"Astaga, apa yang kamu lakukan?"
"Maaf, saya hanya bermain."
"Mama, lihat ini apa yang dilakukan kakak iparku?"
Dari dalam Giani tergopoh keluar. Namun kemudian dia terpeleset. "Dasar gadis gila!"
Imah yang datang, mengambil alat pel. Lalu mengepel lantai setelah membangunkan Dini. "Kamu ghak apa-apa, Dhuk?"
Dini menggeleng dengan memegangi pantatnya yang terasa sakit. "Saya hanya bermain, Bu"
"Duduk sini sebentar, Dhuk, biar Ibu selesaikan ngepelnya. Kamu sambil lihat cara Ibu ngepel, ya,"
Dini manggut-manggut.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Ma?" tanya Davin.
Giani memegangi pinggang dan pantatnya. Gavin memijitnya pelan. "Memang dasar wanita gila, dia pikir rumah kita mainan."
"Mama tidak mengerjainya 'kan?" Davin curiga.
"Memang kamu pikir apa?"
"Hati-hati, Ma. Ketauan Dilan, Mama akan dapat masalah besar."
"Kamu mengancam Mama?"
"Davin mengingatkan Mama." Davin menghentikan pijitannya. "kalau Mama sudah baikan, Davin pergi lagi, Ma."
"Memangnya kenapa kamu jam segini pulang?"
"Ada berkas Davin yang tertinggal."
"Baiklah, Sayang. Hati-hati!" kata Giani.
Davin keluar dari kamar mamanya di lantai atas. Namun dia berbelok saat baru turun.
"Cantik! Cantik yang sempurna," guman Davin dengan terus memandangi Dini yang kini berlari menangkap kupu-kupu. Pantas kakakku tergila-gila padanya. Jadi gila saja sudah cantik, apalagi kalau nanti sudah sembuh dan bisa berdandan, bathinnya lagi.
"Den!"
Davin terkejut dengan datangnya Ima dari belakangnya. Dia lalu pergi dengan meninggalkan Dini. Sementara Ima mengelus dadanya. Dia tau betul siapa Davin.
"Bu, sini!. Kupu-kupunya lepas terus."
Ima tersenyum, lalu dia berjongkok, berusaha menangkap kupu-kupu untuk Dini.
"Hup!" ditangkapnya satu kupu-kupu. "Dapat."
Dini berjingkat mendekat, "Cari tempat, Bu,...cari tempat!" katanya sambil berjingkat-jingkat.
"Iya, ayo ke dalam cari tempat."
Sambil membawa kupu-kupu, wanita yang yang sudah tigapuluh tahun bekerja di rumah keluarga Hermawan itu melewati ruang samping.
"Rupanya ketularan gila kamu, Bi," celetuk Sekar.
Tak lama Dini sudah sholat. Walau sholat sekedarnya, tapi dia akan selalu sholat tiap mendengar adzan. Dia bahkan pernah sholat dua kali gara-gara azan subuh yang tak bersamaan antara dua aliran yang berbeda.
Imah memperhatikan Dini. Rasa kasihan terselip di hatinya. Setelah melepas mukenanya, Dini memegang perutnya.
"Lapar!" katanya lalu beranjak keluar. Saat itu dilihatnya Giani sudah duduk, makan di meja makan. Dini segera ke meja, hendak mengambil makanan.
"Siapa suruh makan di sini?"
Dini mematung.
"Bi Imah, ajak Dini makan di kamarmu."
"Tapi, Nya,.."
"Budeg ya, telingamu? Ajak dia makan di kamarmu. Aku ghak bisa menelan kalau ada dia di sini."
Imah tergopoh. Mengambilkan makanan sekedarnya yang disodorkan Giani, lalu mengajak makan Dini di kamarnya.
"Jangan cerita apapun ke Dilan!" kata Giani sambil beranjak dari tempatnya makan. "Dini jangan lupa, cuci piring yang kotor."
"Baik, Ma."
"Jangan panggil aku 'Mama'! Kamu tak pantas memanggilku 'Mama'"
"Ayo, Dhuk!"
"O, ya,... nanti malam ada rekan bisnis saya yang makan malam di sini. Saya sudah pesan makanan, kamu bertiga beresi rumah, bersiin semua pernik-pernik rumah ini dengan baik."
Ima mengangguk.
Dini menguap berkali-kali. Waktu tidur siangnya harus dia gunakan membersihkan rumah. Imah yang melihatnya hatinya teriris.
Tak terasa azhan Ashar berbunyi. Dini segera pergi ke kamarnya walau berkali-kali Giani meneriakinya. Dia pun sholat. Karena kelelahan, dia tertidur dengan masih mengenakan mukena. Hinggah tak terasa, tepukan lembut di pipinya membangunkannya.
