"Sukses itu tak datang dengan sendirinya , butuh perjuangan untuk bisa meraihnya. "
****
Kicau burung ramai terdengar dari pohon randu yang sedang berbuah lebat. Buahnya yang pecah karena sudah tua menghamburkan isi yang berupa kapuk terbang kemana-mana bersama angin pagi hari awal Januari.
Sang fajar belum tampak sempurna keluar dari peraduannya. Namun aktifitas di kampung Biluh sebuah kampung di pinggir kota Surabaya sudah tampak bergarak. Berbagai aktifitas pagi pun mulai terlihat, begitu dinamis, begitu aktif penuh semangat. Walau kondisi ekonomi sedang mengalami masa susah tapi warga kampung tetap berusaha untuk tidak terlalu berkeluh kesah.
Bahkan aktifitas warga ini sudah dimulai saat imam sholat subuh baru selesai membaca dzikir juga doa memohon ampunan dan kemurahan rezeki, suasana kampung sudah mulai ramai.
Warga yang berprofesi sebagai pedagang sayur sudah mulai menjajakan dagangannya. Ada yang berkeliling kampung menggunakan sepeda motor atau kendaraan roda tiga seperti tossa . Ada juga yang menggelar dagangannya di pos yandu juga di teras rumah. Yang berseragam coklat dan batik kopri motif khusus bagi aparatur sipil negara pun sudah mulai bersiap menuju tempat dimana mereka ditugaskan.
Ibu-ibu berdaster pun mulai dengan aksinya. Ada yang asik mengobrol sambil berpikir masak apa hari ini. Ada pengantin baru yang mengantar sang suami bekerja hingga depan pagar rumah. Ibu-ibu dengan banyak anak sibuk mengabsen anaknya satu persatu agar tidak ada yang terlewat mendapat jatah uang saku.
Semua bersemangat semua ceria. Walau kepala serasa mau pecah memikirkan biaya. Ketika ember berisi beras semakin menyusut tingginya. Gula di toples kaca pun sudah di rebut semut hitam yang bergotong royong memindahkan gula dari toples ke sarang mereka. Teh celup yang sudah tak merah lagi karena dipakai berulang-ulang. Kopi pahit karena gulanya dibawa lari semut.
Semua hal pokok itu seperti tak lagi terpikirkan karena sudah jenuh memikirkannya. Bukan sudah tak ingin makan tapi bingung dengan, apa yang mau dimakan.Di salah satu warung sayur dan pelengkapnya milik wanita paruh baya yang biasa dipanggil mbok Asih. Tampak banyak wanita mengenakan seragam harian rumah sedang berkumpul.
Mereka mengintrogasi petugas pencacah lapangan dari salah satu badan survei milik negara tentang bantuan sosial yang tak kunjung datang.Perhatian mereka teralihkan saat terdengar suara klakson motor dengan jarak yang sangat dekat.
Tampak pria tampan berwajah oriental dengan kulitnya yang putih membagi senyum cerianya ke gerobolan wanita yang langsung mengerebutinnya.
"Wehh ... masih pagi warungnya simbok sudah ramai saja . Ada apa sih ?"tanya pria itu setelah turun dari motornya.
Pada boncengan motornya terlihat dua keranjang yang di ikat pada sisi kiri dan kanan motor, diatas boncengan juga ada keranjang berukuran lebih kecil.
"Loh, gimana toh. Biasanya, mas Faimo yang paling duluan punya info bagus." Seorang ibu beranjak kesepeda motor pria berwajah oriental bernama Faimo itu.
"Kalau berita artis atau pejabat saya ndak pernah update, bu. Tapi kalau gosip tentang kacang kedelai saya selalu update." Faimo menjawab disertai tawa kecil di bibirnya.
Faimo lalu mengeluarkan tas plastik dari dalam salah satu keranjang yang menempel di motornya. Berjalan melewati wanita-wanita yang memandangnya penuh arti.
