Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa sebentar lagi bulan suci Ramadhan akan bertamu. Raihan dan Aira melewati hari-hari seperti biasa. Aira dengan segenap jiwa mencurahkan rasa terhadap pernikahannya, sementara Raihan masih saja menikmati segala bentuk kebohongannya terhadap sang istri.Dalam diam, lelaki itu masih saja sering memikirkan Safia. Mengkhayalkan setiap kebersamaannya dengan wanita cantik itu. Padahal belum pernah sekali pun ia mengungkapkan perasaannya pada wanita itu. Safia pun tampaknya sangat senang saat sedang bersama dengan Raihan. Banyak hal yang mereka bicarakan, terkadang Omar sampai terkantuk-kantuk menemani mereka saat bertemu. Ya, Safia tidak pernah mau duduk berdua saja dengan Raihan. Wanita berjilbab itu selalu mengajak orang lain untuk menemani, atau ia meminta Raihan agar membawa serta Omar saat mereka merencakan ingin bertemu di luar kantor.Aira sudah jarang meminta untuk ikut. Gadis itu telah disibukkan dengan pekerjaan barunya. Ia sudah bekerja di seb
Bila tiap prasangka adalah doa, lebih baik berprasangka yang baik saja.***"Aku pulang sendiri aja, Mas.""Kenapa? Kita barengan aja. Ketemu ibu, mak sama abah. Nanti kalau kamu sendiri pasti mereka tanyain aku ke mana.""Ya aku jawab kalau kamu kerja." Aira menjawab sambil menyapu sudut mata. Hidungnya tampak memerah serta wajah yang sembab."Kamu kenapa, sih, Ra. Aku kadang bingung hadapi kamu. Sedikit-sedikit nangis. Kalau ada masalah, ya, dikasih tau. Aku bukan dukun lho yang bisa menebak setiap pikiran kamu." Raihan terlihat kes menghadapi Aira. Gadis itu masih saja terisak sejak tadi. Rambut jatuh berurai menutupi wajahnya.Bukannya menjawab, Aira malah semakin tergugu. Dia merasa selama ini Raihan hanya berpura-pura saja.'Jika memang ia menginginkanku, kenapa hingga detik ini lelaki itu sama sekali belum menyentuhku?' Batin Aira."Besok aku antar. Kita pulang sama-sama," ucap Raihan. Kemudian dia berlalu dari kamar meninggalkan Aira sendirian. Gadis itu masih terisak, sama se
(POV RAIHAN)"Istri Pak Raihan?" Omar membelalakkan mata tak percaya.Aduh, asli gawat!Seharusnya aku tidak keceplosan sehingga membongkar semua. Lalu, tidak ada angin tidak ada hujan, kenapa pula Omar ingin melamar Aira?"Iya. Dia istriku.""Tapi, bapak bilang sepupu. Trus bapak sama Mbak Safia?""Aku dan Aira dijodohkan. Kami ngga saling cinta.""Astaghfirullah, Pak. Kasian Aira, eh Mbak Aira ... duh, Buk Aira kalau bapak bersikap begitu. Cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Ikhlas, terima dan jangan tutup mata serta hati untuk orang yang ada di samping kita.""Kamu nikah aja belum, sok nasehatin," ucapku sambil tertawa. Masih tak habis pikir kenapa Omar bisa tertarik dengan Aira. Sementara dia bertemu hanya beberapa kali saja."Serius, Pak. Apalagi bapak bilang Buk Aira itu sepupu bapak, hatinya pasti sedih dan sakit. Saran saya, Pak. Sebelum bapak memperlakukan istri bapak begitu, coba posisi ditukar. Buk Aira berada di posisi bapak dan bapak berada di posisi Buk Aira, apa ya
(POV RAIHAN)"Sebelum kita benar-benar berpisah setelah lebaran, selama satu bulan ini perlakukanlah aku layaknya istrimu. Hanya satu bulan. Setelah itu aku akan pergi."Aku menatapnya lekat. Sementara ia menundukkan pandangannya. Lagi-lagi Aira mengucurkan air mata. Aku merasa kasihan padanya. Juga merasa bersalah karena telah menyakitinya. Namun, sungguh, aku sudah mewanti-wanti jauh-jauh hari sejak aku membawanya ke Malang, agar ia tidak memainkan perasaannya. Aku sudah mengatakan jika dia bisa mencari orang lain, aku tidak menghalangi. Namu, ia bersikeras untuk mencoba membuatku untuk jatuh cinta. Lihat saja sekarang, siapa yang kesulitan?"Sudah berapa kali kamu menangis hari ini, Ra?" tanyaku sembari mengangkat dagunya. Air mata di wajahnya merembes tanpa henti. Sesedih itukah? Ah!"Jangan larang aku, Mas.""Iya. Aku ngga larang. Hanya aku heran aja, apa yang sedang kamu sedihkan?""Kamu itu benar-benar ngga tau atau ngga mau tau, sih, Mas?""Ah! Sudahlah. Aku menyanggupi persya