"Kenapa kamu tidur dengan memakai mukena?"
"Ketiduran," ucapnya sambil tersenyum. "kamu kenapa pulangnya lama sekali?"
"Mas kerja, Din. Ya biasanya pulang jam segini," Dilan menjelaskan sambil melepas mukena Dini. "ih, bau asem, mandi sono. "
Dini terkekeh. "Cium duluh," rengeknya.
Dengan cepat Dilan mencium Dini, namun kali ini tidak lagi di kening atau pipi Dini, tapi di bibirnya. Dini terkesiap dengan terpaku memandangi Dilan.
"Ayo mandi, bau nih!" alih Dilan menahan gejolak dirinya setelah mencium Dini.
Dilan terdiam dengan pikirannya. Kenapa Dini seperti habis melakukan kerja berat?
Dini keluar dengan wajah segar dan tubuh harum. Dia sudah berpakaian lengkap. Dia memang membawa baju saat ke kamar mandi. Rambutnya yang basah dia gerai. Dilan menyalakan hairdyer dan mengeringkan rambut Dini. Kembali dia merasakan sensani yang berlebih di jiwa lelakinya.
"Sudah kering, aku mandi duluh." Dilan mengalihkan pikirannya.
"Heem. Bau."
"Ih, mana ada aku bau. Sini,.." Dilan meraih Dini dan membenamkan wajah Dini di tubuhnya.
"Ih, lepasin. Bau!"
Dilan terkekeh.
"Dilan, nanti ada rekan bisnis mama, kamu jangan biarkan dia keluar. Suruh Bi Ima temani dia." Tiba-tiba saja Giani datang.
"Lain kali kalau masuk kamar orang, mengetuk pintu duluh, Ma."
"Memangnya kenapa aku harus mengetuk pintu?"
"Bagaimanapun Dilan sekarang sudah beristri. Kalau Mama melihat yang tidak-tidak."
"Halah, istri apa,...orang gila saja!"
"Mama!" tak terasa suara Dilan meninggi. "maaf, Mama membuat Dilan sampai mengeluarkan kata-kata kasar. Dilan yang akan menjaga Dini."
"Kamu harus ikut di jamuan itu. Biar Dini dijaga Bi Ima."
Dilan terdiam Untuk ke-sekian kalinya dia harus mengalah. Menjadi pajangan melengkapi keharmonisan keluarga Pramono Aji di mata rekan-rekan bisnisnya.
Dini menguap. Dan makin sering setelah sholat maghrib. Dia bahkan tertidur saat menonton TV, bersandar di lengan Dilan . Dilan memapahnya ke tempat tidur. Mencium keningnya. Kembali dia heran dengan apa yang dikerjakan Dini hari ini sampai Dini seperti orang kelelahan. Baru saja dia beranjak, hendak bertanya ke Imah, di ruang tamu sudah ada satu keluarga.
"Ini anak Tante yang tertua, ...Dilan. Kenalan dong, Sil," ucap Giani kepada gadis muda yang diapit kedua orangtunya.
Sisil segera mengulurkan tangannya. Namun Dilan mengatupkan kedua tangannya di dada. Sisil nampak kecewa, namun kemudian malah menyunggingkan senyumnya. Cowok aneh, aku makin menyukainya. Lihat saja nanti,.. aku bakal mendapatkanmu! tekad Sisil.
Mata Dini sudah mengaca. Dilan hanya bisa merengkuhnya, membenamkan wajahnya dalam dekapannya. "Kita akan cari rumah kontrakan yang mungkin bisa untuk mengembangkan usahamu sekaligus bisa untuk kita tempati," janji Dilan, "kamu jangan lagi menangis." diciumnya kening wanita yang kini terisak di pelukannya."Nanti kalau diminta orangnya lagi gimana? Susah lagi kan?" protes Dini.Dilan terkikik. "Iya juga ya," cetusnya."Nah, kurang pinter juga kamu ya, Mas.""Iya, iya, Dek. Yang pinter kan cuma kamu. Terlebih kamu pinter mencuri."Dini mendorong dada Dilan. "Maksud Mas apa?""Aduh!" Dilan yang tidak menyangka sampai berpegangan di bibir tempat tidurnya. "Kamu ini ya,.. nggak lagi sedidh, nggak lagi senang, sukanya bikin aku mau celaka terus."Dini cemberut. "Habisnya, kamu ngomong begitu." Matanya sudah kembali mengaca. "Emang aku mencuri apa kamu.""Kamu kan mencuri hatiku, Dek.""Hih! Rasain ini." Dini sudah menghujani Dilan yang turun dari tempat tidurnya dengan tabokan bantal. "A
