Share

BAB 6.

Penulis: Lady ArgaLa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-23 14:42:38

"Nanti saja kita bahas masalah ini lagi, Pak. Baru satu hari, dan keluarga kita masih berkabung. Ada baiknya yang begini begini nggak jadi beban pikiran dulu, ibu masih sedih, Pak."

Pak Bagus mengambil nafas dalam dan mengangguk. "Ya wes kalau begitu, kita fokus ke tahlilan tujuh harinya Marni dulu. Semoga saja tidak ada lagi warga yang di datangi oleh Marni, yang tenang di sana, nduk. Setelah acara tujuh harian nanti kita cari tahu apa yang terjadi," tandas Pak Bagus menerawang.

*

*

*

"Mak, gimana kondisinya Leha?"

"Alhamdulillah, Ti. Sudah baikan, itu dia lagi ambil jambu di belakang, sini mampir, Ti." Mak Yem melambai meminta Bu Siti mendekat.

Setelah duduk bersama Bu Siti pun mulai bercerita jika tadi ia bertemu dengan keluarga Pak Yono yang mengaku anak gadisnya pun di datangi oleh arwah Marni.

"Mungkin almarhum masih ada yang mau di sampaikan, Ti. Denger denger meninggalnya nggak wajar to? Terus bayinya katanya hilang?" bisik Mak Yem kepo.

Bu Siti mengangkat bahu. "Nggak tahu, Mak. Kemarin waktu mau tanya tentang bayinya di rumah Bu Mala, si Dika malah ngamuk ngamuk, Mak. Kata Pak Bagus dia masih belum terima istrinya meninggal dan anaknya hilang makanya kami nggak boleh bahas itu di sana."

"Lha terus kemana ya, Ti bayinya? Mosok baru lahir langsung hilang nggak ada yang tahu? Apa di culik atau gimana?"

"Alah wes mbuh lah, Mak. Keluarganya juga di tanya pada tutup mulut, tunggu aja beberapa hari nanti juga ada yang nyebar gosip nya, Mak."

Mak Yem menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, menatap jauh ke depan tanpa berkata apa apa lagi.

"Loh, Bu Siti? Sudah di sini toh. Kebetulan ini aku sama simbok mau ngelutis itu jambu air di belakang buah banyak, kalau mau nanti bawa pulang, Bu." Leha meletakan sebaskom kecil jambu air yang sudah bersih ke lantai teras.

Lalu mulai mengulek bumbu sederhana untuk di makan bersama jambu.

"Oalah, panas panas begini ngelutis memang paling pas ini."

"Iya, biar reda juga otot otot yang tegang semalam, Bu," timpal Leha terkekeh.

Saat tengah menikmati lutis (rujak sederhana) Bu Siti teringat sesuatu.

" Eh, Leha. Nanti bantu bantu lagi di rumah Bu Mala? Kan masih tahlilan nanti malem."

Leha mengangguk pelan, menelan lebih dulu kunyahannya.

" iyalah, bu. Habisnya siapa lagi yang mau bantu tetangga deketnya kan cuma kita sama Bu Ambar aja, yah biarpun masih trauma sama yang semalam anggap aja almarhum cuma mau silaturahmi yang terakhir kali begitu," jawab Leha.

"Tapi, Ha kalau misalnya tujuannya itu memedi datengin kamu karna ada yang mau di sampein gimana? Kamu kan tahu kalau bayinya Marni menghilang pas lahir, kalau misalnya tujuannya datengin kamu buat minta tolong cariin bayinya gimana?"

Leha tercekat, di tatapnya wajah Bu Siti dalam.

*

*

*

Satu minggu berjalan tanpa terasa, bagi keluarga Pak Bagus dan bu Mala. Namun tidak bagi para warga lainnya, yang walaupun dalam diamnya terus menyimpan ketakutan karna arwah Marni terus menerus datang dan menghantui mereka.

