MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI

MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI

last updateTerakhir Diperbarui : 2023-03-25
Oleh:  El FurinjiTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
37Bab
5.0KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

perjalanan seorang gadis yang mencari keberadaan bapak kandung. setelah ketemu justru sempat ditolak kehadirannya. ini membuat gadis itu sakit hati dan ingin membalas bapak dan ibu tirinya.

Lihat lebih banyak

Bab 1

AWAL

Ojek yang mengantarku berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Aku turun lalu membayar sesuai nominal yang kami sepakati. Setelah itu, Bapak tukang ojek pergi. 

Dalam temaram cahaya subuh, sekali lagi aku mengamati bangunan di depanku. Sebuah rumah berdinding beton dengan cat warna hijau itu tampak paling besar dibanding kanan kirinya. 

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan berusaha menata hati dan pikiran. Lalu, mengayunkan langkah semakin mendekati rumah itu. 

“Assalamu alaikum,” ucapku sembari mengetuk daun pintu. 

Hening. Tak ada sahutan dari dalam. 

Sekali lagi aku mengucap salam. Kali ini sengaja lebih keras berharap penghuni rumah mendengar suaraku. 

Benar saja. Tak berselang lama terdengar salamku dijawab. Seorang perempuan paruh baya menyembul dari balik pintu sambil menatap heran ke arahku. 

“Cari siapa ya?” Netra perempuan itu menyipit.

“Maaf, Bu! Apa benar ini kediaman Bapak Slamet Raharjo?” tanyaku hati-hati. 

Si pemilik rumah itu mengernyit. Pandangannya menyapu wajah, lalu berganti mengamati seluruh tubuh hingga aku merasa risi. 

“Kamu siapa?” tanyanya balik. 

“Namaku Lintang, Bu! Anak dari Bu Ayu Wulandari. Apa benar ini kediaman Bapak Slamet Raharjo?” Aku mengulang pertanyaan. 

Paras perempuan itu seketika berubah saat aku memperkenalkan diri. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi yang jelas gurat wajahnya memperlihatkan rasa tidak suka terhadapku. 

“Maaf! Anda salah alamat!” ketus perempuan itu. 

Perubahan sikap pemilik rumah membuatku merasa janggal. Jangan-jangan dia tahu sesuatu tapi ingin menyembunyikan dariku. 

“Tapi tukang ojek bilang ini rumahnya Bapak Slamet Raharjo,” jelasku. 

Ya. Saat mencari tukang ojek, aku sengaja memilih yang tahu alamat rumah Papa. Jadi tak perlu repot tanya sana sini. 

“Sudah kubilang kamu salah alamat! Ngeyel banget sih!” Perempuan di depanku memasang wajah kesal. 

Aku mematung berusaha menata pikiran. Apa jangan-jangan tukang ojek tadi membohongiku? Ah ... sepertinya enggak mungkin. 

“Sudah sana pergi!” usir perempuan itu. 

Sebelum sempat aku berpaling, perempuan itu lebih dulu masuk ke dalam. Ditutupnya pintu dengan kasar hingga menimbulkan suara yang cukup mengagetkan. 

Terpaksa aku menjauh dari rumah ini. Kuayunkan langkah menyusuri jalanan yang mulai menunjukkan aktivitas. Beberapa kendaraan melintas, meski tak seramai di tempat tinggalku. 

Ternyata mencari jejak Papa tak seperti yang kubayangkan. Aku pikir aku akan dengan mudah menemukan alamat Bapak dan langsung mendapat sambutan hangat dari lelaki yang belum kukenali wajahnya. Namun, rupanya salah. 

*** 

Hampir 15 menit aku berjalan kaki tanpa tujuan pasti. Sampai akhirnya dahaga memaksaku berhenti di depan sebuah toko kecil di pinggir jalan. 

“Air mineral satu, Bu!” ucapku pada penjaga warung. 

Perempuan itu lekas mengambil sebotol air mineral berukuran sedang dan memberikannya padaku. Tanpa menunggu lama, langsung kubuka penutup lalu meneguk isinya. 

