar saja, mbak Yun. Biar para pelanggan tidak kecewa dan berpindah tempat," jawabnya.

Aku mengangguk mengiyakan ucapannya. Sembari memisahkan modal dan laba, aku sedikit heran. Harusnya laba lebih dari ini, tetapi kenapa seperti berkurang lima persen?

"Mbak, Desti mana?" tanyaku.

"Izin pulang awal, Mbak. Katanya mau mengantar ibunya ke dokter. Kenapa, Mbak?" 

"Sini, Mbak," panggilku kepada mbak Wati agar segera mendekat. 

"Kenapa?" 

"Mbak, seharusnya laba hari ini sudah di potong modal lebih dari itu, tapi aku hitung nggak nyampe segitu, seperti berkurang sekitar lima persen?" tanyaku keheranan.

"Apa jangan-jangan Desti berulah?" 

"Jangan menuduh tanpa bukti jatuhnya fitnah, ngeri lo!" Aku tidak ingin menuduh orang sembarangan. 

Aku dan mbak Wati menyelesaikan bersih-bersih, tokoku hanya beroperasi dari pagi pukul enam sampai empat sore, jadi sebelum aku pulang, toko sudah harus dalam keadaan bersih. Kami berdua bergotong royong untuk melakukannya, begitu juga biasanya kalau Desti belum pulang. 

Saat sedang mengeluarkan sampah plastik dan tali, tiba-tiba saja aku di kejutkan dengan suara yang sangat tidak asing. 

"Oh ... Ini ternyata kerjanya? Cocok buat orang kampung! Ih ... Menjijikan!" Suara Meri begitu keras. 

"Yang penting halal!" sahutku. 

"Iya memang cocok jadi kuli panggul! Gaji nggak seberapa saja bela gu!"

"Siapa yang kuli? Dia bukan kuli! Dia itu pemilik semua ini!" 

Yaa Allah, Mbak Wati!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Masa Lalu Yuni

    "Jadi ini rumah kamu sekarang?" Aku menghentikan langkah setelah mendengar pertanyaan barusan. Benar, itu adalah mama, mertua yang sangat baik yang pernah aku temui. Aku menghambur kepelukannya. Mama pun membalas pelukanku. Ada rindu yang tidak bisa di jelaskan, semenjak aku bertemu dengannya, duniaku berbeda, aku tidak lagi merasa kesepian, dia adalah penganti simbok yang sudah tiada. "Kamu sehat, Mar?" tanya mama mengurai pelukan. Aku hanya mengangguk, rasa rindu itu membuatku menitihkan air mata karena indahnya berjumpa. "Sehat, Ma. Mama kesini sama siapa? Kenapa nggak ngabari dulu?" tanyaku memberondong mama dengan banyak pertanyaan. Kuajak beliau masuk ke dalam rumah, para ibu-ibu yang masih rewang menyalami mama satu persatu menanyakan kabar beliau, bapak pun ikut senang mendapat kunjungan dari besan yang sebentar lagi akan menjadi mantan besan, setelah bertanya kabar bapak pamit menemui para tetangga. Lalu, kami pergi ke lantai dua tepatnya kamarku untuk beristirahat. "

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Hadiah Dari Bapak

    "Tapi sayang suaminya di rebut orang! Mending aku suamiku jelek tapi sayang. Dari pada punya suami ganteng doyan selingkuh!" sindirnya. Semua terperangah dengan ucapan itu, termasuk aku. "Jangan sembarangan, Mbak! Mungkin ada alasan lain yang mbak nggak tau!" sela ketua senam. "Iya, suami ibu jelek dan nggak suka selingkuh, tapi ibu sendiri yang selingkuh!" bentak ibu-ibu yang berada tepat di sampingku. Semua orang lebih kaget dengan ucapan barusan, begitu juga denganku yang tentu tidak kalah kagetnya. Terlihat jelas wajahnya merah padam menahan amarah, apa ucapan ibu ini benar sehingga dia terlihat malu dan raut wajah memerah seperti kepiting rebus? "Itu, bukan urusan kalian!" bentaknya tidak terima. "Lalu apa itu urusanmu ketika suamiku selingkuh? Maling teriak maling! Apa nggak malu jika kelakuan ibu sendiri yang suka selingkuh!" bentakku tersulut emosi. Berulang kali kucoba untuk menenangkan hati dan juga pikiran, imbasnya parah kalau sampai emosiku meluap-luap bisa jadi i