Dini yang membuka kunci rumah, segera mempersilahkan Profesor Satya dan Amira, istrinya masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu."Memasuki rumah, sepasang suami istri itu sudah berdecak kagum. Wanita yang masih cantik di usianya yang sudah setengah baya tu bahkan berkeliling matanya menatap seluruh ruangan itu."Terus terang kami pangling dengan rumah kami sendiri. Bukan karena catnya yang kalian ganti ini, tetapi karena penataan dan pernak pernik ruangan yang kalian terapkan, sangat cantik," puji Amira.Dilan tersenyum memandang Dini, "Semua ini dia yang ngatur, Bu. Saya mana mengerti yang begituan. Cuma izin Bapak saja waktu ganti cat. Itu pun saya juga baru tau setelah selesai ngecatnya." Dialna merasa tak enak hati. "Untung Bapak setuju, kalau tidak bisa berabe."Tawa pun menggema. "Rumah tambah bagus kok nggak suka, ya nggak mungkin, Dilan," tutur Satya."Kamu memang pintar, Din," puji Amira lagi. "Sama bunga aja kamu telaten. Apalagi dengan nata beginian. Mencerminkan banget siapa dirimu
"Assalamualaikum, Din. Mana Bu Astri?" sapa pria itu, yang ternyata Pak RT."Ke Pak Kyai, Pak," jawab Dini sambil menggeser jilbabnya yang tadi dia pakai asalan. "Mau narik iuran kampung?"Pak RT terkekeh kecil. "Iya, Din. Seperti biasanya. Ini tadi saya baru tau kalau Bu Astri sudah kembali dari rumahmu, Din. Makanya saya datang sekalian."Dini mengangguk, lalu tanpa banyak basa-basi mengeluarkan uang dari dompetnya yang tadi ditaruh di sofa setelah berbelanja, dan menyerahkannya kepada Pak RT.Hampir mau keluar, Pak RT menoleh ke arah Dini. "Oya, Nak Dini. Selamat, ya. Kamu sudah berhasil melewati Barata dengan menjadi saksi itu. Kasihan Nak Aziel. Sekarang dia bisa hidup tenang setelah misteri kematiannya terungkap."Dini terdiam sesaat, ada semburat kesedihan di wajahnya. Ia menghela napas pelan. "Iya, Pak. Kita doakan saja keputusan hakim adil. Vonisnya belum keluar."Pak RT mengangguk mantap. "Tapi Bapak sudah lihat jalannya sidang yang ditayangkan live dari TV Pesantren. Insya
"Bapak siapa?" tanya Dini, menelisik pria berkulit sawo matang yang terlihat keras itu."Saya hanya mau lihat, apa rumah ini sudah bagus." "Kalau sudah bagus, kenapa ya Pak?" "Tolong bukakan pintuny. Saya mau masuk," ucap lelaki itu dengan sikap sombongnya. Seolah-olah dialah pemilik rumah itu. "Ada perlu apa ya, Pak?" Dini masih curiga dengan pria yang tidak begitu dikenalnya. Ditatapnya penuh selidik. Terkadang dia merasa tak asing dengan wajah itu, namun dia juga ghak terlalu yakin. "Saya hanya ingin tau, apa rumah bakal mantu saya sudah bener- bener bagus. Saya sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu. Saya harus pastikan agar nanti kalau ada kerabat yang datang tidak malu-maluin.""Berarti Anda,..?" Dilan menerka."Kamu dapat menebak saya. Saya Pak Mail juragan buah dari kampung sebelah. Saya bapaknya Fatimah.""Oala, Pak,..kirain siapa tadi." Dilan langsung menyalami pria itu.Dilan lalu berbisik ke Dini. Dini yang orang sini malah yang tidak tau. Dilan memang tau hubungan c
Dilan sudah siap-siap, siapa tau Dini akan menipunya kembali. Namun yang ada Dini malah membuka kimononya. "Mau aku tipu lagi?""Aku sudah pakai jurus jika kamu melakukan itu lagi.""Mana jurusnya?""Ini,.." Dilan menarik pinggang Dini, dan meraih tengkuknya dengan bibir yang sudah menyentuh bibir Dini.Paginya. Pagi sekali Dilan sudah mengajak Dini naik motor Fahmi yang duluh sering dipakainya."Mau ke mana sih, Mas, pagi sekali? Dingin lagi udaranya.""Mau ke pasar Subuh. Biar rambutku kering di jalan. Malu nanti dilihat Fahmi ketauan aku mandi basa. Kemarin sih ya, kita ghak bawa hairdyer.""Kenapa malunya sama Mas Fahmi, bukan sama Ibu?" cibir Dini."Dia kan temanku Dek. Belum nikah lagi. Ya, malulah."Dilan sudah menstarter motornya. Sekali, dua kali, masih tak bisa. Sampai akhirnya Fahmi keluar. Dan benar saja, untuk yang pertama kali dilihat Fahmi adalah rambutnya Dilan."Ghak dingin, subuh-subuh udah keramas. Aku aja sampai Dhuhur baru mandi.""Ih, kamu ya,..!" timpuk Dilan ma