Walau dengan siapa pun Allah menjodohkan kita, bersyukurlah dengan kelebihannya dan bersabarlah dengan kekurangannya. (Quote by someone)***"Kalau mau ikutan mandi juga ngga apa-apa, Mas," ujar Aira sambil menaikkan kedua alisnya.Kali ini justru Raihan yang terdiam. Malah Aira yang balik menggoda. Raihan baru ingat jika Aira memang lebih jago dalam hal itu dari pada dirinya.Ditantang begitu, Raihan memilih berlalu. Ia berjalan melewati Aira."Eh! Ke mana? Ngga jadi?" Aira tak henti menggoda Raihan.Gegas Raihan melarikan diri.Aira pun berjalan ke kamar mandi sambil tak henti tersenyum melihat tingkah Raihan."Apakah akan ada pertanda baik, Tuhan?" lirih Aira pelan.Di teras rumah, Raihan duduk seorang diri. Lelaki itu memegang ponsel rahasia yang sengaja ia bawa dari Malang. Ingatan akan Safia kembali muncul, padahal sudah beberapa saat terlupa. Dia kembali membuka foto-foto wanita itu di dalam galeri ponselnya. Ada puluhan foto Safia yang tersimpan. Raihan sengaja melakukannya.S
(POV RAIHAN)Pagi ini adalah hari pertama puasa. Sahur tadi Aira membangunkanku dan kami makan sahur bersama. Ibu telah menyiapkan semuanya dibantu Aira. Semakin aku sering memperhatikan gadis itu, semakin banyak keistimewaan yang kulihat dari dalam dirinya. Gadis sederhana dan tak banyak tingkah itu terlihat semakin bertambah dewasa saja. Setelah melaksanakan salat Shubuh, aku mengajak Aira berjalan kaki menikmati suasana pagi di kompleks perumahan yang kami tempati. Dulu sewaktu kecil, aku beserta teman-teman kecilku hampir setiap malam menjelang sahur berkeliling kompleks membangunkan warga. Setelah itu dilanjut jamaah di masjid dan diakhiri dengan asmara subuh bersama. Masa-masa kecil yang penuh warna."Ra, dulu kamu kenapa, sih, suka sekali pinjam sepedaku pada Ibu?"Aira kecil hampir saban hari berkunjung ke rumahku bersama ibunya. Jika dia di rumah, maka Ibu akan meminjamkan sepedaku padanya. Aira kecil akan berkeliling kompleks menggunakan sepeda tersebut. Tak peduli teriknya
(POV RAIHAN)Aku menepuk jidat. Malah mau dikerokin, terkadang Aira ada juga aneh-anehnya. "Di kamar aja, Ra. Ngga enak dilihat Ibu."Gadis itu mengangguk. Aku berjalan ke kamar, sedangkan Aira berbelok ke arah dapur. Tak lama ia pun masuk kamar sambil memegang sebuah piring kecil di tanganya."Apa itu, Ra?" tanyaku penasaran."Minyak urut.""Minyak urut?""Iya. Minyak goreng dicampur bawang.""Apa? Kamu itu mau ngerokin atau mau bikin aku jadi dendeng?""Bikin dendeng pakai minyak bawang rupanya, Mas?""Ah! Aira ...! Yang bener, dong, Sayang.""Iya. Ini udah bener. Sini punggungnya."Kubalikkan punggungku dengan ragu. Masa iya pakai minyak goreng plus bawang? Kenapa tidak sekalian pecahin telur dan potongan cabai merahnya, biar jadi telur dadar.Ah! Aira!***Tiga hari sudah kami menghabiskan waktu di rumah Ibu. Sesuai janji, aku dan Aira akan berkunjung ke rumah Mak dan Abah. Namun, hari ini pula Safia tiba di Surabaya. Otomatis aku harus mengundur waktu ke rumah Abah agar bisa ber
(POV RAIHAN)Istri yang baik itu, apabila diberi ia akan bersyukur. Apabila tidak diberi maka ia akan bersabar.***Kembali ke Malang setelah menghabiskan waktu selama dua minggu lebih di Surabaya. Kedekatan di antara kami semakin terbangun selama berada di sana. Ditambah lagi karena adanya perjanjian satu bulan yang sedang kami jalani, maka hubungan kami pun tampak seperti pasangan suami-istri normal pada umumnya.Aira tetap melayaniku dengan baik. Segala keperluanku dia yang mengurusnya. Ditambah Mbak Ayu sedang cuti selama bulan puasa, otomatis, Aira-lah yang menghandel semua pekerjaan rumah. Dia terlihat gesit dan senang melakukan semuanya.Pagi ini seperti biasa, aku harus mengunjungi tempat kerja. Sebenarnya hal yang paling penting adalah ingin bertemu dengan Safia. Sudah kuputuskan jika aku akan mengungkapkan perasaanku padanya. Semakin lama dipendam kurasa semakin tidak baik. Pun sebentar lagi aku dan Aira akan berpisah.Aku telah menghubungi Safia tadi malam. Kami akan bertem