Beranda / Romansa / MENANTU IMPIAN IBU / Bab 05. Kekhawatiran Dilan

Share

Bab 05. Kekhawatiran Dilan

Penulis: HaniHadi_LTF
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-02 04:00:35

Dilan mendekati Dini. Sepertinya dia tak mampu mengerem dirinya. Namun yang mencium, justru sudah terlelap dalam tidurnya. Dilan tersenyum, memegangi kepalanya yang seperti berdenyut menahan hasrat. Dengan sayang, diciumnya kening Dini. Untunglah kamu sudah tidur, jika tidak, aku tidak tau apa yang terjadi dengan diriku. Bagaimanapun sekarang ini kamu dalam kondisi yang tidak sadar, dan aku tak ingin mengambil keuntungan dari semua ini, bathinnya kelu dengan merengkuh Dini dalam pelukannya.

Sementara Dilan masih tak dapat memejamkan matanya, mengingat bagaimana dia besuk bisa meninggalkan Dini di rumahnya. Berkali-kali disentuhnya bibirnya dengan menyentuh bibir Dini dengan jemarinya. Rasanya dia ingin membalas ciuman itu kembali, tapi diurungkannya. Dia takut, dia akan menuntut yang lain lagi seperti tadi. 

Dilan bangun di saat Subuh telah berkumandang. Dilihatnya Dini yang sudah tersenyum memandanginya. Bajunya sudah berganti dengan terusan, bukan baju tidur lagi. Tubuhnya pun sudah harum bau handbodi yang dipakainya.

"Wah, istri aku sudah cantik," ujar Dilan terpana dengan kecantikan Dini. "sini, cium, Mas.!"

"Ih, apaan sih," Dini tersipu, " panggil Mas lagi."

"Aku kan sudah jadi suamimu, masak iya, kamu masih panggil namaku saja."

Dini hanya tersenyum, lalu membiarkan pipinya dicium Dilan saat dia mendekati suaminya yang meraih tubuhnya itu.

"Adu, sakit, tau!" teriak Dini manakala Dilan mencoel hidung mancungnya.

Dilan terkekeh  dengan beranjak ke kamar mandi.

 "Kamu benar-benar jadi orang asing sekarang," teriak Dini dengan bersungut mengingat kenapa kini Dilan seolah orang asing, bukan seperti Aziel yang pernah dia kenal duluh.

"Kamu sudah sholat ya?" tanya Dilan setelah keluar kamar mandi. Rambutnya yang panjang depan menetes oleh air wudhu.

Dini menggeleng. Lalu mengambil mukenanya. Mengikuti Dilan yang sholat .

"Aku kok ngerasa kamu sekarang aneh, ya," ucap Dini setelah mereka menyelesaikan sholatnya.

"Aneh bagaimana?"

"Kamu lebih suka menggoda. Aku jadi teringat seseorang yang,..." Dini memegang kepalanya. Rasa sakit tiba-tiba saja datang. Dia memang merasakan sakit  kepala jika dipaksa mengingat sesuatu.

"Sudahlah, kamu hanya aneh saja melihat sisi lain dari diriku yang sebenarnya romantis," guraunya. "Duluh kan kita masih pacaran, masak iya aku bisa romantis-romantisan sama kamu, dosa tau!"

"Tapi bukan hanya itu, kamu duluh ghak seperti ini. Kamu hampir tak pernah tertawa, hanya tersenyum. Sekarang?"

Dilan mendekat dan meraih tubuh kurus Dini, memeluknya hangat, "Aku tuh bahagia banget dapetin kamu, makanya sekarang aku mau tertawa saja sepuasnya." Dilan merasa tak enak hati dengan kebohongannya, "ayo kita keluar, kita makan."

Dini menggandeng Dilan, namun kemudian menyelinap di belakang Dilan manakala dilihatnya sorot mata Giani menatapnya.

"Mama ghak ke kantor?" sapa Dilan begitu dilihatnya mamanya tidak memakai baju rapi seperti biasanya. Rambutnya pun dikuncir, tidak digerai seperti saat dia pergi.

"Badan Mama pegal-pegal, kayaknya ghak enak badan."

"Dini, sini, duduk,.. jangan berdiri terus," ucap Pramono dengan memberikan kursi untuk diduduki Dini.

Sementara kedua adik Dilan, Davin dan Kanaya hanya memandang Dini sinis.

"Kanaya pergi duluh, Ma," pamit gadis itu dengan segera meninggalkan ruang makan.

"Pagi sekali, Nay?" tanya Pramono heran.

"Ada kuliah pagi, Pa," katanya sambil memandang Dini selintas. Gadis yang seusia Dini, 19 tahun itu, yang seharusnya bisa jadi teman Dini, malah mengacuhkannya.