“Berapa, Bu?” tanyaku kemudian. 

“Tujuh ribu.” Perempuan itu melempar senyum ramah. 

Aku membuka sling bag lalu mengambil selembar uang merah dan menyerahkan pada Ibu penjaga warung. 

“Uang pas aja, Dek!” tolak perempuan itu. 

Kembali aku membuka sling bag, mencari pecahan uang kecil. Namun aku tak menemukannya. 

“Waduh ..., enggak ada, Bu!” keluhku. 

Kami sama-sama bingung. Namun akhirnya si penjaga toko mengambil keputusan mengejutkan. 

“Ya sudah, enggak usah bayar saja, Dek!” ucapnya. 

Aku mengernyit menatap wajah perempuan paruh baya di depanku. Baru kali ini aku menemukan orang sebaik dia. Padahal, kami tak saling kenal. 

“Jangan dong, Bu! Nanti Ibu rugi.” 

Lagi. Perempuan itu kembali tersenyum. 

“Enggak apa-apa sesekali membantu orang. Lagian sepertinya kamu bukan orang sini,” 

Ya. Logat bahasaku memang berbeda dari orang-orang yang kutemui di kota ini. Mungkin inilah yang membuatnya menebak. 

“Iya, Bu! Aku memang orang jauh. Ke sini saja baru sekarang.” 

“Memangnya kamu mau ke mana? Kok jalan kaki sendirian?”  cecarnya. 

Akhirnya aku memberitahu bahwa tujuan ke kota ini untuk mencari orang tua kandungku. Barangkali Ibu ini bisa membantu.

“Siapa nama Bapakmu?” tanyanya.

“Slamet Raharjo. Ibu kenal? ” Aku balik tanya.

Netra perempuan di depanku menyipit. Lalu, sorotnya memindai wajah, seperti ada yang aneh denganku. 

“Apa kamu pernah bertemu Bapakmu?” 

Lagi. Perempuan di depanku kembali mencecar seperti sedang menyelidik. 

“Belum.” Aku menggeleng lemah. 

Lalu, kuceritakan bahwa Papa telah meninggalkan Mama sejak aku masih dalam kandungan.

Kesedihan jelas sekali terlukis di paras perempuan paruh baya ini. Barangkali dia merasa Iba mendengar kisahku, atau ada hal yang lain?

“Di sini memang ada yang namanya Slamet Raharjo. Ibu kenal dia. Nanti aku antar ke sana,” ucapnya. 

Seketika hati berjingkrak girang mendengar ucapannya. Harapan untuk bertemu Papa kembali terbuka lebar. Gegas kuraih tangan perempuan di depanku lalu menggenggam erat.

“Terima kasih banyak, Bu!” ucapku kemudian. 

Setelah itu, kembali kami terlihat obrolan hangat. Darinya aku tahu bahwa dia biasa dipanggil Bu Endah oleh warga sekitar. 

Obrolan kami terhenti saat seorang ibu-ibu datang berbelanja. Sementara Bu Endah melayani pembeli, aku mengedarkan pandangan menikmati suasana yang masih lumayan asri. 

**** 

Selesai dengan pembeli, Bu Endah mengajakku pergi. Dia bilang akan mengantarku menemui lelaki bernama Slamet Raharjo. 

Tak sampai lima menit berkendara, kami berhenti di depan rumah yang tadi pagi kudatangi. Kontan saja aku kaget karena diantar ke tempat yang sama. 

“Ini rumah siapa, Bu?” tanyaku penasaran. 

“Rumah Slamet Raharjo. Barang kali dia orang yang kamu cari,” sahutnya. 

“Tadi aku sudah ke sini, tapi pemilik rumah bilang aku salah alamat,” jelasku hati-hati. 

Bu Endah menatapku dengan alis hampir bertautan. Detik berikutnya dia tersenyum lalu mengajakku naik ke teras. 

Setelah mengetuk pintu beberapa kali, perempuan yang tadi pagi kutemui muncul dari dalam. Dia terkejut saat melihatku ada bersama Bu Endah. 

