Rania harus merasakan sakit kehilangan anak yang baru dilahirkan dan diceraikan oleh Andi sang suami, Rania merasa hidupnya terpuruk berniat ingin mengakhiri hidupnya. Namun takdir mempertemukan Rania pada bayi mungil yang menggemaskan yang memerlukan ASI karena Ibu si bayi pergi meninggalkan bayi tersebut bersama Neneknya di rumah sakit. Namun Rafa yang mengetahui aksi nekat Rania yang ingin bunuh diri, mengurungkan niatnya untuk menjadikan Rania ibu susu buat anaknya. Bagaimana hidup Rania selanjutnya? Akankah Rafa tetap memilih Rania sebagai Ibu susu bayinya karena hanya Rania yang bisa menenangkan bayi tersebut?
Lihat lebih banyakRania tersadar dari obat bius pasca operasi Caesar. Matanya mengerjap memandangi ruangan yang serba putih dengan bau obat yang menyengat. Rania menahan rasa sakit di area perutnya dan matanya menoleh ke sekeliling ruangan yang sepi, tidak ada seorang pun menemaninya di ruangan ini. Ia ingin bertanya tentang kondisi bayinya, yang harus dilahirkan sebelum waktunya akibat ia terjatuh dari tangga rumahnya.
Tak lama terdengar pintu ruangan Rania terbuka, muncullah seorang pria dengan wajah kusut bersama wanita paruh baya dengan wajah angkuh. Rania tersenyum melihat kedatangan sang suami, "Mas... Bagaimana anak kita?" lirih Rania saat bertemu tatap dengan wajah sedih Andi. Suasana hening sesaat, Andi tampak menarik nafas dengan berat dan mengeluarkan secara perlahan. “Mas…dia baik-baik saja kan.” ucap Rania kembali, saat Andi tidak menjawab pertanyaannya. "Dia... dia tidak selamat." Andi menjawab dengan suara bergetar. "APA, MAS?" Pekik Rania, ia spontan bangun dan mengabaikan nyeri perut bekas jahitan operasi yang baru beberapa jam ia dapatkan, "Kamu bercanda kan, Mas!" seru Rania kembali. Andi hanya mampu menggelengkan kepala, wajahnya langsung memerah menahan rasa sedih dihatinya. "Ma, Anak kami masih hidup kan Ma. Mas Andi berbohong kan Ma," Rania meminta penjelasan pada Mertuanya yang berada di sebelah sang suami dengan kedua tangan melipat. "Untuk apa suami kamu berbohong. Gak ada untungnya Andi berbohong. Anak kamu sudah mati, kamu yang telah membunuhnya. Kamu sudah berjanji pada kami buat menjaga anak itu. Tapi apa? Kamu melahirkan sebelum waktunya sehingga bayi kamu tidak bisa diselamatkan," sarkas Mama Asnah kecewa. Sejak awal menikah Asnah memang tidak menyukai Rania, segala cara Asnah lakukan agar Andi tidak menikahi Rania, namun Andi mengancam akan keluar dari rumah sehingga Asnah terpaksa merestui pernikahan mereka. "Tapi... Mas, Ma. Sebelum aku tidak sadarkan diri, aku mendengar tangisan bayi, gak mungkin bayi kita meninggal Mas," ucap Rania dengan berlinang air mata. Ia yakin betul sebelum ia kehilangan kesadaran, ia sempat mendengar tangisan seorang bayi yang begitu nyaring. "Kamu... benar. Bayi itu menangis tapi setelah berselang beberapa jam dia tidak bisa diselamatkan," jawab Andi dengan getir. Rania menatap wajah Andi untuk mencari kebohongan di matanya namun yang Rania tangkap sebuah kesedihan dan kekecewaan. Tubuh Rania seketika tak bertulang, Rania hanya mampu menahan rasa sesak di dadanya, menerima kenyataan bahwa ia kehilangan bayinya tanpa melihat wajahnya. "Dan... kedatangan aku kesini. Ingin mengatakan sesuatu," kata Andi agak ragu-ragu. Sebenarnya Andi tidak tega melihat Rania yang masih sakit dan berkabung, namun desakan sang Mama membuat Andi harus menuruti apa yang sang Mama perintahkan. "Buruan bilang Andi. Mama gak mau berlama-lama disini," desak Mama Asnah, tangannya menutup hidung seakan tidak tahan mencium bau obat di ruangan. Rania mengusap air matanya yang mengalir dengan deras, ada sesuatu yang ingin suaminya katakan dan membuat jantung Rania berdebar-debar takut sesuatu yang buruk kembali terjadi. “Kamu mau ngomong apa, Mas?” "Aku ingin, kita bercerai," kata Andi dengan datar tanpa menatap Rania. Rania menatap Andi dengan pandangan kosong, seperti tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. "Cerai?" ulang Rania dengan suara tercekat, seperti tidak ingin percaya bahwa suaminya benar-benar ingin meninggalkannya. Andi tidak menatap Rania, ia hanya menunduk dan mengangguk. "Ya, aku ingin kita cerai. Aku tidak bisa lagi hidup denganmu setelah apa yang terjadi pada bayi kita." Rania