Namun alangkah kagetnya aku, ketika dari kejauhan tampak Mas Hafid tengah dihajar oleh dua orang. Tubuhnya terhuyung membentur trotoar.
“Mas Hafid!” pekikku sambil berlari memburunya.
Kedua lelaki itu melepaskan Mas Hafid ketika melihatku berjalan tergopoh memburu ke arahnya. Kupegang luka yang ada pada sudut bibirnya.
“Ya Allah, Mas … kamu ada masalah apa sama mereka?”
Aku meraih tangannya dan membantunya untuk bangun. Kulirik sekilas pada dua orang yang tengah berjalan menjauh itu.
“Biasa, Mi … rebutan wilayah! Kebetulan Bang Azhar lagi ada urusan, jadi dia leluasa melampiaskan kekesalan pada kita-kita yang ada di lapangan!”
“Kita beli obat luka saja ke apotek kalau gitu, Mas! Mau ke dokter uangnya juga gak ada. Ini Mesya saja panas. Aku cuma punya uang tiga puluh ribu, Mas. Tadinya ke sini mau minta tambah sama kamu.”
Tidak terasa ada yang menggenang pada pelupuk mataku. Rasa sedih menyeruak memaksa butiran bening ini berjatuhan perlahan.
“Astagfirulloh, Mesya panas, Mi? Mas gak punya uang lebih hari ini, cuma kebagian tiga puluh ribu bakal kita makan! Biar ini dibelikan obat panas sama obat luka saja.”
Mas Hafid tergesa mengambil sepeda motor yang tidak jauh dari tempatnya menjaga parkir. Lalu kami berangkat menuju apotek untuk membeli obat. Tidak jadi pergi ke dokter karena uangnya juga tidak akan cukup. Ini pun untuk jatah buat makan besok.
Kami tiba di rumah. Ruang tengah berantakan. Box pizza tergeletak di mana-mana. Di atas meja ada satu potong lagi tersisa.
“Asiiik, ada pizza, nih!” Mas Hafid mendekati potongan pizza itu dan hendak mengambilnya. Perutnya yang sejak tadi terdengar keroncongan membuatnya begitu bersemangat melihat makanan langka itu. Ya, bagi kami makanan itu hanya untuk orang kaya. Satu bundar saja harganya bisa untuk makan tiga hari.
“Eh, taroh! Mbak gak nawari kamu, ya!” hardik Mbak Winda yang menyembul dari dalam kamar.
“Ya elah, Mbak! Pelit amet!” gerutu Mas Hafid sambil mengatupkan kembali bibirnya. Dia tidak jadi menyuap pizza itu dan menyimpannya kembali.
“Mbak pelit? Gak apa, biar pelit tapi Mbak itu banyak uang! Dari pada istri kamu yang miskin itu. Sudah miskin, sombong dan suka melawan!” ucapnya sambil mengambil satu potong pizza itu dan membungkusnya. Dia melirik sinis ke arahku sebelum berlalu.
Aku yang sedang membuka kunci pintu kamar hanya sesekali melirik pada mereka. Namun rasanya panas saja bibir ini ingin menimpali. Biar kutahan dulu, Mesya sedang lebih membutuhkan perhatianku.
Aku masuk ke kamar. Menidurkan Mesya yang tampak lemas dan sesekali menangis. Lalu kuambil air hangat dan mengompres keningnya.
Mas Hafid masuk ke kamar. Lalu mengambil handuk dan pergi membersihkan diri ke belakang. Sementara itu, aku mengambil gawai dan menghubungi Mbak Nindi---kepala agen marketing propertiku.
[Sore, Mbak! Saya mau tanya tentang komisi yang lima juta itu, Mbak!] tulisku sambil duduk pada tepi tempat tidur.
[Ya, sore juga! Yang closingan garden village itu ya, Mbak?] tanyanya.
[Iya, Mbak!] tulisku.