Ada yang mengagumi paras Faimo yang tampan, ada pula yang terpesona dengan bentuk tubuh Faimo yang tak pernah absen berolahraga membentuk otot tubuh. Namun ada pula yang mencibir karena profesi pria itu yang hanya sebagai penjual tempe keliling."Berapa tempenya, le.""Ini saya nitip 50 bungkus ya, mbok."
"Campur atau tidak." "Campur mbok. Ada tempe kedelai 30 bungkus , tempe koro benguk sama oncom masing-masing sepuluh." Faimo menghitung sembari meletakkan dagangannya di meja . "Oh ya ... ini saya nitip tempe pesanan bu Endang . Beliau pesen di suruh titip diwarungnya simbok dulu, karena bu Endang mau kesekolah anaknya .""Oh ya ... taruh disitu saja. Sudah dibayar toh."
"Sudah , mbok."
"Mas Faimo. Kapan bagi-bagi undangan nikah?" Seorang wanita dengan daster panjang begitu juga dengan khimarnya bertanya sembari mengambil lima bungkus tempe dari dalam keranjang di motor Faimo.
"Belum ada jodohnya, bu. Hanya penjual tempe siapa yang mau ngelirik,"sahut Faimosembari meladeni pembeli lainnya.
"Iya ya. Saya lihat anak sekarang itu kok terlalu matrialistis. Seperti ponakan saya, hanya mau dijemput kalau cowoknya pakai mobil bagus. Tapi maklum sih, ponakan saya itu selain cantik juga lulusan luar negeri dan sekarang bekerja di kantoran bagian marketing yang tugasnya langsung dilapangan."
"Siapa bu Rahmi ?"Pembeli lainnya bertanya sembari ikut membeli tempe dagangan Faimo.
"Nurlena, jeng."
"Memang Nurlena, kuliah luar negerinya dimana, bu?Malaysia, Kairo atau London?" Yang lain ikut penasaran dengan si cantik ponakan bu Rahmi yang memiliki ukuran tubuh 5 L ini.
Tampak bu Rahmi sedang berpikir mencoba mengingat-ingat sesuatu. "Kalau tidak salah, Nur kuliahnya di Singaparna."
Faimo tersedak salivanya sendiri mendengar jawaban bu Rahmi yang sangat penuh percaya diri.
"Singaparna, itu dimana? kok saya baru dengar."
"Singaparna itu sebelah mananya Singapura?"
"Singaparna itu kan di Jawa Barat, bude!memang ada kampus ya, disana?"
"Mas Faimo, tahu ?"
Faimo yang hanya senyum mendengar obroal pagi itu, sedikit terkejut saat seorang ibu menepuk lengannya."Tahu apa, bu? saya ndak jual tahu, cuman jual tempe saja."
Si ibu malah jadi gemas dan kembali memukul lengan Faimo, kali ini lebih keras. "Yang tanya mas Faimo jualan tahu, ya siapa? yang sedang kita bahas ini kampus di Singaparna itu ada atau tidak.'
Faimo mengelus lengannya yang terasa sakit akibat tonjokan keras si ibu yang mungkin saat mudanya pernah sekolah di STM yang identik dengan kerja keras dan tawuran.
"Setahu saya, Singaparna itu nama salah satu kecamatan di kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat, bu." Perempuan dengan seragam biru abu-abu yang menjawab rasa penasaran para ibu yang sedang hangout di warung mbok Asih.
"Lah, ini mbaknya kok tahu. Memang kuliah disana juga?"
Si mbak berwajah manis itu nyengir mendapat pertanyaan dari si ibu yang masih pagi sudah membuat alisnya mirif Sin Chan." Di Singaparna itu tidak ada kampus bu."
"Mungkin maksud bu Rahma, bukan kampus Singaparna tapi Kampus Singaperbangsa, dan itu letaknya di Karawang." Faimo mencoba melerai perdebatan. Karena kalau sampai panjang, maka panjang juga urusannya. Dirinya kan terlambat mengantar tempe pesanan pelanggan karena motornya terhalang dengan kerumunan ibu-ibu berseragam daster.
