POV MIRANTI
Cape sekali rasanya pagi ini. Kurebahkan tubuhku pada sofa tamu. Anak-anak sudah berangkat sekolah. Artinya, pekerjaan pagi sudah terselesaikan. Untung saja putraku mau membantu pekerjaan rumah hingga tak harus menyelesaikan sendiri.
Ting tong, bel berbunyi. Dengan rasa malas, perlahan aku bangkit. Memegang perut yang sudah cukup besar. Tak sabar rasanya untuk segera melihat wajahnya. Lelaki atau perempuan sama saja. Yang penting lahir dengan kondisi sempurna, sehat dan selamat.
Ting tong, ting tong! Bel berbunyi berkali-kali hingga memekakkan telinga. Siapa sebenarnya pagi-pagi begini sudah bertamu. Mana gak sopan lagi. Huh, malas rasanya untuk membuka pintu. Bel berbunyi lagi dan pintu digedor dengan keras. Hal itu membuatku takut. Jangan-jangan ada rampok yang menyatroni rumahku.
“Ada apa sih brisik banget!” bentaknya.
“Itu mas, ada tamu. Tapi gak sopan banget.”
“Bukain dong! Punya tangan’kan?!”
“Aku takut. Kamu aja yang buka!”
“Haah, dasar istri sialan!”
Selalu saja suamiku mengumpat saat kesal. Di segera turun dan membuka pintu.
Tiga orang masuk tanpa permisi dan memaki dengan kesal. Ternyata ibu mertuaku bersama Nia, adik mas Arya dan juga Baron suaminya yang pengangguran Mau apa mereka kemari dan membawa tas koper banyak dan besar pula.
“Huuch, ada orang kok kaya gak ada! Punya kuping gak sih kamu Miranti?” ibu mertua memakiku. Aku sudah terbiasa dengan makiannya. Namun tetap saja, aku mencium tangannya.
Dulu saat masih miskin saja sudah sombong, apalagi sekarang setelah hidup bergelimang harta. Walau harta mereka dari suamiku yang berarti dariku, tapi mereka seperti kacang lupa akan kulitnya. Jangankan berterimakasih, hanya menyayangiku saja sebagai menantu juga sudah membuatku senang.
“Aku denger bu, Tapi’kan ngetuknya keras banget. Ya aku takutlah, kira’in ada rampok,” jawabku santai.
“Kurangajar kamu ngatain ibu mertuamu rampok!”
“Bukan begitu, maksudku ....”
“Sudahlah! Siapkan kamar dan juga sarapan untuk kami!” perintah ibu dengan seenaknya.
“Kamar? ibu mau menginap di sini? Berapa hari? Nia juga?” tanyaku beruntun. aku heran, tidak seperti biasanya mereka mau menginap di sini. Rumah kami memang berdekatan dan jarang sekali mereka berkunjung. Namun entahlah apa yang menjadi alasan mereka untuk datang kemari.
“Iya, rumah ibu lagi direnovasi. Jadi mereka nginep di sini sementara. Aku lupa belum ngomong sama kamu,” jawab suamiku santai.
“Renovasi? Bukannya baru di renovasi belum lama? Mau dibikin seperti apa lagi? Dan pakai uang siapa?” tanyaku kesal. Mas Arya sangat royal kepada mereka tapi pelit kepadaku dan anak-anak. Aku yakin uang yang digunakan pasti uang perusahaanku.
“Itu bukan urusanmu Miranti. Yang jelas aku bukan maling. Uang itu uang milikku,” jawab Mas Arya santai.
“Jelas ini jadi urusanku, karena kau pasti pakai uang restoran!” Aku tak mau kalah. Mas arya tak bisa seenaknya dalam menghambur-hamburkan uang. Aku harus bertindak mulai dari sekarang.
“Jaga bicaramu Miranti! Kau tidak sopan pada suamimu!” bentak ibu mertuaku.