“Sri, mana suamimu?” tanya Bu Endah. 

“Lagi pergi, Mbak! Ngapain kamu ke sini?” tanya si pemilik rumah dengan muka masam. 

“Ada perlu. Pergi ke mana?” 

“Enggak tahu,” sahut pemilik rumah. 

“Ya sudah. Aku tunggu sampai dia pulang.” Tanpa permisi Bu Endah menarik kursi kayu di teras lalu duduk dengan santai. 

“Kamu pulang saja, Mbak! Aku mau pergi. Mas Harjo juga paling sore baru pulang,” usir si pemilik rumah. 

“Enggak! Aku mau tunggu di sini saja!” sahut Bu Endah. 

Aku hanya diam saja menyimak perdebatan mereka. Sepertinya keduanya saling mengenal. 

“Sudah dibilang pergi kok masih di sini sih! Ganggu saja!” gerutu si pemilik rumah. 

Saat keduanya saling beradu mulut, seorang lelaki seusia mereka menyembul dari balik pintu. 

“Ada apa sih? Pagi sudah ribut?” ujar lelaki itu. 

Bu Endah menoleh pada sumber suara tersebut. Dia terlihat kaget menatap lelaki yang termangu di depan pintu. 

“Loh ... istrimu bilang kamu pergi, Jo! Ternyata di rumah!” ujar Bu Endah. 

Lelaki itu menoleh pada Bu Sri. Paras perempuan itu tampak pias, tapi hanya sebentar. 

“Ada apa, Mbak ke sini? Siapa dia?” tanya lelaki itu sembari menatap ke arahku. 

“Dia Lintang. Anaknya Wulan. Istri yang dulu kamu tinggalkan saat sedang hamil,” ujar Bu Endah. 

Aku benar-benar kaget mendengar ucapan Bu Endah. Rupanya dia tahu semua tentang masa lalu Mama padahal aku tak cerita sedetail itu. 

Pun dengan lelaki yang kuyakini bernama Slamet Raharjo itu. Dia terperangah dengan kedua netra lekat menatapku. 

Perasaanku campur aduk tak karuan. Antara bahagia dan haru menyatu dalam hati. Akhirnya aku bisa bertemu Papa. 

“Belum tentu dia anakmu, Mas! Bisa saja dia hanya mengaku karena ingin mendapat hartamu!” celetuk perempuan bernama Bu Sri itu. 

Astaga! Picik benar pikiran Bu Sri. Niatku ke sini hanya ingin diakui sebagai anak. Bukan ingin harta! 

“Maaf, Bu! Aku tak gila harta! Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku punya nasab!” Aku menatap perempuan yang kuyakini sebagai Ibu tiri. 

“Bilangnya sih begitu. Tapi kalau sudah diakui pasti minta jatah warisan!” cibir Bu Sri. 

Darah semakin mendidih mendengar ucapan Bu Sri. Dia terlalu merendahkan. Apa aku harus pamer kekayaan untuk membungkam mulutnya?

