Share

Penyesalan Nico?

"Nic!" Dion memanggil Nico ingin memberitahukan bahwa Dito sudah dilarikan kerumah sakit. Nico tidak sengaja melemparkan kucing kepada Dito, membuat Dito pingsan di tempat.

Dion meringis melihat wajah Nico yang berang saat melihat dirinya, lalu berjengkit kaget ketika melihat Mawar tak sadarkan diri dalam gendongan Nico. 

"KAU GILA, BRENGSEK!!" Nico meraung  frustrasi.

Nico segera meletakan Mawar di tepi danau, lalu menekan dadanya, memberinya pertolongan pertama. "Brengsek!" Makinya marah Karena tidak ada pergerakan apapun pada gadis itu, Nico mendekatkan mulutnya, tanpa ragu dia memberikan nafas buatan. "SHIT!"

Tidak berhasil!

Nico menangkap tubuh kurus itu ke dalam pelukannya, wajahnya terlihat sangat panik. "PANGGIL DOKTER BODOH!!" Teriaknya penuh dengan amarah.

Dengan panik Dion langsung mengambil ponselnya yang berada di saku celananya, dia mengumpat karena ponselnya sempat terjatuh. Dion panik karena Nico seperti orang kesetanan, bahkan pria itu tak hentinya memberi nafas buatan pada Mawar, padahal cara itu tidak berhasil sejak tadi.

Sial! Dokter mana yang harus dia hubungi.

Nico mengacak rambutnya frustasi, tanpa menunggu lagi dia langsung menggendong Mawar ala bridal dan berlari secepat yang dia bisa.

"Nic, aku sudah memanggil Dokter. Sebentar lagi dia akan kemari" ucap Dion ikut berlari di samping Nico.

"Aku tidak bermaksud seperti itu Nic, aku tidak tahu jika dia tidak bisa bere-"

"DIAM, BODOH!!" Dion tersentak kaget, lalu mengusap dadanya, membiarkan Nico memasuki mansion.

"SIAPKAN MOBIL!" Raung Nico saat sudah memasuki ruang utama mansion.

Para pelayan yang sedang bekerja tersentak kaget mendengar teriakan Nico, mereka menatap khawatir ke arah Mawar yang berada di dalam gendongan Nico.

Setelah sampai di luar, Nico langsung memasuki mobil yang sudah di siapkan oleh pelayan. Dia akan membawa Mawar langsung ke rumah sakit, jika menunggu dokter tiba ke rumahnya, dia takut dokter itu terlambat dan Nico tidak mau Mawar mati, dia masih belum puas membuatnya menderita, jadi Mawar tidak boleh mati sekarang.

"SIAL, DION!" Raungnya.

Nico menelan salivanya, setelah melewati gerbang kedua yang dijaga oleh empat orang penjaga, sebentar lagi dia akan memasuki jalan raya yang penuh dengan kendaraan. Nico menajamkan matanya bersiap menyalip mobil apa saja yang menghalanginya.

Nico bersorak dalam hati karena jalanan tidak seramai biasanya, dia semakin menambah kecepatan mobilnya, tidak perduli jika nanti ada polisi yang mengejarnya.

"Uhuk...Uhuk"

Nico menoleh ke samping, perasaanya menjadi sedikit lega saat Mawar batuk dan mengeluarkan air, lalu gadis itu tidak sadarkan diri kembali. "Bangun bodoh! Kau tidak boleh mati! Sial! Sial!" Nico panik, kakinya semakin menancap gas menambah kecepatan mobilnya.

Pintu itu sudah lama tertutup, dan tidak ada tanda akan segera dibuka. Nico masih bergeming duduk di kuris, bajunya yang basah karena menolong Mawar tidak dia perdulikan. Dia tidak perduli jika nanti akan sakit, dia hanya butuh kabar Mawar secepatnya.

"Bagaimana Dok, keadaannya?" Tanya Nico, menghampiri Dokter yang baru saja keluar dari ruangan dimana Mawar sedang ditangani.