"Mas Faimo memang cerdas." Puji seorang ibu. Senyum ibu itu tampak cerah dan berkilau karena ada sebuah gigi emas ikut baris dideretan giginya.
"Mas Faimo sendiri, kuliah dimana?"
"Walah ... saya hanya bakul tempe, bu. Ndak bisa sekolah tinggi-tinggi. Lagi pula saya termasuk orang yang takut ketinggian."
Si ibu malah bengong mendengar jawaban Faimo. Sementara Faimo sudah bersiap untuk meninggalkan kumpulan anggota sidang parlemen itu.
"Terus, mas Faimo sekolahnya dimana?"
"Saya cuman lulusan sekolah rakyat, bu. SR."
"SR? itu kan sekolah jaman Belanda menjajah Indonesia, memangnya usia mas Faimo berapa sih?"
"Ndak banyak kok, bu. Baru juga 30 tahun, itu juga masih bisa nego." Faimo segera menstater motornya, untuk bersiap menjemput rezeki.
"Loh mas Faimo mau kemana, saya mau minta data sampeyan,"panggil perempuan berseragan biru abu-abu.
"Data untuk apa mbak? Kalau bansos saya mau."
"Bukan mas, ini pemutakhiran data untuk sensus penduduk dan pemilu."
"Saya ndak pernah, nyoblos di pemilu, mbak! calonnya ndak ada yang sesuai dengan kriteria saya. Saya nyoblosnya nanti saja, saat sudah punya istri ."
"Woo ... cindo geblek,"omel si mbak manis sementara Faimo sudah menjalankan motornya denga perlahan.
Tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil nama Faimo, membuat Faimo menghentikan motornya sejenak untuk melihat siapa yang memanggilnya.
"Kamu kemana, sih!main pergi saja." Seorang wanita dengan rok mini dan make up yang hampir pudar di wajah lelahnya tampak turun dari boncengan motor abang tampan berjaket hijau.
"Eh, mbak Selly. Saya mau ngider, mbak."
"Iya, saya tahu. Ndak perlu kamu kasih pengumuman lagi." Balas Selly dengan wajah juteknya. "Saya cuman mau bilang, besok tempe saya satu, ya."
Faimo jelas melongo mendengar perkataan mbak Selly. Otaknya mendadak mandek. Ekspresi dungu yang Faimo tampilkan jelas membuat Selly kesal.
"Kok malah begong. Besok itu saya pesen tempe yang bungkus daun yang ukuran besar satu."
Faimo mendadak meringis sembari menggaruk tengkuknya,"Oh, mbak Selly mau pesen tempe."
"Iya, saya mau pesen tempe buatan kamu. Memang kamu mikirnya, apa?"
"Ndak mikir apa-apa, mbak. Saya kan masih polos." Faimo meringis bingung mau menjawab apa. Gara telinganya sedang tidak konsen sehingga salah menyampaikan ke otak pelafalan kata tempe yang bila salah memiliki arti yang hanya diketahui mereka yang sudah berusia 21 tahun keatas.
"Polos apanya, wajahmu saja yang polos tapi tidak sama otakmu. Makanya cepet nikah biar ndak ngeres pikirannya."
Kembali Faimo meringis, semua orang di kampung Biluh tahu. Apa profesi wanita berwajah manis dan bertubuh sintal bernama Selly ini. "Ndak mbak . Tadi saya anu ...."
"Anu ... anu ! sudah sana, ndang pergi jemput rezeki. Biar uangnya bisa buat modal lamaran. Jangan seperti dulu lagi ."
"Iya mbak. Saya pergi dulu."
"Iyo. Inget besok jangan lupa tempeku satu."
"Iya mbak! ndak usah dipertegas gitu. Semua juga tahu kalau tempenya mbak cuman satu." Faimo segera menjalankan motornya sebelum sepatu dengan hak runcing milik Selly mampir dikepalanya.
Begitulah kampung dimana seorang pria tampan bernama Faimo tinggal. Berbaur denngan warga kelas menegah kebawah yang penuh keramahan dan sangat bersahaja.
