Share

MAWAR
MAWAR
Penulis: Purpelo

Nico yang kejam

"Pak Tejo, kenapa gerbangnya di kunci?" 

"Maaf nyonya. Tuan Nico yang memerintahkan."

Kening Mawar mengernyit heran. "Tolong buka, pak."

Tejo merapatkan kedua tangannya, meminta maaf, lalu kembali ke pos dengan perasaan tidak tega.

Mawar menghembuskan nafas pelan, memilih duduk lesehan di atas paving block. Entah sampai kapan harus menunggu. 

Mawar menengadahkan wajahnya ke atas memandangi langit yang sudah lama berubah warna. Matanya berkaca-kaca, dia mengigit bibirnya lalu tangannya bergerak mengusap perutnya, merasakan lapar yang tak kunjung hilang sejak tadi.

Dengan badan lemah, Mawar perlahan bangkit dari posisi duduknya, berjalan menyusuri hutan dengan di temani sinar bulan sebagai penerang setiap langkahnya.

Dulu saat kabur dari amukan Nico, Mawar pernah melihat pohon jambu di dekat danau, dia menengok ke segala arah lalu merasa kecewa, karena pohon jambu itu tidak berbuah, jangankan pohon jambu, buah beracun pun tidak ada di sini.

Sudah lelah mencari sesuatu untuk di makan tapi tidak dapat menemukannya akhirnya Mawar memutuskan untuk beristirahat di tepi danau atau mungkin bermalam di sini lebih baik pikirnya. Hutan di dekat mansion memang tidak berbahaya, Nico membangun pagar tinggi sepanjang puluhan hektar sebagai pembatas dengan hutan berbahaya di kedalaman yang ditinggali oleh banyak binatang buas.

Mawar duduk di atas rumput, menekuk kedua lututnya dan satu tangannya menopang dagu menatap lurus ke arah mansion mewah yang terlihat jelas dari tempatnya sekarang, dia sengaja mengambil tempat terjauh dari danau karena tidak ingin terlalu dekat dengan tempat menakutkan itu.

Mansion itu berjarak sangat jauh dari penglihatannya, tapi kilaunya sangat mengagumkan, seperti istana yang sering Mawar lihat di buku dongengnya waktu kecil. Dia termasuk orang yang beruntung karena bisa tinggal di dalamnya. Ya! Sangat beruntung. Raut wajahnya tiba-tiba berubah menjadi sendu.

Tangan Mawar bergerak, melepas kacamata tebalnya agar bisa menghapus air matanya yang entah sejak kapan membasahi pipinya, lalu dia merebahkan dirinya di atas rumput.

Senyumnya perlahan mengembang saat matanya dapat melihat bintang dan bulan yang terlihat indah di langit. Lalu matanya mulai tertutup, mencoba tertidur walaupun kulitnya sedikit menggigil merasakan dingin karena saat ini dia hanya di temani oleh hembusan angin saja.

Angin bertiup kencang, menabrak rimbunnya daun di pepohonan. Tapi tidak membangunkan seorang gadis yang tengah terlelap dalam tidurnya dengan keadaan meringkuk tampak seperti anak kecil.

Tidak berselang lama, hujan pun turun membasahi semua benda yang di laluinya dan membangunkan seorang gadis yang tengah tertidur di atas dinginnya rumput hijau yang menjadi alas satu-satunya.

Mawar mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, dia langsung terduduk saat merasakan badannya basah kuyup.

"Dingin." ucapnya Parau.

Mawar memeluk tubuhnya yang menggigil, merasa dingin sekaligus ketakutan karena angin bertiup kencang.

Duaaaar!

Mawar terlonjak kaget, dia menjadi panik lantas berdiri dan langsung berlari masuk ke dalam hutan. Menangis dan menangis, hanya itu yang bisa dia lakukan.

Mawar kesusahan melihat karena kacamata nya memburam terkena air hujan, lalu cahaya bulan pun telah hilang di gantikan dengan kilatan guntur yang sesekali muncul. Ternyata semua itu masih belumlah cukup, kini air hujan turun dengan deras dan mulai menyakiti kulitnya, menambah penderitaanya malam ini.

"Pak! Tolong buka gerbangnya!" Teriaknya, kedua tangannya selalu setia  memeluk tubuhnya.

Kepala Mawar bergerak menengok ke atas, matanya melihat ujung pagar yang meruncing seperti anak panah membuatnya merinding ngeri. 