"Pak Bagus, ini sudah selesai acara tujuh harian almarhum. Apa tidak sebaiknya kita mulai cari tahu apa sebenarnya yang terjadi saat meninggalnya Marni? Supaya dia bisa tenang di sana. Bukan apa apa, Pak. Saya nggak tega liat anak saya setiap malam nggak bisa tidur katanya selalu mimpi di datangi Marni." pak Yono berkata penuh harap, matanya bahkan berkaca-kaca karna teringat sang anak yang sudah satu minggu ini tampak semakin kurus karna selalu ketakutan setiap malam.

"Apalagi ini, Pak Yono? Kenapa masih mendesak bapak mertua saya seperti itu? Sudah saya katakan hantu yang kalian sebut sebut itu bukan istri saya! Istri saya orang baik baik! Tidak mungkin jadi hantu! Ngerti? Sekarang lebih baik Pak Yono pulang karna kami sekeluarga tidak percaya Marni jadi hantu, toh selama ini kami sekeluarga tidak ada yang di datangi kok. Jadi tolong jangan buat rasa kehilangan kami ini semakin menjadi jadi, Pak saya mohon."

Dika menjatuhkan diri bersimpuh di dekat kaki Pak Yono, membuat lelaki paruh baya itu kaget dan lekas mengangkat tubuh Dika yang bergetar karna tangis.

"Le, bangun, le. Jangan begini, bukan ... bukan maksud bapak menuduh Marni istrimu itu jadi hantu, bukan. Tapi ... apa kamu tidak penasaran kemana perginya bayimu setelah lahir?"

Dika mengangkat wajahnya, menatap Pak Yono dengan tatapan tajam.

"Bahkan sekarang bapak mulai menuduh bayiku juga jadi hantu? Bayiku ikut bersama ibunya, Pak. Dia sudah tenang dan bahagia di surga sana bersama istriku. Meninggalkan aku di dunia ini sendiri," ratap Dika.

Dika kembali jatuh, tubuhnya lemas seperti tak bertulang. Sepertinya rasa sakit akan kehilangan belum terkikis dari batinnya menbuatnya begitu terpukul dengan semua ucapan Pak Yono yang terus menyinggung isttinya yang telah tiada.

"Maaf, Pak Yono lebih baik sekarang bapak pulang dulu. Kasian menantu saya, Pak. Masalah ini lebih baik kita bicarakan lagi nanti," tegas Pak Bagus yang tak tega melihat kondisi menantunya.

Pak Yono akhirnya pulang dengan tangan hampa, amanat warga yang memintanya untuk mengajak Pak Bagus menyelidiki apa yang terjadi pada Marni sebelum meninggalnya mengalami kegagalan. Keluarga itu masih amat sangat berduka.

"Gimana, Pak? Pak Bagus setuju kan?" cecar bu Ambar begitu Pak Yono sampai di rumah.

Pak Yono menggeleng lemah, raut wajahnya kusut masai.

"Loh? Kok bisa Pak Bagus nggak setuju, Pak? Masa iya mereka sekeluarga nggak pengen tahu apa sebenarnya kejadian sama anak dan cucunya sampai gentayangan begitu?" Bu Ambar memburu Pak Yono yang duduk di kursi sambil memijit pelipis.

"Bukan, bu. Pak Bagus bukan tidak setuju, cuma belum setuju. Sebab waktu bapak bicara tadi Dika dengar dan dia histeris lagi bilang kalau istrinya nggak mungkin jadi hantu lantaran keluarga mereka tidak pernah di datangi sama arwahnya Marni, Bu," jelas Pak Yono.

"Astagfirullah, jadi cuma gara gara itu jadi keluarga Pak Bagus nggak langsung mencari tahu. Nanti kalau beneran di datangi hantu nya si Marni baru tahu rasa liat bentukannya begitu. Hiyy merinding ibu jadinya," gerutu Bu Ambar sambil memegangi tengkuknya.

"Memang orang itu kalau belum melihat langsung buktinya pasti tidak mudah percaya, bu. Kita tunggu saja, semoga ada jalan keluarnya supaya kampung ini bisa tenang lagi tanpa adanya arwah yang bergentayangan karna meninggal tak wajar".

Bu Ambar mengangguk dengan wajah muram.

*

*

*

Malam harinya.

