"Hallo, Amira. Ada sesuatu yang ingin aku beritahu tentang kamu tentang mantan suamimu. Ternyata dia barusaja melakukan pencobaan bunuh diri.” Jelasnya dari seberang telepon. “Apa? Ini siapa?” “Ini Bunga.” “Siapa yang bunuh diri?” “Reyhan.” “Apa?” Seketika itu aku merasakan debaran yang bergejolak di dada, terasa aneh dan tak percaya membuatku seakan tak percaya. Mas Reyhan bunuh diri? Karena apa? “Aku nggak percaya dia bunuh diri, kamu tahu dari mana?” tanyaku tak percaya, apalagi baru tadi sore Mas Reyhan datang ke rumah dan meminta maap atas apa yang telah ia perbuat kepadaku di masa lalu. “Malam tadi. Aku juga tahu dari Mas Irsyad.” Jelasnya membuatku terkejut. Bagai dihantam batu besar dadaku saat mendengarnya. Hatiku seketika gelisah. Bagaimana mungkin Mas Reyhan tega melakukan hal itu sementara setahuku dia tak akan mungkin melakukan hal bodoh apalagi sampai menghilangkan nyawanya sendiri. “Nggak mungkin dia bunuh diri, Bunga. Baru tadi sore dia datang ke rumahku.” A
“Amira, kamu kenapa menangis?”“Mas Reyhan bunuh diri, Ma,” jelasku pada wanita yang telah melahirkanku dua puluh sembilan tahun lalu.“Apa? Kok bisa?” “Entahlah, aku sendiri pun nggak tahu kenapa dia malah memilih jalan buntu dengan melakukan perbuatan itu.” Aku menghela nafas menghapus air mata yang sedari tadi mengalir. “Apa mungkin karena perkataanku tadi ya, sampai-sampai dia berani bunuh diri?” lanjutku menatap tak percaya Mama.“YaAlloh Amira ... kamu jangan menyalahkan diri kamu atas kematian Reyhan, kamu perempuan baik, mungkin dia seperti itu karena sudah terlalu capek hidup di dunia walaupun dengan cara yang salah memaksakan diri untuk mengakhiri hidup,” lirih Mama menguatkan. Sebagaimana perasaanku kini, hati yang paling terasa begitu belum ikhlas. Memang setiap yang bernyawa pasti akan kembali lagi ke sang pencipta, namun harus bagaimana lagi mungkin sudah garis takdir.“Iya.” Aku mulai merasa tenang saat Mama berucap barusan, mungkin saat ini aku harus belajar ikhlas
Jam dipergelangan tanganku sudah menunjuk ke arah pukul 13:00 WIB, sudah hampir menjelang sore namun hujan hingga kini belum juga usai. Aku pun berniat ingin menerjang hujan karena takut Bintang menunggu kepulanganku di rumah. Saat hendak masuk ke mobil, tiba-tiba saja pandanganku teralih ke arah seorang laki-laki yang tengah duduk termenung di pinggir jalan. Wajahnya nampak mirip sekali dengan Mas Reyhan, dia terlihat sedih, berulang kali menatap jalan raya dengan perasaan cemas. Entah kenapa hatiku ingin sekali menghampirinya. Aku segera masuk ke dalam mobil bersiap menghidupkan mobil, lalu kendaraan roda empat yang tengah kukendaraipun berjalan tepat di depan laki-laki itu yang mirip sekali dengan Mas Reyhan.“Permisi, Mas. Sejak tadi saya lihat di tempat pemakaman umum Mas terlihat sedih. Ada apa?” tanyaku menghampirinya.“Anak saya sampai saat ini belum kunjung pulang, Mbak. Saya sangat khawatir dengan keadaannya.” Dia menjelaskan keresahan hatinya.“Memangnya anak Mas usia ber
“Ya mau bagaimana lagi, Ma. Amira sedang mencari. Mungkin nanti secepatnya dapat pekerjaan, yang penting Mama doakan selalu Amira,” “Mama doakan semoga kamu secepatnya mendapatkan pekerjaan Amira,” lirih Mama berucap. Aku merasa belum mampu membahagiaan Mama padahal hanya aku satu-satunya anak Mama. Ya Allah ... mudah-mudahan Engkau lancarkan agar aku bisa mendapatkan uang. Aku nggak tahu lagi bagaimana caranya mencari uang sedangkan anak aku pun masih kecil. Aku berharap ada keajaiban, Allah maha baik dia pasti menolongku. Setelah obrolan itu, pagi ini aku bersiap akan melakukan perjalanan ke kota untuk mencari pekerjaan. Aku menenteng map cokelat yang berisikan surat-surat yang dibutuhkan. Masuk ke dalam kendaraan roda empat, satu-satunya yang kumiliki saat ini. Dengan cepat aku mobilku melesat menyusuri jalanan raya yang lenggang. Saat ini tujuanku ingin melamar ke perusahaan digital yang bergerak dibidang pemasaran lokasinya tak jauh dari rumah. Aku begitu sangat percaya diri
