แชร์

Bab 7

ผู้เขียน: Evie Yuzuma
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2022-07-03 06:32:08

[Trx.Rek 110113322123543

20211015:22 xxx21277 Rp. 5.000.000,- 10.10.202115.01.32]

“Alhamdulilah, Mas!” pekikku pelan.

Kutatap deretan angka itu dengan mata lebar-lebar. Seumur hidup baru merasakan punya penghasilan sendiri, rasanya luar biasa banget.

“Kenapa?”

Mas Hafid yang sudah bersandar pada dipan di samping Mesya melihat heran ke arahku. Aku berjalan mendekat dan menunjukkan sms banking yang ada di tanganku.

“Mas, ini lihat uang komisiku sudah masuk! Besok kita bisa ke dokter, Mas! Kita periksa luka kamu dan beli obat yang bagus! Mesya juga,” ucapku sambil menyeka sudut mata yang tiba-tiba menghangat.

Disaat kami sedang kesulitan. Rasanya bahagia banget melihat sejumlah uang yang kini sedang kubutuhkan.

“Mas sudah baikan, gak usah ke dokter lagi! Uangnya simpan saja pakai buat kebutuhan kita! Takut-takut Mas lagi gak dapet pemasukan di parkiran!” ucapnya.

“Empat jutanya mau aku belikan cincin saja kalau gitu, Mas! Bisa dapet dua, jadi itung-itung nyimpen … nanti kalau dapat komisi lagi kita pindah rumah, ya, Mas! Kita ngontrak saja!” rengekku.

Dia mangangguk. Malam ini akhirnya berakhir dengan indah. Senyum tak henti mengembang seiring dengan syukur yang kuucap dalam-dalam.

***

Nasi goreng yang merupakan menu andalan untuk sarapan pagi sudah tersaji. Seperti kesepakatan kemarin, aku hanya memasak untukku, Mas Hafid dan Ibu. Masih teringat bagaimana dia melarang Mas Hafid makan pizzanya, karena itu sama sekali nasi goreng hari ini gak ada kulebihkan sedikitpun.

Maaf, Mas! Hatiku masih julid. Belum bisa mengikuti seperti yang kamu ajarkan. Aku belum bisa menjadi lembut, shaliha dan tidak melawan sama Mbakmu itu. Dia selalu keterlaluan padaku.

“Mia! Hasan nangis pengen nasi goreng! Kamu di mana simpan sisanya?” teriak Mbak Winda dari dapur.

Beruntung aku dan Mas Hafid sudah selesai sarapan. Begitu pun dengan Ibu Mertuaku. Wanita sepuh itu baru saja meneguk teh manis hangat yang kubuatkan. Meskipun dia tidak berpihak padaku, tapi setidaknya wanita tua itu tidak memihak Mbak Winda dan menjadi mertua jahat seperti dalam cerita. Dia selalu berada di tengah-tengah dan tetap menjadi nenek yang baik untuk cucu-cucunya.

Aku tak menyahut. Lanjut aku menyuapi Mpasi untuk Mesya. Kondisinya sudah sedikit membaik, tetapi tetap saja aku harus memberinya obat.

“Mia! Kamu tuli!” bentak Mbak Winda yang baru saja muncul di ruang tengah.

“Apa sih, Mbak?” tanyaku santai. Kumelirik sekilas ke arahnya yang tampak kesal.

“Itu Hasan pengen nasi goreng, kamu simpan sisanya di mana?” tanyanya dengan nada kesal. Sementara itu terdengar rengekan Hasan yang baru saja muncul dari dapur.

“Lah, aku kira Mbak mau beli pizza atau Mcd lagi buat mereka! Jadi dari pada nanti kebuang nasinya ‘kan sayang … aku cuma buat dikit saja! Lagian ‘kan Mbak Winda juga sudah setuju kalau aku gak akan masakin buat keluarga Mbak Winda lagi! Ya, tinggal masak lagi saja sih, Mbak!” ujarku santai. Kulirik sekilas hanya untuk memastikan jika wajahnya memang kesal.