"Kamu mungkin tidak bisa menyiram bunga yang sudah layu dan berharap ia akan mekar kembali, tapi kamu bisa menananm bunga yang baru dengan harapan yang lebih baik dari sebelumnya."_____________________________________________________________________________ Tak banyak yang mengenal lebih jauh sosok pria yang setiap pagi akan datang dengan sepeda motor dengan keranjang disisi kiri, kanan dan boncengannya. Pria yang selalu menebarkan aura optimis yang sangat luar biasa dimana pun dia berada. Pria pemilik nama asli Wei Fengying tapi lebih dikenal dengan panggilan Faimo. Berusia 30 tahun ,berdarah China Jawa dari ayah dan ibunya. Lulusan Universitas Ghuangzou, China dan berhasil mengantongi ijazah S1 pertanian dan S2 management pemasaran yang dijadikan modal dalam membiayai hidupnya. Dikaruniai wajah yang tidak terlalu buruk juga tidak terlalu rupawan. Namun pria itu mampu membuat p
"Masa lalu bagai sebuah lembaran dari sebuah buku, dia hanya bisa dibaca kembali tapi tak bisa tuk mengulang tentang apa yang sudah terjadi."_____________________________________________________________________Fai Mo POV Aku Faimo, atau nama asliku pemberian kakek adalah Wei Fangying yang memiliki arti cerdasm hangat dan menyenangkan. Sementara nama Wei memiliki arti cerdas atau cerdik. Wei adalah nama keluarga. Kakekku Wei Jun adalah seorang yang gigih dalam membangun masa depannya. Kakek dikenal sebagai seorang dengan keuletan dan rasa optimis yang tinggi. Kakek memulai bisnis property dan retail miliknya mulai dari nol. Mulai dari tak memiliki apa selain semangat dan kemauan hingga sekarang sudah bisa memiliki apa yang di inginkan. Sepanjang usiaku, aku lebih banyak di asuh oleh kakek dari pada kedua orangtuaku sendiri. Karena aku adalah cucu laki-laki perta
"Dendam yang kau pelihara hanya akan mengerogoti akal sehatmu untuk tetap berpikir waras."__________________________________________________________________________Wei Fangying menatap wajah wanita paruh baya didepannya. Wajah yang masih tetap cantik di usianya yang menginjak 48 tahun. Dia adalah Tong Yuan, ibu kandung dari Wei Fangying. Tong Yuan adalah putri satu-satunya dari seorang Taipan yang sangat terkenal di Ghuangzhou dengan banyaknya proyek hunian yang ditanganinya. Tong Mian Zhu adalah ayah atau kakek Wei Fang ying.Tatapan pemuda itu menyiratkan kekecewaan juga kesedihan yang teramat dalam. Setelah mendengarkan hasil akhir investigasi atas kecelakaan mobil yang dialami ayahnya. Wei Fangying meminta izin pada kakeknya untuk menemui ibu dan pamannya untuk mengklarifikasi semua yang dia dengar."Kenapa mama memiliki pemikiran buruk seperti itu?Apakah cinta dihati mama tak bisa mengalahkan kebenc
"Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Bisa jadi kamu rasakan semenit, sejam, sehari , atau setahun . Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya." Lance Amstrong.____________________________________________________________________________Wei Fangying menatap negara Tiongkok yang semakin kecil dari ketinggian, airmata pun menetes di ujung matanya saat bayangan akan kenangan masa kecil bermain di pelupuk matanya. Masih sangat jelas dalam ingatannya, bagaimana kakek Wei menghapus diam-diam airmata yang jatuh di pipi tuanya saat dirinya meminta restu untuk hidup sendiri.Masih didengarnya suara tangis adik perempuannya Nuan Nuan yang tak rela ditinggalkan. Begitu juga tatapan sedih dan kecewa di mata adik lelakinya Wei Ju Long yangsempat berbisik akan mencari dan menyusul dirinya dimana pun berada. Tangis kehilangan dari mama, yang sepanjang usiannya lebih banyak menangis untuknya. Dan tatapan bersalah yang ditunjukkan paman Lin yang seakan ingi
"Teman yang baik bisa menjadi pintu rezeki namun teman yang buruk dia akan menutup rezeki."********Dengan menumpang kapal Wei Fengying bersama Jacky Lee menuju ke Kota Batam untuk mengambil uang sewa kapal milik ayahnya Jacky , Youpan Lee.Fengying mengedarkan pandangannya kesekeliling dermaga Batam yang cukup ramai."Biasanya apa yang dilakukan orang-orang di demaga ini ,Jack ?"Jacky pemuda berusia 20 tahun seorang programer di perusahaan IT ternama di Singapura, itu menoleh ."Kalau orang Singapura yang menyeberang ke Batam itu karena bisnis , seperti kita saat ini. Tapi kalau orang Indonesia ke Singapura sekedar jalan-jalan dan belanja saja."Fangying mengangguk mendengar penjelasan Jacky.Mereka lalu berjalan keluar Pelabuhan Batam Center setelah selesai dari pos imigrasi untuk melakukan pemeriksaan kartu pass keluar masuk baik dari Batam ke Singapura atau sebaliknya.
