Seperti yang telah di rencanakan, hari ini aku dan Mas Damar pergi liburan untuk menenangkan pikiran. Sebelum berangkat tadi aku menitipkan Tiara pada Mbak Mela. Dengan senang hati dia bersedia. Dia juga mendoakan aku agar cepat diberi momongan. Untuk urusan pekerjaan, Mas Damar sudah mempercayakan pada Mas Rafly untuk mengurus selama kami pergi. Rencananya kami liburan seminggu penuh. Mobil yang kami kendarai melaju sedang membelah jalanan yang ramai akan hilir mudik kendaraan. Beberapa terlihat saling mendahului, tapi masih teratur. Kebumen menjadi pilihan kami untuk melepas lelah. Selain pantainya yang terkenal indah, kami juga ingin menikmati suasana pegunungan yang masih asri. “Kita ke mana dulu, Dek?” tanya Mas Damar setelah lima jam berkendara. Terserah Mas saja deh,” jawabku bingung. Mas Damar membelokkan mobil ke arah pegunungan. Jalanan yang terbilang sepi, juga pepohonan rimbun membuat perjalanan terasa lebih nyaman. Belum lagi udara yang sejuk, menghirupnya seperti m
[Sudah siap, Mbak?]Selesai mengetik, aku segera mengirim pesan pada Mbak Mela. Dua centang biru menandakan kalau pesanku telah terbaca. Tak berselang lama, ponselku berdering. Gegas aku membuka pesan dari Mbak Mela.[Siap]Aku memasukkan ponsel ke dalam tas kemudian segera keluar kamar mencari Tiara. Ketemu, aku langsung mengajaknya ke rumah Mbak Mela.Ya. Hari ini kami sudah berjanji melabrak Mbak Arum-mantan suaminya Mas Rendy. Kalau didiamkan takutnya nanti suami kami tergoda. Kan enggak asyik. Berhenti di halaman rumah, aku memarkirkan motor lalu mengajak Tiara masuk ke rumah Mbak Mela. Ini hari minggu, Mas Rafly tampak sedang duduk menikmati kopi sedangkan Reno sedang asyik dengan mobil mainannya.“Mbak Mela mana, Mas?” tanyaku. “Sebentar Sekar,” sahut Mbak Mela. Mungkin suaraku terlalu kencang sampai Mbak Mela yang ada di dalam kamar menyahut.Tak berselang lama, Mbak Mela keluar kamar. Kali ini dandanannya tak mencolok seperti dulu. Gelang dan kalung tak lagi melekat di tu
Akhir-akhir ini hidup terasa lebih nyaman tanpa gangguan Mbak Arum. Perempuan yang pernah menjadi kakak iparku tak lagi mengirim teror dengan chat ataupun video kirimannya. Mungkin dia kapok karena aku sudah bertindak atau mungkin sedang menyiapkan siasat lainnya? Siang. Aku dikejutkan dengan sebuah pesan yang dikirim oleh tante Yani-perempuan yang selama ini tinggal bersama kakek. Dia mengabarkan kalau kakek dirawat di rumah sakit. Buru-buru aku mencari Mas Damar yang rupanya baru pulang. “Mas, kakek masuk RS,” ucapku gusar. “Kakek siapa?” tanyanya dengan alis saling bertautan. “Ya kakek kita. Bapak dari ibu kandungku,” jelasku. “Astaghfirulloh....” Mas Damar memekik kaget, “ya sudah nanti kita ke sana! Aku mandi dulu.”“Iya, Mas!” jawabku. Mas Damar segera beranjak ke kamar mandi sedangkan aku kembali ke kamar menyiapkan beberapa lembar pakaian ganti kemudian memasukkan ke dalam ransel besar. Semua sudah siap. Kami berpamitan pada semua penghuni rumah lalu berangkat ke kampu
Para pelayat yang ikut mengantar jenazah kakek sudah bubar sejak tadi dan menyisakan lima orang dengan wajah sedih mengelingi pusara kakek. Aku, Mas Damar, Tante Yani dan suaminya serta seorang perempuan paruh baya yang baru datang tadi pagi. “Sudah, Mah... jangan menangis terus. Kasihan Bapak. Kita pulang yuk!” Om Bram-suami tante Yani berjongkok di dekat istrinya sembari mengelus punggung Sang istri.“Iya, Tant... Ikhlaskan kakek. Biarkan dia tenang di sana.” Aku ikut membujuk. Akhirnya Tante Yani menurut. Kami segera pergi meninggalkan pusara kakek. Dengan dua mobil berbeda kami menuju rumah kakek. Aku dan Mas Damar sedangkan mereka bertiga ada di mobil yang beda. Sampai rumah, kami semua turun lalu duduk di ruang tamu. Suasana terasa lengang, jauh berbeda dengan saat aku pertama ke sini. Semua diam larut dalam kesedihan masing-masing. “Kunci kamar Bapak mana, Yan?” tanya perempuan itu. “Enggak di kunci, Mbak,” jawab Tante Lusi tanpa menoleh. Dia masih sibuk memandangi jemari
Tiga hari sudah aku tinggal di rumah Tante Yani. Siang hari kami diajak melihat toko yang diberikan kakek padaku, juga rumah yang jaraknya tak jauh dari toko. Kemarin siang Tante Yani juga sempat mengajak kami ke notaris untuk mengurus balik nama apa yang jadi hakku. Aku sih menurut saja. Seperti biasa, sore ini kami sibuk di dapur menyiapkan segala tetek bengek untuk nanti malam. Rencananya memang acara doa bersama akan terus berjalan sampai tujuh hari kematian kakek. Menjelang magrib, deru mesin mobil terdengar berhenti di halaman. Aku yang baru selesai berpakaian gegas ke depan melihat siapa yang datang. Rupanya Bude suci bersama seorang lelaki yang tak kukenal. Apa dia suaminya Bude? “Sore, Bude!” Aku melempar senyum pada keduanya. Mengulurkan tangan berniat menyalami, tapi tak disambut. Akhirnya tanganku hanya menggantung di awang-awang. “Enggak usah sok akrab. Kamu bukan siapa-siapa di sini. Bisa saja kamu hanya mengaku anaknya Diah demi mendapat warisan!” ketus Bude suci.