Dokter itu menunjukkan wajah muram. "Dia, koma,"

Nico mencengkram kerah seragam dokter dengan erat sehingga membuat Dokter itu hampir tercekik. "Bagaimana bisa? Dia hanya tenggelam, tidak mungkin sampai koma!" Teriaknya menatap Dokter itu dengan berang.

"Anda tenanglah," Dokter mencoba melepas cengkraman Nico di kerah bajunya.

Nico mengacak rambutnya frustasi. "Tidak mungkin istriku koma!"

"Sebaiknya hal ini kita bicarakan di ruangan saya," Dokter menatap Nico perihatin. "Mari."

Nico memukul kepalanya seperti orang bodoh, dia jatuh tersungkur di lantai. Separuh jiwanya kini telah lenyap saat mendengar kenyataan itu, Nico bangkit dengan tubuh yang terasa lemas dan mengikuti Dokter menuju ruangannya.

"Jadi begini tuan, paru-paru istri anda mengalami kerusakan. Ini di sebabkan karena paru-parunya menampung begitu banyak air dan terlambat untuk di keluarkan," Dokter itu memberi jeda, keningnya mengernyit menatap Nico dengan tatapan curiga. "Apa istri anda mencoba untuk bunuh diri sebelumnya?" Jedanya. "Kerusakan itu tidak akan terjadi jika paru-paru istri anda hanya sekali atau dua kali terkena air,"

Nico menumpu kepala dengan kedua tangannya di atas meja, matanya berkaca-kaca mengingat kejadian tadi pagi saat dia membiarkan Mawar tenggelam di kolam, dia mengacak rambutnya frustasi. Bodoh! Bodoh! "Aku membiarkannya tenggelam tadi pagi, lalu pada siang harinya dia tenggelam di danau karena ada orang bodoh yang sengaja mendorongnya," 

Dokter itu sedikit terkejut. Seharusnya dia langsung melaporkan kejadian ini pada polisi, ini sudah jelas kasus tindak penyiksaan, tapi dia takut untuk melaporkannya, siapa yang tidak kenal kelaurga Sadlers?

Keluarganya jelas masih butuh makan dan dia tidak mungkin bertindak gila dengan melaporka Nico pada polisi, bisa miskin tujuh turunan jika dia nekat melakukan itu.

"Apakah dia menderita aquaphobia sebelumnya? Itu Istilah untuk orang yang mempunyai ketakutan berlebih terhadap kolam, danau atau sungai dan sejenisnya,"

Nico mengangguk lemah. Entah sudah berapa kali kata umpatan dalam hatinya dia sebut untuk dirinya sendiri. Dia tahu Mawar memiliki fobia itu tapi sengaja mengabaikannya dengan beralasan sebagai hukuman untuk perempuan itu.

"Secara keseluruhan keadaannya baik, kerusakan di dalam paru-parunya perlahan akan membaik karena itu tidak terlalu parah, tapi tidak dalam jangka waktu yang sebentar,"

Nico menghembuskan nafas lega, setidaknya paru-paru itu masih berfungsi dan akan pulih. Nico mengira dirinya akan kehilangan Mawar, jika itu terjadi dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

"Lalu, bagaimana dia bisa koma?"

"Istri anda dalam keadaan koma bukan karena ada masalah dengan paru-parunya, dia sedang terjebak dengan jiwanya sendiri. Seperti tidak mempunyai hasrat untuk bangun kembali, saya rasa itu juga dipengaruhi karena pobia nya," Dokter menjeda. "Keadaan ini lebih berbahaya dari pada orang yang mengidap kanker sekalipun, jika penderita kanker bisa di sembuhkan dengan melakukan berbagai operasi, tapi keadaan istri anda yang kehilangan semangat untuk hidup tidak bisa saya prediksi kapan dia akan sadar kembali, bisa jadi istri anda akan selamanya seperti itu. Itulah mengapa keadaannya lebih buruk daripada pasien penderita kanker sekalipun,"

"Teruslah mengajaknya berbicara, karena hal tersebut akan membantu memancing kesadarannya, istri anda butuh seseorang yang berarti dalam hidupnya untuk terus berada di sampingnya dan kita harus percaya bahwa keajaiban itu ada." Dokter meyakinkan Nico karena sedari Nico hanya diam memandangi meja dengan tatapan kosong. Dokter itu merasa heran dengan sikap Nico yang berbanding terbalik dengan pengakuan jahatnya barusan.