Tidak ada yang bisa di lakukannya selain menunggu dengan duduk di bawah guyuran hujan, tidak ada tempat untuknya kembali selain mansion ini maka dari itu dia harus menunggu sampai ada seseorang yang sudi membukakan pintu gerbang untuknya.

Mawar memilih duduk dengan menekuk kedua lututnya dan wajahnya di tenggelamkan disana. 

Tak lama hujan pun reda, Mawar yang masih terjaga mendengar bunyi gesekan dari pintu gerbang. Ingin melihat, tapi kepalanya serasa di timpa oleh beban yang sangat berat, kepalanya berdenyut nyeri sehingga untuk mendongak pun susah. Tapi dia mencoba sekuat tenaga, memaksakan dirinya agar bisa mengangkat kepalanya dan dia melihat Bik Enah, seorang wanita paruh baya yang berprofesi sebagai kepala pelayan di mansion.

"Ya ampun, nyonya!" Enah terpekik. Lalu dengan sigap Enah membantu Mawar berdiri, dia ingin menangis melihat keadaan majikannya sekarang.

Mawar berjalan tertatih-tatih di bantu oleh Enah, badan nya begitu lemas, kepalanya sangat pening dan badannya menggigil kedinginan.

"Bagaimana, Bibi bisa tahu aku ada di sini?" Mawa terus memaksakan kakinya melangkah.

"Sebenarnya Bibi dan Sarah sedang menunggu nyonya di pos," tunjuknya ke arah pos yang tidak jauh darinya."tapi kami malah ketiduran," lanjutnya, menyesal. Kedua tangannya setia menuntun Mawar sampai duduk di dalam golpcar, lalu menjalankan golpcar tersebut dengan perlahan.

"Sarah dimana sekarang?" Tanya Mawar dengan suara lirih, tak kuasa menahan lemas di tubuhnya.

"Sedang tidur di pos." ucapnya merasa tidak enak.

Mawar hanya mengangguk, dia memejamkan matanya karena sakit di kepalanya semakin menjadi.

"Terimakasih, Bik." 

Enah hanya mengangguk perihatin, tega sekali tuannya membiarkan istrinya sendiri menderita sampai seperti ini. Meskipun begitu, dia tidak bisa melakukan apa-apa, untuk membela pun tidak bisa. 

Enah menutup pintu kamar mandi setelah sebelumnya pamit agar dirinya tidak mengganggu Mawar yang hendak membersihkan diri.

Langit sudah terang, karena matahari sudah menampakkan sinarnya. Seorang gadis belia yang tengah bergelung di dalam selimut tipis mengerjapkan kedua matanya.

"Jam berapa sekarang?" Tanyanya, tapi hanya keheningan yang menjawabnya.

Mawar menyingkapkan selimut tipis yang membungkus tubuhnya, mendudukkan dirinya mencoba meraih penuh kesadarannya. Tiba-tiba kepalanya merasakan pening hingga membuat pandangannya menjadi gelap.

Setelah penglihatannya sudah membaik, dia menurunkan kedua Kakinya perlahan, mengernyit ngilu dikala merasakan dingin pada lantai yang dipijak.

Matanya mengedarkan pandangan kesegala arah, 'gelap' hanya ada dua bilah cahaya yang berasal dari lubang ventilasi udara yang letaknya di atas pintu. 

Mawar melangkahkan kakinya perlahan menuju pintu, memutar handle pintu lalu perlahan pintu itu terbuka, sehingga matanya bisa melihat cahaya yang lebih terang. Kepalanya menoleh ke sebelah kanan ingin melihat cahaya yang menerobos masuk lewat kaca kecil dan satu satunya sumber cahaya yang menerangi terowongan ini.

Tangannya bergerak mengusap tenggorokannya merasakan haus, berjalan dengan sempoyongan menuju dapur khusus pelayan, dia ingin mengambil air minum.

Sementara itu, di ruang utama mansion, para pelayan berbaris dan menunduk di hadapan Nico, tidak ada siapapun yang berani mengangkat kepala mereka.

"SIAPA YANG MEMBERIKAN IZIN KALIAN UNTUK MEMBAWA DIA MASUK KE DALAM MANSION?!" Teriaknya murka, rahangnya mengeras.

Nico melangkah mendekati seorang wanita paruh baya yang terlihat ketakutan, dia bisa melihat dari tubuhnya yang bergetar.

"Tuan!" Sarah berteriak histeris saat Nico mengangkat kerah baju Enah dan melemparkan tubuh renta itu ke lantai tanpa perasaan.