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
37 Bab
AWAL
Ojek yang mengantarku berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Aku turun lalu membayar sesuai nominal yang kami sepakati. Setelah itu, Bapak tukang ojek pergi. Dalam temaram cahaya subuh, sekali lagi aku mengamati bangunan di depanku. Sebuah rumah berdinding beton dengan cat warna hijau itu tampak paling besar dibanding kanan kirinya. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan berusaha menata hati dan pikiran. Lalu, mengayunkan langkah semakin mendekati rumah itu. “Assalamu alaikum,” ucapku sembari mengetuk daun pintu. Hening. Tak ada sahutan dari dalam. Sekali lagi aku mengucap salam. Kali ini sengaja lebih keras berharap penghuni rumah mendengar suaraku. Benar saja. Tak berselang lama terdengar salamku dijawab. Seorang perempuan paruh baya menyembul dari balik pintu sambil menatap heran ke arahku. “Cari siapa ya?” Netra perempuan itu menyipit.“Maaf, Bu! Apa benar ini kediaman Bapak Slamet Raharjo?” tanyaku hati-hati. Si pemilik rumah itu
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-06
Baca selengkapnya
TERHINA
“Kalaupun meminta warisan, Lintang juga berhak. Apalagi selama ini dia tak pernah dikasih nafkah!” celetuk Bu Endah. Aku sedikit lega sebab ada yang membela. Meski sebenarnya sama sekali tak tertarik dengan warisan. “Belum tentu anak ini darah daging Mas Harjo. Mana buktinya? Kalau cuma ngaku sih gampang,” ketus Bu Sri. Mendengar keraguan Bu Sri, aku membuka sling bag, mengambil kartu identitas lalu memberikan pada Papa. Dengan tangan sedikit gemetar, Papa menerima benda tipis itu. Lalu, sepasang matanya memindai, mengamati sebaris tulisan berisi data diri.“Papa masih ingat alamat itu?” ucapku kemudian. “Iya ... Ini memang alamat Wulan. Berarti benar kamu anakku,” ucap Papa dengan mata mulai berkaca-kaca. Aku mengangguk pelan. Sesak bercampur haru mulai menyelinap dalam hati sampai kurasakan mata ini basah. Perlahan, aku mendekat pada lelaki di hadapku berniat memeluk untuk pertama kali. Namun, sebelum sempat merengkuh, Bu Sri menghalangi. “Mungkin benar dia anaknya Wulan, ta
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-06
Baca selengkapnya
MENGATUR STRATEGI
Tak lama, motor yang kami kendarai berhenti di halaman rumah Bude. Kami berdua turun lalu lekas masuk ke rumah. “Lintang, kamu jangan sedih ya. Papa kamu memang kayak gitu,” ucap Bude saat kami duduk di ruang tamu. “Enggak kok, Bude. Aku sudah biasa hidup tanpa Papa,” lirihku. Meski begitu, aku tak bisa menepis kesedihan di dalam hati. Biar bagaimanapun aku sudah terlanjur berharap akan bertemu Papa dan mendapat kasih sayangnya. Namun, kenyataan justru bertolak belakang. “Kamu tinggal di sini saja ya. Anggap saja rumah sendiri.” Bude tersenyum tulus. Jika saja yang mengatakan itu adalah Bu Sri-ibu sambungku, tentu akan dengan senang hati aku menyambut. “Tapi, Bude ... apa enggak merepotkan?” ucapku ragu. “Hush ... jangan bilang begitu. Kamu ini keponakanku. Kita keluarga!” Aku terharu dengan kebesaran hati Bude yang sanggup menerimaku walau sebelumnya tak pernah bertemu. Tanpa pikir panjang aku merengkuh perempuan berhati malaikat itu kemudian memeluk erat. Meski tak mendapat
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-06
Baca selengkapnya
ANAK PAPA
