Share

BAB 4

Author: Putri putri
last update Last Updated: 2022-07-12 20:02:34

Aku berbalik arah, berniat kembali ke dalam, tapi ternyata mereka semua ikut keluar kecuali ibu. 

“Puas kalian telah memfitnah kami!” bentakku menatap nyalang pada mereka. 

“Memfitnah bagaimana? Semua bukti mengarah pada kalian. Jadi jangan terus mengelak.” Mas Rendy balas membentak. 

“Bukti? Bukti yang mana? Apa hanya karena kami miskin jadi bisa dianggap maling? Dasar kalian picik!” Aku mengumpat, melampiaskan kemarahan. 

“Sekar!” Hardik bapak. 

Aku tersentak kaget, tapi dengan cepat amarah kembali menguasai pikiran. Berjalan mendekat pada lelaki yang sangat kuhormati.

“Sekar pikir Bapak akan bijak menyikapi hal ini. Tapi ternyata salah. Bapak juga ikut-ikutan menuduh. Sekar kecewa sama Bapak!” tegasku berurai air mata. 

Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat sempurna di pipi sebelah kiri. Refleks, aku memekik memegangi pipiku yang terasa memanas. 

“Ini yang suamimu ajarkan? Dulu kamu tak pernah berkata kasar pada Bapak. Tapi setelah menikah justru kebalikannya. Bapak menyesal telah menikahkan kalian,” maki Bapak setelah menamparku. 

Sakit karena tamparan tak sebanding dengan sakit di dalam hati. Kecewa karena Bapak ikut merendahkan Mas Damar. 

“Coba kamu dulu nikah sama kenalan kami yang anak orang kaya. Pasti kamu akan hidup makmur. Enggak kayak sekarang.  Sudah hidup miskin, durhaka pula pada orang tua,” ejek Mbak Arum. 

“Kenapa enggak Mbak saja yang menikah sama dia. Kenapa Mbak memilih Mas Rendy yang berasal dari keluarga biasa?” Aku menatap sinis pada kakak iparku yang terperangah kaget. 

Entah ke mana perginya sopan santun yang selama ini kupunya. Yang jelas, aku bebanku sedikit berkurang karena telah melampiaskan. 

“Sekar!” Mas Rendy membentak. Dia mengangkat tangan ingin menamparku, tapi tak jadi. Hanya berhenti di awang-awang. 

“Kenapa berhenti, Mas! Kalau mau tampar ya tampar saja!” tantangku. 

Suasana menegang seketika. Deru nafas yang terdengar memburu, mendominasi waktu. Lengang. 

“Bapak... uangnya ketemu,” Setengah berlari, Ibu berteriak dari arah dalam. 

Sontak semua dari kami menatap pada Ibu. 

“Ini uangnya, Pak! Sudah ketemu,” ucap sambil memberikan kantong plastik berwarna hitam. 

Aku sedikit bernafas lega karena tuduhan mereka tak terbukti, tapi hati ini masih terasa nyeri. 

Bapak menerima kantong plastik itu lalu melongok isinya. “Syukurlah... uang kita enggak jadi hilang, Bu.” 

“Memangnya ketemu di mana?” tanya Bapak. 

Ibu tak langsung menjawab. Dia menatap kedua anak dan menantunya yang mulai memucat. 

“Di kolong ranjang,” jawab Ibu.

Aku memicingkan mata, merasa ada yang janggal dengan jawaban Ibu. Kolong ranjang? Ah! Bagaimana mungkin? Tadi pas aku lihat di kolong ranjang tak ada apa-apa. Kenapa sekarang bisa ketemu di sana? 

“Coba hitung dulu, Pak!” perintahnya kemudian.

Tanpa menunggu lama, Bapak mengeluarkan isi kantong itu lalu mulai menghitung. Sejenak aku mengesampingkan kejanggalan itu. Lebih memilih memperhatikan Bapak dari sudut yang agak jauh.

“Kok kurang lima juta sih?” gumam Bapak seusai menghitung. 

“Masa sih? Coba dihitung lagi, Pak!” Ibu menggumam seolah tak percaya. 

Bapak menurut. Dia kembali menghitung uangnya. Namun, raut kecewa kembali tersirat dari wajah Bapak. 

“Sama, Bu. Uangnya tinggal empat puluh lima juta,” keluhnya. 

Ibu kembali menatap anak lelaki dan menantunya bergantian. 

“Aku enggak tahu, Bu! Bukan aku yang mengambil,” sahut Mas Rendy ketakutan.

Bapak mengalihkan pandangan pada anak keduanya. “Siapa juga yang bilang kamu yang ambil?” 

