Share

Flashback: Si pria bodoh dan Si pria geger otak

"Aku mau izin keluar, ingin berbelanja ke supermaket," ucap Mawar setelah kami sudah selesai sarapan pagi.

Aku melap mulutku menggunakan tisu yang selalu tersedia dimeja makan. Setelah itu mengeluarkan dompet di balik jasku lalu mengambil Black card dari sekian banyak kartu yang berada disana, memberikannya kepada Mawar.

Selama ini memang aku menyuruh sekretarisku yang memenuhi kebutuhan Mawar, selama aku berada di Norwegia.

Lalu aku tenggelam dengan banyaknya pekerjaan disana, Sampai lupa menanyakan kabar istriku sendiri.

"Ini, gunakanlah untuk berbelanja kebutuhan mu juga,"

Mawar menerimanya dengan senyum semringah, tapi seketika keningnya mengkerut lalu dia menggeleng. " Maaf, tapi aku tidak bisa menggunakannya," ucapnya dengan suara pelan.

"Kenapa? bukankah kau bilang ingin berbelanja tadi," tanyaku.

"Maksudku, aku tidak bisa menggunakan kartu ini. Aku hanya tahu kartu ATM karena ibuku hanya memiliki kartu itu." ucapnya masih menunduk menyembunyikan wajahnya.

Aku mengernyitkan keningku, aku tahu dia tidak sebodoh itu meskipun dia berasal dari desa, jelas kartu ini adalah kartu paling mudah yang bisa di gunakan. Mungkin dia belum terbiasa dan merasa asing dengan kartu ini.

Aku menjadi gemas melihat tingkahnya itu. "Baiklah, ini kartu ATM ku," aku memberikan kertu itu kepadanya. "Gunakanlah untuk berbelanja kebutuhanmu,"

Dia mengangkat kepalanya perlahan, lalu langsung mengambil kartu itu dan mengucapkan terimakasih setelah aku mengatakan nomor PIN nya.

"Kalau begitu, aku akan langsung berangkat kerja." aku berdiri dan mendekatinya, mencium kening dan terakhir mencium pipi istriku ini dengan gemas. Aku terkekeh melihat wajah dia yang seketika memerah dan menunduk malu. Dengan gemas aku mengacak rambutnya lalu berpamitan dengan mencuri satu kecupan di bibir manisnya, membuat matanya membelalak dan seketika rautnya menjadi kesal.

Seharusnya aku menghabiskan waktu disini dengannya, tapi pekerjaan menungguku dan nampaknya Mawar juga tidak merasa nyaman aku berada di dekatnya.

Setelah lama berkutat di komputer untuk mengecek beberapa email dan melakukan beberapa pemeriksaan lainnya, akhirnya aku bisa beristirahat sejenak. 

Perutku sangat keroncongan, aku beranjak dari tempat duduk menuju sofa yang mana di atas meja sudah tersedia makanan yang telah di siapkan oleh sekretarisku, sekitar lima menit yang lalu.

Sekitar dua suap makanan yang masuk kedalam perutku, tiba-tiba telingaku mendengar suara pintu yang dibuka dari luar. Aku melarikan mataku kepada seseorang yang kurang ajarnya berani masuk keruanganku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. 

Aku meringis setelahnya karena telah menyebut Papa ku sendiri kurang ajar. Aku hampir lupa bahwa orang yang berani masuk tanpa ijin keruanganku hanya Papaku seorang.

"Hey, Son," sapa Papa dengan suara riang khasnya.

Aku menatap jengah Papaku yang selalu ceria setiap harinya, tidak bisakah aku menyamakan sifat Papaku itu seperti seorang perempuan yang sangat cerewet dan sedikit mengesalkan. Berbanding terbalik dengan sifat ibuku yang pendiam dan cool, mereka memang meliliki jiwa yang tertukar sepertinya.

"Ada urusan apa Papa kemari?" Tanyaku lalu mulai melanjutkan makan kembali.