Mia dilawan! Batinku sambil tersenyum miring dalam diam.

“Kamu itu, ya! Kamu tuh mikir, Mbak itu kerja, mana sempat buatkan mereka nasi goreng! Harusnya kamu punya empati sedikit! Dasar adik ipar perhitungan!” gerutunya.

“Sudah! Sudah! Pagi-pagi sudah bikin ribut saja! Kamu masak lagi saja, Winda!” ucap Ibu Mertuaku sambil berdiri.

“Ibu itu masih saja belain si Mia! Mantu gak ada guna juga masih saja dipelihara! Sama kayak kamu tuh, Hafid hafidun, buta gak tahu mana wanita cantik dan berkelas dan gak tahu mana sampah!” ujarnya.

Masih saja diungkit. Mbak Winda memang ingin mengenalkan Mas Hafid pada teman kerjanya waktu itu. Katanya orangnya baik dan cantik, tetapi Mas Hafid menolak dan malah menikahiku.

Mbak Winda tampak masuk ke dalam kamar dan keluar lagi sambil menenteng kunci motor miliknya. Lalu berteriak pada Hasan yang masih terdengar merengek.

“Udah diem! Ayo ikut mama, kita beli saja di luar! Nasi gorengnya lebih enak dari pada yang di rumah!” ujarnya pada Hasan.

Anak lelaki itu segera mengikuti langkah Mbak Winda. Aku menatapnya sambil mengelus dada.

“Maafin Tante ya, Hasan! Tante buat gini hanya untuk ngasih pelajaran ke mama kamu!” batinku.

Drama awal pagi selesai. Rasanya semakin lelah dan bosan saja ketika setiap pagi selalu saja diawali dengan keributan. Ada saja hal dari yang Mbak Winda sampaikan yang seringkali membuatku kesal. Aku segera merapikan bekas sarapan. Mencuci piring dan bergegas menyiangi sayuran. Hari ini Mas Hafid aku minta libur dulu jaga parkiran. Selain karena kondisi wajahnya yang masih bengkak, aku juga mau minta di antar ke ATM. Benda itu sudah kupegang sejak lama. Ya, Mas Hafid tidak membiasakan diri ATM itu dipegang olehnya. Dia berikan padaku bersama pinnya.

Jam delapan pagi, aku berangkat ke ATM. Lalu Mas Hafid mengantarku ke pasar untuk membeli cincin. Setelah itu, kami membeli beberapa helai pakaian juga. Aku membeli beberapa untukku, untuk Mas Hafid, Mesya dan Ibu.

Aku juga membeli kebutuhan dapur untuk beberapa hari ke depan. Sengaja aku membeli agak banyak stock sayuran karena di sini harganya lebih murah. Nanti bisa disimpan saja dalam lemari es.

Kami sudah tiba kembali pukul setengah sepuluh. Aku masuk dan menurunkan barang belanjaan. Hasan dan Bian sedang berkejar-kejaran di ruang tengah. Sementara itu, Ibu Mertuaku tengah menjaga Mesya.

“Wah kamu belanja banyak, Mia?” tanyanya sambil menatap heran.

“Iya, Bu! Alhamdulilah ada rejeki! Oh iya, ini daster buat Ibu!” Aku mengeluarkan dua potong daster dari plastik. Lalu menyodorkannya pada wanita itu.

“Wah alhamdulilah Ibu kebagian,” ucapnya sambil tersenyum merekah.

“Aku mau simpan sayuran dulu, Bu! Lumayan harganya murah-murah kalau di sana! Tadi beli ayam juga, biar kita bisa makan enak sesekali!” ucapku sambil berjalan ke dapur. Lemari es memang di simpan di sana.

Baru saja aku membuka pintu lemari es dan hendak menata sayuran milikku. Terdengar suara lantang Mbak Winda.

