Share

Bab 6

Namun alangkah kagetnya aku, ketika dari kejauhan tampak Mas Hafid tengah dihajar oleh dua orang. Tubuhnya terhuyung membentur trotoar.

“Mas Hafid!” pekikku sambil berlari memburunya.

Kedua lelaki itu melepaskan Mas Hafid ketika melihatku berjalan tergopoh memburu ke arahnya. Kupegang luka yang ada pada sudut bibirnya.

“Ya Allah, Mas … kamu ada masalah apa sama mereka?”

Aku meraih tangannya dan membantunya untuk bangun. Kulirik sekilas pada dua orang yang tengah berjalan menjauh itu.

“Biasa, Mi … rebutan wilayah! Kebetulan Bang Azhar lagi ada urusan, jadi dia leluasa melampiaskan kekesalan pada kita-kita yang ada di lapangan!”

“Kita beli obat luka saja ke apotek kalau gitu, Mas! Mau ke dokter uangnya juga gak ada. Ini Mesya saja panas. Aku cuma punya uang tiga puluh ribu, Mas. Tadinya ke sini mau minta tambah sama kamu.”

Tidak terasa ada yang menggenang pada pelupuk mataku. Rasa sedih menyeruak memaksa butiran bening ini berjatuhan perlahan.

“Astagfirulloh, Mesya panas, Mi? Mas gak punya uang lebih hari ini, cuma kebagian tiga puluh ribu bakal kita makan! Biar ini dibelikan obat panas sama obat luka saja.”

Mas Hafid tergesa mengambil sepeda motor yang tidak jauh dari tempatnya menjaga parkir. Lalu kami berangkat menuju apotek untuk membeli obat. Tidak jadi pergi ke dokter karena uangnya juga tidak akan cukup. Ini pun untuk jatah buat makan besok.

Kami tiba di rumah. Ruang tengah berantakan. Box pizza tergeletak di mana-mana. Di atas meja ada satu potong lagi tersisa.

“Asiiik, ada pizza, nih!” Mas Hafid mendekati potongan pizza itu dan hendak mengambilnya. Perutnya yang sejak tadi terdengar keroncongan membuatnya begitu bersemangat melihat makanan langka itu. Ya, bagi kami makanan itu hanya untuk orang kaya. Satu bundar saja harganya bisa untuk makan tiga hari.

“Eh, taroh! Mbak gak nawari kamu, ya!” hardik Mbak Winda yang menyembul dari dalam kamar.

“Ya elah, Mbak! Pelit amet!” gerutu Mas Hafid sambil mengatupkan kembali bibirnya. Dia tidak jadi menyuap pizza itu dan menyimpannya kembali.

“Mbak pelit? Gak apa, biar pelit tapi Mbak itu banyak uang! Dari pada istri kamu yang miskin itu. Sudah miskin, sombong dan suka melawan!” ucapnya sambil mengambil satu potong pizza itu dan membungkusnya. Dia melirik sinis ke arahku sebelum berlalu.

Aku yang sedang membuka kunci pintu kamar hanya sesekali melirik pada mereka. Namun rasanya panas saja bibir ini ingin menimpali. Biar kutahan dulu, Mesya sedang lebih membutuhkan perhatianku.

Aku masuk ke kamar. Menidurkan Mesya yang tampak lemas dan sesekali menangis. Lalu kuambil air hangat dan mengompres keningnya.

Mas Hafid masuk ke kamar. Lalu mengambil handuk dan pergi membersihkan diri ke belakang. Sementara itu, aku mengambil gawai dan menghubungi Mbak Nindi---kepala agen marketing propertiku.

[Sore, Mbak! Saya mau tanya tentang komisi yang lima juta itu, Mbak!] tulisku sambil duduk pada tepi tempat tidur.

[Ya, sore juga! Yang closingan garden village itu ya, Mbak?] tanyanya.

[Iya, Mbak!] tulisku.

[Sebentar saya tanya ke orang kantor!] tulisnya.

