Share

SUMPAH ISTRI

"Di mana ini? Aku ada di mana?" Aku tiba-tiba merasa ada disebuah tempat yang asing, ramai sekali orang, tempat ini seperti sebuah pasar, ramai sekali orang, namun tak satu orang pun yang aku kenal, mata ini melihat kesemua arah melihat-lihat sekeliling, pandangan mata ini berhenti pada sosok yang sedang menatapku sambil tersenyum, aku semakin menajamkan penglihatan, ternyata dia Bang danu, aku berusaha menyibak kerumunan orang-orang, mencari celah, berjalan ke arahnya, aku memanggil dan menggapai gapaikan tangan ke arah suami, agar membawaku pulang dengannya.

Namun suamiku berlalu, melaju dengan kendaraannya sambil tetap tersenyum memandang ke arah diri ini.

Aku berteriak!

"Tunggu aku Bang ... Abang ... tunggu ... Abaannnnnggg!!" teriakku.

Namun dia tak mau mendengar, dia tetap saja berlalu.

Aku pun menangis tergugu, merasakan takut sendirian di tempat ini, aku tetap berusaha memanggilnya, mengharap dia kembali menjemputku dari tempat asing ini.

"Abangggggg ..." aku berteriak sekencang kencangnya.

----------------

Kringg ... Kring ... Kriiiiiiiing

"Hah ...! hah ...! Aku terkejut dan terbangun mendengar suara Alarm dari ponselku.

"Ya Allah," ternyata aku bermimpi, kenapa aku memimpikannya ya Allah. Ada rasa sakiiiit di hatiku walau ini hanya mimpi.

Ada kerinduan, sakit kati dan kekecewaan luar biasa menjadi satu menyesakkan relung hatiku, dan aku menangis lagi, sesedih inikah perpisahan Ya Allah.

"Astaghfirullah," aku tenangkan hati dengan beristighfar berulang-ulang.

Jam menunjukkan pukul 04.00 dini hari, aku bergegas mengambil wudhu, dan menjalankan kewajibanku sholat 5 waktu, selepas Sholat dan berdoa, kulantunkan Ayat-ayat suci Al-Qur'an dan mendoakan kebaikan Putra Putriku.

Selesai Sholat kukerjakan rutinitas pagiku menyiapkan sarapan, lalu merapikan dan membersihkan rumah.

Sambil bekerja aku berfikir, hari ini apa yang akan aku kerjakan, bila ke pengadilan aku belum punya uang untuk biayanya, berhutang aku tak berani, ingin menjual barang, tak punya barang berharga yang bisa kujual, tabungan tak ada, aku resah dan binggung memikirkannya.

Lalu aku teringat uang Renita yang 5 juta, tapi aku tak ingin memakainya, aku sendiri bingung mau aku apakan uang itu, dikembalikan atau tetap disimpan?

Tak lama putra dan putriku keluar dari kamarnya masing-masing, kami sarapan bersama seadanya.

"Ibu, nanti malam temen-temen Ardi belajar dirumah sini ya, boleh kan?" tanyanya.

"Boleh, mau belajar apa Kak?" tanyaku.

"Bahasa Asing Bu," jawabnya.

"Iya sayang, belajar aja, pokok jangan ramai bercanda ya."

Putraku Ardi memang pinter dimata pelajaran bahasa asing, nilainya selalu bagus, dia mudah menghapal banyak bahasa asing juga tulisannya, aku kadang binggung saat masuk kamarnya banyak tulisan tangannya dengan bahasa asing yang tak kumengerti.

Selesai sarapan Ardi dan Aisyah pamit ke sekolah lalu mencium punggung tanganku dan pipiku, setiap berangkat Ardi lebih dulu mengantar Aisyah, pulang sekolah akan ada jasa angkot yang dibayar mingguan, khusus mengantar jemput anak- anak pulang sekolah, karena jam pulang mereka berbeda.

Tiba-tiba masuk sebuah sepeda motor dihalaman rumah, saat kami akan keluar, aku dan anak-anakku berdiri dipintu, dan kami semua tertegun.

Suamiku turun dari sepedanya dengan dandanan yang keren sambil tersenyum lebar ke arah putra putrinya yang memandangnya tanpa ekspresi.

Ayahnya merentangkan tangan ingin memeluk anak-anaknya namun Ardi dan Aisyah tetap diam di tempatnya.

Aku tak tega melihat Bang danu seperti itu.

Aku sendiri heran, ada apa dengan anak-anak ini? Terutama Ardi, matanya memancarkan ketidak sukaan ke ayahnya, begitu juga Aisyah, apakah mereka merahasiakan sesuatu padaku?

Lalu kupegang pundak anak-anak sambil tersenyum dan menyuruh serta membujuk. mereka untuk salim pada ayahnya.

Ardi dan Aisyah menuruti ucapanku menyalimi tangan ayahnya lalu menaiki motor yang akan membawa mereka ke sekolah.

