Share

Memiliki hati batu

"Tuan, apakah anda masih akan duduk di sana?" Enah bernafas lega saat mulutnya mengeluarkan suara, tapi setelahnya merasa takut saat Nico menoleh ke arahnya padahal Nico hanya menatapnya dengan tatapan biasa, mata tajamnya memang terlihat menakutkan.

"Tentu saja, memangnya kenapa? Ini rumahku!" Ucap Nico sedikit meninggikan suaranya, lalu fokus kembali kepada majalahnya, tidak menghiraukan bajunya yang basah atau pelayan yang mencoba mengusirnya. Cih! Ini mansionnya, terserah dirinya ingin berada dimana saja.

"Saya akan mengganti baju nyonya, tuan."

Nico berdecak, tampak kesal."Lalu apa masalahnya?"

Enah menelan ludahnya, apa yang harus dia katakan agar Nico tidak marah. Sebenarnya dia hanya ingin meminta tolong untuk memindahkan Mawar ke dalam. Dia agak beban jika harus menelanjangi Mawar di ruangan terbuka seperti ini.

"Lakukan saja, DI DEPAN KU!" Ucap Nico penuh penekanan di akhir kalimat.

Brak!

Nico membanting majalahnya ke lantai, mengejutkan Enah yang akan membuka bra milik Mawar, dia menatap Nico heran.

"Sialan!" Setelah mengumpat, Nico mendekati Mawar, menggendongnya ala bridal."Ikuti aku," perintahnya, yang segera dipatuhi oleh Enah.

Nico menggelemutukan giginya, tidak di sangka melihat tubuh Mawar yang setenagh polos bisa dengan mudah membangkitkan gairahnya. Sial! Sial!

Miliknya sudah bereakasi saat dia memberikan pertolongan pertama tadi, dia hanya menguji dirinya sampai mana wanita sialan itu bisa mempengaruhi nya.

Lalu saat melihat kedua dada itu hampir ter ekspos, dia sudah tidak bisa menahan nafsunya lagi. Jadi, daripada bertindak di luar nalar lebih baik dia segera memindahkan wanita sialan itu.

Setelah sampai di kamar, Nico langsung membaringkan tubuh Mawar di atas kasur kecil yang berada di ujung ruangan. Kasur itu tampak usang, Kasur yang biasa di tempati Mawar selama tinggal di mansion ini.

"Ganti bajunya." Titahnya, lalu beranjak dari ruangan minim cahaya tersebut.

Enah mengangguk patuh, dia membungkukan badan dikala Nico melewati dirinya.

"Nghh.."

Kedua kelopak mata yang berbentuk indah itu mengejap, perlahan terbuka hingga menampilkan sepasang mata indah bermanik cokelat. Mawar menarik nafasnya saat merasakan sesak di rongga dadanya, keningnya mengkerut dalam lalu cairan bening meluncur begitu saja dari pelupuk matanya. Menangis adalah satu hal yang di bencinya, karena dia tahu dirinya lemah, dengan menangis dia malah terlihat semakin lemah. Dia sangat benci air mata.

"Shhh"

Ketika hendak bangun, Mawar merasakan sakit yang teramat pada bagian dada dan pinggangnya, tapi tetap memaksakan diri untuk bangun.

Air matanya kembali turun saat mengingat kejadian sebelum dirinya hampir mati di dalam kolam. Kapan semua ini akan berakhir? Dia sangat lelah.

Mawar menoleh ke samping kiri dan mendapati nampan berisi makanan yang di letakan di atas lantai, dia tidak bisa memastikannya karena ruangan ini sedikit gelap. lalu setelah membukanya, matanya melihat semangkok sup dan obat. Sepertinya sup itu sudah lama disana sehingga saat dia memakannya, sup itu sudah dingin. 

Ceklek

Mawar mengangkat kepalanya ke arah pintu, matanya menyipit ingin memperjelas penglihatanya.

"Nyonya, sudah sadar?"

Mawar tersenyum semringah  mendengar suara Enah yang tersirat akan ke khawatiran, lalu dia mengangguk sebagai jawaban.

Tatapannya kini terarah pada nampan yang dibawa Enah.