“Eh, Mia! Mulai hari ini, kamu jangan sentuh kulkas milik saya! Simpan saja sayuranmu diluar biar pada busuk sekalipun Mbak gak peduli!”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 37 - End

    Istri Mas Akim yang sedang menunggu di kontrakan akhirnya mencari tahu keberadaan Mas Akim yang tidak pulang-pulang hingga pagi. Dia bertanya pada tetangga kontrakan tentang alamat kontrakan Teta. Namun semua tidak ada yang tahu. Via mencoba menghubungi ponsel Mas Akim juga tapi tidak ada yang mengangkatnya. Hingga pada pukul sepuluh pagi, ada seseorang yang mengetuk pintu. Ternyata pemilik kontrakan. Via langsung mendadak lemas ketika mendapat kabar dari pemilik kontrakan jika Mas Akim ditemukan tewas bersama Teta di kontrakan perempuan itu.Via---perempuan yang dibodohi cinta, akhirnya membawa pulang jenazah suami yang telah berkhianat itu. Tetap saja dia menangis histeris. Terlebih selama ini dia tidak tahu kelakuan Mas Akim di rantau. Baginya Mas Akim adalah suami baik dan bertanggung jawab. Hanya hari itu saja dia memergoki bersama Teta. Kehidupan Via sebetulnya terselamatkan. Mas Akim tidak bisa lagi melaksanakan niat busuknya untuk menguasai warisan Via dari orang tuanya. Nam

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 36

    Teta beberapa kali menciumi pipi Mas Akim. Sudah tidak sabar mereka akan melaksanakan rutinitas yang menyenangkan di dalam kontrakan Mas Akim. Terlebih baru saja mereka mendapatkan beberapa bungkus barang haram yang mereka candukan. Cup!Cup! Cup!Beberapa kali Teta mencium pipi lelaki berambut plontos itu ketika sepeda motor yang mereka tumpangi berhenti. Tangan Teta yang melingkar pada perut Mas Akim tak jua dilepasnya. “Sayang! Lepas, dong! Katanya mau buru-buru?” bisik Mas Akim sambil membelai pipi Teta. “Habisnya nyaman kalau peluk kamu, tuh!” ucap Teta sambil melepas pelukannya lalu turun dari sepeda motor. Begitu pun Mas Akim. Keduanya baru saja hendak membuka pintu kontrakan ketika terdengar ada suara yang memekik dari arah jalan.“Mas!” Suara seorang wanita memekik.Mas Akim dan Teta menoleh. Ada seorang wanita yang tampak memandang nyalang pada Mas Akim. Perempuan itu mendekat. Lalu menatap lekat wajah Teta yang memang masih terbilang muda itu dengan penuh kebencian. Pl

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 35

    Mia menatap Mesya dan Lili yang tengah berlarian di taman depan. Fasilitas umum yang baru selesai dibangun oleh developer ini cukup efektif. Keduanya berteman semakin dekat semenjak Lili resmi diadopsi menjadi anak dari keluarga Mbak Nindi. Mendengar cerita Mia saat pulang dari panti waktu itu, Mbak Nindi langsung tertarik dengan sosok Lili. Setelah semua dokumen selesai diurus, akhirnya Lili kini resmi menjadi putri dari keluarganya. Mia dan Mbak Nindi tengah duduk di tepi lapang sambil memakan rujak petis. Mangga muda yang dibawa Mbak Nindi benar-benar segar. Meskipun hari sudah menjelang sore, akan tetapi rujak ini masih cukup bersahabat untuk dinikmati.Kini Mia lebih banyak memiliki waktu luang, semenjak Hafid meminta untuk tidak terlalu capek, Mia sudah membayar satu orang admin virtual untuk mengurusi setiap cabuy yang bertanya tentang property. Warteg dan catering akikah, sudah ada yang jaga juga. Jadi Mia hanya sesekali mengecheck mereka saja.Sore itu, Mia tengah menunggu H