[Ok, Mbak!]

Aku menyimpan gawai. Lalu mengambil obat syrup dan memberikannya pada Mesya.

Derit pintu kamar terbuka. Mas Hafid muncul. Wajahnya tampak memar dan terlihat seperti habis disengat tawon. Ada bagian yang bengkak di sekitar mata dan bibirnya sedikit sobek.

“Mas, aku olesi obat, ya!” tukasku.

Bersamaan dengan itu, kumandang adzan maghrib terdengar. Mas Hafid menoleh padaku. “Habis salat saja, ya, Mi, olesi obatnya!” tukasnya sambil menggelarkan sajadah.

Aku mengangguk. Kami bergantian melaksanakan kewajiban. Mesikpun aku belum sepenuhnya bisa menutup aurat. Akan tetapi Mas Hafid perlahan membimbingku untuk selalu salat tepat waktu.

Hijrah itu perlahan. Jika tidak bisa total maka bertahap. Begitulah katanya. Maklum istrinya ini masih jauh dari kata shalihah.

“Utamakanlah Allah, jika kamu ingin diutamakan oleh-Nya!” ujar Mas Hafid setiap kali aku malas melakukan shalat tepat waktu.

“Kadang aku merasa dari dulu Dia itu gak sayang sama aku, Mas! Dari kecil hidup aku susah! Sudah nikah sama kamu hidup aku juga tetap susah! Makanya aku juga kadang susah kalau mau melaksanakan perintah-Nya!” ucapku dulu. Waktu beberapa hari setelah menikah dengan Mas Hafid.

“Dia mungkin tidak mengabulkan semua yang kita inginkan! Akan tetapi Dia tahu apa yang kita butuhkan! Kamu jangan gitu, sekarang Mas tanya … apa kamu sudah menjalankan perintah-Nya dengan benar? Belum ‘kan? Jangan menuntut mendapatkan yang sempurna jika ibadah kita masih alakadarnya!”

Itulah ucapan Mas Hafid yang telak membuat hatiku merasa malu. Perlahan aku dibimbingnya untuk melaksanakan shalat tepat waktu. Mas Hafid bukan santri, hanya saja tentang masalah agama dia lebih baik dariku. Meskipun dia belum bisa mengubahku seutuhnya akan tetapi perlahan aku bisa mengikuti arahannya meskipun lama.

“Ayo, Mia!” Suaranya membuyarkan sekilas memoriku tentangnya dulu. Aku tersenyum dan menoleh padanya. Dia tampak sudah duduk di tempat tidur dan memegang obat salep yang tadi kami beli. Aku menghampirinya dan mengolesi salep itu pada luka di wajahnya.

Sesekali Mas Hafid meringis ketika lukanya kusentuh. Kasihan dan menyedihkan. Aku terus mengolesi semuanya dengan telaten.

Gawai kembali berdering. Aku menoleh dan menyimpan salep yang sudah merata pada seluruh luka di wajahnya. Aku tersenyum melihat sang pengirim pesan. Rupanya pesan dari Mbak Nindi.

[Mia, saya sudah tanyakan ke orang kantor! Besok kita transfer uang komisinya! Paling pagi sudah masuk, soalnya tadi siang sudah dikirim ke Bank! Harusnya sih hari ini sudah masuk, tapi takut ada clearing saja!] tukasnya.

[Ok, makasih, Mbak!]

[Sama-sama, Mia! Semangat closing!]

Aku meletakkan gawai dan menoleh pada Mas Hafid sambil tersenyum.

“Mas, sms banking kamu masih aktif gak?”

Dia mengangguk. Aku segera mengambil gawainya yang tergeletak di atas meja kecil. Kubuka dengan tidak sabar. Berharap sudah ada pesan masuk. Seketika netraku berbinar dan ucapan syukur terpanjat melalui bibirku ini.

[Trx.Rek 110113322123543

20211015:22 xxx21277 Rp. 5.000.000,- 10.10.202115.01.32]

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status