Bakda Isya doa bersama dimulai. Ustaz Amin memimpin rangkaian acara yang diawali dengan mengucap kalimat tauhid bersama. Setelah itu membaca ayat-ayat al-quran secara bergilir. Sekitar pukul 10 malam acara selesai. Beberapa tetangga yang hadir sudah berangsur-angsur pulang. Hanya menyisakan ustaz Amin dan beberapa kerabat. Mereka masih asyik mengobrol membicarakan kebaikan kakek semasa hidup. “Orang tua kalian semasa hidup terkenal dermawan. Beliau tak jarang menolong siapa saja yang kesusahan. Sekalipun tak mengenal orang itu,” puji Ustaz Amin di sela obrolan. Aku tersenyum bangga. Meski aku tak cukup dekat dengan Almarhum kakek, setidaknya aku bagian dari keluarga ini. “Oh iya, Taz. Kami ada sedikit dilema soal uang peninggalan Bapak. Sebelum meninggal Bapak berpesan kalau uangnya buat menyantuni anak yatim dan disumbangkan ke masjid, tapi Mbak Suci bersikukuh uang itu disumbangkan ke masjid semua. Menurut Ustaz bagaimana?” Om Bram mulai bercerita sementara Bude Suci berkali-kal
Jam di dinding menunjuk pukul tujuh lewat sedikit saat aku, Mas Damar, Tante Yani dan suaminya menikmati sarapan. Aku benar-benar salut dengan kepribadian Tante Yani. Meski kehidupannya terbilang mapan, dia tetap bangun pagi dan berkutat di dapur layaknya ibu rumah tangga.“Tant, nanti siang aku pulang ya. Mas Damar ada kepentingan,” ucapku di sela makan. Tante Yani yang sedang mengunyah makanan seketika menyambar gelas di depannya kemudian meneguknya hingga tandas. “Jangan dulu, Sekar. Nunggu 7 hari kamu baru boleh pulang. Bantu Tante dulu,” protes Tante Yani. Aku mengalihkan pandangan pada Mas Damar yang duduk di sebelahku. Setelah itu kembali menatap Tante. “Bagaimana ya, Tant. Inginnya sih gitu, tapi Mas Damar ada kepentingan jadi harus cepat balik,” sahutku ragu. Tadi, pagi-pagi sekali Parjo menelepon suamiku. Katanya ada sedikit masalah di rumah, makanya Mas Damar diminta cepat pulang. “Kamu di sini dulu biar Damar pulang sendiri. Nanti kalau semua sudah selesai kami antar
Sepeninggal mereka, aku bangkit berniat masuk ke kamar, tapi Tante Yani memanggilku. “Duduk dulu sebentar, Sekar,” ujar Tante dengan nada suara lirih. Agaknya dia ingin menyampaikan sesuatu yang penting.Menurut, kembali kuhempaskan bobot di atas sofa. Duduk menghadap Tante sembari menatap lekat padanya. “Ada apa, Tan?” tanyaku. “Sini aku bisikkin,” perintah Tante sembari melambaikan tangan. Penasaran, Aku berpindah duduk tepat si sebelahnya. Sampai-sampai lengan kami saling bersentuhan. “Kamu curiga enggak sama Bude, Sekar? Jangan-jangan dia mau menggunakan uang itu untuk kebutuhannya sendiri,” bisik Tante Yani. Kontan saja aku sedikit menjauh sembari menatap lekat padanya. Ternyata Tante juga punya pemikiran yang sama denganku. “Iya sih, Tan. Tapi mau bagaimana lagi,” keluhku. Sejenak, kami sama-sama diam larut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Tante membuka suara yang membuat aku terkejut. “Aku ada ide.” Tante berteriak sembari mengangkat satu tangannya ke atas