Home / Romansa / MENANTU IMPIAN IBU / Bab 04. Boleh menciummu?

Share

Bab 04. Boleh menciummu?

Author: HaniHadi_LTF
last update Last Updated: 2024-10-02 03:59:35

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, Dini dan Dilan pun sampai di rumah Dilan. Dilan nggak ingin menjelaskan ke siapaun yang mengira Dilan ke desa itu baru menikah, bukan menjemput istri yang pernah dinikahinya..

"Kamu benar-benar membawa dia kemari, Dilan? Kamu mau menghancurkan reputasi keluarga kita dengan membawa wanita gila itu?"

Seorang wanita paruh baya mendekat saat Dini dan Dilan masuk kamar dengan membawa banyak belanjaan dari butik yang tak jauh dari sana. Wajahnya yang cantik terlihat jelas dengan rambut kemerahan dikuncir ke atas.

"Ma, kita sudah pernah membahas soal itu. Jadi tolong jangan usik keberadaan Dini di rumah ini. "

"Kita pemilik perusahaan, Dilan. Kita harus bisa menjaga nama baik keluarga. Apa jadinya jika relasi bisnis kita tau, rumah ini punya menantu gila?"

"Dilan tak perduli dengan celotehan rekan bisnis Mama. Mereka juga manusia yang tak hanya berfikir sepihak. Lantas meninggalkan kita hanya karena ini."

"Kamu memang tidak pernah terjun di dunia usaha, Dilan. Kamu tak mengerti apa-apa tentang reputasi. Yang kamu pikir kamu hanya bisa menjadi anak pemberontak dengan pergi dari dunia kita dan mendekam di pondok itu selama enam tahun. Didikan Ajeng sudah mendarah daging di otakmu. Rupanya selama kalian tinggal bareng, suaminya telah merasuki pikiranmu dengan ajaran agamanya itu. Untung kamu ghak jadi Muballigh seperti dia juga."

"Mama,..!" ucap Dilan agak keras, sementara diam-diam Imah sudah meninggalkan kamar itu. Suara Dilan yang keras membuat Dini bergidik. Dia mendekati Dilan, meraih lengannya dan bergayut takut di sana.

"Tenang, tenang. Maaf, kamu jadi takut," ucap Dilan kembali dengan menggenggam tangan Dini.

"Hey, kamu wanita gila. Bisa-bisanya kamu membius anakku dengan wajah desomu itu" Giani sudah hampir mengulurkan tangannya hendak meraih Dini.

"Jaga sikap Mama ke Dini! "

"Pokoknya Mama tidak setuju. Kecuali kamu membawa pergi perempuan itu." Mata Giani membulat, menatap benci ke Dini.

"Sepertinya Mama sudah lupa, siapa yang lebih berhak atas rumah ini. Apa Dilan perlu membacakan kembali surat wasiat Opa?"

Giani dengan penuh amarah membanting pintu kamar yang Dilan tempati. Suara keras membuat Dini menyembunyikan wajahnya di belakang Dilan.

"Kamu tenang ya, jangan takut," ucap Dilan. "ayo, kita beresi baju kamu."

Dini mengangguk dengan sesekali masih menatap ke pintu.

Dini mulai membuka almari yang tak seberapa panjang. Lebih panjang almari di kamar Dilan di lantai atas. Namun karena kamar yang luas, meja rias yang baru siang tadi datang setelah dipesan Dilan, sudah berada di kamar itu lengkap dengan alat make up Dini yang simpel. Hanya pembersih wajah yang all in one, handbodi, pelembab, bedak, dan lipstik satu set.

"Di kamar ini sudah ada kamar mandinya, kamu ghak usah keluar. Di sini saja sudah cukup."

Dini mengangguk. Lalu beranjak ke kamar mandi. Dilan yang membuntuti Dini, menjelaskan panjang lebar soal pasta gigi dan sebagainya, termasuk cleansing foam dengan mencontohkannya.

"Aku mau kencing, apa kamu juga akan di sini?"

Dilan terkekeh. Diacaknya kepala Dini yang sudah melepas jilbabnya.

Namun teriakan Dini membuatnya kembali ke kamar mandi.

"Ghak bisa, ajarin!" Rupanya Dini tak bisa mengeluarkan air untuk closet duduk di kamar mandi yang beda dengan miliknya di rumah yang hanya closet jongkok dengan air diambil dari gentong..

Dilan menelan salivanya melihat kaki Dini yang menggelantung. Namun dia kemudian dengan perasaan tak karuan menjelaskannya ke Dini. Setelah latihan berkali-kali, akhirnya Dini bisa juga.

