Share

Flashback : Laura

"Selamat datang Nic, terimakasih sudah menghadiri acara ini. Bagaimana kabar mu?" Sambutnya, kami memang memiliki hubungan yang baik mengingat putrinya adalah mantan kekasihku jadi saat memanggilku dia tidak memakai nama belakang keluargaku, aku tidak mempermasalahkannya.

Aku menerima uluran tangan itu. "Baik, tentu saja," Sementara tanganku yang satunya meraih pinggang Mawar semakin mendekat, karena sejak tadi pria di samping Alex -pria paruh baya yang menyapaku sekaligus yang mempunyai acara, tidak mengalihkan tatapannya barang sedetikpun dari istriku sehingga membuatku ingin mencolok matanya supaya tidak bisa melihat lagi selamanya.

"Ini Fabio, anak saya," ucapnya memperkenalkan pria itu.

Aku mengangkat alisku, setahuku Laura tidak mempunyai saudara, dia adalah anak tunggal.

Lalu pria yang bernama Fabio itu, menjabat tanganku dan tangan istriku, aku membiarkannya untuk dalih kesopanan.

"Yang saya tahu, anda hanya mempunyai satu anak saja,"

Aku lihat dia hanya tersenyum tampak enggan untuk memberitahu lebih jelas.

"Sebenarnya dia anak adopsiku, aku menyekolahkannya di luar negeri sehingga tidak ada yang mengetahui keberadaanya, dia juga tinggal disana selama ini,"

Aku hanya mengangguk memberikan tatapan tajam saat aku melihat dia melirik istriku lagi.

"Ini istri anda?" Tanya Alex dengan senyuman hangat melihat istriku.

"Ya, perkenalkan ini istri saya, Mawar." Ucapku tidak membiarkan Mawar berbicara, karena aku tidak ingin melihat kontak fisik apapun lagi saat dia memperkenalkan dirinya.

"Nama yang cantik, seperti orangnya," tiba-tiba Fabio berceletus setelah sejak tadi hanya diam. Sialnya ucapannya itu entah kenapa membuatku tidak suka.

"Bisakah anda menjaga mata anda?" Sindirku penuh intimidasi.

"Istri anda sangat cantik, saya tidak bermaksud apa-apa hanya mengaguminya saja." Ucapnya tersenyum ramah.

Aku menarik istriku semakin mendekat, lalu membawanya kesalah satu meja setelah sebelumnya dipersilahkan untuk mencicipi hidangan oleh Alex.

"Ingat ya, jangan tergoda dengan lelaki yang ada disini, kau hanya milikku, istriku. Faham?"

Kulihat Mawar mengangguk dan mengulum senyumnya. Aku bisa bernafas lega karena dia menuruti perintahku. 

Aku tidak habis fikir bagaimana Mauren memilihkan baju dan penata rias untuk istriku, dia tampak berbeda dan sangat cantik malam ini. Aku menyukai saat dia hanya tampil cantik didepanku saja tapi tidak dengan memperlihatkan kecantikannya untuk dilihat semua orang yang ada di pesta ini, membuatku panas seketika karena banyak pasang mata yang menatap ke arahnya, sial! Mungkin ini tujuan Papa memaksaku menghadiri acara ini. 

"Setelah makan, kita langsung pulang," Mawar mendongakan wajahnya tampak keberatan. "Tidak ada penolakan, Mawar." ucapku, menghentikannnya yang akan membuka mulut.

Aku mendengar suara dengusan darinya, "yang tadi siapa?"

Aku mengerutkan alisku tidak suka. "Yang mana?" Tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Tuan Alex dan anaknya, ada hubungan apa denganmu?"

"Ohh" aku hanya manggut-manggut dan kulihat dia mengerucutkan bibirnya. "Dia teman relasi Papa," ucapku, mataku menatapnya lekat, aku terkekeh saat dia menunduk tampak malu. "Kau terlihat cantik malam ini, jika bukan di pesta aku-"

"NICOO!'