"Timah akan seperti tanah, kalau berada di tempatnya. Kayu cendana pun hanya akan seperti kayu bakar, bila menetap di tanah." *********** MerantaulahOrang berilmu dan beradab tidak tinggal beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing di negeri orang. MerantaulahKau akan mendapatkan pengganti dari orang-orang yang ditinggalkan ( kerabat dan kawan )Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat udara menjadi rusak karena diam terputus Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan menggenang menjadi keruh. Singa jika tak keluar dari sarang , tak akan mendapat mangsa.Anak panah jika tak ditinggalkan busur, ta
"Kesuksesan merupakan mengembangkan kekuatan kita, sedangkan kegagalan adalah akumulasi dari kelemahan kita,"****Dalam kehidupan manusia tida ada rasa kepahitan, tidak ada kesakitan yang abadi, tidak ada lubang yang tidak dapat dilangkahi, dan tidak ada kesulitan yang tidak bisa di lewati."Ingat yang perlu di ingat, lupa dengan apa yang harus dilupakan, mengubah apa yang bisa di ubah dan menerima apa yang tidak dapat diubah." Gu Wei Gong berkata denganekspresi wajahnya yang hangat. Gu wei Gong ini adalah seorang pujangga yang kini memilih menjadi seorang biksu. Dia adalah guru spiritual Yupan yang kerab datang ke kedai untuk sekedar mengobrol dan memahami makna dari sebuat arti kehidupan."Apa yang bisa di ubah itu, guru Gu?" Wei Fangying sangat tertarik dengan kiasan yang disampaikan oleh pria bijak ini. Guru Gu tersenyum dan mengangguk."Yang bisa di ubah dalam kehidupan adalah nasib dan yang tak bisa di ubah dalam kehidupan itu adalah takdir.
"Semua mimpimu akan menjadi kenyataan jika kamu punya keberanian untuk mengejarnya."***Jika kamu ingin mengalahkan rasa takut, Jangan duduk di rumah dan berpikir tentang rasa takut itu. Pergilah keluar dan sibukkan dirimu agar rasa takut itu tak lagi bersemayam di pikiranmu.Hari ini Wei Fangying menyibukkan diri dengan menganilisa wilayah. Pemuda itu mulai pukul 6 pagi sudah berkeliling sekitar rumah Tan Sabran Zahirulloh, sahabat guru Gu yang tinggal di Kelana Jaya. Pakcik Tan bekerja sebagai guru besar di salah satu Universitas di Johor Bahru sementara istrinya memiliki balai latihan kecerdasan bagi perempuan. Pakcik Tan memiliki tiga orang anak, mereka sudah menikah dan tinggal di Kuala Lumpur juga di Inggris dan Jepang.Selama tinggal di rumah guru besar itu, Wei Fangying tak ubahnya sedang menjalankan peran sebagai mahasiswa. Karena saat sore hari Pakcik Tan akan membahas hal-hal krusial yang terjadi terutama masalah pertumbuhan ekonomi.