"Itu apa, Bik?" Tanyanya setelah Enah berada di hadapannya.

"Ini sup ayam, badan nyonya terasa hangat, bibi takut nyonya nanti sakit,"

Mawar memegang keningnya, dia merasakan suhu yang tidak biasa disana.

"Lah...Lah... Nyonya jangan di makan, itu sudah dingin,"

"Tapi ini-"

" Ini saja," Enah memberikan semangkuk sup hangat pada Mawar.

Mawar mengangguk, menaruh kembali sup yang sudah dingin tadi ke lantai dan menerima sup yang baru."Makasih Bik," ucapnya dengan senyum mengembang.

Mawar mulai menyendokkan kuah sup itu ke dalam mulutnya, rasanya memang tidak usah diragukan lagi, sangat enak.

"Sekarang jam berapa, Bik?"

"Jam 2 sore, Nyonya,"

Mata Mawar membulat. "Apa?!"

"Nyonya sudah pingsan setengah hari," jelas Enah.

"Apa Nico tidak memarahi kalian lagi? Bagaimana Sarah? Dia masih di kurung?" Tanya Mawar khawatir.

Mawar tidak menyangka hidupnya akan berjalan seperti ini, menikah dengan Nico memang pilihannya tapi kalau bisa mengulang masa lalu, dia akan menolak pernikahan ini dan lebih memilih bekerja untuk menghidupi adik dan ibunya di kampung.

Dia sendiri pun heran, ada orang yang bisa berubah secepat itu. Nico ibarat iblis yang tidak punya belas kasihan, setelah membiarkannya diguyur hujan tadi malam, rasanya belum cukup bagi pria itu jika tidak melihat penderitaanya lagi tadi pagi.

"Tuan tidak ada di mansion, Sarah masih di ruang bawah tanah, nyonya,"

Mawar menerawang jauh. Andai, andai saja penyesalannya berarti.

"Kalau saja aku menurut padanya, mungkin kita tidak akan melihat sisi lain darinya ya? Ini semua salah aku Bik, maaf menyusahkan kalian," Mawar menunduk dan mengaduk-ngaduk sup yang ada di atas pangkuannya.

Mawar merasa sangat bersalah, sebab baru pertama kalinya semua pelayan melihat Nico marah sampai seperti itu, biasanya pria itu tenang-tenang saja. Ini semua salahnya. Nico sudah memperingatinya, jangan meninggalkan mansion. Tapi bagaimana dia sudi terus di mansion sedangkan lelaki itu setiap datang ke mansion selalu membawa wanita yang berbeda, salahnya juga yang tidak becus melayani suami, yang terjadi pada lelaki itu memang kesalahannya.

"Tidak nyonya, itu bukan kesalahan Nyonya," ucap Enah sambil mengelus lengan atas Mawar, mencoba menenangkan.

"Saya pikir nyonya tidak akan kembali lagi ke mansion ini, bukankah nyonya telah menemukan lelaki yang tepat, siapa namanya? Neto?" Ucapnya berpura-pura lupa, padahal lelaki itu sering mengunjungi nyonya -nya ke mansion ini.

Mawar tergelak. "Dito, Bik,"

Tapi seketika raut wajah Mawar berubah menjadi sedih. "Dia lelaki berengsek!" Tangannya meremas kain sprai dengan erat, "Dia hampir memprokosa ku," matanya mulai berkaca-kaca saat ingatannya kembali pada kejadian kemarin siang, Dito malah membawanya ke dalam hotel dan memaksanya disana.

"Astaga!" Enah membungkam mulutnya tidak percaya.

Satu bulir air mata turun melewati pipi mulusnya. "Aku sangat menyesal, setidaknya meskipun di kurung, tapi Nico tidak pernah melecehkan ku," ucapnya penuh penyesalan akan kebodohannya yang tidak pernah bersyukur memiliki suami seperti Nico.

"Nyonya harus mengadukannya kepada tuan, lelaki itu harus di beri pelajaran, lancang sekali dia," ucap Enah berapi-api.