Aku tersentak kaget mendengar namaku dipanggil dengan suara yang melengking dan benar saja semua perhatian sedang tertuju padaku. Perempuan itu menghampiriku dan langsung memelukku dengan erat sehingga membuat nafasku tercekat.

"Lepas,"

"Tidak!"

"Lepas Laura!"

"Ihh Nicooo"

"LEPAS!"

Laura melepaskan pelukannya, bibirnya mengerucut tampak lucu. Aku berdehem, entah kenapa dia masih terlihat menggemaskan dimataku, aku mengerjap dan langsung membuang pandangan.

Lalu tak lama Alex datang menghampiri kami dengan raut tidak enaknya.

"Tolong didik putri anda, tuan Alex. Saya sudah memiliki istri dan saya harus menjaga perasaannya, apalagi sekarang semua orang sedang memperhatikan, sungguh memalukan!" Ucapku sedikit meninggikan suara.

Kulihat wajahnya tampak pias lalu dia mendekatiku dengan rautnya menahan malu. "Maafkan Laura, Nic. Dia hanya rindu padamu. Dia tidak tahu bahwa kau sudah menikah, mengingat pernikahan kalian tidak banyak yang tahu tentang itu,"

Aku melirik Mawar, dia hanya menundukkan kepala. Rasa bersalah tiba-tiba muncul di hatiku.

Alex menatap anak perempuannya dengan bengis. "Dan kau Laura, jagalah sikapmu terhadap Nico, bersikaplah sebagai wanita terhormat bukan seperti jalang rendahan!"

Semua orang terkejut mendengar perkataan yang dilontarkan oleh seorang ayah kepada putrinya, aku pun sedikit terkejut. Hubungan mereka memang sudah tidak baik sejak dulu.

Laura hanya diam, tapi wajahnya terlihat sangat syok, aku tahu perkataan ayahnya tadi memang keterlaluan.

"Oh ini, istrimu ya?" Tanya Laura, dia berjalan mendekati Mawar. "Cantik sekali," dia tersenyum semringah lalu mengulurkan tangannya. "Hai, aku Laura," 

Kulihat Mawar mengulurkan tangannya tampak kikuk. "Mawar." ucapnya pelan.

"Aku minta maaf soal kejadian tadi, aku tidak tahu Nico sudah menikah."

Mawar hanya mengangguk, kulihat dia melarikan pandangannya padaku tampak tidak nyaman. Aku segera menarik siku Laura agar menjauh dari Mawar. "Terimakasih kasih atas undangannya, tuan Alex," Aku langsung merangkul Mawar berniat membawanya pergi.

Tuan Alex mencegahku. "Maafkan atas keributan ini Nic, semoga hubungan kita tetap baik," ucapnya dengan raut khawatir.

"Tentu saja, ini hanya masalah kecil. Beritahukan saja pada putrimu untuk tidak menggaguku atau mencariku lagi."

Tuan Alex mengangguk, lalu kulihat dia menatap tajam ke arah anak perempuannnya.

Aku tengah berada di dalam mobil bersama Mawar di sampingku dengan seorang supir yang tengah mengemudi di balik sekat penghalang antara kursi pengemudi dan penumpang. Aku sengaja menyewa supir karena fikiran ku sedang kacau sekarang, berbahaya jika aku memaksa mengemudikan mobil. Ini semua gara-gara Papa!

Sudah lama mobil melaju di jalan raya tapi hanya keheningan yang melingkupi kami, aku menoleh kearahnya tapi seakan pemandangan di seberang kaca lebih menarik daripada wajahku. Karena tidak tahan terus di abaikan aku mengulurkan tanganku, mencoba menggenggam tangannya. Setidaknya aku merasa lega kala dia tidak menolak sentuhan ku.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam, lebih tepatnya hanya Mawar, karena beberapa kali aku mencoba memulai obrolan tapi dia menanggapinya dengan datar seolah enggan untuk mengobrol lebih lama denganku.