"Tidak ada," dia mengambil tempat duduk disebelahku, lalu menatapku dengan cengiran khas orang bodoh.

Aku menatap Papaku dengan curiga. "Apa yang papa inginkan?" Aku menggeser sedikit posisi duduku karena risih jika terlalu menempel dengannya, "Ayolah, aku sudah mengenal Papa sejak dulu," lanjutku.

Tiba-tiba Papa menepak bahuku, membuatku hampir tersedak makanan yang kebetulan sedang aku telan. Aku mencoba bersabar, aku yakin dia sengaja ingin membuatku kesal.

"Papa bangga padamu nak," ucapnya, lalu merebahkan bahunya di sofa. Aku memperhatikan wajahnya, papapku masih tampak tampan walaupun di usianya yang sudah tidak muda lagi.

"Jadi begini, nanti malam papa diundang ke pesta relasi salah satu investor Papa. Papa tidak bisa hadir karena Mama mu sedang tidak enak badan," ucapnya terdengar lirih.

Aku menghentikan kunyahanku, lalu menoleh kearah Papa dengan raut khawatir. "Mama sakit?"

Papa menggaruk tengkuknya. "Sebenarnya Mama mu hamil lagi,"

"Apa?!" Mataku melotot tidak percaya, beruntung aku sedang tidak menelan makanan, jika iya mungkin makanan itu akan terselip di tenggorokanku.

"Pah! usia kalian kan sudah tua," aku menggelengkan kepalaku tidak habis fikir. "Bukan waktunya lagi bagi kalian  memiliki anak, apa aku tidak cukup untuk kalian?" Tanyaku dengan kening mengkerut dalam.

"Kau tidak boleh berbicara begitu Nic, sebenarnya Papa tidak mau, tapi mamamu itu yang memaksa ingin mempunyai anak perempuan,"

Aku menghembuskan nafas kasar. "Sudah tua tapi benihnya tetap unggul, cih" cicitku.

"Apa Son? Kau bicara sesuatu?"

"Tidak!" Jawabku sinis.

"Tenang saja, walaupun kami nanti mempunyai anak lagi, kasih sayang kami masih akan tetap sama. Hey! bahkan adikmu masih belum lahir tidak usah cemburu begitu," ucapnya diiringi kekehan yang membuat aku semakin muak ingin menendang kejantanan milik pria tua itu.

Aku menjauhkan makanan yang tengah ku santap, aku sudah tidak berselera makan setelah mendengar kabar buruk itu.

"Baiklah, bersenang-senanglah kalian nanti malam ya, Papa pergi dulu," pamitnya

Aku hanya diam saja sambil memijit keningku, tiba-tiba kepalaku rasanya seperti di timpa beban yang sangat berat. Orang tua itu bahkan tidak memikirkan masa depan calon anaknya.

Aku hanya takut sebelum anak itu dewasa, dia sudah kehilangan orang tuanya nanti. Bayangkan saja umur ayah dan ibuku sudah tidak muda lagi, bahkan aku mengira ibuku itu sudah monopous dan tidak bisa hamil lagi, tapi ternyata? Aku mengakui papaku itu sungguh hebat dan benihnya itu sangat langka!

"Kenapa lagi, Pah?" Tanyaku saat melihat pintu di buka lagi dan memunculkan wahah Papaku yang menatap diriku jenaka, membuat perasaanku tidak enak.

"Papa hanya bercanda Son, ibumu tidak hamil lagi," dia tertawa terbahak-bahak, sementara aku hanya menatapnya dengan datar, tidak berselera ikut tertawa. "Jadi jangan takut tidak mendapatkan kasih sayang dari kami," ucapnya disela tawanya. 

Aku memegang kepalaku dengan kedua tanganku, jika ada kamera disini aku memilih mengangkat kedua tanganku tanda menyerah dengan kelakuan pria tua itu, sudah bau tanah tapi masih bisa membuat lelucon yang tidak beradab.