[Sebentar saya tanya ke orang kantor!] tulisnya.
[Ok, Mbak!]
Aku menyimpan gawai. Lalu mengambil obat syrup dan memberikannya pada Mesya.
Derit pintu kamar terbuka. Mas Hafid muncul. Wajahnya tampak memar dan terlihat seperti habis disengat tawon. Ada bagian yang bengkak di sekitar mata dan bibirnya sedikit sobek.
“Mas, aku olesi obat, ya!” tukasku.
Bersamaan dengan itu, kumandang adzan maghrib terdengar. Mas Hafid menoleh padaku. “Habis salat saja, ya, Mi, olesi obatnya!” tukasnya sambil menggelarkan sajadah.
Aku mengangguk. Kami bergantian melaksanakan kewajiban. Mesikpun aku belum sepenuhnya bisa menutup aurat. Akan tetapi Mas Hafid perlahan membimbingku untuk selalu salat tepat waktu.
Hijrah itu perlahan. Jika tidak bisa total maka bertahap. Begitulah katanya. Maklum istrinya ini masih jauh dari kata shalihah.
“Utamakanlah Allah, jika kamu ingin diutamakan oleh-Nya!” ujar Mas Hafid setiap kali aku malas melakukan shalat tepat waktu.
“Kadang aku merasa dari dulu Dia itu gak sayang sama aku, Mas! Dari kecil hidup aku susah! Sudah nikah sama kamu hidup aku juga tetap susah! Makanya aku juga kadang susah kalau mau melaksanakan perintah-Nya!” ucapku dulu. Waktu beberapa hari setelah menikah dengan Mas Hafid.
“Dia mungkin tidak mengabulkan semua yang kita inginkan! Akan tetapi Dia tahu apa yang kita butuhkan! Kamu jangan gitu, sekarang Mas tanya … apa kamu sudah menjalankan perintah-Nya dengan benar? Belum ‘kan? Jangan menuntut mendapatkan yang sempurna jika ibadah kita masih alakadarnya!”
Itulah ucapan Mas Hafid yang telak membuat hatiku merasa malu. Perlahan aku dibimbingnya untuk melaksanakan shalat tepat waktu. Mas Hafid bukan santri, hanya saja tentang masalah agama dia lebih baik dariku. Meskipun dia belum bisa mengubahku seutuhnya akan tetapi perlahan aku bisa mengikuti arahannya meskipun lama.
“Ayo, Mia!” Suaranya membuyarkan sekilas memoriku tentangnya dulu. Aku tersenyum dan menoleh padanya. Dia tampak sudah duduk di tempat tidur dan memegang obat salep yang tadi kami beli. Aku menghampirinya dan mengolesi salep itu pada luka di wajahnya.
Sesekali Mas Hafid meringis ketika lukanya kusentuh. Kasihan dan menyedihkan. Aku terus mengolesi semuanya dengan telaten.
Gawai kembali berdering. Aku menoleh dan menyimpan salep yang sudah merata pada seluruh luka di wajahnya. Aku tersenyum melihat sang pengirim pesan. Rupanya pesan dari Mbak Nindi.
[Mia, saya sudah tanyakan ke orang kantor! Besok kita transfer uang komisinya! Paling pagi sudah masuk, soalnya tadi siang sudah dikirim ke Bank! Harusnya sih hari ini sudah masuk, tapi takut ada clearing saja!] tukasnya.
[Ok, makasih, Mbak!]
[Sama-sama, Mia! Semangat closing!]
Aku meletakkan gawai dan menoleh pada Mas Hafid sambil tersenyum.
“Mas, sms banking kamu masih aktif gak?”
Dia mengangguk. Aku segera mengambil gawainya yang tergeletak di atas meja kecil. Kubuka dengan tidak sabar. Berharap sudah ada pesan masuk. Seketika netraku berbinar dan ucapan syukur terpanjat melalui bibirku ini.