Selesai berpakaian, aku mematut diri di depan cermin yang terpasang di pintu lemari. Menyisir rambut lalu segera beranjak keluar sebab Bude sejak tadi sudah memanggil untuk makan siang. Melangkah ragu aku menuju dapur. Ada rasa segan jika aku harus menjadi beban bagi orang lain. Sampai dapur, Rupanya Bude sudah menunggu di depan meja makan, berseberangan dengan lelaki bernama Alvin itu. “Sini, Lintang! Kita makan sama-sama!” ajak Bude sembari melambaikan tangan. Aku menurut. Mendekat ke arah Bude kemudian menarik kursi kayu lalu meletakkan bokong di atasnya. Di atas meja berjejer lauk yang didominasi olahan berbahan dasar tempe. Aku menyendok nasi lalu mengambil sepotong tempe bacem. “Maaf ya, Lintang. Lauknya seadanya,” ucap Bude. “Enggak apa-apa Bude, ini juga sudah banyak kok,” sahutku. Lalu, kami bertiga mulai menikmati makan siang. Dalam hati aku sangat bersyukur bisa makan bersama meski dengan lauk sederhana. Saat kami tengah sibuk menikmati makanan, terdengar suara pere
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-06
Baca selengkapnya
BERSAMA ALVIN
“Emangnya kita belanja di mana, Vin?” tanyaku saat kami hendak naik motor. “Di Pasar Baru,” jawabnya. “Tempat ruko Papaku berada ya?” “Iya,” Aku tersenyum simpul. Ini namanya sekali mendayung dua pulau terlampaui. Bisa menemani Alvin belanja, sekaligus mengintip ruko Papa. Ah ... bukan! Tepatnya ruko kosong di sebelah kepunyaan Papa. Ya! Aku memang berencana mengontrak ruko itu. Tentu saja karena ingin menyaingi Papa. Berbekal sedikit pengalaman, aku yakin mampu menghancurkan mereka dengan cara yang sehat. Apalagi Bude bilang Bu Sri selalu menjual dagangannya dengan harga yang mahal. Jadi, aku yakin akan mampu bersaing. “Bude bilang ada tempat kosong di pasar baru ya?” tanyaku lagi. “Iya, emangnya kenapa?” “Enggak kok, tanya aja. Kamu kenal pemiliknya?” “Kenal,” “Nanti antar aku ke sana ya?” mohonku. Alvin mengernyit heran. Sepasang matanya menatap lekat pada wajahku sampai aku salah tingkah. “Ngapain ke sana?” cecarnya. “Entar aku ceritain. Yuk berangkat!” ajakku. Kemud
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-06
Baca selengkapnya
DIJEMPUT
Sekitar pukul lima sore kami baru sampai di rumah. Tanpa bicara, Alvin langsung menerobos masuk meski Bude menyambut. Tentu saja ini menimbulkan kecurigaan. “Alvin kenapa, Lintang? Kok kayak gitu?” tanya Bude dengan sepasang mata mengekori langkah anaknya. “Enggak tahu, Bude,” jawabku bohong. Sebenarnya aku ingin bercerita kalau kami habis ketemu perempuan yang mungkin kekasih Alvin. Namun, aku khawatir ini justru akan membuat pikirannya semakin kacau. Biar dia saja yang bercerita pada ibunya. “Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu, nanti bantu Bude masak,” “Iya, Bude.” Lalu, aku beranjak masuk ke kamar. Sejenak kurebahkan tubuh di atas ranjang sekedar melepas lelah. Setelah itu, baru beranjak mandi. Selepas magrib aku membantu Bude menyiapkan makan malam. Kami banyak mengobrol tentang kehidupan masing-masing. Tentu saja tak kuceritakan tentang kehidupanku yang lumayan enak. Khawatir dibilang pamer. “Tolong panggil Alvin, Lintang!” perintah Bude setelah semua tersaji di meja mak
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-06
Baca selengkapnya
HAMPIR EMOSI
Mencoba abai dengan ucapan Gea, aku mengekori langkah Papa masuk ke dalam. Kuedarkan pandangan ke sekeliling melihat ruang tamu yang baru pertama kusinggah. Dari kemarin tak pernah mereka mengajak masuk. “Ngapain lihat-lihat? Enggak pernah masuk ke rumah mewah ya?” ejek Hana dengan setengah tertawa. Aku mencebikkan bibir. Lantai keramik saja sudah sesombong ini, apalagi kalau yang lebih bagus. Bisa-bisa dia semakin sombong. Sebenarnya aku ingin membalas ucapan Gea, tapi lebih memilih diam karena sedang mengikuti permainan mereka. “Duduk!” ucap Bu Sri setengah membentak. Aku tak heran karena susah menduga hal ini. Sikap baik yang dia tunjukkan di depan Bude hanya palsu belaka. Dan aku sudah menduganya. Aku menurut. Duduk di sofa mengikuti mereka. “Kamu duduk di bawah. Tak pantas di situ!” bentak Gea. Diam, aku menoleh pada Papa. Lelaki itu seperti tak nyaman dengan ucapan anaknya, tapi sayangnya dia bergeming, tak berusaha membelaku. Apa begitu cara menjadi seorang Bapak?Lalu,
