Share

Flashback: Penolakan

Dua bulan kemudian....

Aku tengah berada di bandara, selama dua bulan ini aku terpaksa harus ke Norwegia demi mengurus perusahaanku yang sedang mengalami permasalahan, merasa sedikit bersalah karena meninggalkan istriku tanpa kabar selama dua bulan setelah hari pernikahan kami.

Aku memasuki mobil perusahaan yang sengaja di panggil untuk menjemputku, karena mobilku sendiri berada di apartemenku yang cukup jauh dari bandara. Setelah pesta pernikahan kami berakhir waktu lalu, aku langsung memboyong Mawar tinggal di Apartmentku untuk sementara waktu.

Hal Pertama yang aku lihat setelah memasuki Apartment adalah ruang tamu sekaligus tempat bersantai untuk menonton televisi. Aku mengedarkan pandanganku kesegala arah tapi tidak dapat menemukan dimana keberadaan istriku.

Langkahku terhenti saat melihat istriku tengah berada di ruang makan bersama seorang lelaki, aku mengerutkan kening nampak tidak asing dengan lelaki tersebut.

Mawar terkejut saat matanya menangkap sosok diriku yang sedang memperhatikan interaksi mereka, dia langsung berdiri dan menghampiriku saat tidak ada pergerakan dariku untuk mendekat ke arahnya.

"Nic? Kamu sudah pulang?" Tanyanya sambil tersenyum manis lalu memperbaiki letak kacamatanya, tampak gugup.

Lelaki yang sedari tadi membelakangiku langsung menoleh, aku bisa melihat matanya yang sedikit melebar terkejut, tapi tidak lama lelaki itu ikut berdiri dan menghampiriku.

"Sejak kapan kau kembali?" Tanyanya menggaruk kepala, dia berdehem karena sejak tadi aku tidak menjawab pertanyaannya ataupun pertanyaan dari Mawar. "Tadinya aku ingin mampir sebentar bertemu denganmu. Kebetulan sekarang kau sudah tiba, ada yang ingin aku bahas dengan mu, Nic."

Aku menatap Mawar sekilas. "Kita bicara di ruang kerjaku." aku berbalik dan berjalan meninggalkan dapur, Dito mengikutiku dari belakang.

"Apa yang mau kau bicarakan?" Ucapku setelah aku duduk di sofa yang berada di ruang kerja bersebelahan dengan Dito, senagaja membawa pria itu kesini karena aku tidak ingin Mawar mendengar percakapan kami.

"Aku sangat suka masakan istrimu, sangat lezat," Dito mengacungkan dua jempolnya sebagai apresiasi. " Istrimu itu sangat culun ya, tapi saat pesta pernikahanmu aku tidak bisa membohongi diriku bahwa dia wanita paling cantik yang pernah aku temui. Aku rasa kau sangat beruntung memilikinya," ucap Dito menepuk pundak ku.

"Bisakah kau langsung to the point saja?" Tanyaku sinis, aku merasa tidak suka dengan ucapannya yang terlalu memuji istriku.

Dito menyeringai sampai giginya terlihat dengan jelas. "Baiklah suami pencemburu. Jadi kedatanganku ke sini, aku berniat berinvestasi di hotel mu yang di Bali dan-"

"Ck! ku kira ada hal yang penting, kita bicarakan saja di kantor besok," ucapku tidak sabar, aku hendak berdiri tapi Dito mencegahku.

"Tunggu dulu kawan. Mantan kekasihmu kau masih ingat? Dia mendatangiku dan terus-menerus  menanyakan mu,"

"Laura?" Tanyaku memastikan.

"Tunggu..tunggu, memangnya kau mempunyai mantan berapa? Setahuku hanya wanita itu saja,"

"Aku hanya memastikannya bodoh! Aku bukan pemain wanita seperti dirimu," 

Bukannya tersinggung, Dito malah terkekeh membenarkan. "Dia menanyakan dimana kau tinggal dan aku memberitahunya,"

Mataku langsung menajam memberikan peringatan kepada Dito. "Apa kau sudah gila huh? Aku sudah menikah dan-"

"Dan aku tidak memberikan alamatnya, aku hanya mengatakan kau tinggal di sebuah apartemen." Ucap Dito sambil memposisikan tubuhnya untuk bersandar di sofa dengan kakinya yang di angkat ke atas meja, aku langsung menendang kaki itu agar segera diturunkan kembali. "Apa aku boleh melanjutkan makan? Sebenarnya aku masih lapar," ucapnya dengan memelas.

"Boleh saja. Satu suap, satu tinju," Aku bangkit lalu melepas jas dan di letakan di lengan sebelah kiriku,"Sebaiknya kau keluar sekarang, ck! mengganggu saja!" Ucapku sinis lalu meninggalkan Dito yang terkekeh di disana.