"Papa hanya ingin menikmati banyak waktu bersama Mama mu, dia memang sedikit kurang sehat kau harus menengoknya sebelum ke pesta ya, ajaklah istrimu kesana," Papa menyenderkan badannya di pintu, lalu melanjutkan perkataannya. "Papa tidak akan mengecewakanmu Nic, Papa akan berusaha supaya kau mempunyai adik lagi, sebenarnya Papa ingin mempunyai anak perempuan agar papa bisa menikahkannya nanti,"

Aku langsung memberikan tatapan tajam kepada papaku, "jangan coba-coba Pah, kalian sudah tua. Bahkan aroma tubuhmu mengingatkan ku kepada tanah kuburan kakek dan nenek saat aku mengunjunginya," kataku sinis. 

Papa menutup mulutnya dengan kedua tangannya secara dramatis."Tidak baik menyumpahi ayahmu mati Son, nanti kau bisa kualat," 

Aku menghembuskan nafasku pasrah, lalu aku mendekatkan kembali makananku berniat melanjutkan makan kembali. "Ya, maafkan aku Pah, kau tahu aku hanya bercanda."

Papa hanya menggaguk-nganggukan kepalnya. Tidak nampak tersinggung sedikitpun dengan ucapanku tadi. "Baiklah, selamat besenang-senang dengan istrimu Son." ucapnya lalu kembali menutup pintu dengan suara kekehan yang masih terdengar di telingaku.

"Dasar Pak tua! tidak ada yang menyangka jika sikapnya yang terkesan bodoh dan idiot yang selalu ia tunjukan adalah kamuflase untuk menjatuhkan lawannya." Aku tersenyum sinis.

kini Pak tua itu menunjukkan sifat mengesalkan nya kepadaku, aku tahu itu hanya untuk menghukumku karena telah meninggalkan istriku tanpa kabar selama dua bulan lamanya. Aku sudah yakin itu, dan sialnya Pak tua itu berhasil. Hampir saja aku terkena serangan jantung ketika mendengar kabar Mama ku hamil lagi.

Sekali lagi otak Pak tua itu memang sangat cerdas, dia sengaja membiarkan diriku menghadiri acara yang sebelumnya telah ku tolak untuk aku hadiri. Entah apa yang Papaku rencanakan kali ini. Sial! Papaku memang cerdik.

Setelah selesai makan, tiba-tiba ponselku berbunyi menampilkan sebuah notifikasi yang berisi penarikan sejumlah uang dalam rekeningku, aku tersenyum lebar karena Mawar sudah menggunakan uangku. Semoga saja gadis itu cepat luluh dan membiarkan diriku untuk memilki tubuh indah itu. Ah! Membayangkannya saja membuat badanku terasa gerah.

Banyak perempuan cantik dan bertubuh indah yang pernah aku tiduri sebelumnya, akan tetapi saat pertama kali aku bertemu dengannya, entah mengapa aku langsung tertarik kepadanya, bukan karena paras cantik yang ditutupi oleh kacamata tebalnya atau tubuhnya yang sintal itu.

Entah lah, aku tidak mengerti perasanku, tapi aku meraskan desiran aneh dalam hatiku saat melihat tidak ada reaksi berlebih dari perempuan itu saat pertama kali melihat diriku. Ayolah, aku adalah anak emas dari keluarga sadlers. Menempati urutan no 18 keluarga terkaya di majalah Forbes sesuatu yang harus dibanggakan karena dengan uang, aku bisa memiliki apapun di dunia ini. 

Terlalu banyak berfikir membuatku sadar bahwa aku masih punya pekerjaan yang masih harus aku selesaikan.

Aku mengangkat kepalaku ke arah pintu saat mendengar ketukan.

"Maaf Pak. Pak Dion, dia ingin-"

"Nic?" Dion menyela ucapan sekretarisku.

