"Jadi ini rumah kamu sekarang?" Aku menghentikan langkah setelah mendengar pertanyaan barusan. Benar, itu adalah mama, mertua yang sangat baik yang pernah aku temui. Aku menghambur kepelukannya. Mama pun membalas pelukanku. Ada rindu yang tidak bisa di jelaskan, semenjak aku bertemu dengannya, duniaku berbeda, aku tidak lagi merasa kesepian, dia adalah penganti simbok yang sudah tiada. "Kamu sehat, Mar?" tanya mama mengurai pelukan. Aku hanya mengangguk, rasa rindu itu membuatku menitihkan air mata karena indahnya berjumpa. "Sehat, Ma. Mama kesini sama siapa? Kenapa nggak ngabari dulu?" tanyaku memberondong mama dengan banyak pertanyaan. Kuajak beliau masuk ke dalam rumah, para ibu-ibu yang masih rewang menyalami mama satu persatu menanyakan kabar beliau, bapak pun ikut senang mendapat kunjungan dari besan yang sebentar lagi akan menjadi mantan besan, setelah bertanya kabar bapak pamit menemui para tetangga. Lalu, kami pergi ke lantai dua tepatnya kamarku untuk beristirahat. "
"Tapi sayang suaminya di rebut orang! Mending aku suamiku jelek tapi sayang. Dari pada punya suami ganteng doyan selingkuh!" sindirnya. Semua terperangah dengan ucapan itu, termasuk aku. "Jangan sembarangan, Mbak! Mungkin ada alasan lain yang mbak nggak tau!" sela ketua senam. "Iya, suami ibu jelek dan nggak suka selingkuh, tapi ibu sendiri yang selingkuh!" bentak ibu-ibu yang berada tepat di sampingku. Semua orang lebih kaget dengan ucapan barusan, begitu juga denganku yang tentu tidak kalah kagetnya. Terlihat jelas wajahnya merah padam menahan amarah, apa ucapan ibu ini benar sehingga dia terlihat malu dan raut wajah memerah seperti kepiting rebus? "Itu, bukan urusan kalian!" bentaknya tidak terima. "Lalu apa itu urusanmu ketika suamiku selingkuh? Maling teriak maling! Apa nggak malu jika kelakuan ibu sendiri yang suka selingkuh!" bentakku tersulut emosi. Berulang kali kucoba untuk menenangkan hati dan juga pikiran, imbasnya parah kalau sampai emosiku meluap-luap bisa jadi i
"Yuni, aku kesini mau minta biaya rumah sakit untuk mas Anjar!" teriaknya tidak tahu malu.Dari mana perempuan ini tahu kalau aku berada di sini?"Ha!" Suara kami berempat hampir bersamaan. "Kenapa malah bengong? Sudah sini uangnya?" pintanya semakin kasar. Yaa Allah, kenapa Engkau pertemukan hamba dengan orang-orang seperti mereka? Hamba lelah Yaa Allah. Kuhembuskan napas kesal, jujur ingin rasanya menampar mu lut itu. Dia pikir aku ini mesin ATM yang sewaktu-waktu butuh tinggal ambil? Dasar E dan!"Saya tidak pernah di kasih uang sama calon suami, Anda, jadi jangan minta kepada saya. Karena Anda yang selalu di beri uang dan apa saja yang Anda butuhkan selalu di turuti, kenapa nggak Anda sendiri yang membayarnya? Apa Anda terlalu miskin?" ejekku.Wajah santi merah padam, mendengar omonganku. Aku sengaja membuatnya marah dan meninggalkan tempat ini. "Heh! Dasar perempuan udik! Nggak tahu diri! Seharusnya kamu itu sadar diri kenapa sampai Anjar tidak mau sama kamu? Lihat wajahmu
"Permisi, apa benar ini toko Ibu Anjar?" tanya seorang berseragam kepolisian."Benar, ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya bapak sembari berjalan mendekati lelaki berseragam dinas tersebut. "Pak Anjar mengalami kecelakan sekarang sudah di bawa ke rumah sakit, mohon untuk segera datang ke sana," tambahnya."Baik, Pak. Kami akan segera datang," jawab bapak mewakili. Aku hanya terdiam, bukan aku tidak khawatir dengan keadaan mas Anjar sekarang, tetapi kenapa polisi ini bisa tahu kalau aku istrinya mas Anjar? "Kalau begitu kami permisi," pamitnya undur diri. "Silahkan, Pak." Bapak menatapku sebentar, kemudian membuang napas kesal. Aku tahu perasaan bapak saat ini, mungkin heran kenapa mas Anjar bisa kecelakaan di daerah sini. Bukankah jarak antara rumah dan tempat ini lumayan jauh? Entahlah aku tidak ingin menduga-duga. "Sebaiknya kamu segera datang, Yun. Tunjukkan bahwa kamu bukan wanita biasa. Tapi bapak sarankan agar kamu hati-hati dalam bersikap, terlebih Anjar sudah tahu kalau
"Tidak berlagak, untuk membayar barang belanjaan wanita di sampingmu itu saja dia mampu!" tantangnya. Yaa Allah, dia datang. Lelaki cinta pertamaku itu sedikit menegang urat lehernya, setahu dia aku selalu baik-baik saja dengan pernikahan ini, nyatanya di depan mata kepalanya sendiri anak gadis yang sangat istimewa untuknya di permalukan. "Bapak!" Suaraku dan mas Anjar hampir bersamaan. "Siapa lelaki tua itu, Mas?" Gun dik mas Anjar terlihat tidak suka dengan kedatangan bapak. Sebab dia tidak tahu kalau mas Anjar begitu hormat dengan beliau, entah kalau sekarang. "Saya mertua lelaki yang saat ini sedang berada di samping mu!" Bapak menekan suaranya.Tidak ada takut-takutnya perempuan itu, aku lihat dia justru tersenyum sinis. "Anjar, apa yang sedang kau lakukan dengannya? Kenapa kau membiarkan istrimu persegi seorang diri? Di mana tanggung jawabmu?" tanya bapak menelisik.Aku tidak bergeming, tetap berdiri di depan kasir di sebelah gun dik dan suamiku. Kubiarkan bapak mengeluar
"Ternyata ini alasan kamu ingin meninggalkan Aku!" Yaa Allah, kenapa dia harus datang di waktu yang tidak tepat. Dengan sigap aku segera melepaskan pegangan dari lelaki itu. "Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Mas. Dia menolongku," jelasku. Jujur, ada perasaan khawatir, takut dia mempermalukan aku. "Tidak bagaiamana? Jelas-jelas kalian sedang pegangan tangan di tempat begini. Di sini nggak semua orang lihat, lo. Jadi, mau berkilah yang bagaiamana?" Mas Anjar memojokkan aku, aku tidak tahu lagi mau berbuat apa. Aku takut jika orang lain datang, orang pasar banyak yang mengenalku. Mereka banyak tahu tentang aku, takutnya mereka akan memberitahukan siapa aku sebenarnya."Maaf, Bung! Apa nggak sebaiknya masalah rumah tangga di selesaikan di rumah. Ini tempat umum, seharusnya Anda punya etika," sela lelaki yang sedang berdiri tegak di sampingku. "Ini bukan urusanmu! Apa sejak dia mengenalmu dia rela merubah penampilan? Demi apa aku sangat menyayangimu, Dek. Tidak perlu kamu harus