"Dini,... aku jitak ya, kamu!" ujar Dilan saat dengan sengaja Dini menyemprotkan air ke badan Dilan. "Lihat, baju aku basah."

Dini masih terkekeh dengan menyemprotkan air. Mereka pun berebut. Dipeluknya Dini dengan erat. Hinggah lama, mereka hanya salin pandang.

"Ayo keluar, kita ganti baju," ucap Dilan akhirnya setelah menata hatinya yang tak beraturan. Tidak, aku tidak boleh terhanyut dengan semua ini, begitu lemah Dilan mengatakannya karena sesuatu di bawah sana agak lain.

"Kamu lapar?" tanya Dilan setelah mereka selesai ganti baju.

Dini menggeleng. Mereka memang sudah makan di dekat distro tadi.

"Lalu kenapa bengong?" tanya Dilan menghampiri Dini yang duduk di meja rias.

Dini menunjuk benda-benda di depannya. Dilan kemudian menjelaskannya satu persatu, bahkan mempraktekkannya di wajah Dini.

"Kalau yang ini, dipakai kalau siang saja, kalau mau tidur ghak baik," katanya sambil menunjukkan bedak dan lipstik.

Dini menganguk-angguk.

"Ayo tidur, besuk aku harus kerja."

Dini membanting pantatnya di ranjang. Lama dia menghentak-hentakkan tubuhnya. "Empuk kasurnya."

Dilan terkekeh melihat tingkahnya. Ditariknya tangan Dini, gadis itu pun terjerembab di sampingnya. Dia memamerkan senyumnya dengan mata penuh cinta.

"Boleh menciummu?"

Dilan tersentak. Kecupan yang sekilas di bibir Dilan yang membuatnya terpana. Ini adalah kali pertama bibirnya bersentuhan dengan wanita. Jangan ditanya reaksinya,

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 124

    Dini menyandarkan punggung ke kursi kayu dekat jendela, tangannya sibuk meraih stoples camilan yang tadi pagi dibawakan Giani. Keripik gurih itu ia kunyah pelan-pelan, seolah tak ada yang perlu dirisaukan. Perutnya memang besar, tapi wajahnya terlihat santai. Sesekali ia tersenyum sendiri ketika merasakan gerakan kecil dari bayi di rahimnya.Suara sandal berdecit di lantai terdengar dari arah pintu. Astri baru saja datang, membawa keranjang buah segar. Wajahnya sedikit lelah, tapi begitu melihat Dini masih santai ngemil, ia tertawa kecil. “Din, kamu kok malah enak-enakan ngemil, ya? Hamil tua begini biasanya orang malah rewel.”Dini pura-pura manyun, lalu menyodorkan stoples. “Coba Bu, enak banget. Makanya aku nggak bisa berhenti.”Namun tawa Astri mendadak terhenti ketika matanya menatap sesuatu. Langkahnya tertahan. Ia mengernyit, lalu cepat-cepat mendekati Dini. “Eh… Din, rok kamu… basah?”“Basah?” Dini menoleh, menepuk-nepuk bagian belakang roknya. Memang ada bercak basah yang cu

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 123

    Pagi itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Dilan. Meski langkahnya menuju parkiran sedikit tergesa, wajahnya tetap teduh, seakan ada cahaya yang menyertainya. Rekan-rekan kerjanya di rumah sakit jiwa bahkan sampai geleng kepala melihat perubahan itu."Dilan, tumben ya… senyum-senyum terus,” celetuk Evind sambil melirik berkas di tangannya.Dilan hanya terkekeh. “Biar awet muda, Vin.”“Awet muda apaan. Biasanya juga kamu serius mulu. Sekarang kayak anak SMA jatuh cinta,” sindir Evind setengah bercanda.Dilan tidak membantah, justru malah menunduk malu. Hatinya sudah penuh dengan bayangan wajah Dini. Sejak Dini hamil, setiap detik terasa begitu berarti.Jam istirahat siang, ia menelpon Dini. Suaranya bergetar menahan rindu.“Dek, kamu nggak muntah lagi, kan?” tanyanya lembut.Dini yang saat itu rebahan di kamar, menempelkan ponselnya ke telinga sambil memejamkan mata. “Alhamdulillah, nggak, Mas. Aku malah lagi ngantuk berat.”“Ya udah, istirahat aja. Jangan mikirin kuliah dulu.”Dini