Hening. Dilan hanya sibuk dengan Dini yang makan begitu lahap. Sesekali dia hanya terkekeh dengan ulah Dini yang menghabiskan banyak makanan dengan cepat, lalu bersendawa.

"Dasar gadis kampung!" Giani segera bangkit, "kayak ghak pernah makan setahun."

"Jangan diambil hati sikap mamamu, Dilan," ucap Pramono yang kemudian pergi ke kantor.

"Bu, tolong jaga Dini. Ajak dia di kamar nonton TV.  Duluh Ibu mengasuh saya, saya harap Ibu sekarang bisa mengasuh Dini walau dia memang bukan anak kecil." Setelah memakai seragam kerjanya, Dilan berpesan ke Imah. Dia merasa berat hati meninggalkan Dini. Imah, pembantu yang telah mengasuh Dilan sejak dia ditinggal mamanya ke luar negri itu, mengangguk. Dia sudah seperti orang tua bagi Dilan, selain Ajeng, hinggah dia memanggilnya Ibu, bukan Bibi seperti yang lain memanggilnya.

"Mas pergi duluh, kamu baik-baik di rumah." Dilan mengulurkan tangannya, dan Dini menyambutnya dengan mencium tangan suaminya.

Imah lalu mengajak Dini ke kamarnya.

"Mau ke mana kamu Dini?"

"Mau saya ajak ke kamar, Nyonya."

Perempuan cantik itu mendekati Dini. "Cuci piring. Habis makan enak saja kamu pergi ke kamar."

"Tapi, Nya,.. saya bisa mencucinya nanti. Biar den Dini saya antar ke kamar duluh."

"Kamu bisa "kan cuci piring di rumahmu?" tanyanya ke Dini.

"Bisa," ucap Dini malah tersenyum, "saya biasa cuci piring jika Ibu pergi kerja."

"Baguslah," Giani berkacak pinggang. "cuci yang bersih, baru nanti siang kamu dapat makan enak lagi seperti tadi."

Dini mengangguk-angguk tersenyum. Lalu dia memulai kerjanya.

"Imah, jangan dekat-dekat," teriak Giani lagi setelah hampir meninggalkan dapur dan melihat Ima mendekati Dini.

"Kalau tidak bersih bagaimana, Nya?"

"Bener juga, kamu!"

Imah segera membantu Dini. Dielusnya kepala gadis yang tertutup jilbab instan itu. "Yang sabar ya, Dhuk!"

Dini hanya tersenyum. Dia bahkan bernyanyi-nyanyi kecil. "Nanti kan dapat makan enak, Bi."

Ima mengelus dadanya.

Namun yang diperintahkan untuk Dini tidak hanya sebatas itu. Sekar, pembantu yang bertugas membersihkan rumah, bahkan tersenyum senang dengan tugasnya yang diambil alih Dini.

Dini bernyanyi-nyanyi dengan mengepel lantai, Diguyurnya air, dia kemudian perosotan di sana. Tak terasa dia menabrak seseorang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu bab 114

    Mata Dini sudah mengaca. Dilan hanya bisa merengkuhnya, membenamkan wajahnya dalam dekapannya. "Kita akan cari rumah kontrakan yang mungkin bisa untuk mengembangkan usahamu sekaligus bisa untuk kita tempati," janji Dilan, "kamu jangan lagi menangis." diciumnya kening wanita yang kini terisak di pelukannya."Nanti kalau diminta orangnya lagi gimana? Susah lagi kan?" protes Dini.Dilan terkikik. "Iya juga ya," cetusnya."Nah, kurang pinter juga kamu ya, Mas.""Iya, iya, Dek. Yang pinter kan cuma kamu. Terlebih kamu pinter mencuri."Dini mendorong dada Dilan. "Maksud Mas apa?""Aduh!" Dilan yang tidak menyangka sampai berpegangan di bibir tempat tidurnya. "Kamu ini ya,.. nggak lagi sedidh, nggak lagi senang, sukanya bikin aku mau celaka terus."Dini cemberut. "Habisnya, kamu ngomong begitu." Matanya sudah kembali mengaca. "Emang aku mencuri apa kamu.""Kamu kan mencuri hatiku, Dek.""Hih! Rasain ini." Dini sudah menghujani Dilan yang turun dari tempat tidurnya dengan tabokan bantal. "A