"Tunggu," aku memegang pergelangan tangannya, mencegahnya untuk masuk ke dalam kamar.

"Kenapa kau mendiamiku terus?" Tanyaku tidak terima.

Mawar menatapku dengan tatapan yang tidak ku mengerti. "Aku lelah,"

Aku mengerutkan keningku. "Bisakah kita selesaikan masalah ini? Apa yang membuatmu mendiamiku seperti ini ku tanya?" Tanyaku sedikit meninggikan intonasi suara.

"Entahlah, akupun tidak tahu kenapa aku marah padamu!" Ucapnya dengan suara meninggi.

Brug

Mawar menutup pintunya dengan suara dentuman di depan wajahku, membuatku ingin mendobrak pintu itu jika tidak memikirkan perasaannya saat ini. Berani sekali dia berlaku seperti itu padaku!

Aku mengacak rambutku frustasi, pusing, memikirkan apa kesalahanku. Padahal tadi aku sudah membela harga dirinya sebagai seorang istri di pesta.

Apa seharusnya aku diam saja tadi saat Laura memelukku? 

"Baiklah, aku akan membiarkanya sendiri dulu. Dia memang membutuhkan itu."

Aku berniat keluar ingin menenangkan pikiran. Club lebih tepatnya, hanya tempat itu yang pas untuk menghilangkan penat di pikiranku sekarang.

Setelah menelpon kedua sahabatku, aku langsung memasuki club yang sudah lama tidak aku kunjungi. Tidak memperdulikan jalang yang menggodaku dan suara musik yang sangat berisik, aku melangkahkan kakiku menuju lift. 

Aku menghempaskan tubuhku disofa, di depanku terdapat sebuah tv berukuran besar, biasa dipakai untuk karaoke ria bersama para wanita pilihan.

Ruangan ini sangat hening, suara musik yang berdentum keras di lantai bawah pun tidak terdengar karena ruangan ini, ruangan khusus aku dan teman ku saat kami sedang menghabiskan waktu bersama atau sekedar berkumpul untuk bersenang-senang.

Meskipun tinggal di luar negeri, setiap setahun sekali aku akan mengunjungi indonesia. Mengunjungi Nenek dan Kakek juga melarikan diri sejenak dari dunia pekerjaan.

Telingaku mendengar suara tv di hidupkan lalu suara musik yang mengalun merdu, tak lama lagu itu berubah menjadi keras, berdentum. 

"Hai sob! Ada masalah apa kau sampai terlihat frustrasi seperti itu?!" Tanya Dion sedikit berteriak karena suara musik yang terlalu keras mengalahkan suarnya saat berbiacara.

"Kau sudah tahu," ucapku acuh.

Dion terkekeh. "Maaf karena tadi tidak sempat menyapa mu ya, itu salahmu sendiri karena langsung pergi saat sudah menciptakan keributan disana,"

Lalu tiba-tiba Dito duduk di sofa yang berhadapan denganku. "Kau kenapa, Nic?" Tanya Dito.

"Tadi dia bertemu dengan mantan kekasihnya di pesta. Wanita itu langsung memeluk Nico di depan umum." ucap Dion menjelaskan. "Kenapa kau tidak datang ke sana tadi?" Tanya Dion.

Dito mengedikkan bahunya tampak acuh. "Aku sibuk," 

Ucapannya itu mendapatkan kekehan dari Dion. "Atau kau tidak di undang?!"

"Mana mungkin ada yang berani tidak mengundangku, sialan!"

Dito mengalihkan perhatiannya kepadaku. "Lalu istrimu cemburu?" Tanyanya.

"Dia marah padaku entah karena apa," aku memijit keningku, tidak mungkin perempuan itu cemburu kan? Dia bahkan tidak tahu siapa Laura."Menurut kalian, aku harus bagaimana?" Tanyaku.