“Saya enggak membutuhkan pekerja untuk menjadi asisten pribadi saya. Memang kemarin iya, tapi jika dipikir-pikir saya nggak butuh asisten pribadi,” ucap Mas Devan menjelaskan. “Jika tidak membutuhkan asisten pribadi, saya tidak akan jadi melamar di perusahaan ini, karena dengan pengalaman saya sebelumnya pernah memimpin perusahaan dan mungkin saya juga bisa mengatur segala urusan apapun sebagai asisten pribadi,” sahutku berucap. Seketika itu dia menatapku seolah-olah penasaran. Kemudian dia meraih CV yang aku bawa dari rumah. Dia membaca secara seksama isi dari CV itu.“Waw, hebat sekali! Ternyata sebelumnya kamu pernah memiliki perusahaan besar. Saya sangat mengenal betul pemilik perusahaan itu. Apakah kamu putri dari Pak Handriana, directur utama perusahaan Aksara Pramudia?” “Betul, Mas. Itu Papa saya. Perusahaan yang sudah Papa saya bangun dan kelola selama ini mengalami masalah sehingga kami tidak memimpin kembali perusahaan itu. Oleh sebab itu, saya memutuskan mencari lowongan
POV BAGAS [Sayang, jangan lupa kita akan bertemu hari ini, soalnya aku rindu dan sudah pesan hotel yang paling bagus untuk kita berdua agar kita bisa menikmatinya dengan sangat romantis?] Pesan tersebut aku kirim kepada wanita yang selama ini selalu mengisi hari-hariku yang sepi. Dzakira. Entah kenapa ketika menyebut namanya hatiku berbunga, apalagi ketika memandang lekuk tubuhnya yang indah membuatku selalu ingin menyentuh tubuhnya. Berbeda dengan Amira--istriku, entah kenapa aku merasa jijik jika bertatap muka dengannya, apalagi menyentuhnya. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir menyentuh Amira. Setiap merasa kesepian, aku selalu meminta Dzakira, tentunya aku harus merogoh kocek yang lumayan agar mendapatkan kepuasan darinya. Tentunya Amira tidak mengetahui bahwa aku sudah menduakannya. Lagipula, ini salahnya yang tak mampu melayaniku. Bayangan terlukis di pikiran, hingga tak terduga, pesan yang barusaja kukurim ke nomernya berhasil terbaca olehnya. [Siap, Sayang. Sekarang juga
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMIKU (2) Sayang, ATM-ku sedang dalam masalah, untuk kali ini, kamu yang bayar ya, nanti aku akan ganti secepatnya,'' pintaku pada Dzakira memohon. Seketika raut wajahnya memerah menahan penuh amarah. ''Apa kamu sudah gila, tidak akan mungkin aku mau membayar empat puluh juta, aku sama sekali tidak ada uang sebesar itu dan lagipula aku tidak membawa uang sepeserpun,'' ujar Dzakira meluapkan kekecewaan. ''Aku baru memberimu yang seratus juta kemarin, kenapa bisa habis secepat itu?'' tanyaku heran. Bisa-bisanya dia boros hanya dengan satu hari. ''Uang yang kamu beri kemarin sudah habis dipakai shopping, lagipula uang segitu tidak ada apa-apanya, zaman sekarang serba mahal.'' Dzakira melipatkan kedua tangan di dada, kedua matanya memandang sinis. ''Kamu keterlaluan, Dzakira. Lalu bagaimana sekarang bukankah kamu tetap menginginkan hotel ini. Aku sama sekali tidak bawa uang cash, sementara kartu ATM-ku tidak bisa dipakai.'' Aku merasa frustasi dan
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMIKU (3) Dzakira terdiam, ia menahan kekecewaan, aku pun tak memperdulikannya, urusan batin nanti pun kami akan kembali melakukannya. Yang jelas, untuk sekarang aku tidak mau sampai Amira mengetahui kebusukan yang sudah aku lakukan di belakangnya. ''Bagas?'' Aku melangkah keluar kamar meninggalkan Dzakira sendirian. Teriakan dan cacian terdengar sangat jelas di telinga. Hatiku saat ini tidak perduli dengannya, aku hanya takut Amira marah dan mengusirku dari rumah hanya gara-gara perselingkuhan. Menurutku, nyawa lebih berharga dibanding nafsu birahi. Jika Amira dan keluarga besarnya mengetahui bahwa aku telah berkhianat. Mungkin, aku akan ditendang dari keluarga Hartawan dan tidak diberikan sepeserpun harta. Padahal niatku dari awal ingin sekali merebut semua harta yang dimiliki oleh keluarga Amira hingga jatuh ke tanganku. Soal Dzakira, nanti pun ia akan berbaik hati kembali, apalagi jika diberi uang yang banyak. Dia perempuan matre yang hanya memandang