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu Bab 113

    Dini yang membuka kunci rumah, segera mempersilahkan Profesor Satya dan Amira, istrinya masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu."Memasuki rumah, sepasang suami istri itu sudah berdecak kagum. Wanita yang masih cantik di usianya yang sudah setengah baya tu bahkan berkeliling matanya menatap seluruh ruangan itu."Terus terang kami pangling dengan rumah kami sendiri. Bukan karena catnya yang kalian ganti ini, tetapi karena penataan dan pernak pernik ruangan yang kalian terapkan, sangat cantik," puji Amira.Dilan tersenyum memandang Dini, "Semua ini dia yang ngatur, Bu. Saya mana mengerti yang begituan. Cuma izin Bapak saja waktu ganti cat. Itu pun saya juga baru tau setelah selesai ngecatnya." Dialna merasa tak enak hati. "Untung Bapak setuju, kalau tidak bisa berabe."Tawa pun menggema. "Rumah tambah bagus kok nggak suka, ya nggak mungkin, Dilan," tutur Satya."Kamu memang pintar, Din," puji Amira lagi. "Sama bunga aja kamu telaten. Apalagi dengan nata beginian. Mencerminkan banget siapa dirimu

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 112

    "Assalamualaikum, Din. Mana Bu Astri?" sapa pria itu, yang ternyata Pak RT."Ke Pak Kyai, Pak," jawab Dini sambil menggeser jilbabnya yang tadi dia pakai asalan. "Mau narik iuran kampung?"Pak RT terkekeh kecil. "Iya, Din. Seperti biasanya. Ini tadi saya baru tau kalau Bu Astri sudah kembali dari rumahmu, Din. Makanya saya datang sekalian."Dini mengangguk, lalu tanpa banyak basa-basi mengeluarkan uang dari dompetnya yang tadi ditaruh di sofa setelah berbelanja, dan menyerahkannya kepada Pak RT.Hampir mau keluar, Pak RT menoleh ke arah Dini. "Oya, Nak Dini. Selamat, ya. Kamu sudah berhasil melewati Barata dengan menjadi saksi itu. Kasihan Nak Aziel. Sekarang dia bisa hidup tenang setelah misteri kematiannya terungkap."Dini terdiam sesaat, ada semburat kesedihan di wajahnya. Ia menghela napas pelan. "Iya, Pak. Kita doakan saja keputusan hakim adil. Vonisnya belum keluar."Pak RT mengangguk mantap. "Tapi Bapak sudah lihat jalannya sidang yang ditayangkan live dari TV Pesantren. Insya

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 111

    "Bapak siapa?" tanya Dini, menelisik pria berkulit sawo matang yang terlihat keras itu."Saya hanya mau lihat, apa rumah ini sudah bagus." "Kalau sudah bagus, kenapa ya Pak?" "Tolong bukakan pintuny. Saya mau masuk," ucap lelaki itu dengan sikap sombongnya. Seolah-olah dialah pemilik rumah itu. "Ada perlu apa ya, Pak?" Dini masih curiga dengan pria yang tidak begitu dikenalnya. Ditatapnya penuh selidik. Terkadang dia merasa tak asing dengan wajah itu, namun dia juga ghak terlalu yakin. "Saya hanya ingin tau, apa rumah bakal mantu saya sudah bener- bener bagus. Saya sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu. Saya harus pastikan agar nanti kalau ada kerabat yang datang tidak malu-maluin.""Berarti Anda,..?" Dilan menerka."Kamu dapat menebak saya. Saya Pak Mail juragan buah dari kampung sebelah. Saya bapaknya Fatimah.""Oala, Pak,..kirain siapa tadi." Dilan langsung menyalami pria itu.Dilan lalu berbisik ke Dini. Dini yang orang sini malah yang tidak tau. Dilan memang tau hubungan c

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 110

    Dilan sudah siap-siap, siapa tau Dini akan menipunya kembali. Namun yang ada Dini malah membuka kimononya. "Mau aku tipu lagi?""Aku sudah pakai jurus jika kamu melakukan itu lagi.""Mana jurusnya?""Ini,.." Dilan menarik pinggang Dini, dan meraih tengkuknya dengan bibir yang sudah menyentuh bibir Dini.Paginya. Pagi sekali Dilan sudah mengajak Dini naik motor Fahmi yang duluh sering dipakainya."Mau ke mana sih, Mas, pagi sekali? Dingin lagi udaranya.""Mau ke pasar Subuh. Biar rambutku kering di jalan. Malu nanti dilihat Fahmi ketauan aku mandi basa. Kemarin sih ya, kita ghak bawa hairdyer.""Kenapa malunya sama Mas Fahmi, bukan sama Ibu?" cibir Dini."Dia kan temanku Dek. Belum nikah lagi. Ya, malulah."Dilan sudah menstarter motornya. Sekali, dua kali, masih tak bisa. Sampai akhirnya Fahmi keluar. Dan benar saja, untuk yang pertama kali dilihat Fahmi adalah rambutnya Dilan."Ghak dingin, subuh-subuh udah keramas. Aku aja sampai Dhuhur baru mandi.""Ih, kamu ya,..!" timpuk Dilan ma