Mawar menarik nafas dan menghembuskanya, hatinya terasa sakit karena pada saat itu dia sendiri yang memilih kabur dari Nico, dia yang salah telah menggali lubangnya sendiri.

"Tidak apa, Bik," Mawar menyendokan kembali supnya. "Lagipula itu tidak terjadi,"

"Laporkan saja kepada polisi-"

Mawar terkekeh. "Polisi mungkin takut kepadanya,"

"Kenapa begitu?"

Mawar mengedikkan bahunya, "Uang yang berkuasa, Bik." selama tinggal dimansion ini, Mawar hanya tahu Nico memiliki dua orang teman dan mereka sangat berpengaruh di negara ini, Dito yang mengatakannya.

Dito sering mengajak Mawar mengobrol membagi banyak hal dengannya, hingga Mawar sedikit menaruh rasa kepercayaan kepada lelaki tersebut. Dito pun tahu bahwa Mawar tidak bahagia dengan pernikahannya, mungkin lelaki itu mengira Mawar bisa dimanfaatkan.

Untung saja saat kejadian nahas tersebut, Dito membiarkan Mawar kabur tidak mengejarnya setelah Mawar berhasil menendang kejantanannya sebanyak dua kali tanpa ampun.

"Oh ya Bik, jangan panggil aku nyonya. Panggil nama saja,"

"Tidak bisa begitu, bibik tidak enak, nyonya adalah istri tuan," tolaknya.

Mawar tersenyum, dari semua pelayan di mansion ini. Bik Enah yang sangat baik kepadanya, wanita ini sudah seperti ibu baginya.

"Bukankah Nico juga selalu memarahi kalian jika memanggilku nyonya, sudahlah sebutan tidak terlalu penting, aku tidak mau kalian dimarahi terus olehnya,"

"Tapi nyonya.."

"Sudahlah, mau dipanggil apapun aku baik-baik saja." Mawar tersenyum tapi tidak bisa menghilangkan raut kesedihan yang terpancar dari wajahnya.

Enah bungkam melihat ekspresi sedih dari Nyonya nya, dia jadi ikut bersedih.

Mawar terkekeh. "Kenapa Bibi seperti ingin menangis?"

"Saya tidak tega nyonya diperlakukan seperti itu, kenapa kalian tidak saling berbaikan saja, menyelesaikan masalah kalian,"

"Tidak semudah itu, Bik" Mawar membuka mulutnya dengan ragu. "Aku menikahinya karena uang," dia tersenyum kaku melihat reaksi keterkejutan dari Enah.

"Dengan kata lain pernikahan ini terpaksa, tidak untukku tapi untuk Nico. Itulah kenapa aku mencoba bertahan dengan semua sikap buruk Nico. Karena aku membutuhkannya." Mawar menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. "dulu Nico tidak seperti itu, dia sangat amat baik dan -" Mawar menggelengkan kepalanya tidak kuat ketika mengingat masa lalu.

"Cih!"

Dua orang yang berada di ruangan itu menoleh, ternyata ada seseorang yang sedang mendengarkan mereka berbicara sedari tadi.

"Bik, siapa?" Tanya Mawar.

"Anu nyonya, itu.."

"Dito?" Tanya Mawar memastian.

Dito terkekeh, terkesan meremehkan. Kakinya bergerak melangkah mendekati Mawar, langkahnya terhenti dikala matanya mengedar tampak menilai ruangan yang menjadi kamar Mawar.

Tidak ada lampu, cahaya satu-satunya berasal dari pintu saja, dia pastikan jika pintunya di tutup, maka ruangan ini akan terasa sangat pengap dan gelap. Ruangan ini jelas tidak pantas disebut kamar, lebih tepatnya mirip seperti penjara, bahkan penjara saja lebih bagus dari ruangan ini.

Dito berdiri menjulang, kontras sekali dengan tubuh Mawar yang kecil dan kurus. Dia mengelus rambut Mawar sayang dan langsung mendapat tepisan kasar dari wanita itu.

"Ada urusan apa kau kemari?" mata Mawar melebar penuh kemarahan berharap Dito segera pergi dari kamarnya.

"Santai, cantik." ucap Dito mengangkat kedua tangannya ke atas.