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 34

    “Astagfirulloh, Mas! Itu kok mirip banget sama Mbak Winda, Mas?” gumam Mia sambil menatap para pelaku yang tengah digiring oleh pihak kepolisian. Hafid menoleh pada layar kaca. Begitupun Bu Romsih yang tengah bermain dengan Mesya. Keduanya memekik bersama. Benar, wajah dalam layar kaca itu sangat mirip sekali dengan Mbak Winda. Namun masa iya, Mbak Winda berada di Batam? Mia mencoba mencari tahu kontak stasiun televisi yang menayangkan berita itu. Dia hanya ingin mendapatkan kabar tentang para pelaku yang dibekuk tersebut. Namun ternyata Mia cukup kesulitan. Sambungan terhubung akan tetapi tidak juga ada yang mengangkat. “Apakah Mbak Winda ada yang menjual ke luar pulau, ya, Mas? Makanya dia gak balik-balik ke sini?” bisik Mia pada Hafid.“Astaghfirulloh, Dek! Apa iya, ya? Mas gak kepikiran kesitu, ya?” Hafid terpekik mendengar penuturan Mia. Bu Romsih tiba-tiba terisak. Usianya yang semakin renta membuat perasaannya semakin sensitif. Terlebih dia kembali teringat pada Putri---cuc

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 33

    Bu Romsih sudah menangis sejak semalam. Sepulang dari tempat kerja, Mbak Winda membawa paksa Putri. Alasannya mau dibawa ke dokter. Namun hingga pagi, Mbak Winda gak bisa dihubungi dan keberadaan Putri tidak diketahui. “Ibu kenapa juga ngasihin si Putri malem-malem dibawa Winda! Sudah jelas selama ini dia gak sayang sama anaknya itu!” Mbak Wilda malah menyalahkan Bu Romsih atas kehilangan bayi tersebut. Bu Romsih yang sejak malam menangis itu makin tersedu. Dia merasa sangat bersalah ketika tak mendapat kabar dari Mbak Winda. Hafid dan Mia baru saja tiba. Keduanya langsung masuk ke dalam rumah. Mas Kama sudah berangkat kerja. Hanya ada Bu Romsih dan Mbak Wilda di sana. “Putri belum ditemukan juga, Bu?” Hafid memburu Bu Romsih dengan pertanyaan. Wanita sepuh itu menggeleng sambil terisak. “Aku juga coba hubungi Mbak Winda berkali-kali tapi gak aktif. Nanti aku coba ke tempat kerjanya.” Hafid berusaha menenangkan. Mbak Wilda menatap sinis pada Hafid. Lalu melirik ke arah Mia. “Ka

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 32

    “Mbak ngapain pagi-pagi ke sini?” Teta menyipit menatap Mbak Winda.“Aku mau barang itu, Ta!” Mbak Winda mendorong daun pintu yang Teta masih tahan. Namun sontak matanya membulat melihat sosok lelaki yang tengah terbaring di atas tempat tidur Teta. “Mas Akim?!” pekik Mbak Winda sambil berpegangan pada daun pintu. Kakinya mendadak gemetar. Hatinya berdentum-dentum hebat. Lelaki bertelanjang dada tersebut tampak kaget. Dia meraih kaosnya yang tergeletak lalu mengenakannya dengan cepat. Sementara itu, Mbak Winda berjalan cepat mendekat.Plak!Plak! Plak! Tamparan bertubi-tubi dihadiahkannya pada kedua pipi Mas Akim. Air mata Mbak Winda mengalir tak tertahan. Sedih, benci, marah bercampur kecewa membaur menjadi sesak. “Balikin uang aku, Mas! Balikin semuanya!” hardik Mbak Winda sambil mendorong tubuh lelaki yang baru saja hendak bangun itu. Tubuh Mas Akim terhuyung ke belakang karena tidak menyangka mendapatkan serangan dadakan sekuat tenaga dari Mbak Winda.Mbak Winda maju lagi mera

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status