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Wanita tidak tahu malu

    "Yuni, aku kesini mau minta biaya rumah sakit untuk mas Anjar!" teriaknya tidak tahu malu.Dari mana perempuan ini tahu kalau aku berada di sini?"Ha!" Suara kami berempat hampir bersamaan. "Kenapa malah bengong? Sudah sini uangnya?" pintanya semakin kasar. Yaa Allah, kenapa Engkau pertemukan hamba dengan orang-orang seperti mereka? Hamba lelah Yaa Allah. Kuhembuskan napas kesal, jujur ingin rasanya menampar mu lut itu. Dia pikir aku ini mesin ATM yang sewaktu-waktu butuh tinggal ambil? Dasar E dan!"Saya tidak pernah di kasih uang sama calon suami, Anda, jadi jangan minta kepada saya. Karena Anda yang selalu di beri uang dan apa saja yang Anda butuhkan selalu di turuti, kenapa nggak Anda sendiri yang membayarnya? Apa Anda terlalu miskin?" ejekku.Wajah santi merah padam, mendengar omonganku. Aku sengaja membuatnya marah dan meninggalkan tempat ini. "Heh! Dasar perempuan udik! Nggak tahu diri! Seharusnya kamu itu sadar diri kenapa sampai Anjar tidak mau sama kamu? Lihat wajahmu

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Kecelakan Anjar

    "Permisi, apa benar ini toko Ibu Anjar?" tanya seorang berseragam kepolisian."Benar, ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya bapak sembari berjalan mendekati lelaki berseragam dinas tersebut. "Pak Anjar mengalami kecelakan sekarang sudah di bawa ke rumah sakit, mohon untuk segera datang ke sana," tambahnya."Baik, Pak. Kami akan segera datang," jawab bapak mewakili. Aku hanya terdiam, bukan aku tidak khawatir dengan keadaan mas Anjar sekarang, tetapi kenapa polisi ini bisa tahu kalau aku istrinya mas Anjar? "Kalau begitu kami permisi," pamitnya undur diri. "Silahkan, Pak." Bapak menatapku sebentar, kemudian membuang napas kesal. Aku tahu perasaan bapak saat ini, mungkin heran kenapa mas Anjar bisa kecelakaan di daerah sini. Bukankah jarak antara rumah dan tempat ini lumayan jauh? Entahlah aku tidak ingin menduga-duga. "Sebaiknya kamu segera datang, Yun. Tunjukkan bahwa kamu bukan wanita biasa. Tapi bapak sarankan agar kamu hati-hati dalam bersikap, terlebih Anjar sudah tahu kalau

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Keputusan bapak

    "Tidak berlagak, untuk membayar barang belanjaan wanita di sampingmu itu saja dia mampu!" tantangnya. Yaa Allah, dia datang. Lelaki cinta pertamaku itu sedikit menegang urat lehernya, setahu dia aku selalu baik-baik saja dengan pernikahan ini, nyatanya di depan mata kepalanya sendiri anak gadis yang sangat istimewa untuknya di permalukan. "Bapak!" Suaraku dan mas Anjar hampir bersamaan. "Siapa lelaki tua itu, Mas?" Gun dik mas Anjar terlihat tidak suka dengan kedatangan bapak. Sebab dia tidak tahu kalau mas Anjar begitu hormat dengan beliau, entah kalau sekarang. "Saya mertua lelaki yang saat ini sedang berada di samping mu!" Bapak menekan suaranya.Tidak ada takut-takutnya perempuan itu, aku lihat dia justru tersenyum sinis. "Anjar, apa yang sedang kau lakukan dengannya? Kenapa kau membiarkan istrimu persegi seorang diri? Di mana tanggung jawabmu?" tanya bapak menelisik.Aku tidak bergeming, tetap berdiri di depan kasir di sebelah gun dik dan suamiku. Kubiarkan bapak mengeluar

  • MARYUNI (Dari Kampung Dikira Miskin)   Tak tau diri

    "Ternyata ini alasan kamu ingin meninggalkan Aku!" Yaa Allah, kenapa dia harus datang di waktu yang tidak tepat. Dengan sigap aku segera melepaskan pegangan dari lelaki itu. "Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Mas. Dia menolongku," jelasku. Jujur, ada perasaan khawatir, takut dia mempermalukan aku. "Tidak bagaiamana? Jelas-jelas kalian sedang pegangan tangan di tempat begini. Di sini nggak semua orang lihat, lo. Jadi, mau berkilah yang bagaiamana?" Mas Anjar memojokkan aku, aku tidak tahu lagi mau berbuat apa. Aku takut jika orang lain datang, orang pasar banyak yang mengenalku. Mereka banyak tahu tentang aku, takutnya mereka akan memberitahukan siapa aku sebenarnya."Maaf, Bung! Apa nggak sebaiknya masalah rumah tangga di selesaikan di rumah. Ini tempat umum, seharusnya Anda punya etika," sela lelaki yang sedang berdiri tegak di sampingku. "Ini bukan urusanmu! Apa sejak dia mengenalmu dia rela merubah penampilan? Demi apa aku sangat menyayangimu, Dek. Tidak perlu kamu harus

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status