MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU

MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU

By:  Evie Yuzuma  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 rating
37Chapters
16.1Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

“Mbak, maaf … mulai hari ini aku tidak bisa bantuin Mbak nyuci lagi,” ucapku pada Mbak Winda yang menyimpan setumpuk cucian pada bak cuciku. “Jangan kebanyakan gaya kamu, Mia! Ingat kamu itu masih numpang di rumah Ibu … suami kamu juga belum dapat pekerjaan. Lulusan SMA itu sekarang susah kalau mau masuk ke pabrik lagi, apalagi umur suami kamu sudah tua!” ujarnya sambil tetap mencampurkan setumpuk pakaian kotor ke bak cucianku. Mia yang masih menumpang di rumah Ibu Mertua dan juga seatap dengan Winda---kakak iparnya, perlahan memberontak. Mia menginginkan kehidupan yang damai dan tenteram dan tak selalu dihinda dan direndahkan oleh Winda. Mentang-mentang Winda dan suaminya sama-sama bekerja, maka seenak hatinya memperbudak Mia dan menjadikannya kacung di rumah Ibunya. Akankah perjuangan Mia untuk membalaskan hinaan dan kesombongan kakak iparnya berjaya? Apakah secercah cahaya perlahan bisa menyentuh hati Winda atau semakin keras saja?

View More
MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Fatra Hayati
kereeeen mia... semangaaaat
2022-07-12 23:10:11
0
37 Chapters
Bab 1
“Mbak, maaf … mulai hari ini aku tidak bisa bantuin Mbak nyuci lagi,” ucapku pada Mbak Winda yang menyimpan setumpuk cucian pada bak cuciku.“Jangan kebanyakan gaya kamu, Mia! Ingat kamu itu masih numpang di rumah Ibu … suami kamu juga belum dapat pekerjaan. Lulusan SMA itu sekarang susah kalau mau masuk ke pabrik lagi, apalagi umur suami kamu sudah tua!” ujarnya sambil tetap mencampurkan setumpuk pakaian kotor ke bak cucianku.“Terserah Mbak mau ngomong apa. Bukankah kita di sini sama-sama numpang di rumah Ibu? Mbak juga belum punya rumah sendiri ‘kan? Jadi posisi kita sama, Mbak! Mbak Winda gak bisa seenaknya nyuruh-nyuruh aku! Aku juga punya pekerjaan!” ucapku sambil meneruskan mencuci.Yang kucuci pastinya pakaianku dan milik Ibu mertua. Sudah cukup selama ini aku membantu pekerjaan Mbak Winda, tetapi dia malah semakin menjadi. Melimpahkan semua pekerjaan rumah bahkan mengurus Bian---putranya yang baru berusia lima belas bulan yang sedang nakal-nakalnya. Padahal aku pun punya bayi
Read more
Bab 2
“Mia … Mia … tolong jagain dulu Bian! Mbak kok gatel-gatel gini, ya?” Mbak Winda terburu-buru berjalan dari kamarnya dan menghampiriku yang tengah berada di ruang tengah. Aku sedang menemani Mas Hafid sarapan di ruang tengah sambil menonton televisi.Dia menyimpan Bian ke pangkuanku sambil tergesa ke belakang. Mau mandi lagi mungkin? Maafkan aku, Mbak … pakaian kamu sama Mas Ardi ‘kan waktu itu kan hanya kurendam dengan pewangi. Aku hanya mencuci kembali pakaian Bian dan Hasan karena tidak tega jika anak kecil harus gatal-gatal juga.Bian memainkan kepala Mesya anakku. Sudah kebiasaan bocah itu memainkan rambut Mesya jika sedang bermain bersamanya. Mesya yang baru bisa miring-miring itu berusaha meraih tangan Bian yang sejak tadi mengusili rambutnya. Senang jika melihat mereka akur seperti itu. Namun sayang, aku sama ibunya Bian tidak pernah damai.“Eh, Mia! Kamu ‘kan yang tempo hari nyuciin pakaian, Mbak, ya?” Dia datang dari kamar mandi sepertinya habis mandi lagi. Kebiasaan banget
Read more
Bab 3