Aku menuruni tangga, lalu berjalan ke ruang makan ingin menemui istriku, setelah sampai di ruang makan aku melihat dia sedang menungguku lalu dia tersenyum saat melihatku melangkah mendekatinya. "Apa kau sudah selesai?" Tanya Mawar.

Aku tidak menjawab tapi langsung duduk bersebelahan dengannya, menyampaikan jas di kursi sebelah. "Kau masak apa? Aku lapar,"

Aku melihat dia menyunggingkan senyumnya. "Aku masak oreg kangkung, sayur asem dan bakwan jagung,"

Aku mengerutkan kening."Apa?" Tanyaku heran, aku hanya tahu bakwan jagung saja, karena Mamaku pernah membuat itu.

Mawar juga mengerutkan keningnya dan berkata, "Jangan bilang kau tidak pernah memakan makanan ini ya?"

Aku meregangkan dasi yang terasa mencekik leherku. "Aku pernah mencoba beberapa kali dan lupa dengan rasanya," jawabku jujur, makanan ini memang tidak asing tapi aku sudah lupa dengan rasanya, karena tidak pernah memakannya lagi saat aku tinggal di Norwegia.

Mawar tersenyum manis kearahku, "Kalau begitu, kau harus mencobanya lagi, aku jamin kau akan suka." ucapnya riang.

Aku menaikkan alisku,"Biar ku coba."

Mawar mengangguk dengan senyum lebar nya, dia langsung sigap berdiri mendekatiku dan menyendok nasi serta lauknya, memindahkannya ke piringku. 

Aku memejamkan mata, diam-diam hidungku menghirup aroma strawberi dan wangi apel, entahlah tapi yang jelas istriku ini sangat wangi. Aku membuka mata dan menoleh ke samping, menyunggingkan senyum dikala melihat wajahnya dari jarak sedekat ini, sangat dekat hingga membuat jantungku berdebar.

"Kau mau minum air putih atau yang ini?" tanyanya lalu menoleh kearahku.

Dia terkejut tapi aku segera menahan tangannya saat dia akan menjauh, kami saling memandang dalam jarak yang dekat, tak lama tanganku bergerak menyentuh tengkuknya, mataku terpaku, memperhatikan bibirnya yang terlihat menggoda.

Lalu kedua ibu jariku mengelus pipi Mawar dan semakin naik ke atas, mengusap kedua alisnya sebentar lalu melepas kacamata tebalnya itu.

"So beautiful." ucapku dengan suara serak.

Mawar membuka mulutnya untuk mengucapkan sesuatu tapi aku yang sudah tidak tahan ingin merasakan bibir itu langsung menarik tengkuknya dan membungkam bibirnya dengan bibirku.

 Aku melumat bibir atas nya dengan sangat lembut menggoda lalu lidahku langsung masuk ke dalam karena sejak tadi mulutnya sudah terbuka, dia pasti terkejut, sehingga membuatku lebih mudah melancarkan aksiku. 

Tanganku tidak tinggal diam, aku memeluk pinggangnya dan menariknya hingga dia duduk di pangkuanku dengan keadaan menyamping. Tanganku berpindah menyentuh pahanya yang terbungkus celana joger panjang lalu mengelusnya perlahan, sentuhanku cukup breaksi untuknya. Dia menggeliat, tangannya mencengkram kaus di dadaku. 

Ketika tanganku bergerak menuju pangkal pahanya ingin menyentuh lebih dalam, dia memberontak minta di lepaskan, dengan sangat terpaksa aku menghentikan ciumaku.

"Tidak sekarang, ku mohon," pintanya dengan nafas terengah-engah.

Rasanya aku hampir gila hanya karena mencecap mulutnya saja milikku sudah bereaksi. Sial! Sial! Sangat murahan sekali diriku.

Saat Mawar akan beranjak dari pangkuanku tidak sengaja pantat sekal itu menekan milikku, membuatku repleks menahannya agar tidak terlalu banyak bergerak.

Sepertinya Mawar panik saat merasakan miliku yang mengeras, hingga tanpa sadar pantat itu malah melakukan banyak gerakan. Sadarkan dia bahwa kelakuannya itu membuat milikku memberontak di dalam sana. Aku menahan nafasku, ini sangat menyiksa.

Apakah dia senagaja ingin menggodaku heh? Sialan! 

Aku menarik tangan Mawar sampai dada besarnya itu bertubrukan dengan dadaku dan aku langsung melahap bibirnya dengan penuh nafsu.

"Mmmppphh" Mawar mendorong bahu ku, tapi aku bergeming dan malah semakin memperdalam ciumanku. Ciuman kami baru aku hentikan saat Mawar memberontak hampir kehabisan nafas. "Aku mohon tunggu aku sampai aku siap!" ucapnya memohon dengan setengah berteriak.