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 122

    Suara musik dari sound sistem berganti. Rupanya rombongan mempelai telah datang. Dini dan Dilan mengapit ibunya di depan. Di belakang mereka sudah tampak jajaran pakde dan budenya.MC memandu acara. Kali ini bukan MC Jawa. Karena mereka mengusung tema minimalis agar tidak sama dengan yang kemarin. Namun acara menyambut mempelai dengan Ibu memberinya minuman tetap dilaksanakan sebagai tradisi di desa mereka.Beda dengan kemarin yang mendudukkan kedua orang tua di pelaminan. Kali ini hanya mempelai yang di kursi kebesarannya. Nampak Fahmi yang tidak pernah memakai jas, terlihat tampan dengan jas senada dengan warna manten putri yang memakai warna seperti baju Dini. Selama ini Dini memang sering rundingan dengan masnya itu.Empat terima tamu yang terpajang di depan segera sibuk dengan memberikan bingkisan kepada undangan yang datang. Termasuk teman-teman Fahmi dan pengiring.Pak Kyai Ahyat yang datang disambut Dilan dan dipersilahkan duduk di kursi kebesaran jajaran depan yang telah disia

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 121

    Pagi-pagi kembali Dini dan Dilan sudah harus ada di rumahnya. Dini harus dirias lagi untuk acara 'Walik Ajang' nama acara untuk menyambut kedua mempelai ke rumah besannya.Di depan halaman rumah Astri yang luas sudah terpasang terop dan pelaminan model minimalis. Tamu masih seperti kemarin, berdatangan dari berbagai desa di sekitar. Termasuk dari wali santri pondok yang sudah lama dan mengenal Astri sebagai abdi dalem yang sering membantu anak mereka sewaktu di pondok.Belum juga acara dimulai, terlihat dua buah mobil mewah memasuki halaman Astri. Nampak Pramono dan keluarganya datang. Demikian juga dengan keluarga Ajeng yang komplit bersama anak mereka, Sania.Astri yang sudah dirias dan membuat pangling besannya, khususnya Pramono, Ibra dan Ajeng, menyambutnya. Wanita tinggi berhidung mancung yang sebenarnya cantik itu tersenyum menyambut kedatangan besan mereka yang tidak disangka-sangkanya. Apalagi dengan keluarga besarnya."Ibu Kak Dini ternyata juga cantik ya," celetuk Kanaya, "p

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 120

    Hari-hari sibuk Dini pun dimulai setelah dia mentyelesaikan ospeknya. Di kebunnya akhirnya dia menambah dua asisten baru yang membantu Harti. Dini hanya mengontrolnya sewaktu-waktu sambil terus promosi medsos. Keberadaan Binar pun juga menjadi hiburan Dini dan Dilan. Terlebih Dilan yang kadang malah mengajaknya jalan-jalan bersama Dini."Dek, jadi berapa hari kita di Ibu?""Terserah Mas, sih, aku masuk kuliah baru munggu depan.""Aku ambil cuti kan seminggu, sambil kita hoenymoon di sana, yuk! Kita sewa resort di puncak. Kan ghak jauh dengan Ibu,""Memangnya kenapa, Mas, pakek sewa resort?""Kamu kayak ghak ngerti orang desa sana. Kan yang bantuin banyak. itu pun ghak cuma satu dua hari. Tiga bahkan empat hari. Apalagi Fahmi jadi meramaikan pernikahannya. Ghak lagi sepi-sepi setelah toko bunganya maju.""Lalu?""Udara disana kan dingin.""Terus?""Ih, aku jitak ya, kamu! Dasar anak kecil ghak faham-faham."Dini terkekeh dengan kemarahan Dilan."Ok, Ok! Kamu malu keramasnya?"Dilan tert

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu impian Ibu 119

    “Pisah! Pisah dulu!” suara lantang petugas pengadilan membuat ruangan yang sejak tadi riuh mendadak menegang. Dua orang yang sempat bersitegang segera dipisahkan. Dini menghela napas berat, tubuhnya terasa kaku. Ajeng di sampingnya pun melakukan hal yang sama, wajahnya pucat namun matanya menyala oleh amarah dan luka yang belum sembuh.Tak lama kemudian, suara protokol menggema. “Sidang perkara akan segera dibuka.”Semua orang bersiap. Danu yang duduk di bangku terdakwa, menegakkan tubuhnya. Wajahnya kaku, tetapi matanya tak pernah lepas dari Dini. Pandangannya tajam, seakan ingin menusuk setiap jengkal hati perempuan itu. Dini bisa merasakan bulu kuduknya meremang.Pramono datang bersama Giani. Lelaki itu menarik kursi di sisi Dini, lalu menunduk, membisikkan sesuatu. “Tenang, Din. Jangan goyah, semua akan berakhir hari ini.”Belum sempat Dini menanggapi, langkah cepat Kanaya terdengar. Gadis itu menepuk bahu Pramono ringan. “Pa, biar aku aja di sini,” ucapnya. Tanpa menunggu jawaban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status