"Bik, dimana kacamataku?" Tanya Mawar meraba-raba kasur di sampingnya, telinganya mendengar kekehan dari pria brengsek itu tapi Mawar menghiraukannya.

"Ini, nyonya." Enah memberikan kacamata yang ditemukannya di ujung kasur.

"Ayo Bik, kita pergi." Mawar berniat menghindar, tidak ingin mencari keributan apalagi sampai mengundang Nico datang ke kamarnya, jika Dito berada disini, berati Nico pun sedang berada di mansion.

Mawar menggenggam tangan Enah dengan erat, merasa ketakutan saat bayangan Dito mencoba memprokosanya terlintas kembali.

Saat sudah keluar kamar, Mawar merasa sangat lega karena Dito tidak mengikutinya apalagi menahannya."Bik, aku ingin tidur di kamar Bibi saja."

Kamar Enah dua kali lipat lebih besar daripada kamar Mawar, bukan hanya Enah saja, tapi semua pelayan di mansion memiliki kamar yang sama, hanya kamar dirinya saja yang berbeda.

Tentu saja milik Mawar bukan kamar tetapi gudang yang dimodifikasi oleh Nico menjadi kamar, bahkan Nico rela mengeluarkan uangnya hanya untuk membangun kamar mandi di dalamnya dari pada harus repot-repot membiarkan Mawar menempati salah satu kamar pelayan.

Meskipun begitu, Mawar tetap bersyukur selama tinggal di mansion hidupnya berkecukupan, bisa makan dan tidur dengan nyaman dan tentunya Nico selalu mengirimkan uang untuk adik dan ibunya dikampung, itu adalah tujuannya menikahi Nico. Membuat keluarganya dikampung terpenuhi kebutuhannya, agar ibunya tidak lagi bekerja menjadi pelayan dan adiknya bisa tenang bersekolah disana.

Mawar merebahkan dirinya dikasur empuk milik Enah, dia menatap sendu ke arah jendela yang berukuran sedikit besar itu, sinar muncul dari sana dan matanya bisa melihat langit lalu pepohonan berwarna hijau yang tampak tentram dipandang mata.

Mawar menipiskan bibirnya ke dalam, dia juga ingin memiliki jendela seperti itu agar bisa melihat sinar matahari dikala pagi. Mawar tersenyum miris, menggelengkan kepala dan memejamkan matanya mencoba tertidur agar rasa sakit di kepala dan tubuhnya menghilang.

"Dari mana saja, kau?" Tanya Dion, dia menoleh sekilas kearah Dito setelah itu kembali fokus pada permainanya di layar.

"Biasalah," ucapnya santai,  menyandarkan punggungnya di sofa lalu menghembuskan nafasnya lelah.

Nico hanya mengedikkan bahunya acuh, lalu mematikan layar saat permainan masih berlangsung.

"Kenapa di matikan sih, layarnya? Kau ada masalah apa hah?!" Tanya Dion melotot, Dito hanya terkekeh melihat ekspresi tak terima Dion karena layarnya di matikan sehingga permainannya pun ikut mati.

Nico mengedikkan bahunya acuh. "Sana kalian pergi, mengganggu saja!"

Dion menggeleng tidak percaya. "Cih, kami kesini karena meindukanmu," tunjukknya pada Nico, membuat Nico bergidik ngeri." Sejak kau menikah dengan si cupu, buruk rupa itu kau menjadi lupa dengan kami." ucapnya, mengeluarkan uneg-uneg nya selama satu tahun ini.

Bugh

Dion meringis sakit ketika mendapatkan tendangan di kepalanya. "Kau kenapa sih?!" Dia menunjukan raut tidak terima pada Dito yang menjadi pelaku utama.

"Berisik!" Ucap Dito dengan suara yang tak kalah tinggi dari Dion.

Dion memicing curiga "Ck. Kau suka dengan perempuan itu?"

Dito memberikan tatapan tajamnya pada Dion, lalu menoleh pada Nico yang hanya diam saja. Dito tersenyum sinis melihat sikap tidak perduli Nico.