Nico keluar dari ruangan dokter dengan perasaan hampa, apakah ini balasan atas semua perlakuannya kepada istrinya? Rasanya begitu tidak adil! Kenapa sesakit ini? Ini tidak benar, Nico menggelengkan kepalanya.

Seharusnya dia tidak boleh sesakit ini, seharsunya dia tidak boleh menyesal mengetahui wanita sialan itu koma. Nico menggeleng kuat, meremas rambutnya kasar, kakinya terus melangkah menuju pintu keluar rumah sakit.

Tangannya mencengkram kuat kemudi dan pandangannya yang tajam lurus menatap jalan, dia memelenkan laju kendaraannya saat hujan deras turun dengan tiba-tiba.

Lalu karena terbawa suasana, pikirannya berkelana kemasa satu tahun lalu.

FLASHBACK

Nico Pov

Ibukota memang tidak pernah mati aktivitas meskipun hujan badai petir sekalipun, terbukti dengan banyaknya kendaraan yang masih memadati ibu kota Indonesia tersebut.

Aku merasa lelah karena baru saja menyelesaikan sebuah meeting dengan kolegaku, membahas pembangunan hotel kesekian yang akan di bangun di pulau dewata Bali.

Nada suara panggilan rock and roll dari ponselku memenuhi keheningan di dalam mobil, aku langsung meminggirkan mobil berniat menerima panggilan dari papa, kebetulan aku tidak membawa earphone.

"Halo Pa?" 

"Nic, Kamu masih dimana?" 

Aku sedikit membungkukkan kepalaku untuk melihat ke sekitar, aku hapal jalan ke arah mansion, akan tetapi aku sangat bodoh menghapal nama tempat yang aku lalui. 

Aku hidup di negeri orang hampir setengah hidupku, sejak remaja aku tinggal dan bersekolah disana. Sebelum lima bulan yang lalu Papa memutuskan untuk tinggal di Negara kelahiran Mama -Indonesia, dan memaksa diriku untuk ikut tinggal, aku menyetujuinya karena kebetulan aku berencana membangun proyek lebih banyak di Indonesia.

"Entah lah Pa, sebentar lagi aku akan sampai," aku melihat jam tangan sekilas. "Mungkin 20 menit lagi paling lama pa."

Terdengar helaan nafas disebrang sana. "Jika tahu akan begini, Papa tidak akan mengijinkanmu bekerja tadi. Yasudah, cepatlah pulang ya."

Tanpa menunggu jawaban dariku Papa sudah mematikan sambungan telponnya secara sepihak. Aku menghidupkan kembali mesin mobil kemudian menjalankannya perlahan.

Tujuh belas menit kemudian, aku sudah sampai di depan mansion milik papa yang berada di pusat kota, aku sebenarnya heran kepada mereka karena lebih memilih tinggal di pusat kota penuh dengan polusi. 

Seharusnya mereka menikmati masa tua di tempat yang sehat untuk mereka tinggali bukan di kota yang tingkat polusinya tinggi ini. Aku sudah menawarkannya untuk tinggal di mansion ku yang berada di tengah hutan dengan udara yang sangat segar, tapi mereka menolak dengan berdalih jauh dari keramaian. 

Aku melangkah masuk ke dalam mansion yang mana pintunya sudah dibukakan terlebih dahulu. Karena hari masih sore, maka pelayan akan berjaga di luar bertugas menyambut tamu atau siapapun nanti yang akan masuk ke dalam mansion. itu sudah menjadi kebiasaan keluarga sadlers. Memiliki banyak pelayan sayang jika harus dianggurkan.