Dia melengos pergi. Padahal kerjanya mulai jam sepuluh pagi, tetapi pukul delapan sudah berangkat. Menyisakkan Bian yang kini mulai merengek karena lapar. Kuusap pucuk kepala anak lelaki berusia lima belas bulan itu. Dia menatap penuh minat pada makanan mpasi milik Mesya.“Mamam … mamam …,” ucapnya polos.“Iya, Mas Bian nanti Tante buatin mamam, ya! Diam di sini dulu, ya!” ucapku sambil memberinya mainan. Kugendong Mesya ke dapur dan mencari makanan untuk Bian. Ada satu rak berisi makanan bayi dan susu formula yang Mbak Winda khususkan hanya untuk Bian.“Mia, itu kok di ruang tengah berantakan banget pakaian? Punya siapa?” Tanpa kukira, ibu mertuaku muncul dari dalam.“Eh, Ibu sudah pulang?” tanyaku sambil tersenyum. Sementara itu, tanganku mengaduk makanan untuk Bian.“Iya, sudah! Ini Ibu beli sayur juga sekalian! Kamu lagi buatin makanan Mesya?” tanyanya sambil meletakkan kantung belanja pada meja di dapur.“Ini buat Bian, Bu! Biasa Mbak Winda sudah pergi, gak kasih makan dulu, pada
Read more
Bab 4
“Alesan mulu kamu itu, ya! Dasar ipar miskin!” hardiknya. Disambung dengan terputusnya panggilan telepen dari seberang sana.Nyesss!Ada rasa nyeri dalam dada ini. Padahal kurang baik apa aku padanya selama ini? Mungkin karena sudah keseringan ngalah dan nurut akhirnya dia jadi merasa di atas angin. Padahal awalnya aku seperti itu karena aku merasa orang baru di rumah ini. Aku berusaha menyesuaikan diri dengan keluarga dari suamiku.Aku memberikan kembali gawai milik orang Bank keliling yang masih menunggu itu. Dia menatapku penuh harap.“Gimana, Mbak?” tanyanya. Menyebalkan memang.Aku hanya mengedik tanpa menjawab sepatah katapun. Berjalan ke dalam dan menyimpan paketan milik Mbak Winda di atas meja tivi. Lalu kembali ke dapur dan memasak untukku dan ibu. Ya, mulai hari ini aku sudah mendeklarasikan jika tidak akan memasak untuk Mbak Winda. Jadi masakan ini hanya untukku dan ibu.Namun tetap saja, jika Hasan merengek minta makan, aku pun tidak tega juga. Masa kesal sama orang tuanya
Read more
Bab 5
Menjelang ashar aku keluar dari kamar. Cucian milik Mbak Winda tampak menggunung di sofa ruang tengah. Sepertinya dia sudah angkatin pakaian yang hanya kujemur saja itu.Suasana di ruang tengah sepi. Padahal aku mau menitipkan Mesya dulu pada Ibu sebentar. Jika Mesya sudah bangun, aku gak bisa ngapa-ngapain soalnya. Aku akan menyiapkan masakan untuk sore nanti. Mungkin ibu sedang membawa main kedua cucunya ke rumah tetangga.Aku kembali lagi ke kamar dan menggendong Mesya pada akhirnya. Belum sempat lagi aku pergi ke dapur terdengar orang yang memanggil dari teras.“Permisi! Go food, Mbak!” pekiknya.Aku membukakan pintu. Tampak seorang pengemudi ojek online tengah menenteng beberapa box makanan.“Cari siapa, Pak?” tanyaku.“Ini, Mbak … dari go food! Anter pizza!” ucapnya.“Atas nama siapa, Pak?” tanyaku lagi, tidak merasa memesan makanan langka itu. Ya, langka bagiku yang kondisi kantong pas-pasan. Sayang duitnya kalau membeli makanan mahal seperti itu.“Eh, itu pizza atas nama Winda
Read more
Bab 6
Namun alangkah kagetnya aku, ketika dari kejauhan tampak Mas Hafid tengah dihajar oleh dua orang. Tubuhnya terhuyung membentur trotoar.“Mas Hafid!” pekikku sambil berlari memburunya.Kedua lelaki itu melepaskan Mas Hafid ketika melihatku berjalan tergopoh memburu ke arahnya. Kupegang luka yang ada pada sudut bibirnya.“Ya Allah, Mas … kamu ada masalah apa sama mereka?”Aku meraih tangannya dan membantunya untuk bangun. Kulirik sekilas pada dua orang yang tengah berjalan menjauh itu.“Biasa, Mi … rebutan wilayah! Kebetulan Bang Azhar lagi ada urusan, jadi dia leluasa melampiaskan kekesalan pada kita-kita yang ada di lapangan!”“Kita beli obat luka saja ke apotek kalau gitu, Mas! Mau ke dokter uangnya juga gak ada. Ini Mesya saja panas. Aku cuma punya uang tiga puluh ribu, Mas. Tadinya ke sini mau minta tambah sama kamu.”Tidak terasa ada yang menggenang pada pelupuk mataku. Rasa sedih menyeruak memaksa butiran bening ini berjatuhan perlahan.“Astagfirulloh, Mesya panas, Mi? Mas gak pu
Read more
Bab 7