Aku memandang istriku dengan pandangan sayu dengan jarak kami yang sangat dekat sehingga lagi-lagi aku bisa mencium aroma apel yang memabukan. "Kapan kau siap?" Tanyaku semakin mengertakan pelukanku di pinggang Mawar sehingga dadanya yang besar itu menempel di dada bidangku membuat milikku yang dibawah sana semakin sakit.

Mawar sedikit menjauhkan wajahnya karena bibirnya hampir menempel dengan bibirku, lalu dia menundukkan kepalnya. "Aku tidak tahu, aku...masih ragu dengan mu," ucapnya dengan memainkan bagian kemejaku yang mencuat keluar.

Aku membawanya ke pelukan, kudekap dengan sangat erat sungguh terasa nyaman dan aku sangat menyukainya. Aku sedikit menundukkan wajahku, meletakannya di dada Mawar lalu dengan tidak tahu malunya menghirup aroma gadis itu sampai mengeluarkan suara yang membuat Mawar gelisah di atas milikku. Sial! Pantat sekal itu sungguh nakal! "Kau wangi dan membuatku ingin menidurimu sekarang juga," Setelah mengatakan itu dengan berat hati aku melepaskan pelukanku dan membiarkan Mawar beranjak dari pangkuanku.

Mawar menatap bingung saat melihatku bangkit dan melangkah menjauh. "kau mau kemana, bukankah tadi ingin makan?"

"Biarkan saja makanannya disana, aku akan mandi terlebih dahulu." ucapku sambil menunjukan wajah kecewa dengan sengaja, berharap dia menyadarinya dan merasa bersalah karena telah menolak ku.

Mawar hanya mengangguk, ia memegang dadanya dan terduduk lemas di kursi.

"Kau tidak bertanya padaku kemana aku pergi selama dua bulan ini?" Tanyaku saat kami tengah berada di sofa tempat yang biasa ku pakai untuk bersantai dengan makanan yang tersaji di atas meja, tepat di depanku.

"Kau bekerja, ke Norwegia," jawabnya.

Aku mengerutkan keningku heran, aku tidak memberitahu siapapun ketika aku berangkat ke Norwegia. "Siapa yang memberitahu mu?"

"Papa" dia menoleh ke arahku dengan raut yang tidak bisa ku baca, mungkin dia marah karena aku tidak memberinya kabar. Tentu saja, aku memang bodoh!

"Setelah bangun dan tidak menemukan mu dimana pun, aku mengira kau pergi bekerja. Tapi setelah seminggu kau tidak ada kabar aku menelpon papa untuk menanyakan keberadaan mu. Aku pikir kau kabur dan meninggalkan aku disini,"

Aku terkekeh mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan olehnya. "Tidak mungkin aku meninggalkanmu," Lalu aku menyendokkan kembali makanan ke dalam mulutku, ternyata rasanya tidak seburuk yang terlintas dalam pikiranku. 

"Aku minta maaf," ucapku sungguh-sungguh. 

Mawar menunjukan raut tertekuk, seperti tidak puas terhadap permintaan maafku. "Aku ingin membangunkan mu tapi aku tak tega, aku tahu kau lelah karena malam pertama kita yang sangat panas itu,"

Aku langsung bisa melihat semburat merah di wajahnya, lalu aku terkekeh gemas. 

"Kau menyindirku?" Tanyanya.

"Sebenarnya, iya," jawabku dengan jujur.

"Maafkan aku, aku hanya belum siap. Kau tahu aku masih ...mmm..."

"Ya aku tahu, aku akan menunggumu sampai kau siap nanti,"

Mawar menunduk, lalu tiba-tiba dia mengangkat kepalanya kembali. "Mmm... Apa kau pernah melakukan itu?"

Aku mengangkat kedua alisku. "Melakukan apa?"

"Kau tahu maksudku,"

Aku terkekeh, aku tidak tahu bahwa ekspresinya sangat menggemaskan jika perempuan itu sedang malu. "Tentu saja, aku ini seorang pria,"

Mawar mencebikkan bibirnya, "Ya, pria memang susah menahan nafsunya," ucapnya sinis, membuatku mengulum senyum.

Aku berdehem lalu meminum air karena aku sudah selesai makan. "Sepertinya kau paham," ucapku lalu berpindah posisi duduk agar lebih dekat dengannya.

Mawar yang menyadari telah salah berbicara, segera menjauhkan diri dan mendorong dada bidangku menggunakan kedua tangannya. "Apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan muka memerah, membuatku sangat gemas ingin mengulum pipi merona itu.

"Tentu saja karena pria memang susah menahan nafsunya bukan?" Aku menarik pinggangnya, agar menempel kepadaku. Dia hanya menunduk tampak malu. Aku jadi ingin menggodanya, hanya sebentar saja, aku janji. 

"Aku sungguh tidak tahan," ucapku berbisik di telinga Mawar dengan seduktip.