Aku melangkah ke ruang makan, beruntungnya mereka belum menyelesaikan makan malam.

Papa yang menunggu kepulangan ku dengan tidak sabar sejak tadi pun langsung menyunggingkan senyum tampak lega saat melihat aku berjalan menghampiri meja makan.

"Halo semuanya, maaf saya sedikit terlambat." Aku menyapa mereka semua dengan sopan dan langsung mengambil tempat duduk di samping papa. 

Salah satu pelayan menghampiri ku untuk mengambilkan lauk pauk ke atas piring, sementara itu aku memperhatikan seorang gadis dengan kening mengkerut. Gadis di depanku ini sangat culun, memakai kacamata tebal dan rambutnya di kucir kuda, lalu aku beralih menatap baju milik gadis itu, dia menggunakan dress hitam polos yang menunjukkan kesan sederhana tapi sangat cocok untuknya.

Papa berdehem, senyum kecil muncul diwajah tampannya meskipun usianya yang sudah melewati setengah abad itu. "Perkenalkan, ini anak kebanggaan kami, Nico. "

Semua orang menatap ku dengan segan, kecuali gadis yang katanya akan menjadi calon istriku.

Aku kembali memperhatikan gadis itu dengan kening mengkerut, sepertinya gadis itu pemalu karena sejak tadi yang dia lakukan hanya menunduk dan fokus dengan makanannya saja, tidak sekalipun dia mendongakan kepalnya untuk melihatku meskipun ayahku sudah memperkenalkanku.

Aku membalas senyuman seorang wanita paruh baya yang tersenyum kepadaku, dia seorang wanita yang aku tebak berumur sama dengan Mama, lalu gadis kecil cantik juga terlihat imut tengah menatapku dengan mata bulatnya.

"Perkenalkan Nic, dia Mawar, calon istrimu. Dia baru lulus Sekolah Menengah Atas bulan lalu." tunjuk Papa ke arah gadis berkacamata yang duduk di sebelah Mamaku.

Aku sedikit kaget dengan kalimat terakhir yang papa ucapkan, itu berarti dia masih berusia 18 tahun terlalu muda untukku yang sudah berumur 28 tahun.

Aku menatap papaku penuh selidik, pasalnya papa tidak mengatakan apapun sebelumnya tentang gadis itu, dia hanya mengatakan nama dan dari mana gadis itu berasal.

Gadis itu mendongakan kepalanya, dia melihatku dan tersenyum tanpa mengatakan apapun lalu tertunduk kembali.

Aku merasakan desiran aneh dihatiku saat melihat senyuman itu, juga sedikit takjub dengan mata gadis itu yang terlihat indah meskipun terhalangi oleh kacamata tebalnya.

"Dan wanita itu bernama Shinta, calon mertuamu, lalu gadis cantik itu anaknya yang kedua, namanya Nadin, dia baru berusia 8 tahun, masih Sekolah Dasar." tunjuknya kepada dua orang yang tengah memperhatikanku.

Aku mengangguk dan tersenyum, aku tidak menanyakan keberadaan ayah Mawar, karena aku tahu dia sudah meninggal.

Lalu tiba-tiba kedua tangan ibu Mawar bergerak, seperti tengah memainkan tangannya hingga membentuk sebuah bahasa isyarat yang tidak aku mengerti.

"Saya tidak menyangka, nak Nico ini anaknya sangat tampan dan sopan terutama kepada orang yang lebih tua." Ucap Mawar, lalu dia menunduk kembali.

Aku mengernyitkan kening heran, lalu meminta penjelasan pada Papa dengan kode melalui tatapan yang kuberi.