Aku memberikan kode kepada sekretarisku -Mauren, untuk keluar. Mauren mengangguk dan berbalik melangkah pergi tapi sebelum itu aku melihat Dion mengedipkan sebelah matanya dengan cengiran lebarnya kepada sekretarisku, "Jangan mengganggunya, dia sekretarisku dan jangan pernah berani merayunya." ucapku memperingati, karena aku tahu kebiasaan Dion, jika dia tertarik dengan wanita maka dia akan merayunya dan meniduri nya.

"Untuk apa kau kemari?" Tanyaku. Hari ini adalah hari yang sial untukku karena bertemu dengan dua orang yang selalu membuatku darah tinggi.

Entahlah, karakter Dion dan Ayahku itu sangat mirip, mungkin Dion adalah saudara kandungku yang sengaja di buang oleh ayahku karena malu memiliki anak geger otak sepertinya.

"Tidak ada hal penting sebenarnya," Dion duduk di sofa yang tadi ku tempati.

Aku memilih diam tidak perduli maksud kedatangannya menemuiku, ingatkan diriku untuk mengunci pintunya agar tidak ada yang menggangguku saat bekerja nanti.

"Kau mengetik? Seriosly? Bukankah kau memiliki banyak pegawai? seharusnya mereka saja yang mengerjakan, kau kan bos. Tidak usah cape-cape mengetik seperti itu,"

Aku mengedikkan bahuku tidak ingin menanggapi omongan tidak penting Dion, toh aku memang suka bekerja sendiri karena aku selalu merasa puas dengan hasil kerjaku.

 Aku memang tidak suka kesalahan dalam bekerja, tapi jika masih tahap bisa diperbaiki olehku, aku tidak usah repot-repot mengeluarkan suaraku hanya untuk menyuruh orang lain memperbaikinya, paling aku langsung memecat orang itu dan mencari penggantinya yang lebih baik lagi.

Tentu saja karena kesalahannya sedikit, maka aku akan berbaik hati dengan memberikannya pesangon, berbeda dengan orang yang sudah membuatku kesal, aku akan langsung menendangnya keluar dari perusahaanku.

"Dito bilang istrimu itu sangat cantik," aku mengangkat satu alisku, dan jengah melihat cengiran yang berniat untuk mengusikku itu. "Dan dia mengatakan kepadaku bahwa dia menyukai istrimu pada pandangan pertama,"

Jari-jariku berhenti bergerak di atas tuts-tuts komputer. " Oh benarkah? Lalu dia mau menusuk sahabatnya begitu?" Tanyaku sarkas dengan kekehanku bermaksud mengejek perkataan Dion, lalu aku melanjutkan ketikanku di komputer.

"Sepertinya Iya," Dion membalas pertanyaanku dengan kekehan juga.

"Sebelum itu terjadi aku yang akan menusuknya menggunakan pisau dapur yang biasa di gunakan istriku untuk memasak, hingga membuatnya meregang nyawa di tempat,"

Dion seketika meringis."Kau sangat kejam Dude,"

"Tentu saja setelahnya aku juga akan membunuhmu jika kau juga menyukai istriku,"

"Apa kau bilang?" Dion tertawa "maaf saja, meskipun tubuhnya itu menggiurkan, tapi aku tidak suka dengan kacamata tebalnya. Aku akan malu jika membawanya ke pesta relasi ku nanti,"

Aku memejamkan mataku, entah kenapa aku jadi tersulut emosi saat mendengar perkataan Dion, tapi aku masih bisa menahan emosiku.

"Apa kau tidak marah, aku mengejek isterimu?"

"Tentu saja, tidak."

"Wah... kau memang masih Nico yang kukenal, ku kira kau sudah beneran hilang akal kerena menikahi gadis culun seperti itu."

Aku mengangkat bahu acuh dan benar saja setelah di abaikan oleh diriku, mulut sampah Dion akhirnya  bisa diam juga.

Mauren masuk keruanganku dengan membawa nampan yang diatasnya terdapat cangkir bening berisi susu cokelat tentu saja. Dion memang geger otak sudah tua tetap saja minumannya susu cokelat, dimana pun dan kapanpun ketika berkunjung dia akan meminta di buatkan susu cokelat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status