Nico mengencangkan rahangnya, dia kembali murka mendengar seseorang berani berteriak padanya. "Bawa dia keruang bawah tanah!" titahnya pada dua orang pria bersetelan hitam yang merupakan penjaga gerbang kedua mansion.

Mereka mengangguk patuh, lalu membawa Sarah yang berteriak histeris minta di lepaskan.

Mata tajam Nico menyorot mengancam kepada semua pelayannya, dia mendekati Enah kembali, mengangkat kerah baju pelayan itu sehingga membuatnya berdiri."Tahu kesalahanmu?"

Enah mengangguk menahan suara isakannya dengan susah payah, karena dia tahu majikannya ini akan semakin murka jika mendengar suara isakan yang tidak berguna.

"Maafkan saya, tuan." ucapnya memohon, kepalanya masih menunduk takut.

"N-ico?"

Nico mengernyit tidak suka saat mendengar suara yang tidak ingin dia dengar. Tangannya melepaskan cengrkramannya, membuat Enah menarik nafas lega.

Nico memutar tubuhnya, lalu tersenyum sinis melihat Mawar yang berdiri ketakutan di sana.

Meskipun setengah mati ketakutan, Mawar memberanikan diri melangkah mendekati Nico. Kemarahan Nico memang kesalahannya, tidak seharusnya semua pelayan yang menanggung akibat dari kesalahan yang telah dia perbuat.

"Mereka tidak bersalah, jika mereka tidak membiarkan aku masuk, mungkin aku akan mati semalam," Melihat kilatan kebencian di mata Nico, kepalanya kembali menunduk dengan perasaan was-was.

"Sial! Memang aku perduli!" Kedua tangan Nico mengepal sehingga menampilkan urat lengannya dengan sangat mengerikan, membuat Mawar meringis tanpa sadar saat melihat urat yang mengerikan itu.

"Aku tahu kau tidak pernah perduli, siksa aku saja, jangan mereka," Mawar menatap sedih para pelayan yang sedang menunduk ketakutan, dia menghembuskan nafasnya lelah, lalu menoleh kembali pada Nico.

Nico melangkah semakin mendekat, sorot matanya menajam sarat akan kebencian. Kedua tangannya di angkat hingga bertengger di leher Mawar, mencekik wanita itu seperti hendak mematahkan nya.

Mawar terkesiap, dia memegang tangan Nico dan mencoba melepaskan cekikan yang amat menyakitinya itu.

"Lepaskan tangan kotormu dariku, jalang!" titahnya dengan sebuah geraman.

"S-sakit," Ucap Mawar terbata menahan sesak, tapi dia menuruti perintah Nico.

Nico tersenyum miring, perlahan tangannya mengangkat tubuh Mawar dengan menguatkan cekikan di leher jenjang itu, sehingga mengalirkan rasa kepuasan dalam denyut nadinya.

"Ni-co, le-pas." Ucapnya terputus-putus. Matanya terpejam kuat, mencoba menghalau rasa sesak yang mulai dirasakannya.

Brak!

Para pelayan terpekik, menyaksikan Nyonya mereka di banting ke tembok hingga tubuh kurus itu terpental jatuh ke lantai. Tidak ada yang berani menolong karena mereka semua masih menyayangi nyawa dan pekerjaan mereka.

Setelah membanting Mawar, Nico menghampirinya dan tanpa perasaan menarik pergelangan tangannya dengan kasar, memaksanya agar berdiri, tidak menghiraukan Mawar yang masih terbatuk-batuk dan kakinya terseok-seok mengikuti langkah lebarnya. Nico tersenyum sinis melihatnya kesakitan. Tapi kesenangannya masih belum cukup saat melihat tidak ada air mata di sana.

Mawar tak kuasa menyamai langkah Nico, kakinya sungguh lemas dan pergelangan tangannya pun sangat panas dan terasa perih, dia yakin sebentar lagi akan muncul warna biru disana. Tubuhnya ambruk dilantai, matanya menatap lantai dengan tatapan kosong saat Nico akhirnya berhenti menyiksanya.

Tapi itu hanya harapannya saja, karena selanjutnya, pria itu malah menarik lengannya dengan amat kasar sehingga membuatnya berdiri kembali. Memaksa berjalan mengikuti langkah lebar pria itu lalu mendorong tubuh kurusnya ke dalam kolam renang.

Byur!

Tubuh Mawar terlempar begitu saja, rasa sakit di hatinya sangat kentara saat matanya menangkap sosok pria yang menjadi suaminya berbalik meninggalkannya.