Papa tampak berdehem sebentar sebelum menjawab, "Papa lupa memberitahumu bahwa ibunya Mawar memang tidak bisa berbicara sejak beliau dilahirkan, jadi untuk berkomunikasi di kesehariannya beliau selalu menggunakan bahasa isyarat,"

Aku mengangguk mengerti, walaupun masih merasa syok. Semoga mereka tidak menyadarinya karena aku tidak ingin mereka salah persepsi terhadapku.

"Terimakasih, Tante." ucapku tersenyum, lalu aku mengambil gelas berisi air putih yang tadi sudah di siapkan oleh pelayan, aku meminumnya dengan tenang.

"Jadi, kapan pernikahannya di langsungkan?" Tanyaku menatap Papa.

Semua orang menatapku terkejut, lalu Papa terkekeh menatap diriku dengan tatapan penuh arti. "Menurut Papa tidak usah terlalu buru-buru, ada baiknya kalian saling mengenal lebih jauh."

Aku mengalihkan tatapanku pada gadis yang akan menjadi calon istriku "Bagaimana menurutmu, Mawar?" 

Gadis itu mendongak dan menatap ku dengan terkejut, aku mengernyitkan keningku heran dengan reaksinya.

"Aku terserah kalian saja, lebih cepat lebih baik." ucapnya pelan, matanya bergerak menatap ku lalu menatap kedua orang tuaku secara bergantian.

Aku menaikan satu alis, aku kira gadis ini akan menolak tapi Jawabannya berbeda sekali dengan tingkahnya. Sungguh menarik!

"Bagaimana dengan anda, nyonya Shinta?" Tanya Papa, bermaksud meminta pendapat kepada calon besan nya itu.

Lalu aku melihat adegan itu lagi, adegan yang sedikit mengiris hatiku. Aku jadi membayangkan bagaimana mereka menjalani hidup selama ini, pasti sangat sulit. Karena Papa bilang, ibunya Mawar lah yang menjadi tulang punggung saat ayah Mawar meninggal.

"Tidak apa-apa Ibu, jika mereka setuju dengan pernikahan ini maka lebih cepat akan lebih baik. Masalah saling mengenal setelah kami menikah pun itu bisa dilakukan." Ucap Mawar, dia tersenyum pada ibunya.

"Memangnya apa yang dibicarakan oleh ibumu?" Tanya ibuku, dia angkat bicara setelah sejak tadi hanya diam saja memilih menyaksikan.

"Ibuku bilang, lebih baik aku dan Nico saling mengenal lebih dulu." Mawar menejda sebentar. "Tapi bukankah lebih cepat lebih baik? Jika kalian setuju aku siap menikah kapan pun,"

Aku menyunggingkan senyum, sepertinya aku salah menilai gadis itu dengan sebutan gadis pemalu, keputusanku tidak salah menerima perjodohan ini. Aku suka gadis yang misterius, seperti gadis di depanku ini. Aku pikir gadis itu adalah gadis yang pemalu tapi nyatanya dia gadis yang unik dan sedikit agresif.

"Baiklah, masalah saling mengenal bisa di lakukan setelah menikah, kami tidak masalah dengan itu, benar kan sayang?" Tanya Papa kepada Mama, yang hanya dibalas anggukan tanda setuju.

Papa tersenyum bangga kepadaku, mungkin dalam hatinya dia bersyukur telah membesarkanku sebagai anaknya. Karen aku yakin papa mengira aku akan menolak perjodohan ini dengan sekali melihat gadis itu. Akan tetapi semua di dugaanku, aku malah langsung ingin menikahnya, entah ada apa dengan diriku. 

Dan setelah itu, ruang makan hanya di isi oleh obrolan ku dengan papa yang membahas tentang pembangunan hotel baru di daerah Bali dan obrolan Mama dengan calon menantu dan besan nya. Sesekali aku melihat ke arah Mawar dan kadang kami saling beradu pandang tapi gadis itu hanya tersenyum menanggapiku lalu fokus kembali dengan makanannya.