“Iya, kurangajar sekali kamu sama mas arya. Makanya tidak salah mas arya mencari wanita lain!” seru Nia kepadaku.
“Nia!” Mas arya membentak adiknya.
“Apa maksud kamu Nia? Kau bilang tadi kakakmu punya wanita lain, begitu?!” tanyaku sembari menatap tajam ke arah Nia. Wanita menyebalkan itu menunduk. Lalu kualihkan pandanganku kepada mas arya. Dia terlihat gugup. Wajahnya memucat.
“Konspirasi apa yang sedang kalian mainkan?! Ingat ya, kalian makan dari uangku! Kehidupan kalian semua dari uangku, jadi jangan berani macam-macam!” ancamku kepada mereka termasuk mas arya.
“Jaga bicaramu Miranti! Mereka hidup dari hasil keringatku, bukan darimu!”
“Mas Aryaku tersayang! Dengar, kau begitu pelit kepadaku, aku masih diam walau aku tahu kau begitu royal kepada keluargamu, aku masih bisa terima. Tapi ingat, kalau sampai aku bisa membuktikan kau selingkuh dariku, kau akan tahu akibatnya!”
“Bisa apa kamu wanita hamil!” Baron melecehkanku.
“Diam kamu! ini bukan urusanmu!” menaikkan nada bicaraku pada pria pengangguran itu. Aku sangat membencinya semenjak dia melecehkanku saat mas arya bekerja. Pria berandalan itu berani-beraninya meremas dadaku. Sejak saat aku jijik dan tak ingin melihat bandot jelek itu. Wajahnya saja sudah menjijikkan, ditambah dengan otaknya yang mesum. Awas saja kalau berani macam-macam lagi padaku. Kau akan berhadapan dengan perisaiku.
”Hentikan bicaramu! siapkan sarapan untuk kami dan juga kamar untuk mereka!” kata suamiku penuh penekanan.
“Tidak! Kalau kalian mau, bisa masak sendiri! Aku bukan pembantu! Dan kalau kalian mau menginap di sini, tidur saja sesuka kalian! tak ada kamar di sini!” aku pergi meninggalkan mereka dengan membawa kekesalanku. Namun belum sempat melangkah jauh, mas arya menarik lenganku dengan kasar.
“Jangan kurangajar kamu! cepat sediakan makanan untuk kami atau ....”
“Atau apa?! Kau kan banyak uang, beli saja! jangan merepotkanku!”
Mas Arya mengepalkan tangan. Dia terlihat marah. Aku tak peduli. Cukup sudah aku mengalah selama ini. Kelakuan suamiku dan keluarganya sudah keterlaluan. Selama ini aku diam, tapi semakin hari semakin menjadi. Mereka makin tak menghargaiku.
“Ingat Mas, aku tak akan membiarkanmu berbuat semaumu! Kau pikir restoran itu milikmu hingga berani sekali menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tak penting! Kebutuhanku dan anak-anak saja kau abaikan, tapi kau lebih mementingkan keluargamu! Ingat, aku takkan tinggal diam!”
“Kau salah Miranti! Lima restoran yang berhasil aku kembangkan, adalah milikku! Aku yang membuatnya ada, bukan dirimu ataupun orangtuamu! Dasar bodoh, tak tahu bisnis!”
“Kau yang bodoh, mas! Dalam sebuah bisnis, cabang itu menyatu dengan pusat. Mau kau buka cabang di manapun selama masih memakai bendera yang sama, itu menjadi milik pusat. Aku akan menemui pengacara perusahaan untuk menjelaskannya kepadamu!”
Wajah suamiku merah padam. Sepertinya dia sangat marah. Aku tak peduli, semua harus kembali berada di bawah kendaliku sebelum suamiku dan keluarganya yang serakah itu menghancurkannya. Kasihan ayah dan ibu yang dengan susah payah sudah membangunnya dari nol kalau sampai jatuh ke tangan orang yang tidak tepat.
Suamiku kini sudah berubah. Dulu saat aku mempercayakan pengelolaan restoran kepadanya yang seorang pengangguran, dia begitu giat bekerja. Seluruh gajinya diserahkan kepadaku hingga bisa membeli rumah yang kami tempati dengan keringat Mas Arya. Orangtuaku bisa saja membelikan rumah kepadaku. Tapi suamiku menolak. Dia ingin membangun rumah untukku dari hasil kerja kerasnya. Aku sangat menghargai dan bangga padanya.
Kini setelah dua puluh tahun menjalani biduk rumah tangga, suamiku mulai berubah dan banyak tingkah. Awas kau mas arya, aku akan membalas semua perbuatanmu kalau kau berani menghianatiku.
“Dengar Miranti! Aku pastikan, kau takkan menang melawanku!” Mas Arya membalikkan badan dan meninggalkanku.
“Tunggu! Sudah hampir enam minggu, kau belum memberikan uang bulanan untukku. Mana?” aku mengulurkan tanganku menagihnya.
“Tak akan aku beri sepeserpun uang untukmu! Biar kau kelaparan!” Mas arya tersenyum sinis dan melanjutkan langkahnya.
Namun aku tak mau kalah. Kutarik bahunya hingga langkahnya terhenti. Hampir saja tubuhnya yang tinggi besar menimpaku.
“Miranti! Kau apakan anakku?! Berani-beraninya kau membuatnya hampir terjatuh! Dasar menantu kurangajar!” Ibu mertuaku hampir menamparku. Namun aku menahannya dengan memegang lengannya.
“Aku hanya menariknya dan ingin bertanya kenapa dia tak memberikan hakku untuk bulan ini. Itu saja!” kulepas lengan ibu dengan kasar.
“Miranti! Beraninya kau terhadap ibuku! Ingat, Selama ibu di sini, aku akan memberikan uang jatahmu kepadanya! Biar ibu yang mengaturnya! Itu hukuman untukmu Miranti!”
“Tidak bisa begitu dong! Kau tidak adil padaku! Dan aku tidak setuju mereka tinggal di sini!”
“Aku tidak peduli! Ibu, silahkan tidur di kamarku! Dan Nia kau tidur di kamar umar dan amir! Pergilah!” mas arya benar-benar keterlaluan. Dia bahkan tak memikirkan aku dan anak-anak akan tidur di mana. Dia lebih memilih ibu dan adiknya yang nyaman daripada aku dan anak-anak. Kamar hanya ada tiga tak mungkin kami berlima tidur dalam satu kamar. Tidak bisa di biarkan, aku harus melakukan sesuatu untuk mencegah mereka.
6, KEPUTUSANKU“Tunggu! Rumah ini milikku, dan aku tak mengijinkannya!” seruku kepada para benalu itu.Mas Arya tersenyum sinis dan menggelengkan kepala. “Miranti, miranti, apa kau lupa? Siapa yang membeli rumah ini? Aku yang membelinya dari hasil keringatku sendiri menjadi jongos dari ayah kamu yang tukang kawin itu!”“Jaga bicaramu, Mas! Ayahku tak pernah menganggapmu sebagai jongosnya. Dan jangan pernah bilang ayahku tukang kawin! Kau tak tahu masalah yang melatarbelakangi semua itu!” sahutku dengan penuh emosi. Aku tak terima ayahku dihina oleh suamiku.“Loh, memang kenyataannya kok. Ayahmu itu kawin sampai empat kali. Kamu toh juga anak haram. Apa artinya kalau bukan tukang kawin?” sahut ibu mertuaku. Mereka benar-benar membuatku emosi.“Aku tak terima ayahku dihina seperti ini! Apa kalian lupa, kalian itu numpang hidup bersumber dari ayahku?! Aku bisa saja mencabut seluruh fasilitas yang s
RAHASIA STEFANI DAN UMARMas Arya terfokus kepada tas yang ku bawa. Reflek, tanganku melingkar untuk melindungi tas. Tatapan Mas Arya penuh curiga. Dia menarik tanganku untuk keluar rumah, lalu menutup pintu dari luar.Suamiku curiga dengan sikapku. Aku juga tak mengerti kenapa tangan ini reflek melindungi tas yang kubawa. Aku mencoba mengatur nafas dan bersikap tenang.“Apa yang kau bawa?” tanya suamiku dengan tetap terfokus pada tas yang masih kulindungi dengan tanganku.‘Oh ini, tas.” Jawabku singkat.“Isinya?!” suamiku mulai meninggikan suaranya dan aku sangat tak menyukainya.“Kecilkan suaramu! Aku bukan budakmu yang bisa kau bentak sesuka hati!” jawabku sengit dan tak mau kalah.“Jangan mengalihkan pembicaraan!”“Siapa yang mengalihkan pembicaraan?! Kau yang menyuruhku keluar dari rumah ini! Apa tak boleh juga aku membawa pakaianku?!
FAJAR TEMAN MASA KECILKUPOV MIRANTISudah sepuluh menit aku menunggu pak suryo, mantan pengacara perusahaan dan pak agus yang dulu mengurusi bagian keuangan. Mereka adalah orang yang menghargai waktu. Tanpa menunggu lama, kedua orang itupun sudah duduk di hadapanku. Setelah memesan minuman, kami berbasa-basi dengan menanyakan keadaan masing-masing. Setelah itu, keduanya menjelaskan kenapa bisa di berhentikan oleh suamiku.Aku sangat terkejut mendengar alasan suamiku memecat mereka. Dengan alasan perusahaan jatuh pailit hingga terpaksa menghentikan keduanya. Namun aneh, kenapa hanya mereka berdua saja tidak dengan yang lainnya. Pak agus menjelaskan karena beliau sering menolak keinginan mas arya untuk mencairkan dana yang begitu besar, walau berkali-kali suamiku mengancamnya. Diusianya yang sudah lanjut, pak agus dikenal sangat loyal dengan perusahaan. Dia benar-benar menjaga amanah dari ayahku.Selama berada dalam genggaman mas ary
KARYAWAN SONGONG“Apa yang kau lakukan?” terdengar suara seorang wanita begitu keras hingga mengagetkanku. Seketika aku menghentikan tanganku memukul fajar. Pria di hadapanku juga sama terkejutnya denganku. Wajahnya memucat seperti mayat. Aku dibuatnya heran. Seorang pengacara seperti fajar mendadak pucat melihat kedatangan wanita itu.Aku penasaran, semengerikan apa wajah wanita yang ada di belakangku itu. Perlahan, kuputar kepala. Alangkah terkejut saat melihatnya. Bukan hantu mengerikan ataupun monster. Bukan wanita gembul dan berwajah sadis. Tak seperti yang ada dalam bayanganku. Wanita itu begitu cantik dan sexy.Kupandangi dia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kakinya menapak di lantai, itu artinya dia manusia dan benar-benar cantik seperti bidadari dari langit. Rambutnya yang tergerai, kulitnya yang putih mulus, serta kaki jenjangnya benar-benar sempurna sebagai seorang wanita. Dia juga masih muda. Usianya tak jauh be
1O. BABAK PERTAMA PEMBALASAN“Berdirilah, pak. Kerjakan kembali tugas bapak. Dan tolong katakan kepada pak hilman, untuk mengumpulkan seluruh karyawan di ruangan meeting, sekarang juga!” Perintahku padanya. Aku tidak pernah merendahkan para karyawanku. Mereka sama saja manusia seperti kita. Ayahku yang mengajarkan kepadaku untuk berbuat baik kepada mereka yang telah berjasa kepada perkembangan usaha. Tanpa mereka kita bukan apa-apa. Pesannya yang masih kuingat dan dilaksanakan hingga kini.Kedua security itu telah pergi. Namun tidak dengan pria sontoloyo yang ada di hadapanku.“Kenapa anda masih di sini? Apa tidak tahu pintu keluar?!”“Jangan sombong! Tidak ada yang bisa memerintahku, kecuali pak arya. Tunggu, aku akan menghubungi beliau. Aku pastikan kau akan menyesal telah menghinaku!”“Silahkan, aku tunggu!” Aku melipat kedua lengan di depan dada. Melengkungkan satu sudut bibir dan menunggu h
ARYA MENGIKUTIKUAku masuk ke dalam mobil dan membanting pintu. Sesak di dada menahan amarah. Arya wiguna benar-benar mengujiku. Sudah tahu salah, tapi tak juga mau mengakuinya.Pertarungan ini belum selesai. Namun aku sudah merasa lelah. Sekuat apapun, aku tetap seorang wanita yang lemah. Bayangkan saja, aku harus melawan pria yang sangat kucintai, seorang pria yang bersanding denganku hampir sembilan belas tahun. Itu bukan waktu yang pendek.Dulu aku selalu melayaninya, memanjakan dan membuat dia bahagia. Tapi kini, aku harus membuatnya sengsara dan terluka. Mampukah meneruskan pembalasanku ini. Ya Alloh, berilah hamba kekuatan.Menelungkupkan wajah pada kemudi. Tanpa terasa airmataku luluh juga. Aku menangis? Ya, wajarkah? Lalu apa yang aku tangiskan.Wajar. Kerena aku bukan malaikat. Aku tetap manusia yang mencoba mencari keadilan. Biarlah terus menangis. Tak perlu malu mengeluarkan suara tangisan. Toh takkan ada y
KEMARAHAN AYAHKUKubuka jendela mobil dan berhenti sejenak.“Sukurin, siapa suruh menghalangi jalanku!” Aku tertawa mengejeknya. Segera kulanjutkan perjalanan menuju rumah orangtuaku.Sesampainya di rumah ayah, aku mendandani rambut panjangku yang berantakkan. Karena tak membawa sisir, kubenahi dengan tangan. Saat aku melihat wajahku pada spion mobil, terlihat sangat pucat. Tak ada gincu yang menempel. Pakaian yang kukenakan juga sudah lusuh.Inikah penyebab suamiku berhianat? Terlalu pentingkah polesan pada wajah seorang istri yang sangat cape mengurus anak-anak dengan dua tangannya sendiri. Tak pernahkah para suami berpikir untuk membantu, bukan malah mencari pelampiasan di luar sana.Aku juga ingin cantik seperti wanita lain. Tapi salahkah aku yang berpikir kalau suamiku akan menerima apa adanya karena tak pernah cerewet meminta tambahan lebih. Apakah para lelaki tahu kalau pekerjaan seorang ibu sepertik
RESTU ORANG TUAAku memeluk ayah mencoba menenangkannya. Akupun merasakan ketenangan dalam pelukannya. Dengan susah payah menahan airmata, tapi luruh juga. Terisak di bahu yang kian menua tapi masih kokoh. Merasakan degup jantungnya yang kencang karena emosi yang meluap. Mengusap punggungnya hingga detak jantung itu tak lagi menguat. Semoga pelukanku bisa menenangkan emosinya.Merasakan tetesan hangat di punggung tanganku. Setetes, dua tetes hingga membuatku penasaran untuk melihatnya. Ini adalah airmata. Apakah ayahku menangis? Orang yang berhati baja dan paling benci dengan tangisan, kini mengeluarkan airmata. Begitu sesakkah dadanya. Begitu sakitkah yang dia rasakan melihat putri satu-satunya menderita.Kukecup airmata ayah. Takkan membiarkan airmata ini mengering. Aku mengepalkan tangan dan bersumpah Arya dan kroninya harus membayar mahal atas airmata pria yang sangat aku sayangi. Seorang pria yang telah memberikan putri satu-satunya