Share

BELANJA BULANAN

"Siapa bilang, Mbak?" tanya mbak Wati kebingungan. 

"Teman kamu ini," ucapku menunjuk wanita yang kutahu bernama Desti tersebut. 

"Jangan menuduh, Mbak!" sentaknya. 

"Oh, ya! Lalu tadi siapa yang menjual brokoli seharga dua puluh lima ribu kepadaku tadi? Bukankah kamu yang melayaniku?" 

"Mbak itu siapa berani-beraninya memfitnah saya!" bentaknya tidak terima. 

"Wow! Ternyata ini karyawan baru yang beberapa hari yang lalu nangis-nangis minta di beri pekerjaan?" Suaraku tidak kalah lantang. 

Dia pikir aku akan takut dengan gertakkannya. 

Keributan kami mengundang para pengunjung pasar pagi itu penasaran. Akan tetapi, aku tidak peduli. Toh, orang ini sudah berbuat curang di tokoku. 

"Desti! Jangan kurang ajar kamu! Mulai sekarang kamu berhenti dari sini!" usir mbak Wati. 

"Mbak percaya sama dia! Tolong mbak jangan mudah percaya! Aku butuh pekerjaan ini," rengeknya seolah dia orang yang terdzolimi. 

"Iya, aku lebih percaya pada bos pemilik toko ini, di bandingkan dengan kamu. Orang yang tidak tau terimakasih!" 

"A ... Apa dia bos?" Desti tergagap dengan ucapan mbak Wati barusan. 

"Iya, saya pemilik toko sayur ini! Saya tidak suka dengan pekerja yang semena-mena dan berlaku curang dalam penjualan. Apa gaji yang kamu terima nggak layak, sehingga harus mencari keuntungan sendiri melalui daganganku?" 

Ya ampun, jelas dia tidak akan percaya dengan penampilanku yang amburadul seperti ini. 

"Maafkan saya, Mbak. Saya minta kesempatan sekali lagi. Ibu saya sedang sakit dan butuh penanganan segera." Wajahnya terlihat murung dan air mata menganak sungai di pipinya. 

Aku melunak mendengar penjelasannya.  Andai Simbok masih ada, apa saja pasti akan aku lakukan untuknya. Aku merasa berada di posisi Desti saat ini. 

"Ya Allah," ucapku pelan sembari mengelus dada yang terasa sesak. 

Para pelanggan setiaku sudah datang, jadi aku harus menghentikan perdebatan ini. Desti dengan cekatan membantu mbak Wati yang kewalahan. Di jam-jam seperti ini para pelanggan akan datang untuk mengambil sayuran yang sebelumnya sudah mereka pesan melalui pesan Whatssap. 

Hati kecil ini iba dengan keadaan yang di ceritakan oleh Desti, tetapi sisi lain kesal terhadap sikapnya yang keterlaluan.

Mungkin untuk beberapa hari aku akan membiarkannya bekerja di sini dulu. Akan tetapi, jika perangainya tidak berubah, terpaksa aku akan mengeluarkannya.

+++

Pukul empat sore aku sudah selesai berkemas untuk pulang. Masalah keuangan nanti pasti mbak Wati akan memberi kabar. 

Ponselku tidak berhenti berbunyi setelah kunyalakan mode data on. Ternyata mas Anjar yang memintaku untuk segera pulang. 

"Ada apa lagi dengan mereka?" gumamku pelan. 

Setelah aku berpamitan dengan mbak Wati, aku berjalan menuju pangkalan ojek. 

Perkerjaan yang cukup melelahkan untuk hari ini. Para pelanggan baru yang meminta di layani terlebih dulu dan tidak ingin mau mengalah menambah lelah yang sedari pagi kutahan. 

"Assalamualaikum," sapaku setelah memasuki rumah. 

"Waalaikumsalam. Kok, nggak bawa makanan, Dek? Biasanya kan kalau kamu keluar pasti bawa makanan?" tanya mas Anjar menyambut kepulanganku.

Baru saja merasa lega dan ingin segera menuju kamar mandi untuk menguyur tubuh lelah ini dengan air dingin, sudah di cerca dengan pertanyaan konyol dari suami pelitku.

"Aku kan baru pertama kali kerja, Mas. Ya, belum gajian," sanggahku. 

"Oiya ... Kan cuma jadi kuli," ejek Meri yang masih asik dengan hape di tangannya.

"Jelas, yang penting bukan pengangguran," sindirku, lalu bergegas pergi meninggalkan mereka. 

"Dek, tunggu dulu. Tadi belanja cuma segitu kenapa banyak sekali uang yang harus aku keluarkan?" tanya  Mas Anjar yang membuatku mengurungkan langkah. 

Mas Anjar berjalan menuju dapur dan aku mengekornya. Aku ingin melihat bagaimana reaksinya setelah tahu bahwa belanja sebulan dengan uang yang dia berikan tidak pernah cukup di jaman sekarang. 

"Lihat, ini saja aku belum beli semua," ungkapnya sembari mengangsurkan selembar nota bukti pembayaran. 

Kubaca dengan seksama tulisan-tulisan itu. Bahkan ada beberapa bahan pokok yang tidak terbeli.

"Yaa Allah. Kenapa beli beras yang ini. ini harganya mahal, kalau buat beli yang biasa sudah dapat dua puluh lima kilo! Ini kenapa ada skincare M* G**w. Harganya tiga ratus lima puluh keatas?" tunjukku kesal. 

"Itu tadi Meri yang minta. Katanya harganya cuma tiga puluh lima doang," kilahnya. 

"Baca saja notanya, aku tidak mah tahu. Yang penting urusan kebutuhan rumah selama sebulan itu tanggung jawabmu!" geram rasanya dengan kelakuannya. 

Adik dan kakak sama saja!

Aku tinggalkan mas Anjar yang sedang memarahi adiknya. Gemas rasanya, Meri juga keterlaluan membodohi kakaknya sendiri. 

Membasuh tubuh  yang lengket dengan keringat ini, dengan air dingin rasanya membuat sedikit kepenatan yang aku rasakan memudar. Ingin segera merebahkan tubuh lelah ini. 

+++

"Kenapa kamu nggak kerja kalau pengen bisa beli skincare dengan harga segitu? Bagi orang yang sudah berkeluarga, uang segitu cukup untuk penghidupan beberapa hari kedepan!" Suara mama pelan tapi penuh penekanan. 

"Mama tau kan aku nggak bisa kerja sembarangan? Papa yang melarang aku melakukannya," sanggah Meri tetap kukuh dengan pendiriannya. 

"Itu dulu waktu papamu masih ada, seharusnya sekarang kamu busa berpikir jangan mau enaknya terus tanpa mau berjuang! Sudah sana beresin kamar kamu!" 

"Semenjak perempuan kampungan itu dateng kesini, mama jadi berubah!" bentak Meri sambil berlalu.

Sukurin! 

Hidup itu nggak selamanya enak, harus nyobain juga yang nggak enak biar kayak permen nano-nano.

Ramai rasanya!

Suasana pagi yang seharusnya sejuk harus sedikit memanas oleh pertengkaran anak dan ibu. Aku memilih pura-pura tidak tahu dengan kejadian barusan. 

"Ma, Yuni berangkat dulu, ya," pamitku kepada mama yang masih sibuk dengan menyiram tanaman kesayangannya. 

"Hati-hati, ya." 

Setelah menutup gerbang dan bersiap untuk membuka aplikasi Go Car, tiba-tiba saja ada orang yang menyiramkan air ke arahku dengan sengaja. 

"Sial!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status