Dika tengah duduk melamun di depan jendela kamarnya, ponsel di tangannya tak hentinya berdering. Panggilan dari nomor ponsel orang tuanya, lebih tepatnya ayahnya.

Ya, Dika memang tidak memberitahu orang tuanya tentang meninggalnya Marni. Karna ia tahu orang tuanya yang mempunyai jabatan dan pengaruh itu pasti akan mengetahuinya juga.

(Papa dan Mama akan kesana besok.)

Sebuah pesan masuk ke ponsel Dika, setelah sekian panggilan yang tak jua di jawabnya. Dika melihat pesan itu sekilas lalu kembali melamun.

"Seharusnya kalian datang kemari lebih awal," gumam Dika lirih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 45.

    Rumah peninggalan Bu Ambar sudah tak lagi aman, jin pesugihan yang di pelihara Pak Yono rupanya mulai mengincar Ranti sebab tak ada lagi yang memberinya makan setelah Pak Yono di penjara dan menjadi gila. Setelah kejadian tersebut, Pramono memutuskan membawa Ranti untuk tinggal di kediamannya saja, membawa serta bebek bebek dan unggas Pak Yono yang lain untuk di rawat di sana."Mas, jangan pergi jauh jauh ya." Ranti tampak cemas saat akan kembali memasuki rumah Pramono yang berhasil menorehkan luka untuk yang ke sekian kalinya untuknya.Pramono menoleh dan mengelus kepala sang istri. "Insyaallah nggak, kebun Mas kan di belakang rumah ini. Ada bebek juga sekarang, jadi nggak perlu pergi jauh jauh. Tapi kalau nanti adek mau jalan jalan bilang ya, di rumah terus kan pasti bosen." Ranti mengangguk riang dan mereka pun memulai hidup baru mereka di sana dengan lebih tenang.***Kembali ke pondok pesantren Daruttaqwa.Di teras rumah Ustad Yusuf yang lebih akrab di sapa abah oleh para sa

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 44.

    Di sana di depan matanya sendiri Pramono melihat Ranti tengah mengarahkan sebilah belati ke lehernya. Matanya tampak kosong menjelaskan jika bukan inginnya melakukan semua itu. Bahkan suara teriakan Pramono saja seperti tak terdengar olehnya. Saat belati hampir menyentuh kulit lehernya yang mulus, Pramono bergerak cepat menepis tangan Ranti hingga pisau itu terjatuh ke bawah ranjang."Astagfirullah, dek! Nyebut, dek kamu ngapain?" seru Pramono cemas bukan main. Namun bukannya menjelaskan,Ranti justru jatuh pingsan."Ya Allah, ada ada aja cobaan. Dek! Dek Ranti, bangun." Pramono mengangkat tubuh Ranti keluar, di depan kamar tampak Leha menghampiri dengan wajah tegang."Kang! Kenapa teriak teriak? Astagfirullah, kenapa Ranti, kang?" cecarnya kaget."Nanti saja ceritanya, dek. Tolong bawain bantal." Pramono melewati Leha dan terburu buru melangkah ke ruang tanu dimana sang ibu berada bersama Bu Mala dan Azzam." Loh loh, le? Kenapa Ranti?" tanya Mak Yem heran, pun demikian dengan Bu

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 43.

    Setelah berpulangnya Bu Ambar, Ranti kembali menempati rumah mereka. Selain karna Pak Yono tidak ada juga ada banyak unggas peliharaan mereka yang butuh di urus. Untungnya Pramono berhasil meyakinkan istri kecilnya itu untuk kembali, dan berjanji akan membantunya mengurus unggas unggas mereka untuk bekal masa depan mereka."Terima kasih ya, Mas sudah mau bertahan sejauh ini." Ranti bersandar di dada bidang Pramono, saat mereka tengah duduk di teras belakang yang menghadap langsung ke kandang unggas yang luas.Pramono mengelus pundak istrinya, lembut dan penuh kasih sayang. Tak rasa jijik mengingat apa yang terjadi pada Ranti, melainkan rasa ingin melindungi yang semakin besar dalam dirinya."Sama sama, kalau adek sudah merasa lebih baik nanti kita ke kantor polisi ya. Kasus bapak perlu segera di tuntaskan, dek." Ranti mendongak, menatap lekat mata suaminya. "Mas ... yakin?" "Adek masih takut?" Ranti mengangguk samar. "Terlalu mengerikan untuk tidak takut, Mas." Pramono merasak

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 42.