Aku dan Ayah mereka, melambaikan tangan mengiringi putra putri kami berangkat ke sekolah.

Setelah mereka tak terlihat lagi, suamiku membalikkan badan masuk ke dalam, aku ingin bertanya ada perlu apa tapi tak berani, hanya memperhatikan saja, mau apa dia datang ke rumah ini.

Aku melihat dia mengambil selang air dan beberapa barangnya di gudang, tak sedetik pun dia mau menoleh, atau menyapaku.

Aku berusaha mengajaknya bicara lebih dulu agar hubungan kami tetap baik walaupun nanti sudah berpisah.

"Sudah sarapan Bang? Mau dibuatkan kopi?"

"Nggak usah," jawabnya datar dan tak acuh.

Aku menghela napas gusar, aku sendiri bingung, mau cuek nggak enak hati, mau berbuat baik tak ada arti, yang ada dia menginjak injak harga diri ini.

"Abang, tak bisakah kita selesaikan ini baik-baik, tidak saling menyakiti, jangan saling menjelekkan satu sama lain, agar tetap bisa silahturahmi dengan baik, demi anak-anak juga," pintaku.

Namun ... suamiku tak perduli, dia tetap dengan aktifitasnya memasukkan barang barang yang dia mau bawa.

"Abang ... !" teriakku yang kini diliputi emosi karena rasa sakit diabaikan.

"Sebenci inikah Abang sama aku! Bahkan menoleh dan berkata baik sepatah dua patah katapun Abang tak sudi, kau masuk rumah tanpa permisi dan salam, tapi kau perlakukan aku seperti ini? Sombong sekali kamu Bang," ujarku dengan nada meninggi sambil terisak.

"Aku merawat dan membesarkan Anak-anakmu, teganya kau tak menghargai, malah selalu menyakitiku," keluhku.

Dia menghentakkan tas yang dibawanya, menatapku penuh kebencian, lalu tersenyum sinis.

"Lalu kau mau apa?! Kau sendiri yang minta pisah, ya sudah, kita sekarang bukan siapa-siapa," bentaknya, tanpa berkata lagi, dia keluar membawa bawaannya.

Saat Suamiku mengambil motornya, aku yang sudah dilanda emosi dan sakit hati pun memanggilnya dan berkata dengan nada keras dan tegas.

"Danu Saputra ... !! Aku bersum-pah, setampan apa pun kamu, sega-gah apa pun kamu, kau tak akan pernah bisa menikah lagi dan bahagia sebelum kau bersim-puh meminta maaf padaku," ujarku geram.

"Dan bila terjadi hal buruk pada Anak-anak kita karena karma perbuatan zina-mu, aku bersumpah, membuat hidupmu lebih hancur."

"Pergi kau manusia sombong! bersenang-senanglah dengan harta haram yang membuatmu bangga, dan ingat jangan pernah ke rumahku lagi, aku tak sudi melihatmu," teriakku histeris.

Suamiku berdiri terpaku di tempatnya.

Nampak jelas raut wajahnya sangat terkejut.

Brakkkk

Pintu kututup dengan keras, suara tangisku tak mampu lagi kusembunyikan, aku berlari dan menangis sejadi jadinya di kamar, meratapi nasib kehancuran rumah tanggaku, dan diperlakukan rendah oleh orang yang teramat aku cintai.

Maafkan aku Ya Allah, maafkan aku Bang Danu, sesungguhnya, saat aku menyakitimu, hati ini juga sakit Bang.

"Maafkan Dewi," ucapku lirih.

Akhirnya diri ini lelah menangis juga, namun aku tetap meringkuk di kamar, di tempat tidur, hati ini sedang tak baik-baik saja, tubuhku menggigil dan merasa panas dingin, tapi tak ingin melakukan apa pun.

Tiba-tiba ponselku berbunyi, terlihat nama Shella terpampang, Shella menelepon.

Aku geser tombol hijau menerima panggilannya.

"Assalamualaikum wr wb, ya Shel, ada apa?" tanyaku dengan suara menggigil dan serak.

"Loh ?! lu kenape Dewi? sakit?" tanyanya agak panik.

"Ngga Shel, gimana, ada apa?" tanyaku lirih.

"Dewi? Lu abis nangis? Sepagi ini lu nangis ada apa wi?" Shela malah memberiku pertanyaan.

Pertanyaan Shela yang bertubi tubi membuat tangisku pecah lagi, aku memanggilnya dan tak sanggup berkata.

"Shella ... hu ... hu ... hu."

"Ya Ampun Dewi? Gue otw ke rumah lu," Lalu hening, shella mematikan panggilannya.

.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Yulia Dewi
ok,suka sama sikap Dewi...yang bijak walaupun sakit
goodnovel comment avatar
Zuroidaa
heh nyesel pasti suaminya
goodnovel comment avatar
Rifatul Mahmuda
emosi sama Danu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status