[Trx.Rek 110113322123543
20211015:22 xxx21277 Rp. 5.000.000,- 10.10.202115.01.32]
Istri Mas Akim yang sedang menunggu di kontrakan akhirnya mencari tahu keberadaan Mas Akim yang tidak pulang-pulang hingga pagi. Dia bertanya pada tetangga kontrakan tentang alamat kontrakan Teta. Namun semua tidak ada yang tahu. Via mencoba menghubungi ponsel Mas Akim juga tapi tidak ada yang mengangkatnya. Hingga pada pukul sepuluh pagi, ada seseorang yang mengetuk pintu. Ternyata pemilik kontrakan. Via langsung mendadak lemas ketika mendapat kabar dari pemilik kontrakan jika Mas Akim ditemukan tewas bersama Teta di kontrakan perempuan itu.Via---perempuan yang dibodohi cinta, akhirnya membawa pulang jenazah suami yang telah berkhianat itu. Tetap saja dia menangis histeris. Terlebih selama ini dia tidak tahu kelakuan Mas Akim di rantau. Baginya Mas Akim adalah suami baik dan bertanggung jawab. Hanya hari itu saja dia memergoki bersama Teta. Kehidupan Via sebetulnya terselamatkan. Mas Akim tidak bisa lagi melaksanakan niat busuknya untuk menguasai warisan Via dari orang tuanya. Nam
Teta beberapa kali menciumi pipi Mas Akim. Sudah tidak sabar mereka akan melaksanakan rutinitas yang menyenangkan di dalam kontrakan Mas Akim. Terlebih baru saja mereka mendapatkan beberapa bungkus barang haram yang mereka candukan. Cup!Cup! Cup!Beberapa kali Teta mencium pipi lelaki berambut plontos itu ketika sepeda motor yang mereka tumpangi berhenti. Tangan Teta yang melingkar pada perut Mas Akim tak jua dilepasnya. “Sayang! Lepas, dong! Katanya mau buru-buru?” bisik Mas Akim sambil membelai pipi Teta. “Habisnya nyaman kalau peluk kamu, tuh!” ucap Teta sambil melepas pelukannya lalu turun dari sepeda motor. Begitu pun Mas Akim. Keduanya baru saja hendak membuka pintu kontrakan ketika terdengar ada suara yang memekik dari arah jalan.“Mas!” Suara seorang wanita memekik.Mas Akim dan Teta menoleh. Ada seorang wanita yang tampak memandang nyalang pada Mas Akim. Perempuan itu mendekat. Lalu menatap lekat wajah Teta yang memang masih terbilang muda itu dengan penuh kebencian. Pl
Mia menatap Mesya dan Lili yang tengah berlarian di taman depan. Fasilitas umum yang baru selesai dibangun oleh developer ini cukup efektif. Keduanya berteman semakin dekat semenjak Lili resmi diadopsi menjadi anak dari keluarga Mbak Nindi. Mendengar cerita Mia saat pulang dari panti waktu itu, Mbak Nindi langsung tertarik dengan sosok Lili. Setelah semua dokumen selesai diurus, akhirnya Lili kini resmi menjadi putri dari keluarganya. Mia dan Mbak Nindi tengah duduk di tepi lapang sambil memakan rujak petis. Mangga muda yang dibawa Mbak Nindi benar-benar segar. Meskipun hari sudah menjelang sore, akan tetapi rujak ini masih cukup bersahabat untuk dinikmati.Kini Mia lebih banyak memiliki waktu luang, semenjak Hafid meminta untuk tidak terlalu capek, Mia sudah membayar satu orang admin virtual untuk mengurusi setiap cabuy yang bertanya tentang property. Warteg dan catering akikah, sudah ada yang jaga juga. Jadi Mia hanya sesekali mengecheck mereka saja.Sore itu, Mia tengah menunggu H