    Saat tengah kebingungan dengan asal bau bangkai yang sangat tidak enak tersebut, dari arah jalan tampak Bu Mala dan Pak Bagus tengah menggandeng Azzam, bocah itu tampak sangat senang menenteng joran pancing sambil bercanda dengan keduanya."Loh, Pram? Ngapain?" sapa Pak Bagus saat telah sampai di depan halaman Pak Yono. Pramono turun lalu menyalami tangan Pak Bagus dan Bu Mala, di ikuti Ranti yang tampak terus menunduk menyembunyikan wajahnya."Ini, Lek mau jenguk ibu mertuaku. Tapi rumahnya kok sepi e? Paklek sama bulek tahu nggak kemana?" Pak Bagus tampak saling pandang sejenak dengan Bu Mala, sedang Azzam sudah lebih dulu kembali ke rumah mereka untuk mandi."Nggak tahu, le. Sudah beberapa hari juga Bu Ambar nggak keliatan, kami kira malah pulang kampung atau nginep di tempatmu," jelas Bu Mala apa adanya.Kembali angin bertiup, awan mendung berarak sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Dan saat itu kembali bau bangkai yang menyengat kembali menyeruak."Huek! Astagfirullah,

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 41.

    Mata bening Aini mengerjab, kembali terpejam saat cahaya dari luar terlalu silau baginya."Bunda!" Sultan naik ke tempat tidur dan langsung berbaring di tubuh sang bunda, tangan kurus Aini bergerak alami memeluk tubuh sang putra."Alhamdulillah," ucap Alfi dan Umi Maryam berbarengan, keduanya kompak mendekat pada Aini yang mulai membuka mata. Tatapan matanya tak lagi kosong seperti biasanya."Mbak, alhamdulillah. Mbak baik baik saja kan, Mbak? Mbak inget Afi kan? Mbak inget Sultan kan?" cecar Alfi dengan luapan kegembiraan yang luar biasa. Aini duduk dan merangkul Sultan erat, matanya mulai basah oleh air."Iya, dek iya Mbak inget semuanya. Mbak inget, mbak seneng sekali akhirnya bisa pulang," jawab Aini. Dan inilah dia, Aini yang selama ini di kenal Alfi dan orang orang sekitar. Sosoknya yang penyayang dan lemah lembut, juga sangat keibuan hampir tak pernah meninggikan suaranya walau dalam keadaan sangat marah sekalipun. Mungkin akan sangat sulit di percaya jika Alfi bercerita j

  • MELAHIRKAN LEWAT MULUT   BAB 40.

    Dika termenung di depan pusara baru di hadapannya, pusara itu milik mayat yang di ketemukan dalam kondisi mengenaskan setelah di makan buaya tempo hari. Usut punya usut, rupanya mayat itu adalah salah satu dari anak buah Pak Wirya. Sugiarto namanya, seorang duda yang sudah tak punya orang tua dan keluarga Tak ada yang tahu bagaimana kejadian awal kecelakaan itu, karna tidak adanya saksi mata. Sedang Pak Wirya pun kini masuk dalam daftar pencarian orang hilang."Kita pulang, Mas?" tanya Gus Amar setelah berbincang sejenak dengan petugas dari kepolisian yang menangani kasus hilangnya Pak Wirya. Dika mengangguk, lalu perlahan mengikuti langkah Gus Amar kembali ke pondok pesantren."Gus, apa boleh saya bertemu dengan Aini?" tanya Dika sesaat setelah mereka tiba di kediaman. Gus Amar mengernyit, sudah beberapa waktu sejak Dika mengembalikan Aini pada Alfi, dan kini kakak beradik itu memilih tinggal tak jauh dari kawasan pondok atas permintaan Umi Maryam yang masih khawatir dengan kese

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status