"Perempuan memang ribet kau tahu? Aku dulu perppptttpt"

"Lebih baik kau diam, ini bukan saatnya untuk mendengarkan ceritamu yang tak berguna itu," potong Dito menyumpal mulut Dion dengan tangannya, membuatku menghela nafas jengah dengan kelakuan mereka berdua.

Aku memejamkan mataku, menikmati musik disko yang berdentum di telingaku.

"Minta maaf sajalah," ucap Dito memberi saran.

Minta maaf? Aku bahkan tidak tahu kesalahanku dimana. Wanita memang ribet, jika saja dia berbicara padaku dengan berterus terang, maka ini tidak akan menjadi masalah.

"Mungkin dia harus di beri jatah dulu, kurung saja dan puaskan dia,"

Dito yang tengah minum tersedak dengan minumannya sendiri, aku membuka mataku dan melihat mereka dengan tatapan datar.

"Jangan bilang kau belum menyentuhnya sama sekali?" Tanya Dion.

"Ppttt" Mereka malah menahan tawanya, membuatku semakin kesal.

"Sepertinya aku salah mengundang kalian kesini," ucapku.

"Lebih baik kita senang-senang sajalah, aku akan memanggil beberapa wanita kesini, gadis perawan khusus untukmu," ucap Dion dengan semangat.

Terdengar sangat menggiurkan di telingaku, tapi sialnya aku sudah menikah sekarang. Meskipun aku menginginkan pelampiasan tapi darah Sadlers mengalir di dalam tubuhku, pernikahan adalah hubungan yang suci menurut prinsip keluarga Sadlers, dan aku masih cukup waras untuk tidak mengotorinya.

"Jangan ada yang berani, atau ku tendang kalian sekarang juga dari lantai ini, ke bawah," ucapku memperingati dan langsung mendapat respon tidak setuju dari Dion yang memang tidak bisa hidup tanpa wanita. Dia memiliki hiper sex, jika satu malam saja tidak tidur dengan wanita mungkin dia akan menjadi gila. Tapi dia memang sudah gila sebenarnya.

"Seriosly, Nic? Kau bercanda?! Malam tanpa wanita bagia sayur tanpa garam akan terasa hambar!" Dion protes.

"Maka pergilah kalian jangan disini, aku tidak mau ada wanita lain disini!" Aku bangkit melangkah menuju pintu yang berukuran besar dan tinggi berwarna cokelat, di baliknya terdapat sebuah kamar khusus. 

Di ruangan ini terdapat empat buah kamar dan itu milik kami, ketika kami sedang bersenang-senang maka tempat itu yang menjadi privasi. Tapi tidak ku sangka malam ini aku memasuki kamar itu bukan untuk bersenang- senang, melainkan untuk menghilangkan penat dan menenangkan pikiran.

Aku melangkah menuju jendela besar dan membukanya, lalu memperhatikan suasana kota dengan banyak mobil yang berseliweran di bawah sana. Otaku tengah berfikir apa kesalahan yang telah aku lakukan dan kenapa aku sangat uring-uringan saat Mawar mengabaikan ku.

Apa aku mencintainya?

Tidak!

Itu tidak mungkin!

Bahkan pernikahan kami baru terhitung tiga hari, karena selama dua bulan aku menghilang tanpa kabar dan dengan bodohnya kembali langsung meminta jatah.

Mataku seketika melebar sempurna, jika aku rangkai dari hari pertama sejak kami menikah banyak sekali kesalahan yang telah ku perbuat dan Mawar tidak pernah marah sama sekali denganku, puncaknya tadi saat Laura tiba-tiba memelukku kemungkinan dia marah karena salah faham padaku, mungkin dia berpikir selama dua bulan ini aku bersama dengan wanita lain.

Tapi apa benar begitu? Sial! Sial! Kepalaku menjadi semakin pusing memikirkan ini. Aku membanting jendela hingga menutup kembali lalu dengan langkah lebar aku berjalan menuju ranjang dan langsung menghempaskan tubuhku di atas ranjang itu.

Mungkin minuman akan membuatku jauh lebih baik. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status