"T-unggu, kau-"

"Apa kau mau beralasan kau masih belum siap? Sampai kapan, Mawar?" Aku mengangkat tanganku perlahan, sesekali mengelus pipinya itu yang merona, lalu melepas kacamatanya. "Namamu sangat indah," ucapku berbisik di telinganya. "Seperti wajahmu. Sangat cantik." aku mengecup singkat telinganya, membuat wanita itu menjauhkan telinganya.

Aku tersenyum melihat semburat merah di pipinya semakin terlihat berwarna merah. Aku mendekatkan wajahku denan perlahan, ingin merasakan bibir itu kembali, tapi dia malah memalingkan wajahnya ke samping, alhasil aku hanya berhasil mencium pipinya saha. Lalu tiba-tiba dia bangkit dan aku geram dibuatnya. Penolakan lagi! 

"Aku sungguh tidak bisa, bukan kah melakukan itu harus dasar suka sama suka? Aku sungguh belum siap," ucapnya sedikit gemetar.

Aku menghembuskan nafas kasar, lalu menarik tangan Mawar sedikit kasar membuat dia terjengkang dan berakhir duduk di pangkuanku.

Tanganku menyentuh rambutnya, mengelusnya perlahan, lalu bergerak turun mengusap punggungnya dengan gerakan pelan.

"Baiklah, aku tidak akan melakukannya. Tapi aku ingin menciumu, hanya ciuman. Aku janji." pintaku dengan penuh harap.

Melihat keterdiaman Mawar, aku langsung menerjang bibir itu. Setidaknya saat aku mencecap bibir manisnya, tidak ada penolakan darinya meskipun dia hanya diam saja seperti patung, tapi tidak masalah bagiku.

Aku semakin memperdalam ciumanku, lidahku menerobos masuk mencari pasangannya, saat aku menemukannya aku langsung menghisap lidahnya dengan keras, hingga telingaku mendengar desahan yang keluar dari mulutnya.

Aku bersorak riang dalam hati saat Mawar tak berdaya dengan ciumanku, perlahan aku mendorong bahunya agar dia tertidur di atas sofa. Mengangkat kedua tangannya lalu ku letakan di atas kepalanya.

Aku langsung menerjang lehernya, memberikan kecupan dan jilatan disana. Tapi aksiku terhenti saat merasakan tubuhnya yang menegang dan terasa kaku.

"Hanya ciuman," ucapnya memperingati.

Aku menggigit leher Mawar seperti vampir sehingga membuatnya tertawa karena kegelian. "Tidak bisakah kita melanjutkannya?" Tanyaku yang masih menikmati leher putih mulus miliknya.

Mawar menggeleng kuat. "Tidak untuk sekarang, aku belum yakin kepadamu,"

"Baiklah, satu ciuman lagi bagaimana?"

"Tidak,"

"Pliss."

"Tidak, Nico,"

Aku merengek dan langsung menyembunyikan kepalaku semakin dalam di leher Mawar, sesekali mencium leher itu lalu tanganganku dengan nakal meremas dada sebelah kanan miliknya yang terasa lembut dan sedikit kebesaran digenggaman tanganku. Aku menelan ludahku susah payah, aku sangat menginginkan ini. Aku ingin menghisapnya dan

Plak

"Hentikan ku bilang,"

Aku memanyunkan bibirku dan mengusap bahuku yang kena tampar olehnya."Baiklah," aku bangkit dan duduk seperti semula, membiarkannya lepas dari Kungkungan ku.

"Aku mengantuk, aku duluan ya," Mawar bangkit dari duduknya, lalu dia mengambil piring beserta gelas kotor yang sehabis aku gunakan tadi.

"Selamat malam." ucapku. Saat aku melihatnya tengah berjalan menaiki tangga.

Mawar mengehetikan langkahnya, dia menoleh dan tersenyum ke arahku tampak tidak merasa bersalah sama sekali. "Selamat malam." ucapnya, Lalu pergi dari sana meninggalkanku dalam kesendirian dan lipatan gairah yang selalu tertahan.

"Ck, jika tahu akan begini lebih baik tidak usah menikah saja." gerutuku kesal, pasalnya ketika aku belum menikah, aku bebas berhubungan dengan wanita mana saja. Sekarang aku sudah terikat dengan pernikahan dan tidak mungkin bisa bebas seperti dulu lagi. 

Aku harus dapat jatah dari istriku, jika dia menolak terus menerus mungkin meniduri wanita lain tidak masalah.

Aku bangkit dari sofa, lalu berjalan ke kamar yang bersebelahan dengan kamarnya, tidak mungkin aku memaksa masuk kedalam kamar milikiku yang sekarang di tempati Mawar, aku tidak bisa menahan nafsuku lagi jika harus tidur di ranjang yang sama dengannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status