Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri
Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a
Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin
Ojek yang mengantarku berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Aku turun lalu membayar sesuai nominal yang kami sepakati. Setelah itu, Bapak tukang ojek pergi. Dalam temaram cahaya subuh, sekali lagi aku mengamati bangunan di depanku. Sebuah rumah berdinding beton dengan cat warna hijau itu tampak paling besar dibanding kanan kirinya. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan berusaha menata hati dan pikiran. Lalu, mengayunkan langkah semakin mendekati rumah itu. “Assalamu alaikum,” ucapku sembari mengetuk daun pintu. Hening. Tak ada sahutan dari dalam. Sekali lagi aku mengucap salam. Kali ini sengaja lebih keras berharap penghuni rumah mendengar suaraku. Benar saja. Tak berselang lama terdengar salamku dijawab. Seorang perempuan paruh baya menyembul dari balik pintu sambil menatap heran ke arahku. “Cari siapa ya?” Netra perempuan itu menyipit.“Maaf, Bu! Apa benar ini kediaman Bapak Slamet Raharjo?” tanyaku hati-hati. Si pemilik rumah itu
“Kalaupun meminta warisan, Lintang juga berhak. Apalagi selama ini dia tak pernah dikasih nafkah!” celetuk Bu Endah. Aku sedikit lega sebab ada yang membela. Meski sebenarnya sama sekali tak tertarik dengan warisan. “Belum tentu anak ini darah daging Mas Harjo. Mana buktinya? Kalau cuma ngaku sih gampang,” ketus Bu Sri. Mendengar keraguan Bu Sri, aku membuka sling bag, mengambil kartu identitas lalu memberikan pada Papa. Dengan tangan sedikit gemetar, Papa menerima benda tipis itu. Lalu, sepasang matanya memindai, mengamati sebaris tulisan berisi data diri.“Papa masih ingat alamat itu?” ucapku kemudian. “Iya ... Ini memang alamat Wulan. Berarti benar kamu anakku,” ucap Papa dengan mata mulai berkaca-kaca. Aku mengangguk pelan. Sesak bercampur haru mulai menyelinap dalam hati sampai kurasakan mata ini basah. Perlahan, aku mendekat pada lelaki di hadapku berniat memeluk untuk pertama kali. Namun, sebelum sempat merengkuh, Bu Sri menghalangi. “Mungkin benar dia anaknya Wulan, ta
Tak lama, motor yang kami kendarai berhenti di halaman rumah Bude. Kami berdua turun lalu lekas masuk ke rumah. “Lintang, kamu jangan sedih ya. Papa kamu memang kayak gitu,” ucap Bude saat kami duduk di ruang tamu. “Enggak kok, Bude. Aku sudah biasa hidup tanpa Papa,” lirihku. Meski begitu, aku tak bisa menepis kesedihan di dalam hati. Biar bagaimanapun aku sudah terlanjur berharap akan bertemu Papa dan mendapat kasih sayangnya. Namun, kenyataan justru bertolak belakang. “Kamu tinggal di sini saja ya. Anggap saja rumah sendiri.” Bude tersenyum tulus. Jika saja yang mengatakan itu adalah Bu Sri-ibu sambungku, tentu akan dengan senang hati aku menyambut. “Tapi, Bude ... apa enggak merepotkan?” ucapku ragu. “Hush ... jangan bilang begitu. Kamu ini keponakanku. Kita keluarga!” Aku terharu dengan kebesaran hati Bude yang sanggup menerimaku walau sebelumnya tak pernah bertemu. Tanpa pikir panjang aku merengkuh perempuan berhati malaikat itu kemudian memeluk erat. Meski tak mendapat
Selesai berpakaian, aku mematut diri di depan cermin yang terpasang di pintu lemari. Menyisir rambut lalu segera beranjak keluar sebab Bude sejak tadi sudah memanggil untuk makan siang. Melangkah ragu aku menuju dapur. Ada rasa segan jika aku harus menjadi beban bagi orang lain. Sampai dapur, Rupanya Bude sudah menunggu di depan meja makan, berseberangan dengan lelaki bernama Alvin itu. “Sini, Lintang! Kita makan sama-sama!” ajak Bude sembari melambaikan tangan. Aku menurut. Mendekat ke arah Bude kemudian menarik kursi kayu lalu meletakkan bokong di atasnya. Di atas meja berjejer lauk yang didominasi olahan berbahan dasar tempe. Aku menyendok nasi lalu mengambil sepotong tempe bacem. “Maaf ya, Lintang. Lauknya seadanya,” ucap Bude. “Enggak apa-apa Bude, ini juga sudah banyak kok,” sahutku. Lalu, kami bertiga mulai menikmati makan siang. Dalam hati aku sangat bersyukur bisa makan bersama meski dengan lauk sederhana. Saat kami tengah sibuk menikmati makanan, terdengar suara pere
“Emangnya kita belanja di mana, Vin?” tanyaku saat kami hendak naik motor. “Di Pasar Baru,” jawabnya. “Tempat ruko Papaku berada ya?” “Iya,” Aku tersenyum simpul. Ini namanya sekali mendayung dua pulau terlampaui. Bisa menemani Alvin belanja, sekaligus mengintip ruko Papa. Ah ... bukan! Tepatnya ruko kosong di sebelah kepunyaan Papa. Ya! Aku memang berencana mengontrak ruko itu. Tentu saja karena ingin menyaingi Papa. Berbekal sedikit pengalaman, aku yakin mampu menghancurkan mereka dengan cara yang sehat. Apalagi Bude bilang Bu Sri selalu menjual dagangannya dengan harga yang mahal. Jadi, aku yakin akan mampu bersaing. “Bude bilang ada tempat kosong di pasar baru ya?” tanyaku lagi. “Iya, emangnya kenapa?” “Enggak kok, tanya aja. Kamu kenal pemiliknya?” “Kenal,” “Nanti antar aku ke sana ya?” mohonku. Alvin mengernyit heran. Sepasang matanya menatap lekat pada wajahku sampai aku salah tingkah. “Ngapain ke sana?” cecarnya. “Entar aku ceritain. Yuk berangkat!” ajakku. Kemud