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-23
Baca selengkapnya
CURIGA
Dering nada panggilan dari ponsel membuatku terjaga dari tidur yang belum berapa lama. Meski mata masih terasa lengket, aku meraba benda pipih yang tergeletak di atas meja. Sebuah kontak yang kuberi nama ‘Mama’ terpampang di layar. Gegas aku menggeser tombol berwarna hijau lalu mulai menyapa. “Iya, Ma!” ucapku memulai obrolan. “Gimana? Kamu sudah ketemu Papa kan?” tanya suara dari seberang sana. “Iya ... sudah,” “Terus, apa keluarga Papa menerimamu?” Pertanyaan Mama memaksa otak berpikir keras. Jika bilang diperlakukan buruk, sudah pasti Mama akan meminta lekas pulang. Tentu tak ada kesempatan membalas Papa dan keluarganya. “Iya, Ma! Papa menerimaku. Mereka sangat sayang,” ucapku berusaha menutupi fakta. “Alhamdulillah ... akhirnya Papa mau mengakui juga,” ucap Mama. “Mengakui bagaimana?” tanyaku kemudian. “Ya kan dulu Papa tak mengakuimu sebagai anak. Tapi itu hanya masa lalu. Yang penting sekarang semua sudah selesai,” jelas Mama. Astaga! Pantas saja perlakuan Papa seperti
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-24
Baca selengkapnya
KEJUTAN PERTAMA
Aku menyeka sudut mata yang mulai digenangi bulir bening. Membayangkan Nita berkhianat saja sudah sangat menyakitkan apalagi kalau benar terjadi. Bisa-bisa aku depresi. “Ah ... semoga tak seperti itu.” Aku bermonolog mencoba menepis syak wasangka. Saat sedang sibuk menenangkan hati, terdengar derit pintu yang terbuka. Aku menoleh pada sumber suara tersebut. Rupanya Alvin yang membuka. Lelaki itu melangkah masuk tanpa permisi. Tatapannya tak henti menyapu wajah memindaiku. Jujur. Aku tak suka siapa pun masuk kamar tanpa permisi. Bagiku kamar adalah tempat paling privasi. Apalagi dia seorang lelaki. Tentu saja sangat mungkin melihat sesuatu yang tak pantas. Atau memang dia sengaja ingin mengintip?“Kamu kenapa nangis, Lintang?” tanyanya setelah dekat. Abai dengan pertanyaannya, aku justru balik bertanya dengan nada suara setengah membentak. “Kenapa kamu masuk tanpa permisi? Enggak sopan tahu!” Alvin terkesiap. Sejenak kulihat raut bersalah di wajahnya. “Maaf! Aku sudah lebih dari
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-25
Baca selengkapnya
MARI KITA BERPERANG
Menjelang magrib kami baru pulang dari pasar. Sebenarnya pembeli masih ada karena letak toko kami ada di pinggir jalan raya. Namun, demi membagi waktu beristirahat kami sepakat buka pukul tujuh, tutup pukul 17:00. Tadi, saat di jalan sengaja kami membeli lauk. Kasihan Bude jika harus menyiapkan makan malam buat kami, apalagi dia juga harus menjaga toko sepanjang hari. Tersenyum puas, aku menghempaskan tubuh letih ini di atas pembaringan. Masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana wajah Bu Sri saat mengetahui bahwa perempuan yang dihina, kini memiliki toko tepat di sebelahnya. Setelah penat berkurang, aku baru keluar kamar. Alvin dan Bude sedang mengobrol di ruang depan. Kuayunkan langkah mendekati mereka lalu duduk di sebelah Bude. “Kebetulan kamu keluar, Lintang. Ada yang mau Bude tanyakan,” ujar Bude. “Tanya apa?” “Akhir-akhir ini kalian selalu pergi pagi pulang sore. Sebenarnya kalian ke mana sih?” tanya Bude. Aduh! Rupanya Bude sudah mulai curiga dengan aktivitas kami, pad
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-26
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status