"Kau gadis yang pemalu, ya?" Tanyaku saat kami sedang mengobrol di taman, rasanya sangat kaku sekali karena aku tidak biasa mengobrol dengan gadis belia seperti ini.

Mawar menolehkan wajahnya dan tersenyum manis kepadaku. "Aku tidak tahu, tapi kata tetangga di kampung ku aku orang yang galak,"

Aku sedikit terkekeh mendengar penuturannya barusan, "Aku sedikit meragukan itu," balasku.

Mawar hanya mengedikkan bahunya, lalu dia kembali menatap ke bawah.

Kita mau kemana, om?" Tanya nya kemudian.

Aku meringis mendengar panggilan itu. "Panggil aku Nico saja, om terlalu tua untukku,"

"Bukannya-" aku mengangkat tanganku untuk memotong ucapannya. "Tidakkah kau lihat diriku? Apa aku seperti om-om tua?"

Mawar memperhatikanku, dia menggelengkan kepala, lalu mengulum senyumnya yang membuatku kesal. "Tidak sama sekali," ucapnya, lalu dia menunduk kembali. "Kita akan kemana?" Tanyanya lagi.

Aku menunjuk sebuah kursi yang berada tidak jauh dari jarak kami mengobrol. "Kesana,"

Mawar hanya mengangguk saja, dia berjalan beriringan denganku.

Aku sesekali menatap Mawar, dilihat dari samping gadis ini sangat cantik, dia memiliki hidung yang kecil dan Bangir sangat cocok dengan karakter wajahnya yang terkesan lembut dan matanya yang bulat serta di tumbuhi bulu yang tidak terlalu lentik tapi menambah kesan kecantikan alaminya.

Mawar mengambil tempat duduk di sebelahku, dia menoleh dan tersenyum menatapku. "Aku senang calon suamiku sangat baik dan sopan seperti dirimu," ucapnya menunduk menyembunyikan wajahnya yang merona malu, tapi masih bisa terlihat olehku. Sangat menggemaskan.

Aku hanya diam sambil memperhatikan nya.

Mawar mengangkat kepalanya, hingga kami saling berada pandang. "Kenapa kau ingin menikah denganku?"

Aku mengerutkan kening, sedang memilah jawaban yang tepat untuk disampaikan. "Aku hanya mengikuti perintah Papa, perjodohan ini tidak bisa ditolak karena setiap anggota keluarga sadlers selalu memegang teguh janjinya." Ucapku menjeda saat aku melihat raut muram dari gadis itu."Tapi tenang saja, pernikahan adalah hubungan yang di agungkan di keluarga Sadlers dan akupun akan menjamin hidupmu dan keluargamu," 

Aku bisa melihat ekspresinya yang berbinar bahagia.

"Apa kau tidak masalah denganku? Umur kita memiliki perbedaan yang sangat jauh," tanyaku, aku memang tidak keberatan menikah dengannya apalgi dia ini tipe perempuan idamanku, memiliki wajah cantik dan tubuh sintal yang nantinya akan bisa memuaskan hasratku tentu saja.

Dia menatapku lama, lalu kepalanya mengangguk. "Aku tidak keberatan," ucapnya.

Lalu tiba-tiba dia bersuara."Aku ingin pernikahan satu kali seumur hidup." Aku mendengar nada keraguan disana, mungkin dia masih ragu padaku.

Aku memperhatikan gadis itu dengan lekat, lalu kata-kata yang tidak aku sadari sebelumnya meluncur begitu saja dengan mudah."Tentu saja, aku hanya berniat menikah satu kali seumur hidupku." Biar bagaimanapun Sadlers memang memiliki prinsip aneh dengan pernikahan, jadi sebagai bagian dari keluarga itu, aku terpaksa harus mengikuti prinsip itu.

Mawar tersenyum, kami saling berpandangan cukup lama menyelami kedalam bola mata masing-masing untuk mencari sebuah ketertarikan disana, sampai hembusan angin menyadarkan kami dan dia mengalihkan tatapannya dariku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status