merasa seperti ditusuk oleh pisau yang tajam. Ia tidak percaya bahwa suaminya ingin bercerai padanya hanya karena bayi yang ia kandung meninggal. “Mas, apa salah aku?" tanya Rania dengan suara yang bergetar. Andi tidak menjawab, ia hanya berdiri dan berjalan menuju pintu. "Aku akan mengurus semuanya, kamu tidak perlu khawatir," kata Andi sebelum keluar dari ruangan. “Mas…tunggu. Jangan pergi dulu Mas. Kita harus bicara dulu, Mas.” mohon Rania saat melihat punggung Andi berlalu dari balik pintu. Ucapan Rania seolah angin lalu bagi Andi dan Mama Asnah yang masih berdiri hanya menatap dengan tatapan mencemooh. "Kamu tahu sendiri bahwa Andi sangat menginginkan anak untuk mempertahankan posisinya dalam perusahaan. Tapi sekarang, karena kelalaian kamu, semuanya menjadi tidak pasti dan nasib Andi di perusahaan akan terancam,” ucap Mama Asnah dengan penuh amarah. Rania merasa seperti ditusuk oleh pisau yang tajam. Ia tidak percaya bahwa Mama Asnah bisa begitu kejam dan menuduhnya seperti itu. "Tapi, Ma. Ini semua bukan keinginan aku," ucap Rania dengan suara yang bergetar. "Aku juga tidak ingin anakku meninggal. Kalau disuruh memilih biar aku aja yang mati daripada anakku, Ma.” lirih Rania dengan air mata mengalir di pipi mulusnya. “Ya benar. Lebih baik kamu saja yang mati tapi sayangnya kamu masih diberi kehidupan.” jawab Mama Asnah sambil menatap sinis Rania yang tampak terpuruk. “Kalau saja kamu lebih berhati-hati saat menuruni tangga semua ini tidak akan terjadi. Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Dasar istri tidak berguna. Dari awal kalian menikah Mama sudah mempunyai firasat kalau kamu itu menyusahkan hidup Andi saja. Padahal Andi sudah mengorbankan jabatannya demi menikahi kamu dan Andi akan mendapat jabatannya kembali jika memiliki anak. Tapi sekarang apa? Semuanya gagal karena kecerobohan kamu.” hina Mama Asnah tampak mempedulikan perasaan sang menantu, Mama Asnah terus membuat Rania semakin merasa bersalah. “Tapi…Ma. Kami bisa memiliki bayi lagi setelah luka bekas operasi ini sembuh. Aku janji akan menjaganya dengan hati-hati.” sahut Rania. Mama Asnah tersenyum sinis, “tapi sayangnya, Dokter mengatakan akan sangat sulit buat kamu hamil kembali makanya Andi menceraikan kamu.” “APA?” Rania terkejut mendengar kata-kata Mama Asnah. Ia merasa seperti tersambar petir oleh kata-kata Mama Asnah yang menyakitkan.Mobil Ben melaju pelan di jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu toko dan kendaraan memantul samar di kaca jendela, menyinari wajah Rania yang duduk tenang di kursi penumpang. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Ben yang mengemudi santai—satu tangan di setir, satu lagi menyetel musik jazz pelan dari radio mobil.“Tenang saja,” ujar Ben tiba-tiba, memecah keheningan. “Aku nggak akan bawa kamu ke tempat aneh kok.”Rania tersenyum tipis. “Saya percaya, kok.”Mereka tiba di sebuah restoran kecil di sudut kota. Tidak mewah, tapi hangat dan nyaman. Lampu-lampu temaram memancarkan cahaya lembut, sementara musik akustik mengalun pelan di latar belakang. Ben sudah memesannya lebih dulu, dan mereka langsung diarahkan ke meja di sudut ruangan yang tenang, agak tersembunyi.Setelah duduk, seorang pelayan datang membawa dua buku menu.“Silakan dipilih, Tuan, Nyonya,” ucapnya ramah.Ben membuka menu sambil melirik ke arah Rania. “Aku biasanya ambil pasta atau steak di sini. Tapi sop jamurnya ju
Rania menatap pantulan dirinya di cermin kecil di kamarnya. Ia merapikan bajunya dan mengecek ulang riasan tipis di wajahnya. Bukan berdandan berlebihan, hanya sedikit bedak dan lip balm agar tak terlihat terlalu pucat. Gaun polos berwarna biru muda itu ia pilih karena sopan namun tetap manis dilihat. Hatinya berdebar tak menentu.“Ini cuma makan malam,” gumamnya meyakinkan diri. Tapi entah kenapa, ia tetap merasa gugup.Langkahnya ringan menuju ruang tamu. Tapi baru saja hendak melewati lorong menuju pintu utama, suara berat itu menghentikannya.“Mau ke mana malam-malam begini, Mbak Rania?”Rafa berdiri di depan pintu ruang kerjanya, bersandar pada kusen sambil menyilangkan tangan. Matanya mengarah lurus padanya, tenang tapi menusuk.Rania langsung merapikan kerudungnya, canggung. “I-ini, Pak... saya... cuma makan malam. Sama Pak Ben.”Rafa mengangguk pelan, namun tak bergeming dari tempatnya. “Ben ya...”Nada itu datar, tapi membuat udara seketika jadi canggung. Rania menggenggam ta