Wajah Mas Rendy semakin pias. Dia gelagapan seolah ada yang sedang disembunyikan. Pun dengan tiga kroninya. Wajah mereka tak kalah pias.

“Sudahlah, Pak. Mungkin kemarin Bapak salah menghitung,” ujar Ibu menengahi. 

Aku berjalan masuk berniat menjauh dari mereka. Namun, baru saja sampai di depan pintu Bapak memanggilku. 

“Sekar... maafkan Bapak ya,” Bapak mendekat padaku. 

“Enggak apa-apa, Pak. Anggap saja Bapak tak pernah menamparku.” Aku tersenyum getir. 

Ibu menatapku penuh selidik, kemudian meraih tanganku yang sejak tadi masih memegangi pipi. Dia terkejut saat melihat pipiku. Barangkali bekas tamparan Bapak masih terlihat memerah. 

“Bapak menampar Sekar?” cecar Ibu.  

“Tadi Bapak Emosi. Maaf,” akunya. 

“Bapak kelewatan.” Ibu menatap kecewa pada suaminya lalu berganti menatap kedua anak lelaki dan menantunya, “kalian juga sama!” 

Mencoba abai, aku menjauh dari mereka. Berjalan menuju kamar lalu segera mengunci pintu dari dalam. 

Suara Bapak dan Ibu terdengar bersahutan memanggil namaku dari luar kamar. Membujuk agar aku membuka pintu, tapi aku tak kunjung melakukannya.

Kuhempaskan tubuh di atas ranjang, berusaha menepikan kecewa dalam dada. Aku tak lagi peduli  dengan sakit hatiku. Pun dengan tuduhan yang mereka lontarkan. Namun, bagaimana dengan Mas Damar? Apa dia masih bisa sabar? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   BUDE TAKUT

    ...“Kamu kok doain yang jelek-jelek buat aku sih, Yan! Aku ini kakakmu.” Bude suci memasang wajah kesal. Kentara sekali kalau dia khawatir ucapan Tante Yani di dengar Tuhan.“Lagian siapa suruh Mbak Suci makan uang sumbangan? Dosanya besar, Mbak. Bisa sengsara sampai tujuh turunan,” sahut Tante Yani santai. Astaga! Tante semakin menakuti Bude. Sepertinya ini sebuah kesengajaan agar Bude lekas menggenapi uang itu. Sejenak kuperhatikan wajah Bude dan Pakde yang seperti tak ada darah. Sesekali pakde menggaruk tengkuk seperti sedang kebingungan. Salah siapa berani ambil risiko itu. “Jadi bagaimana? Kalian tetap mau makan uang itu? Jangan gara-gara dua puluh juta hidup kalian sengsara. Belum lagi kalau azab datang cepat. Bisa makin menderita,” cecar Tante Yani saat mereka tak kunjung bicara. Bude dan suaminya saling tatap. Entah apa maksud mereka, tapi yang jelas setelah itu Bude beranjak meninggalkan kami lalu kembali dengan kotak perhiasan di tangannya. Diletakkan kotak itu di atas

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   Masih berulah

    Selepas perginya Bude dan Pakde, kami langsung ke dapur mempersiapkan menu untuk nanti malam. Ya, nanti malam tujuh hari meninggalnya kakek sekaligus doa bersama yang terakhir. Om Bram juga turut membantu. Rupanya laki-laki itu suka meringankan pekerjaan Tante Yani. Kata Tante, kadang malah Om Bram yang masak kalau pas dia sakit. Hebat. “Tan, kalau besok Bude enggak memberikan uang itu, apa Tante serius akan melaporkan ke polisi?” tanyaku di sela aktivitas dapur. “Tentu saja tidak, Sekar. Biar bagaimanapun Budemu tetap kakakku, jadi aku tak setega itu.” Perempuan itu menjeda aktivitasnya sejenak demi untuk melempar senyum padaku. “Tapi kenapa tadi Om dan Tante ngotot mau laporin mereka?” cecarku lagi. “Kami hanya menggertak saja. Mbak Suci kan paling takut kalau berurusan sama polisi. Lagian, ini juga demi kebaikan mereka juga kan?” sahut Om Bram yang sedang menata gelas di atas nampan. Aku mengangguk paham. Rupanya mereka berdua punya hati yang lembut dibalik ketegasan pada Bud