“Astagfirulloh, Mas! Itu kok mirip banget sama Mbak Winda, Mas?” gumam Mia sambil menatap para pelaku yang tengah digiring oleh pihak kepolisian. Hafid menoleh pada layar kaca. Begitupun Bu Romsih yang tengah bermain dengan Mesya. Keduanya memekik bersama. Benar, wajah dalam layar kaca itu sangat mirip sekali dengan Mbak Winda. Namun masa iya, Mbak Winda berada di Batam? Mia mencoba mencari tahu kontak stasiun televisi yang menayangkan berita itu. Dia hanya ingin mendapatkan kabar tentang para pelaku yang dibekuk tersebut. Namun ternyata Mia cukup kesulitan. Sambungan terhubung akan tetapi tidak juga ada yang mengangkat. “Apakah Mbak Winda ada yang menjual ke luar pulau, ya, Mas? Makanya dia gak balik-balik ke sini?” bisik Mia pada Hafid.“Astaghfirulloh, Dek! Apa iya, ya? Mas gak kepikiran kesitu, ya?” Hafid terpekik mendengar penuturan Mia. Bu Romsih tiba-tiba terisak. Usianya yang semakin renta membuat perasaannya semakin sensitif. Terlebih dia kembali teringat pada Putri---cuc
Bu Romsih sudah menangis sejak semalam. Sepulang dari tempat kerja, Mbak Winda membawa paksa Putri. Alasannya mau dibawa ke dokter. Namun hingga pagi, Mbak Winda gak bisa dihubungi dan keberadaan Putri tidak diketahui. “Ibu kenapa juga ngasihin si Putri malem-malem dibawa Winda! Sudah jelas selama ini dia gak sayang sama anaknya itu!” Mbak Wilda malah menyalahkan Bu Romsih atas kehilangan bayi tersebut. Bu Romsih yang sejak malam menangis itu makin tersedu. Dia merasa sangat bersalah ketika tak mendapat kabar dari Mbak Winda. Hafid dan Mia baru saja tiba. Keduanya langsung masuk ke dalam rumah. Mas Kama sudah berangkat kerja. Hanya ada Bu Romsih dan Mbak Wilda di sana. “Putri belum ditemukan juga, Bu?” Hafid memburu Bu Romsih dengan pertanyaan. Wanita sepuh itu menggeleng sambil terisak. “Aku juga coba hubungi Mbak Winda berkali-kali tapi gak aktif. Nanti aku coba ke tempat kerjanya.” Hafid berusaha menenangkan. Mbak Wilda menatap sinis pada Hafid. Lalu melirik ke arah Mia. “Ka
“Mbak ngapain pagi-pagi ke sini?” Teta menyipit menatap Mbak Winda.“Aku mau barang itu, Ta!” Mbak Winda mendorong daun pintu yang Teta masih tahan. Namun sontak matanya membulat melihat sosok lelaki yang tengah terbaring di atas tempat tidur Teta. “Mas Akim?!” pekik Mbak Winda sambil berpegangan pada daun pintu. Kakinya mendadak gemetar. Hatinya berdentum-dentum hebat. Lelaki bertelanjang dada tersebut tampak kaget. Dia meraih kaosnya yang tergeletak lalu mengenakannya dengan cepat. Sementara itu, Mbak Winda berjalan cepat mendekat.Plak!Plak! Plak! Tamparan bertubi-tubi dihadiahkannya pada kedua pipi Mas Akim. Air mata Mbak Winda mengalir tak tertahan. Sedih, benci, marah bercampur kecewa membaur menjadi sesak. “Balikin uang aku, Mas! Balikin semuanya!” hardik Mbak Winda sambil mendorong tubuh lelaki yang baru saja hendak bangun itu. Tubuh Mas Akim terhuyung ke belakang karena tidak menyangka mendapatkan serangan dadakan sekuat tenaga dari Mbak Winda.Mbak Winda maju lagi mera