"Jika iya, memangnya kenapa?  Ayolah kita tahu dia wanita jalang, tapi dia sok jual mahal saat aku akan menyentuhnya. Cih!"

Dion terkekeh. "Cocok kalian, yang satu brengsek yang satu bego!"

"Shut up!"

Dion dan Dito menjadi cengo, mereka memandang satu sama lain dan mengerutkan keningnya bersamaan.

"Kau mau kemana?" Tanya mereka bersamaan, lalu memandang satu sama lain, meringis jijik.

"Bukan urusan kalian, sebaiknya kalian segera pergi dari sini atau aku terpaksa memanggil penjaga untuk mengusir kalian." ucap Nico tak acuh.

Nico melangkahkan kakinya memasuki lift, menekan tombol angka empat yang merupakan lantai paling atas dari mansion.

"Kau sih!" Dito melempar kaleng minuman kosong dan berhasil mengenai kepala Dion.

Dion memberikan tatapan tajam, merasa tidak terima.

"Mulutmu seperti perempuan saja, cerewet!" Ucap Dito kesal, lalu dia bangkit mengikuti Nico yang sudah menaiki lift.

Bugh

Bugh

Dion tersenyum puas saat dua kaleng minuman kosong mendarat di kepala Dito.

Dito masuk kedalam lift tidak menghiraukan kaleng yang mengenai kepalanya, tangannya menekan nomor lantai yang sama dengan Nico.

Bunyi ting terdengar lalu pintu lift terbuka, Dito langsung melangkah ke luar dari lift, mengedarkan pandangannya dan langsung menemukan sahabatnya yang sedang duduk di bar mini.

Dito menepuk punggung Nico, lalu pria itu menoleh. "Why?" Tanya Nico lalu meneguk kembali minumannya.

"Kenapa Mawar masih disana?" Tanya Dito, lalu ikut menuangkan minuman ke gelasnya.

Nico mengangkat satu alisnya."Itu tempatnya"

Dito menatap Nico tidak suka. "Ceraikan dia,"

Nico hampir saja tersedak minumannya."What?" Dia merasa mungkin telinganya sedikit bermasalah.

"Bukannya kau menikahinya karena terpaksa? Aku tahu Mawar menikah dengan mu karena uang dan dia juga telah-"

"Fuck!" Nico mengumpat, memperingati Dito agar tidak melanjutkan ucapannya.

"Perlakukan dia seperti manusia minimal," ucapnya tak takut dengan tatapan tajam Nico dan jari telunjuk Nico yang mengacung di depan wajahnya untuk memperingatkannya.

"Aku tadi ke kamarnya," lanjutnya, dia tersenyum miring saat melihat rahang Nico mulai mengeras."kamar itu lebih mirip seperti ruang tahanan, dan dia sedang sakit jika kau belum tahu,"

Dito menepuk bahu Nico. "Aku menginginkannya dan aku tidak bisa melakukan apapun saat dia masih berstatus sebagai istrimu," ucapnya sungguh-sungguh.

Nico memutar-mutar gelasnya lalu meminumnya dengan sekali tegak sampai tak bersisa.

"Aku serius dengannya. Kau tahu?" Dito juga menuangkan minuman ke gelasnnya."Aku tidak percaya dia perempuan jalang yang selalu kau ucapkan, dia terlalu polos dan lugu,"

Sebuah kekehan keluar dari mulut Nico. "Percayalah, akupun sama denganmu saat pertama kali melihatnya,"

"Aku sudah mengenalnya selama beberapa bulan ini dan dia adalah perempuan baik-baik," sanggah Dito.

Nico menoleh sinis. "Lalu kenapa kau berniat memprakosanya brengsek?!" Tangannya kini berpindah mencengkram kerah kaos yang di kenakan Dito.

"Sudah kubilang aku menginginkan nya dan aku tidak bisa melakukan apapun saat dia masih menjadi istrimu."

"Fuck! Tunggu sampai ibuku sembuh dari penyakitnya, maka kau boleh mencicipi tubuhnya sepuasmu," Nico tersenyum puas melihat Dito mencengkram gelas, tampak kesal. "Karena saat itu aku akan menceraikannya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status