Dia pasrah, membiarkan dirinya tenggelam hingga tanpa terasa tubuhnya sudah berada di dasar kolam.

Enah menangis tersedu, dengan tubuh gemetar dia menghampiri Nico yang sedang duduk santai sedang menikmati pemandangan di depannya. "Tuan, tolong nyonya tidak bisa berenang tuan." Enah bersimpuh di hadapan Nico, meminta belas kasih.

"SIAPA YANG KAU PANGGIL NYONYA HUH?!" Nico melotot tajam pada Enah.

Tidak perduli dengan teriakan tuannya yang membuat tubuhnya gemetar, Enah tetap bersimpuh, memohon dengan air mata yang terus mengalir. Dia panik saat menyadari tidak ada lagi gelembung yang menyembul dari dalam kolam.

Mulutnya terus meminta pertolongan pada tuannya agar berbaik hati menolong nyonya yang mungkin sedang sekarat disana.

Akhirnya Nico berdiri, semua pelayan yang melihat tubuh besar yang menjulang tinggi itu menahan nafasnya tanpa mereka sadari. Mereka melangkah mundur, takut salah satu dari mereka menjadi pelampiasan berikutnya.

"Joan!" Teriak Nico, lalu seorang pria bertubuh kekar yang merupakan tangan kanannya menghadap.

"Iya, tuan?"

"Selamatkan dia, aku tidak ingin dia mati terlalu cepat."

Joan berlari ke arah kolam dan langsung menceburkan dirinya, dia berenang secepat yang dia bisa, supaya bisa menyelamatkan wanita malang itu.

Nico menggeram marah melihat Joan memeluk Mawar dengan erat, dia segera berjalan mendekati mereka setelah Joan berhasil membawa Mawar ke pinggir kolam."HEY KAU! ENYAH DARI SANA!!"

Joan yang akan memberikan bantuan dengan cara menekan dada Mawar menghentikan aksinya, dia mengangguk patuh, lalu segera menyingkir.

Kilatan amarah di mata Nico semakin menyeramkan saat matanya malah melihat kaos putih yang di kenakan Mawar ternyata tembus pandang, memperlihatkan bra berwarna pink yang membukus dadanya.

"ARRRGH... APA YANG KALIAN LIHAT HUH?! ENYAH SEMUANYA!!" Geramnya marah.

Para pelayan disana saling menatap satu sama lain dengan tatapan bingung. 

"TUNGGU APA LAGI?!"

Semua orang langsung berlari menyelamatkan hidup mereka, tapi sebelum mereka pergi beberapa dari mereka sempat memberikan tatapan prihatin kepada nyonya-nya dan berdoa di dalam hati semoga nyonya mereka baik-baik saja.

"Cih, menyusahkan saja!" desisnya.

Nico menekan dada Mawar lalu memberikannya nafas buatan, dia tersenyum miring saat Mawar terbatuk mengeluarkan air, lalu tak lama perempuan itu tak sadarkan diri kembali.

Setelah memberikan bantuan dan berhasil, kini kedua tangannya diletakan di belakang kepala dan satunya lagi di belakang lutut Mawar. Menggendongnya ala bridal, lalu membawanya menuju sofa yang tak jauh dari kolam. Dia melihat dari sudut matanya seorang pelayan wanita mendekat sambil membawakan handuk.

"Suruh semua orang keluar dari ruangan ini, jangan ada satupun yang terlihat berkeliaran jika mereka masih ingin hidup!"

Pelayan wanita itu mengangguk patuh dan mengundurkan diri dari hadapan Nico. Lalu tangan Nico bergerak mengambil handuk itu, mengelap wajah Mawar dengan hati-hati.

"Dia memiliki mata yang indah jika tidak memakai kacamata." ucapnya pelan, tangannya bergerak mengusap bibir Mawar yang tampak memucat tapi terlihat menggoda di matanya.

Nico menggelengkan kepalanya, dia berdecih dan melempar handuk itu hingga mengenai wajah Mawar.

"Pelayan!"

Seorang wanita tua berlari tergopoh-gopoh menghampiri Nico.

"Keringkan dia dan ganti bajunya!"

Enah menatap Nico dengan binar tidak menyangka, kemudian tersentak saat melihat tatapan tajam dari Nico, dia segera berlari ke arah gudang, dimana kamar Mawar berada untuk mengambil baju ganti.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lisuni98
Marah-marah Mulu ya wkwk, ceritanya sangat menarik.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status