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   mereka panik

    Sampai di rumah kami langsung mengembalikan mobil milik tetangga. Setelah itu baru berjalan kaki pulang. Om Bram menatap heran ke arah kami berdua. Rupanya dia sudah pulang kantor. “Kalian dari mana? Kok jalan kaki?” tanya Om Bram sembari menyeruput kopi di depannya.“Dari rumah Mbak Suci,” jawab Tante. “Ngapain?” Om Bram mengernyitkan kening, menatap penuh selidik pada kami berdua. “Begini, Pah....” Tante Yani mengisahkan apa yang telah kami lakukan seharian ini. Juga perjuangan kami mengorek informasi. Pokoknya, Tante begitu semangat bercerita. Om Bram menggeleng perlahan. Mungkin dia tak menyangka kakak iparnya akan berbuat senekat itu. Atau, dia memang sudah menebak ini bakal terjadi?“Kakakmu itu sudah sangat keterlaluan. Harus di kasih pelajaran dia!” Om Bram mendengkus sambil sesekali mengatur nafasnya yang tak beraturan. “Iya! Kita laporkan polisi saja, Pah!” timpal Tante. Ah! Rupanya Tante serius dengan ucapannya. Satu keluarga akan saling memusuhi karena uang.“Tapi, T

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   ANCAMAN

    “Dasar Mbak Suci! Bikin malu saja!” Bude mendengkus kesal sembari memukul setir. Bukan hanya dia yang kesal, aku juga. Tapi, aku memilih diam ketimbang membuat emosinya semakin tak terkontrol. Wajar jika Tante Yani marah. Ia telah ditipu habis-habisan sama kakak kandungnya sendiri. Yang aku enggak habis pikir, kenapa mereka berbohong? Apa benar yang kutakutkan selama ini? “Kita ke mana, Tan?” tanyaku memecah keheningan. “Ke rumah Mbak Suci lagi. Biar kulabrak dia sekalian!” sahutnya. Tante membelokkan mobilnya ke arah jalan yang tadi kami lewati. Kakinya menginjak pedas gas hingga kendaraan melesat cepat. Aku sampai khawatir kalau Tante tak konsentrasi menyetir dan akhirnya membahayakan kami. “Pelan dong, Tan. Bahaya!” ujarku sembari menepuk-nepuk pundaknya. Tante menurut. Dia sedikit memelankan laju kendaraan meski masih terbilang ngebut. Untung saja jalanan tak terlalu ramai. Tak berselang lama, kami telah sampai di halaman rumah Bude. Tante Yani buru-buru turun kemudian sete

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   TERNYATA

    Perlahan, mobil bude mulai merangkak meninggalkan pelataran parkir. Selang beberapa saat Tante mulai menginjak pedal gas membuntuti Bude dari jarak yang tak terlalu jauh. Sedikit tenang karena kami memakai mobil orang, jadi tak perlu khawatir ketahuan. Sekitar setengah jam kemudian, mobil Bude berhenti di halaman rumah yang kami datangi tadi. Tante menghentikan laju kendaraan di bahu jalan demi mengajakku bicara. “Bagaimana sekarang? Apa kita langsung ke sana?” tanya Tante Yani. “Iya... enggak apa-apa. Yang penting Tante jangan kebawa emosi ya. Tenang!” jawabku. “Ok!” Tante Yani kembali melajukan mobil lalu berhenti tepat di sebelah mobil Bude. Bude dan suaminya yang sudah sampai teras menghentikan langkah lalu berbalik menatap kami. Tampak dia mengerutkan dahi. Mungkin asing dengan mobil yang kami kendarai. Kami turun lalu berjalan santai ke arah teras. Mereka terkejut saat menyadari kami yang datang. “Yani... Sekar.... ngapain kalian ke sini?” tanya Bude kaget. “Mau memastik

  • MEMBALAS HINAAN KAKAK-KAKAKKU   CURIGA

    Sepeninggal mereka, aku bangkit berniat masuk ke kamar, tapi Tante Yani memanggilku. “Duduk dulu sebentar, Sekar,” ujar Tante dengan nada suara lirih. Agaknya dia ingin menyampaikan sesuatu yang penting.Menurut, kembali kuhempaskan bobot di atas sofa. Duduk menghadap Tante sembari menatap lekat padanya. “Ada apa, Tan?” tanyaku. “Sini aku bisikkin,” perintah Tante sembari melambaikan tangan. Penasaran, Aku berpindah duduk tepat si sebelahnya. Sampai-sampai lengan kami saling bersentuhan. “Kamu curiga enggak sama Bude, Sekar? Jangan-jangan dia mau menggunakan uang itu untuk kebutuhannya sendiri,” bisik Tante Yani. Kontan saja aku sedikit menjauh sembari menatap lekat padanya. Ternyata Tante juga punya pemikiran yang sama denganku. “Iya sih, Tan. Tapi mau bagaimana lagi,” keluhku. Sejenak, kami sama-sama diam larut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Tante membuka suara yang membuat aku terkejut. “Aku ada ide.” Tante berteriak sembari mengangkat satu tangannya ke atas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status