Dini mendekat, senyumnya tetap ramah meskipun bisa melihat raut kesal di wajah perempuan paruh baya di depannya. Wanita itu, mengenakan blus batik dengan tas selempang kecil yang sudah sedikit lusuh, tampak mengangkat setangkai bunga dengan ekspresi tak percaya."Masak iya, bunga begini semahal itu?" keluhnya, matanya menyipit menatap kelopak bunga seakan-akan menyalahkannya atas harga yang dipasang.Dini, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah bunga di tangan wanita itu, kemudian tersenyum."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ulangnya, suaranya lembut, nyaris berbisik seperti belaian angin sore yang masuk melalui celah pintu toko bunga miliknya.Wanita itu menatapnya lebih dekat, seakan baru menyadari sesuatu. "Ini Mbak Dini, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.Dini mengangguk kecil. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu mendengus kecil, masih tak rela dengan harga yang tercantum di pot tanaman itu. "Ini, Mbak. Masak i
Dini baru saja menghembuskan napas lega ketika seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh dan melihat sosok Pak Pramono tersenyum padanya."InsyaAllah ada titik terang di sidang ini. Dan kenangan ada di pihak kita," ucap Pak Pramono sambil mengusap kepalanya dengan sayang.Dini menunduk, air mata menggenang di pelupuknya. Begitu banyak hal yang telah terjadi, begitu banyak fitnah yang menimpanya. Namun kini, satu per satu kebenaran mulai terungkap."Selamat, Kak Dini!"Suara ceria Kanaya membuyarkan lamunannya. Gadis itu mendekat dengan senyum lebar, lalu memeluk Dini erat. Di belakangnya, Davin ikut tersenyum sambil mengangguk sopan."Aku tahu Kak Dini tidak mungkin melakukan semua itu. Aku percaya sejak awal," bisik Kanaya, membuat Dini makin terharu.Namun, tak semua orang menunjukkan ekspresi yang sama. Giani, mertua Dini, hanya melipat tangan di dada. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menunjukkan ketidakpuasan. Dalam hatinya, ia bergumam, "Aku pikir dia akan dipenjara selamanya."
Sekelompok pemuda pemudi datang menghampirinya."Mbak ingat kami?"Dini mencoba mengingat kembali.Seorang cewek mendekat. "Kemarin kami mau dekati Mbak, tapi saya lihat Mbak mendekati pria itu, sementara kami juga diajak ngobrol sama Pak Pramono dari kubu mana kami ini dan mau membela siapa.""Mbak, .. bukannya yang kasih minum aku ya,.." tebak Dini."Bener, Mbak. Kami mengikuti perkembangan kasus Mbak. Dari mulai Mbak diculik sampai kemarin di pengadilan. Rasanya kami berdosa jika kami membiarkan Mbak Dini hanya berjuang sendiri mengungkap hal yang seharusnya diungkap," ucap cewek itu.Seseorang datang mendekat sambil berdehem. Sepertinya dia satu diantara orang suruan Barata."Mbak Dini, sebentar ya," ucap dia permisi.Diin mengangguk dengan memperhatikan tngkah gadis yang sesekali melirik ke arahnya."Pak, tenang saja, kami tidak akan mengingkari perjanjian kita," ucap cewek itu, Ailin yang kemudian menepi dan menggiring orang yang mendekat sambil berdehem itu."Ingat, kami telah
"Selamat siang, adik-adik!" Dua orang lelaki menghadang sekelompok pemuda dan pemudi yang sedang menunggu bis yang lewat."Selamat siang, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" tanya Mashad, ketua kelompok pecinta alam yang terdiri dari beberapa Mahasiswa dan mahasiswi PTN itu."Aku bisa minta sesuatuke kalian? tanya salah seorang diantara mereka yang lebih mendekat."Apa itu, Pak?""Sebelumnya perkenalkan, saya dari pihak terdakwa yang besuk lusa kalian akan menjadi saksinya."Sekelompok pemuda pemudi itu bersitatap. Mereka baru menyadari perkataan Pramono dan pesannya tadi agar mereka berhati-hati. Pramono bahkan menawarkan sebuah tempat tinggal untuk mereka tempati bersama, namun mereka menolak karena kesibukan mereka yang tak memungkinkan untuk diam di satu tempat dengan bersama."Lalu tujuan Bapak mencegat kami, mau apa?""Kami menawarkan sesuatu agar kalian bisa berbuat banyak hal dengan uang yang akan kami beri.""Lalu yang bapak inginkan apa?""Begini," Lelaki itu kemudian mengungka