Saat ini, Rafa tengah duduk di sofa tunggal di ruangannya. Tatapannya tajam mengarah pada sosok yang duduk di hadapannya — sosok yang baru saja melontarkan permintaan mengejutkan. Ben, rekan kerjanya sekaligus teman lamanya, tanpa malu-malu mengungkapkan niat untuk mengenal lebih dekat Rania, pengasuh kecil Farrel. “Ayolah, Raf. Izinkan aku mengajaknya keluar malam ini,” pinta Ben sambil sedikit merengek, berusaha meluluhkan hati Rafa. Sejak pertama kali bertemu Rania, Ben sudah terpesona oleh kelembutan sikap wanita itu. Namun, kesibukan yang tiada habisnya selalu menghalanginya untuk mendekat. Kini, setelah semua pekerjaannya rampung, dia melihat ini sebagai kesempatan emas — asal Rafa memberi izin. Rafa menghela nafas pelan, ekspresinya tetap datar, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa simpati pada keinginan Ben. "Dia sudah capek seharian jagain Farrel. Malam hari itu waktunya dia istirahat," jawab Rafa singkat, suaranya dingin. Ben mengerucutkan bibir, tak menyerah begitu saj
Rania menutup pintu kamar perlahan, memastikan suara deritnya tak membangunkan Farrel. Di dalam, suasana hening. Bayi kecil itu masih terlelap, wajahnya damai di balik selimut lembut berwarna biru muda. Rania duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya gemetar meski udara malam tak begitu dingin. Pandangannya kosong menatap dinding, namun pikirannya penuh dengan suara-suara.Kata-kata Marissa terus terngiang. "Tolong batasi interaksi dengan suami saya." Kalimat itu menusuk, dingin, dan membuat Rania merasa dihukum atas sesuatu yang tak pernah ia lakukan. Ia hanya menjaga Farrel dengan sepenuh hati—mengisi ruang yang selama ini terasa kosong dari sentuhan ibu. Ia hanya ingin anak itu merasa dicintai.Tangannya terangkat, mengusap wajah, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah. Ia tak ingin menangis. Bukan di hadapan Farrel. Tapi hatinya sakit. Ia merasa seperti sedang diadili hanya karena keberadaannya. Karena ia berada di tempat yang sebenarnya bukan miliknya.Ketukan pelan di pintu membu
Sepulang dari taman, suasana hati Rania terasa tak menentu. Langkah kakinya pelan saat mendorong stroller memasuki halaman rumah keluarga besar tempat ia bekerja. Rafa memberi kode Rania untuk segera masuk kedalam, karena ia sedang menerima panggilan telepon dari temannya. Farrel masih tertidur di stroller, di dalam rumah, suasana tampak biasa saja. Beberapa ART lainnya sedang menyapu halaman belakang, dan suara TV dari ruang keluarga terdengar samar. Kemudian Rania memindahkan Farrel ke dalam gendongan, dan meletakkan stroller tersebut di samping tangga. Rania menaiki tangga menuju kamarnya dengan hati-hati agar Farrel tidak terbangun. Setelah menidurkan Farrel di kamar, Rania duduk sebentar di ujung ranjang bayi, memandangi wajah mungil itu. Ia menunduk, menyandarkan dagunya di kedua tangannya. Pikiran berkecamuk tentang tatapan ibu-ibu di taman tadi. Saat di taman, Rania sempat bertemu tatap dengan ibu-ibu tersebut. Tatapan Ibu tersebut membuat Rania tidak nyaman dan risih
Dengan penuh perhatian, Rania memastikan Farrel menghabiskan susunya, botol susu langsung habis diminum Farrel, lalu Rania mengambil botol kosong dan menyimpannya ke dalam tas. Rania menatap, tangan Farrel menggosok-gosok matanya dengan punggung tangan, tanda Farrel mulai merasa mengantuk. Rania tersenyum melihat ekspresi lucu Farrel dan langsung mengambil tindakan untuk membersihkan wajah Farrel dengan lembut. "Sudah kenyang ya, sayang?" tanya Rania dengan suara yang lembut, sambil membelai rambut Farrel dengan penuh kasih sayang. Bayi menggemaskan itu cuma tersenyum dan tak lama matanya sudah mulai terpejam-pejam. Rafa duduk di dekat gerobak makanan, memesan bubur ayam sambil mengamati Rania yang sedang bersama Farrel. Wajahnya berseri-seri melihat pemandangan itu, hatinya menghangat melihat sosok keibuan Rania yang penuh kasih sayang terhadap anak kecil. Rafa begitu asyik menatap Rania sehingga tidak menyadari penjual bubur memanggilnya. "Pak... pesan berapa piring?" tanya pe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen