4.KEDUA MANUSIA TERKUTUK
POV ARYA WIGUNA
Umar terus mendekat kearahku. Tak bisa hal ini di biarkan. Sebagai orangtua, tak boleh kalah oleh anak ingusan itu. Takkan kubiarkan anak itu menang melawanku.
“Mau apa kau, umar? Kau mau balas memukul papah?” tanyaku padanya.
“Umar tidak pernah membalas saat papah menamparku. Tapi papah sudah memukul mamah, dan aku harus membalasnya!” jawab putraku kalap.Anak nakal itu mengepalkan tangannya dan siap memukulku.
“Dia istri papah. Dan papah berhak memberinya hukuman!” jawabku tak mau kalah.
“Tapi tidak dengan memukul! Jangan pernah sakiti mamah, atau papah berhadapan denganku!” umar menekan leherku hingga sakit tak tertahankan.
“Jangan kurangajar kamu sama papah! Lepasin papah!” rasa sakit menekan seluruh syaraf leher dan juga tenggorokan, membuat kepalaku terasa berkunang-kunang. Kucoba melepaskan diri, tapi tangan juara taekwondo itu seperti besi yang sangat kuat.
“Sekarang, rasakan pembalasanku!” Umar mengarahkan tinjunya kepadaku. Kupejamkan mata dan siap menerimanya.
“Umar, jangan lakukan itu, nak!” terdengar teriakan Miranti menghentikan umar.
“Biarkan umar membalas perbuatan papah!”
“Jangan nak, dia itu papahmu. Hormatilah dia. Mamah tak pernah mengajarkanmu untuk tidak menghargai papahmu! Tenang, nak.” Miranti terlihat menenangkan umar. Perlahan, umar menurunkan tangannya. Tekanan pada leherkupun makin merenggang dan terlepas.
Aku memegangi leher yang terasa sangat sakit.
“Miranti! Kau sudah gagal menjadi seorang ibu! Kau menggalang kekuatan dengan putramu untuk melawanku! tetap saja dimataku kamu wanita lemah, walau kau menggunakan kekuatan apapun!” ancamku pada Miranti.
“Dengar, Arya wiguna!”
Aku terkesiap mendengar Miranti yang hanya memanggil namaku saja. Kurang ajar sekali dia.
“Kau mungkin berfikir aku lemah! Tapi kau lupa aku punya empat putra! Satu kekuatan mereka adalah sepuluh kekuatanku! Hanya dengan satu putra saja, kau sudah membutuhkan pertolonganku! Bagaimana kau bisa menghadapi ke empat putramu nanti, saat kau tak adil padaku!”
Miranti benar-benar membuatku kesal. Ingin rasanya memukulnya lagi. Dia memang perlu diberi sedikit pelajaran supaya tak terus membangkangku. Segera kutarik lengannya, namun umar melepas tanganku dengan paksa.
“Amir, lindungi mamah!” perintah umar kepada adiknya.
“Baik kak!” amir segera berdiri di depan miranti. Sedang umar berjaga-jaga jikalau aku akan memukul mamahnya. Baiklah, kedua anakku mulai berani melawanku. Aku akan memberi pelajaran kepada mereka nanti.
Kupandangi perut Miranti yang mulai membesar. Istriku menatap mataku dan tahu kearah mana aku memfokuskan pandanganku. Dia menutupi perutnya dengan tangannya seakan takut aku akan mencelakai anak yang ada dalam kandungannya. Aku memang tak mengharapkan anak lagi dari miranti. Empat anak laki-laki saja sudah membuatku muak terhadap mereka.
“Miranti! Aku harap anak dalam kandunganmu itu perempuan. Aku tak ingin punya anak laki-laki lagi yang hanya bisa menyusahkanku saja! Harus perempuan. Kalau bukan, jangan pernah lahirkan anak itu!” ucapku sambil pergi meninggalkannya.
“Cabut kata-katamu, Mas! Kau adalah seorang ayah! Ucapan adalah sebuah do’a!” ku dengar teriakan Miranti. Aku tak peduli. Aku takkan pernah mencabut kata-kataku. Biarlah anak itu tak pernah lahir, kalau hanya akan menyusahkanku saja.
“Mau kemana kamu, Mas?!” teriak miranti.
Masih saja ku dengar teriakannya memanggil namaku. Biarlah, aku tak perlu mempedulikan. Makanya jadi istri itu nurut sama suami, biar suami ganteng kaya aku ini gak ilang. Aku menggelengkan kepala dan semakin menikmati permainan ini. Ini baru awal Miranti, kau akan lebih menderita lagi setelah ini. Tunggu saja saatnya tiba.
Saat aku sampai di pintu gerbang, aku dikejutkan oleh seseorang yang menghadang jalanku. Wajahku memucat bagai mayat. Tak mungkin dia berani ke rumah tanpa perintahku. Lidah kelu, bibir terasa membeku tak mampu mengucap kata apapun. Sangat sulit untuk percaya dengan semua ini.
“Sayang, kenapa kau terkejut?” sapa wanita yang sangat aku gilai. Dia berpakaian begitu sexi dan transparan. Membuat gairah lelaki membludak.
“Kenapa kau datang kemari? Bisa bahaya kalau istriku tahu.” Bisikku lirih. Aku tak ingin miranti mendengarnya.
“Aku sudah lama menunggumu, tapi kau tak datang. Aku merindukanmu.” Bisik Stefani manja. Gadis berusia sembilan belas tahun itu mengedipkan sebelah mata genitnya.
“Tapi aku ....”
“Siapa Mas?” kudengar suara Miranti mendekat ke arahku.
“Mmm, ini .... anu ....”
“Oh, bu Arya. Ayo silahkan masuk.” Miranti begitu sopan menghadapi stefani. Dia belum tahu kalau wanita itu adalah madunya. Bahkan dia memanggilnya dengan nama Bu Arya seperti namanya.
“Iya, terimakasih bu. “ jawab stefani.
“Ini Bu Arya mas, tetangga kita yang baru. Beliau penghuni rumah sebelah. Dia baru saja pulang berbulan madu di bali bersama suaminya. Dan nama suaminya sama denganmu. Siapa tahu kita bisa berteman.” Miranti tersenyum. Aku tahu dia hanya berpura-pura baik di depan stefani. Aku terbatuk saat mendengar cerita Miranti. Jelas saja namanya sama, karena suaminya sama dengan suamimu. Miranti, miranti kasihan amat kamu.
“Silahkan masuk, Bu arya.”
“Terimakasih. Tapi saya cuma mau minta tolong, lampu di kamar saya mati. Saya mau minta tolong untuk menggantinya. Suami saya belum pulang, jadi saya sendiri dan tidak bisa menggantinya.” Jawab stefani tenang. Dia benar-benar pandai memainkan situasi, hingga istri bodohku percaya pada mulut manisnya.
“Oh, sebentar saya panggilkan anak saya. Dia anaknya tinggi, pasti bisa membantu.”
“Hmm tunggu!” stefani berusaha mencegah, tapi Miranti tetap saja masuk pasti untuk memanggil umar, perisainya.
“Aku menunggumu sampai lelah, kenapa kau tak datang sayang?” stefani mengalungkan tangannya di leherku dan melumat bibirku. Aku melepasnya.
“Jangan di sini. Bersabarlah, sebentar lagi mereka pasti tidur.”
“Baiklah sayang. Itu istrimu datang.”
Kami berbenah diri dan berpura-pura tak melakukan interaksi apapun.
“Mas, kamu saja yang bantu Bu Arya. Umar cape katanya.”
“Baiklah. Aku ... akan membantunya dengan senang hati.” Jawabku kilat.
Aku dan stefani saling memberikan kode dengan mengedipkan sebelah mata. Betapa bodohnya kau Miranti. Angin segar telah kau tiupkan dalam hubungan kami malam ini. Apakah kau juga tahu betapa aku sangat merindukan tubuh stefani. Aku takkan bisa tidur malam ini sebelum menjamahnya. Kau memang istri yang sangat mengerti kebutuhan suamimu. Terimakasih istri bodohku. Aku tersenyum sembari menatap ke arah Miranti.
“Kenapa kau masih diam? cepat bantu Bu Arya. Kasihan.”
“Baiklah. Mari bu Arya.” Aku mempersilahkan stefani untuk berjalan di depan. Tanpa menunggu lama aku mengekor di belakangnya. Aku bahagia, karena Miranti tak mencurigai kami sama seakali.
Setelah ku pastikan Miranti masuk dan menutup pintu, segera ku tarik lengan stefani dan mengunci pintu. Tak ingin berbasa-basi segera membawanya ke kamar dan melampiaskan kerinduan yang menghimpit dada. Terasa sangat indah dan membuatku terlena. Aku bahkan lupa akan waktu karena asyiknya permainan kami.
Saat hampir mencapai puncak terdengar bel yang berbunyi berkali-kali. Aku kesal dan marah saat kesenanganku terganggu. Lalu berniat untuk memarahi orang yang tidak sopan dengan memencet bel berkali-kali.
Namun stefani mengingatkanku, “ Sayang, biar aku yang buka pintu. Siapa tahu dia istrimu.”
“Oh Tuhan, kenapa aku bisa lupa.” Aku memukul keningku perlahan.
“Cepat kenakan pakaianmu. Itu kamu pegang lampu yang ada di meja.” Stefani segera berpakaian dan terlebih dahulu menuju dapur lalu menyalakan kompor. Entah apa yang akan dilakukannya. Aku segera berpakaian dan menguping dari balik pintu. Kulihat Miranti masuk dan terlihat sangat cemas.
“Bu Arya, kenapa pintunya di kunci? Mana suami saya?” Miranti seolah mulai curiga.
“Tadi saya dari kamar mandi, lalu memasak di dapur, jadi pintunya saya kunci. Takutnya ada orang masuk.”
“Suami saya mana?!” Miranti meninggikan suaranya. Sebelum situasinya semakin sulit, aku harus keluar dari kamar Stefani.
“Sudah selesai bu, saya pulang dulu.” Ucapku pada stefani.
“Oh iya, terimakasih pak.”
Kutarik lengan Miranti menjauh dari rumah stefani. Saat hampir mencapai pintu, Miranti melepaskan tangannya dengan paksa.
“Mas, kenapa kamu lama sekali?! Apa yang kamu lakukan dengannya?! Dia itu istri orang, jangan bikin malu!”
Beraninya Miranti berkacak pinggang di depanku. Benar-benar wanita menyebalkan.
“Tadi stop kontaknya juga rusak, jadi aku perbaiki juga. Sudahlah! males ngomong sama orang stress kaya kamu!” meninggalkan Miranti yang terus mengomel tak jelas. Aku tak peduli. Anggap saja ember bocor yang harus di buang, ha ... ha ...
Dasar wanita bodoh. Maunya aku kibulin. Bukan cuma lampu yang dibetulin, tapi pemilik rumah juga sekalian aku cash. Untung saja cuma sebentar, kalau kelamaan bisa meledak. Oh stefaniku. Sepanjang jalan menuju kamar, wajahnya selalu membayangiku. Aroma tubuhnya serasa masih melekat di tubuhku. Malam ini aku akan bermimpi indah bagai di taman surga. Aku mengunci kamar dari luar supaya istri bodohku tak masuk dan mengganggu istirahatku.
9O. HIDUP DAMAIMIRANTI“Sayang, kenapa berhenti?” aku bertanya kepada suamiku saat menghentikan mobil secara mendadak.‘Itu di depan banyak kerumunan orang. Mobil tidak bisa lewat. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi. Itu ada mobil polisi.” Jawab suamiku sembari menunjuk mobil polisi yang terparkir tak jauh dari hadapan..“Iya.” Aku melihat ke arah depan. Ternyata fajar menghentikan mobil tak jauh dari gedung tua yang menyebabkan trauma pada diriku. Dimana aku hampir saja kehilangan kehormatan dan juga kehilangan orang-orang yang aku sayangi. Semua ini gara-gara Handoyo dan Stefani. Kemana aku harus mencari perempuan hina itu untuk membalas dendam kepadanya.“Maaf numpang tanya, pak. Ada apa ya, kok kelihatannya ramai sekali. Apa ada kecelakaan?” tanya fajar kepada salah satu orang yang berlalu lalang.“Ada korban pembunuhan. Korbannya perempuan. Katanya korban pemerkosaan la
KEMATIAN TRAGIS STEFANIMIRANTIPalu hakim sudah di ketuk. Hukuman untuk putra sulungku sudah ditentukan. Meremas dada yang terasa sesak. Tubuh terasa lemas. Sepuluh tahun bukan waktu yang pendek. Umar akan menghabiskan masa mudanya di dalam penjara.Aku sangat menyesal. Semua terjadi karena aku yang tak bisa mengendalikan emosi. Kalau saja saat itu aku menuruti apa kata suamiku untuk tidak bertindak gegabah, mungkin saat ini aku masih bisa memeluk putraku setiap detik.Fajar beserta tim sudah mengusahakan secara maksimal. Namun kasus yang menimpa putraku tidak ringan. Keluarga Handoyo juga menuntut keadilan. Seandainya saja waktu bisa di putar, aku ingin melihat Handoyo yang duduk di kursi pesakitan. Rasanya bagai mimpi ketika melihat anakkulah yang duduk di sana. Dada terasa bagai di himpit batu besar. Sesak dan sakit tak terkira.“Yang sabar, Mir.” Fajar memelukku erat. Kutumpahkan segala kesedihan pada dadany
KEMATIAN HANDOYOSeorang wanita yang sangat kubenci menghadang langkah. Dia bertepuk tangan dengan suka cita di hadapan.“Kasihan sekali, kamu Miranti. Kau harus kehilangan dua orang yang sangat kau sayangi.”Stefani. Wanita itu benar-benar membuatku kesal.Plaak. Satu tamparan mengenai rahangnya. Plaak, satu tamparan lagi kembali kuhadiahkan kepada stefani. Menjambak rambutnya dengan keras hingga kepalanya terangkat dan meludahi wajahnya.“Lakukan apa yang membuatmu senang. Setidaknya, akulah pemenangnya. Akulah yang melempar batu hingga mengenai tangan Arya dan membuatnya terjatuh. Aku juga yang sudah merencanakan untuk menodaimu beramai-ramai. Itulah sederet dosa yang sangat membuatku bahagia. Walaupun kau berhasil lolos dari berandalan itu, aku tetap puas karena kematian Arya dan anakmu!”“Jadi kau yang melakukannya?!”“Iya! Ha ... ha ... ha ....”Bugg.
KEMATIAN ARYA DAN YUSUF“Pergi kalian atau aku habisi anak ini!” terdengar suara Handoyo dengan nada mengancam dibarengi oleh suara tangisan Yusuf. Serentak kami menoleh dan terkejut melihat Handoyo yang sedang menyandera Yusuf dengan belati di leher. Ayah juga berdiri dengan nafas naik turun tak jauh dari Handoyo. Sepertinya, Ayah baru saja mengejar musuh bebuyutannya itu. Saat posisi terdesak, Handoyo menyandera putraku.“Lepaskan putraku, handoyo! Aku berniat untuk mendekat, tapi Fajar memegangi lenganku.“Jangan gegabah, Mir. Kau bisa membahayakan nyawa Yusuf!” Fajar memegangi tubuhku dengan erat. Aku berusaha melepaskan diri, tapi sayangnya tenagaku kalah kuat dari suamiku.“Lepaskan cucuku Handoyo! Atau kau akan ....”“Akan apa?! Kau akan membunuhku?! Kau bisa lakukan itu setelah kematian cucumu ini!” Handoyo menekan leher Yusuf dengan keras hingga putraku itu menan
UMAR SALAH PAHAM“Yusuf? Dia tadi bersama Arya.” Jawabku sembari menyapu pandangan di seluruh ruangan. Namun tak nampak keduanya. Kemana para penjahat itu membawa mereka.“Arya! Teganya dia menculik darah dagingnya sendiri! Awas akan aku habisi kau!” Fajar mengepalkan tangannya. Matanya memerah dan memancarkan amarah yang membara. Dia pasti mengira Arya yang sudah menculik yusuf. Aku tak boleh membiarkan kesalahpahaman ini.“Fajar. Arya tidak bersalah. Dia tidak menculik Yusuf. Justru dia malah membantuku.”“Diam Mir! Jangan membela manatn suamimu itu! Sudah jelas dia yang bersalah dengan mengumpankan darah dagingnya sendiri tanpa memikirkan dampaknya!”“Fajar aku tidak bohong. Arya memang ....”“Cukup Mir! Ayo aku akan membawamu kepada ayahmu. Setelah itu aku akan mencari Yusuf. Kau pulanglah bersama ayahmu!”‘Tidak, fajar aku....&rd
BANTUAN DATANG“Jadi ini wanita yang akan membuat kami senang, Tuan?”‘Iya. Kalian aku bayar mahal untuk bersenang-senang. Bagaimana, aku orang yang sangat baik’kan?”“Sangat baik ha ... ha ....”“Dia bahkan masih menggunakan gaun pengantin yang sangat sexy. Bagian dadanya yang sedikit menyembul sangat menggiurkan. Membuatku segera ingin menyentuhnya. Ha ... ha ....”“Suaminya pasti akan menangis darah setelah melihat malam pertama istrinya bukan bersamanya, melainkan dengan kami bersepuluh. Ha ... ha ....”“Itu yang kuinginkan. Kalau kalian bisa melakukan tugas dengan baik dan memastikan suami dari wanita itu akan menangis darah, aku akan memberikan bonus untuk kalian ha ... ha ....”Aku berusaha menutup kedua telinga. Namun tetap saja percakapan mereka yang sangat mengerikan terdengar oleh kupingku hingga membuat tubuh menggigil. Wa