[Trx.Rek 11011332212354320211015:22 xxx21277 Rp. 5.000.000,- 10.10.202115.01.32]“Alhamdulilah, Mas!” pekikku pelan.Kutatap deretan angka itu dengan mata lebar-lebar. Seumur hidup baru merasakan punya penghasilan sendiri, rasanya luar biasa banget.“Kenapa?”Mas Hafid yang sudah bersandar pada dipan di samping Mesya melihat heran ke arahku. Aku berjalan mendekat dan menunjukkan sms banking yang ada di tanganku. “Mas, ini lihat uang komisiku sudah masuk! Besok kita bisa ke dokter, Mas! Kita periksa luka kamu dan beli obat yang bagus! Mesya juga,” ucapku sambil menyeka sudut mata yang tiba-tiba menghangat.Disaat kami sedang kesulitan. Rasanya bahagia banget melihat sejumlah uang yang kini sedang kubutuhkan. “Mas sudah baikan, gak usah ke dokter lagi! Uangnya simpan saja pakai buat kebutuhan kita! Takut-takut Mas lagi gak dapet pemasukan di parkiran!” ucapnya. “Empat jutanya mau aku belikan cincin saja kalau gitu, Mas! Bisa dapet dua, jadi itung-itung nyimpen … nanti kalau dapat ko
Read more
Bab 8
Baru saja aku membuka pintu lemari es dan hendak menata sayuran milikku. Terdengar suara lantang Mbak Winda. “Eh, Mia! Mulai hari ini, kamu jangan sentuh kulkas milik saya! Simpan saja sayuranmu di luar biar pada busuk sekalipun Mbak gak peduli!” Astagfirulloh! Aku mengelus dada. Lalu menoleh padanya yang berdiri beberapa langkah dari tempatku. “Mbak Winda, ini sayuran juga aku simpan buat makan Ibunya Mbak Winda juga! Jadi orang jangan pelit amet, Mbak! Nanti kena karma! Lagian aku yang bayar listriknya!” ketusku sambil menatapnya kesal. Ya, aku tidak suka diperlakukan semena-mena olehnya. Meskipun berulang kali Mas Hafid selalu menasihatiku untuk mengalah. Malu katanya ribut terus. Rasanya keterlaluan sekali sikapnya, susah sekali aku mengimbanginya.Dia melirik sinis ke arah dua cincin baru yang melingkar di jemariku. Lalu dengan wajah angkuhnya dia berkata. “Beli cincin saja mampu, masa beli kulkas gak bisa! Atau jangan-jangan kamu cuma beli cincin imitasi biar kelihatan kere
Read more
Bab 9
“A Hafidnya ada, Mbak?” Lagi-lagi dia mengulang pertanyaannya. Aku mengangguk. “Suamiku lagi sakit, ada perlu apa, Mbak?” tanyaku datar. “Ini, saya hanya mau mengantarkan bingkisan sedikit buat dia, Mbak!” ucapnya sambil mengulurkan tentengan yang berisi makanan. Aku tidak serta merta menerimanya, kubiarkan tangannya menggantung saja. “Mbak ini siapanya suami saya?” tanyaku masih menatap lekat. Wajah menor dan rambut pirang itu masih berada di depanku. “Saya hanya temannya Mbak Winda, Mbak! Dia ada mengabarkan kalau A Hafid lagi sakit. Ini Mbak Mia 'kan? Mbak Mia gak mau nyuruh saya masuk ke dalam dulu, Mbak? Tamu ‘kan harus dihormati!” tukasnya dengan penuh percaya diri. Haish, yang tuan rumah siapa? Yang tamu siapa? “Mia siapa? Ada tamu?” terdengar suara ibu mertuaku dari dalam.“Iya, Bu!” tukasku setengah enggan. Malas menyuruh wanita dengan gaya selangit itu untuk masuk.“Suruh masuk dulu, masa tamu didiemin di luar!” Suara Ibu Mertuaku membuat senyum pada bibir wanita itu
Read more
Bab 10
"Mia! Mia!” “Mia! Mia!” Aku menoleh ke asal suara. Mbak Winda dan Mbak Wilda tampak sudah datang dan berada di belakangku yang tengah menyiapkan makan malam. Mas Hafid sedang berada di kamar menjaga Mesya yang memang tadi belum tidur. Bruk!Aku belum bersiap ketika Mbak Winda mendorongku. Dia melotot penuh amarah ke arahku. Mbak Wilda berdiri di sampingnya sambil melipat tangan di dada. Aku berusaha kembali bangkit. Ada rasa ngilu pada siku yang kupakai untuk menopang tubuhku tadi. Kutatap kedua kakak beradik itu satu persatu.“Ada apa, sih, Mbak? Salahku apa?!” “Kamu masih bertanya salah kamu apa, hah?!” Mbak Winda maju kembali dan hendak menoyor kepalaku. Namun dengan sigap kutepis. Enak saja, dikira ini kepala gak ada harganya apa?Namun ternyata aku lengah pada sisi lainnya, bagaimanapun dua lawan satu.Byurr!Tanpa kusangka, Mbak Wilda kali ini menyiramkan air dari teko yang ada di meja makan ke arahku. Basah sebagian pakaianku. Astagaaaa! Beraninya main keroyokan ternyata.
Read more
DMCA.com Protection Status