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 109

    Dini mendekat, senyumnya tetap ramah meskipun bisa melihat raut kesal di wajah perempuan paruh baya di depannya. Wanita itu, mengenakan blus batik dengan tas selempang kecil yang sudah sedikit lusuh, tampak mengangkat setangkai bunga dengan ekspresi tak percaya."Masak iya, bunga begini semahal itu?" keluhnya, matanya menyipit menatap kelopak bunga seakan-akan menyalahkannya atas harga yang dipasang.Dini, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah bunga di tangan wanita itu, kemudian tersenyum."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ulangnya, suaranya lembut, nyaris berbisik seperti belaian angin sore yang masuk melalui celah pintu toko bunga miliknya.Wanita itu menatapnya lebih dekat, seakan baru menyadari sesuatu. "Ini Mbak Dini, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.Dini mengangguk kecil. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu mendengus kecil, masih tak rela dengan harga yang tercantum di pot tanaman itu. "Ini, Mbak. Masak i

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 108

    Dini baru saja menghembuskan napas lega ketika seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh dan melihat sosok Pak Pramono tersenyum padanya."InsyaAllah ada titik terang di sidang ini. Dan kenangan ada di pihak kita," ucap Pak Pramono sambil mengusap kepalanya dengan sayang.Dini menunduk, air mata menggenang di pelupuknya. Begitu banyak hal yang telah terjadi, begitu banyak fitnah yang menimpanya. Namun kini, satu per satu kebenaran mulai terungkap."Selamat, Kak Dini!"Suara ceria Kanaya membuyarkan lamunannya. Gadis itu mendekat dengan senyum lebar, lalu memeluk Dini erat. Di belakangnya, Davin ikut tersenyum sambil mengangguk sopan."Aku tahu Kak Dini tidak mungkin melakukan semua itu. Aku percaya sejak awal," bisik Kanaya, membuat Dini makin terharu.Namun, tak semua orang menunjukkan ekspresi yang sama. Giani, mertua Dini, hanya melipat tangan di dada. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menunjukkan ketidakpuasan. Dalam hatinya, ia bergumam, "Aku pikir dia akan dipenjara selamanya."

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 107

    Sekelompok pemuda pemudi datang menghampirinya."Mbak ingat kami?"Dini mencoba mengingat kembali.Seorang cewek mendekat. "Kemarin kami mau dekati Mbak, tapi saya lihat Mbak mendekati pria itu, sementara kami juga diajak ngobrol sama Pak Pramono dari kubu mana kami ini dan mau membela siapa.""Mbak, .. bukannya yang kasih minum aku ya,.." tebak Dini."Bener, Mbak. Kami mengikuti perkembangan kasus Mbak. Dari mulai Mbak diculik sampai kemarin di pengadilan. Rasanya kami berdosa jika kami membiarkan Mbak Dini hanya berjuang sendiri mengungkap hal yang seharusnya diungkap," ucap cewek itu.Seseorang datang mendekat sambil berdehem. Sepertinya dia satu diantara orang suruan Barata."Mbak Dini, sebentar ya," ucap dia permisi.Diin mengangguk dengan memperhatikan tngkah gadis yang sesekali melirik ke arahnya."Pak, tenang saja, kami tidak akan mengingkari perjanjian kita," ucap cewek itu, Ailin yang kemudian menepi dan menggiring orang yang mendekat sambil berdehem itu."Ingat, kami telah

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 106

    "Selamat siang, adik-adik!" Dua orang lelaki menghadang sekelompok pemuda dan pemudi yang sedang menunggu bis yang lewat."Selamat siang, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" tanya Mashad, ketua kelompok pecinta alam yang terdiri dari beberapa Mahasiswa dan mahasiswi PTN itu."Aku bisa minta sesuatuke kalian? tanya salah seorang diantara mereka yang lebih mendekat."Apa itu, Pak?""Sebelumnya perkenalkan, saya dari pihak terdakwa yang besuk lusa kalian akan menjadi saksinya."Sekelompok pemuda pemudi itu bersitatap. Mereka baru menyadari perkataan Pramono dan pesannya tadi agar mereka berhati-hati. Pramono bahkan menawarkan sebuah tempat tinggal untuk mereka tempati bersama, namun mereka menolak karena kesibukan mereka yang tak memungkinkan untuk diam di satu tempat dengan bersama."Lalu tujuan Bapak mencegat kami, mau apa?""Kami menawarkan sesuatu agar kalian bisa berbuat banyak hal dengan uang yang akan kami beri.""Lalu yang bapak inginkan apa?""Begini," Lelaki itu kemudian mengungka

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status